Pages

Minggu, 31 Juli 2011

Catatan Perjalanan Umroh (6): Rawdhah yang Agung

Tulisan ini sebenarnya sudah selesai kemarin. Tapi karena BB trouble, email minta divalidasi, tidak nemu wi-fi, maka saya minta tolong teman di Surabaya untuk melakukan validasi melalui laptop-nya. Syukur alhamdulilah, pagi ini, pukul 05.55, email sudah aktif lagi. Semoga lancar teyuuusss...

Selamat menikmati laporan dari Madinah Al Munawaroh...

Wassalam,
LN


RAWDHAH YANG AGUNG

Sabtu, 30 Juli 2011.
Akhirnya moment yang kutunggu-tunggu itu datang juga. Mengunjungi salah satu taman surga: rawdhah. Sabda Nabi, "Tempat di antara rumah dan mihrabku itu adalah salah satu dari taman surga". Rawdhah, salah satu tempat paling mustajabah untuk bermunajat. Tempat yang menjadi salah satu tujuan utama siapa pun muslim yang berziarah ke Madinah.

Nabila Travel Biro menyediakan seorang muthawifah untuk membimbing kami memasuki rawdhah. Namanya Rahma. Lagi-lagi, asli Madura. Komunitas Madura memang luar biasa berperan di jagad per-mutahawif-an ini. Hampir setiap kali kami bertemu dengan rombongan dari travel biro lain yang juga akan memasuki rawdhah, muthawifahnya adalah perempuan Madura. Tangkas-tangkas, berpengetahuan luas (setidaknya untuk menjelaskan segala sesuatu terkait dengan rawdhah), dan memiliki kemampuan guiding yang bagus. Juga sangat peduli. Selalu memastikan jumlah anggota jamaah yang dibawanya lengkap, memberi tempat jamaah yang sudah sepuh senantiasa ada di dekatnya agar dia bisa selalu menggandeng tangannya, dan mengingatkan kami supaya berjalan dengan tenang, duduk, membaca doa, dan saling menjaga satu dengan yang lain.

Pukul 22.30. Rahma, muthawifah itu, membimbing kami merangsek ke dalam masjid, setelah memastikan kami semua sudah berwudhu, dan semua hape berkamera yang sudah terlanjur dibawa, disimpan di dalam kaus kaki atau stocking masing-masing, supaya tidak menghambat perjalanan karena kena razia asykar yang semakin malam semakin galak. Pastikan kaki kanan dulu yang menapak ketika memasuki masjid, karena hal itu juga merupakan salah satu sunnah Rasul, begitu Rahma mengingatkan. Luar biasa. Bahkan hal 'kecil' seperti itu pun, dia peduli.

Rahma memimpin kami membaca doa sebelum memasuki masjid Nabawi. Lantas mempersilakan kami melakukan sholat sunnat takhiyatul masjid begitu kami tiba di zona aman di dalam masjid. Zona aman, karena bila kami masih belum memasuki zona tersebut setelah pukul 23.00, maka kesempatan untuk memasuki rawdhah tidak akan kami dapatkan malam ini, sebab pintu masuk akan ditutup tepat jam 23.00.

"Assalamualaikum, ya Rosulullaah. Assalamualikum ya Waliyyullah. Assalamualikum ya Habiballoh. Assalamualaikum ya Abu Bakar Assidiq. Assalamualaikum ya Umar bin Khattab. Assalamualaikum ya amirul mukminiin...."

Kunjungan ke rawdhah ini bukan yang pertama kali bagiku. Juga bagi sebagian besar anggota jamaah yang lain. Namun saat mengucapkan salam tersebut, hatiku bergetar, sama persis ketika pertama kali aku mengucapkan salam itu, dua tahun yang lalu. Seluruh sendi-sendi tubuhku seolah luruh. Dadaku bergemuruh menahan haru. Tak ayal, semua dari kami berurai air mata. Baru di dekat rawdhah. Belum di dalamnya. Namun jiwa-jiwa yang lelah dan haus ini sudah larut dalam kepasrahan yang mengharu biru. Bacaan doa sebelum memasuki rawdhah terdengar di antara isak tangis. Doa salam untuk Rosul, untuk Abu Bakar Assidiq, dan doa salam untuk Umar bin Khattab. "Sampaikan titipan salam untuk Rasul dan para sahabatnya di sini, dari siapa pun orang-orang yang telah titip pada ibu-ibu", kata Rahma.

Kusebut nama ibuku, bapakku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, dan kusampaikan pada Rasulullah sholawat dan salam dari mereka semua. Kuucapkan kata-kata terindahku untuk Rasul tercinta. Dengan sepenuh hati dan sepenuh perasaan. Kubayangkan Al Amin itu sedang tersenyum bahagia di dalam rumahnya, di bawah naungan kubah hijau itu. Memandangi mesra umatnya yang sedang berlomba meraih syafaatnya. Yaa Rosul, yaa habiballaah, rengkuhlah kami semua dalam dekapanmu, selalu dalam dekapanmu, dalam iman, islam, dan ihsan, sampai akhir zaman....

Waktu begitu lambat berjalan. Sejak pukul setengah sebelas, sampai setengah dua belas, kami bersama ratusan jamaah yang lain, hanya beringsut sedikit demi sedikit. Rahma menjelaskan bahwa jamaah yang ada di sebelah kanan sekat, yang tak terlihat oleh kami, yang harus didahulukan untuk memasuki rawdhah. Urut sesuai antrean. Setiap muthawif memberikan instruksi pada jamaah yang ada dalam
tanggung jawabnya, dengan sangat baik, serta saling bahu membahu dengan muthawif yang lain. Mereka juga menjelaskan di mana letak makam Rasulullah, Abu Bakar Assidiq, Umar bin Khattab, dan rumah Fatima Azzahra. Juga pilar-pilar yang membatasi masjid Nabawi yang asli (karena yang sekarang sudah mengalami perluasan luar biasa).

Perlu kesabaran untuk bisa berhasil memasuki rawdhah. Tubuh yang sudah lelah dan mata yang sudah sangat mengantuk, karena sejak perjalanan dari Tanah Air kami sangat kurang istirahat, membuat waktu rasanya begitu lambat berjalan. Seorang ibu yang sudah sepuh, yang tangannya selalu kugamit, nyaris putus asa dan minta pulang. Saya menenangkannya supaya beliau bersabar. Inilah memang salah satu
ujian yang harus kita semua lalui, untuk bisa memasuki rawdhah yang kita idam-idamkan.

Akhirnya waktu itu pun tiba. Kami semua yang awalnya ada di sebelah kiri sekat, diinstruksikan oleh muthawif dan para asykar untuk bergeser ke sebelah kanan sekat. Kami bergerak dengan tertib, di bawah komando Rahma, yang ada di depan kami, sambil melambai-lambaikan tangannya supaya kami bisa selalu melihatnya. Rawdhah sudah tampak di depan mata. Puluhan orang bersimpuh, bersujud, bermunajat kepada Allah melalui Rasullullah. Asykar-asyakar berteriak-teriak meminta mereka keluar dari karpet hijau itu bila mereka terlalu lama bersimpuh untuk berdoa. "Sudah, ibu, sudah...." Begitu kata-kata yang selalu diucapkannya. Beberapa asykar sampai naik ke pilar-pilar untuk memastikan tidak ada jamaah yang berlama-lama bersimpuh dalam doa.

Kami melihat pemandangan itu dengan hati yang semakin bergetar. Sejengkal lagi, tinggal sejengkal lagi, kami juga akan melakukan hal yang sama. Oh, terasa begitu lamanya detik-detik yang kami nantikan itu tiba...

Rahma mengingatkan kami, untuk yang ke sekian kali, tentang apa-apa yang harus kami lakukan begitu kami mencapai rawdhah. Dia memastikan bahwa dalam bimbingannya, setiap orang akan dapat melakukan sholat minimal sunnat mutlak 2 rokaat, dan berdoa tapi dalam posisi sujud (karena asykar akan mengusir kita bila kita berdoa dalam posisi duduk), serta bila memungkinkan, kita juga akan dapat
melakukan dua rokaat sholat taubah.

Begitu tiba saatnya kami memasuki rawdhah, tangis pun pecah. Rahma dan muthawif lain menjaga kami dari 'serangan' jamaah lain, agar kami bisa sholat dengan khusyu'. Kami melafalkan takbirotul ihrom dalam tangis, ruku', sujud, semuanya kami lakukan dalam kekhusyu'an dan keihlasan yang dalam. Ketika tiba gilirannya kami bersujud untuk berdoa, sedu-sedan yang tertahan-tahan pun terdengar di antara doa-doa yang berhamburan. Inilah hal terindah yang selalu kuimpi-impikan. Berserah diri secara total kepada-Nya, Dzat Yang Maha Perkasa lagi Melindungi, di rawdhah. Menikmati ketakberdayaan kita sebagai manusia. Menyediakan jiwa-jiwa yang kosong, hati-hati yang kering, dan tubuh-tubuh yang lelah, kepada Dia Yang Maha Mengisi dan Menyirami. Yaa Rab-ku, mohon ampunilah semua dosa-dosaku, dosa bapak ibuku, dosa anak-anakku, dosa saudara-saudaraku, dosa sahabat-sahabatku. Allah yang Maha Memberi, terimalah rasa syukurku atas semua nikmat yang telah Kau beri, termasuk nikmat berada dalam rawdhah-Mu ini. Ya Allah yang Maha Mendengar, dengarkanlah doaku, doa bapak ibuku, doa saudaraku, doa anak-anakku, doa sahabat-sahabatku, dan kabukanlah, karena hanya Engkau yang Maha Mengabulkan atas segala doa....

Aku dan semua jamaah sepuas-puasnya bermunajat dalam sujud. Kami bahkan sempat sholat taubah dan sholat hajat, karena Rahma dibantu teman-temannya benar-benar menjaga kami, sampai semua dari kami merasa cukup. Dia menanyai kami satu per satu, apakah kami sudah selesai, dan bisa keluar dari rawdhah. Ketika kami sudah menyelesaikan munajat kami, Rahma mengumpulkan kami di satu sudut di pintu keluar rawdhah. Sisa-sisa isak tangis dan mata yang sembab menghiasi wajah-wajah kami, juga wajah Rahma, namun kelegaan dan kedamaian hati dan jiwa kami memancar dari wajah-wajah yang lelah ini.

Rahma kemudian meminta kami untuk melihat di sebelah kanan atas kami, sesuatu yang tertutup oleh sekat. Namun masih bisa kami lihat ujung mimbar di mana Rasulullah dahulu berkhutbah, serta kerucut di depannya yang merupakan ujung mihrab, tempat Rasulullah mengimami sholat-sholat bersama jamaahnya. Ya. Hanya pada bagian-bagian ujung itu sajalah yang bisa kami lihat, para jamaah perempuan. Tidak seperti para jamaah laki-laki, yang konon bisa melihat mihrab dan mimbar Rasulullah secara utuh. Meski begitu, kami semua sangat bersyukur karena telah diberi kesempatan menikmati kemuliaan ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.15 ketika kami keluar dari rawdhah dengan tertib. Lampu-lampu di dalam ruangan masjid sudah dipadamkan sebagian. Beberapa orang yang mungkin sedang beritikaf, tengah melakukan sholat dan berdoa. Rahma menanyakan pada kami, apakah kami tahu jalan pulang menuju hotel. Lantas kami berpisah di halaman masjid, setelah bersalaman, saling meminta maaf, dan saling mendoakan utk kebaikan kami semua.

Dini hari yang hangat. Hembusan angin yang ramah. Dan cahaya lampu-lampu di Madinah Al Munawaroh. Adalah saksi bisu atas tunainya munajat kami di rawdhah. Di langit, ribuan malaikat mengamini dan memohonkan doa untuk keselamatan dan kemuliaan kami, fiddunya wal akhirah.

Amin ya robbal alamiin...

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...