Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 September 2013

Tulisan Yang Datar-datar Saja....

Saya membaca deretan kalimat-kalimat itu. Untaian cerita tentang kisah perjalanan saya di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di daerah 3T. Ada kisah yang happy-happy, sekedar berbagi cerita tentang makanan, tempat wisata, rute perjalanan, dan aktivitas-aktivitas yang lain. Ada juga cerita tentang kesedihan, keprihatinan, dan ketertegunan karena melihat kegetiran hidup sebagian besar masyarakat dan kondisi guru, siswa, sekolah, dan pendidikan yang begitu terpuruk. Ada pesan-pesan pada kepala sekolah, kepala dinas, bahkan juga pada pemerintah, agar lebih mengedepankan pendidikan sebagai sebuah sarana untuk membangun masa depan yang lebih baik dan bermartabat.

Saya ingat, beberapa dari tulisan itu di-share ke berbagai milis oleh satu-dua orang teman. Beberapa tanggapan dari para miliser juga bermacam-macam. Mulai dari sekedar memuji sebagai tulisan yang manis, tulisan yang inspiratif, atau tulisan yang maknyuss, seru, benar-benar laporan petualangan, dan lain-lain. Bahkan ada juga yang iseng mengusulkan supaya ada event pemberian award untuk saya (haha...kalau yang ini, suweerrr....menurut saya tanggapan yang berlebihan). Beberapa juga mempertanyakan, kapan tulisan-tulisan itu akan dibukukan.

Menulis kisah perjalanan bagi saya sekedar memenuhi tuntutan hati. Menulis memberi keasyikan tersendiri. Memberi kenikmatan. Menulis yang tanpa beban. Tanpa tuntutan dari siapa pun kecuali dari diri sendiri. Kalau kemudian tulisan itu disukai oleh yang membaca, bahkan dibagikan pada pihak-pihak lain, atau dimuat di media (meski hanya media kampus), bagi saya, itu sekedar ekses saja. Ekses positif tentunya. Ada tanggapan atau tidak, disukai atau tidak, saya tetap saja menulis.

Mungkin karena itulah, tulisan-tulisan saya nyaris tidak ada yang istimewa. Biasa-biasa saja. Datar-datar saja. Hanya beberapa yang mungkin mampu menguras emosi, atau membuka mata siapa pun yang membaca, tentang apa saja yang mungkin belum mereka ketahui sebelumnya. Tentang budaya di suatu daerah, adat-istiadat, hubungan sosial-kemasyarakatan, kondisi pendidikan dan pembelajaran, dan lain sebagainya.

Meski begitu, meski tulisan-tulisan saya itu datar-datar saja, saya ingin membukukannya. Alasannya, pertama, karena saya ingin, sebagaimana yang sering saya dengung-dengungkan, turut serta membudayakan literasi, salah satunya dengan cara menulis dan membukukan tulisan-tulisan itu. Alasan kedua, saya sudah terlanjur berjanji pada banyak orang, bahwa saya akan membukukan tulisan-tulisan saya. Kalau tidak saya penuhi janji saya itu, maka saya akan menanggung hutang seumur hidup saya dan bahkan akan menjadi hutang anak-cucu saya kelak, iya nggak?

Alasan ketiga, saya sedang belajar untuk konsekuen. Kalau saya memaksa-maksa anak-anak saya peserta program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) untuk menuliskan kisah-kisah mereka, rasanya tidak adil kalau saya tidak melakukannya juga. Omdo namanya, begitulah. 

Alasan keempat, ternyata, buku 'Jejak-jejak Penuh Kesan', buku sederhana yang sebenarnya saya siapkan untuk kado pernikahan emas bapak ibu dulu itu, cukup memotivasi beberapa teman untuk menulis buku serupa. Ali Asy'ari, salah satunya. Peserta SM-3T angkatan pertama yang sekarang menempuh PPG di Unesa itu, mengirim SMS-nya ke saya setelah membaca buku kecil itu. 'Ibu, saya ingin punya buku yang seperti buku bergambar perempuan berpayung itu...'. Seorang teman dosen, juga terdorong untuk membukukan kisah-kisahnya setelah membaca buku itu. Juga, meski buku sederhana, namun ada saja teman dan sahabat yang request untuk bisa memilikinya, termasuk pak rektor, Prof. Muchlas Samani (mungkin karena gratis ya...hehe). Oleh sebab itulah, saya ingin menulis buku serupa.

Jadi, meski pun tulisan-tulisan saya itu datar-datar saja, saya akan membukukannya. Saya pikir, saya memerlukan seorang penyunting untuk membantu saya mencermati tulisan-tulisan itu. Setidaknya, dengan memeriksakannya pada seorang penyunting, tulisan-tulisan spontan saya itu akan menjadi lebih rapi. 

Namun, mungkin tidak mudah mendapatkan penyunting yang tertarik untuk menyunting tulisan-tulisan yang biasa-biasa saja seperti itu. Apa nikmatnya menyuting tulisan yang datar-datar saja? Menyadari itu, saya memutuskan untuk menyuntingnya sendiri. Ya penulis, ya penyunting. Bukan karena apa-apa. Saya tidak ingin membebani seseorang yang bersedia menyunting naskah saya hanya karena pertemanan dan persahabatan, bukan karena ketertarikan pada isi naskah itu. Kasihan kan. Bisa tersiksa ntar dia....

Tapi tentu saja, saya masih mengandalkan seorang sahabat saya untuk menghimpun tulisan-tulisan itu. Kalau sudah dihimpun, saya nanti akan menyuntingnya, menambahkan foto-foto, dan mengembalikannya pada sahabat saya itu untuk finalisasi. Layout, sampul, ISBN, dan cetak. Jadilah buku itu. Taratattaaa......

Rencananya, buku itu akan saya beri judul 'Berbagi di Ujung Negeri'. Tapi bisa jadi saya berubah pikiran nanti. Bisa jadi buku itu akan berjudul 'Surat dari MBD', mengambil sebuah judul di salah satu tulisan. Atau...entahlah, judul bisa dipikir nanti. Judul kan hanya bungkus saja. Meski juga sangat menentukan kemenarikan sebuah buku, tapi yang penting isinya dulu disiapkan.

Bulan depan adalah ulang bulan saya (meminjam istilah Prof. Kisyani, karena tahun tidak pernah berulang, yang berulang adalah bulan). Saya berharap buku itu akan menjadi kado untuk ulang bulan saya sendiri (untuk memancing kado-kado yang lain...haha). Saya akan mencetaknya secara terbatas, dengan cetakan yang sederhana saja, bukan yang mewah (menyesuaikan dengan isi buku yang memang hanya terdiri dari tulisan-tulisan yang sederhana). Ya, tentu saja, saya akan menghadiahkannya untuk para kerabat dan sahabat. Juga untuk oleh-oleh ketika saya berkunjung ke suatu tempat, misalnya dalam rangka memenuhi undangan dalam sebuah seminar atau workshop. Buku itu, dan buku kuliner Jawa Timur saya, rasanya cukup mewakili siapa saya.

Ya, insyaallah bulan depan, untuk menandai usia saya yang ke-46, buku itu akan terbit. Itulah kado kecil saya untuk dunia literasi. Semoga berterima dan bermanfaat.

Selamat menikmati hari Minggu, kawan...

Surabaya, 8 September 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 30 Juni 2013

Gairah Hidup Prof. Djodjok Soepardjo

Pagi ini, saat sedang berdiri di barisan prosesi Senat Unesa, bersiap-siap untuk memasuki ruang wisuda, Prof. Djodjok Soepardjo, mengulurkan sebuah buku ke arah saya. 'Mau dibaca sekarang?' Tanyanya. Saya spontan mengangguk. Menerima buku mungil itu dan berucap terimakasih.

Buku itu berjudul Gairah Hidup. Buku mungil setebal 243 halaman. Diterbitkan oleh Penerbit Bintang Surabaya. Buku yang terbagi dalam 5 bab: Kita Harus Berpegang pada Apa atau Siapa?; Suara Hati Nurani dan Keberanian; Kewajiban Saling Mencintai; Hidup itu Perjuangan; dan Memahami Arti Kehidupan.

Buku ini, meski mungil, begitu kaya hikmah. Sepanjang membacanya, saya sambil membayangkan profil penulisnya. Prof. Djodjok yang tampan, berkulit bersih, ramah, hangat, humoris, kadang-kadang terkesan 'slengekan', ternyata menyimpan ribuan amunisi di dalam jiwa dan pikirannya.

Buku mungil ini mempresentasikan bagaimana dia menyikapi hidup dan kehidupan. 'Adakah yang lebih penting dalam hidup ini selain dari 'kehidupan?' Begitu tanyanya di awal tulisan. Kemudian untaian kalimat demi kalimat indahnya mengalir. Mulai dari hal yang sederhana tapi rumit: bagaimana mengatasi semburan tsunami hawa nafsu (hal 3-8). Di banyak bagian, Djodjok mengutip hadist dan ayat-ayat dalam Al-Quran. Namun dia juga melengkapinya dengan berbagai referensi, misalnya buku karangan Richard Lloyd Parry (2008) yang berjudul Zaman Edan, juga banyak referensi yang lain. Khas akademisi yang religius.

Sebagai guru besar bidang Linguistik (Jepang), serta cukup lama memperoleh pendidikan di Jepang baik dengan beasiswa dari The Japan Foundation dan Mombukagakusho, Djodjok banyak memberikan warna Jepang dalam tulisannya, terlihat dari referensi dan juga isi tulisan. Belajar dari Mushashi dalam menetapkan tujuan hidup, merupakan salah satu yang dia rekomendasikan. Menurutnya, contoh yang ditunjukkan Miyamoto Mushashi dalam kegiatan latihannya sebelum mencapai usia tiga belas tahun adalah salah satu cerita yang paling luar biasa dalam sejarah kelas samurai terkenal Jepang. Dia katakan, kisah tersebut masih sangat pantas ditiru sekali pun oleh orang-orang yang hidup di dunia modern sekarang ini (hal 49).

Djojok juga menyelipkan beberapa tulisan terkat dengan pemahaman lintas budaya, dua di antaranya adalah: 'Jangan Berhenti Belajar' dan 'Hari Ini Lebih Baik dari Hari Kemarin'. 

Pada tulisan pertama, Djodjok menyajikan 'malu' sebagai salah satu kekuatan budaya yang dimiliki bangsa Jepang. Sebuah konsep yang sering dikontraskan dengan budaya bangsa Amerika yaitu 'merasa bersalah' atau 'merasa berdosa'. Menurutnya, semua konsep tersebut dengan mudah dapat disembunyikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tetapi, rasa takut atau malu, bagi bangsa Jepang, lebih dari apa pun.

Bangsa Jepang secara konstan selalu menuju jalan 'hanseikai' atau instropeksi diri sebagai upaya belajar dari kesalahan mereka. Semua itu dilakukan untuk menghindari rasa malu yang merupakan intisari obsesi orang Jepang yang terdapat dalam konsep 'kaizen' (perbaikan terus-menerus). Kaizen akan diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan bangsa Jepang (hal 36).

Buku ini, seperti yang saya katakan, begitu kaya hikmah. Sangat layak dibaca. Buah pikiran yang ditulis 'ketika gelembung di aliran sungai meletup', begitu kata penulisnya; untuk menunjukkan kalau buku ini tidak ditulis secara terus-menerus. Meski begitu, sebagai buku keempat (setelah Jepang Masa Kini/1999, Frendly/2005, Linguistik Jepang/2013), sosok Djodjok bisa menjadi pemicu untuk terus menggelorakan semangat literasi. 


GOR Kampus Unesa Lidah Wetan, 30 Juni 2013.

Wassalam,
LN

Rabu, 15 Mei 2013

Menulis Puisi (Inspirasi dari Eko Prast)

Adalah sahabat saya, Eko Prasetyo, penulis, editor, guru, trainer, motivator; betapa saya sangat mengaguminya. Konsistensinya dalam menulis begitu menginspirasi saya. Tak pernah dalam satu hari pun dia lewatkan tanpa satu dua buah tulisan. Entah itu puisi, feature, esai, apa saja. Dia bisa menulis tentang seni, sejarah, musik, olah raga, biografi, politik, sosial, dan sebagainya; seringkali juga tentang pendidikan dan agama. Dan, juga, tentang cinta (pada Jeng Ratih, pada Tuhan, pada bangsa, pada cintanya yang tak kesampaian....haha). 

Ya, di antara kesibukannya sebagai editor Jawa Pos (konon sebentar lagi dia akan 'pensiun dini' dari Jawa Pos, karena ingin hidup 'normal'), dia selalu menyempatkan diri untuk menulis. Dia selalu mengirimkan tulisannya, salah satunya, ke milis keluarga unesa. Karena saya juga tergabung dalam milis itu, maka setiap hari saya menemukan tulisannya. Setiap hari juga saya sempatkan membacanya. 

Eko Prast, begitu dia menyebut dirinya, atau Must Prast (ini juga dia sendiri yang menyebutnya), mengangkat hal-hal yang seringkali begitu sederhana menjadi sebuah tulisan yang begitu bermakna dan penuh hikmah. Dia bisa saja menyeret sebuah peristiwa dan situasi--yang orang lain mungkin menganggap itu hal biasa--ke mana pun yang dia mau. Misalnya, ketika melihat kekompakan anggota himapala Unesa, dia menyeretnya ke kisah perjuangan Raden Mas Said dalam memerangi VOC. Atau menghubungkan sebuah puisi sederhana berjudul 'Gerimis' dengan lagu-lagu Elton John. 

Hebatnya, ide-ide yang berat bisa ditulisnya dengan begitu ringan dan menyenangkan, misalnya ketika dia menulis tentang sejarah dan kisah-kisah perjuangan para pahlawan atau tokoh-tokoh dari dalam maupun luar negeri. Hebatnya lagi, dia hampir selalu bisa menyelipkan kekonyolan yang menggelikan dalam tulisannya. Ya, Eko Prast memang sangat humoris. Humornya segar dan cerdas.
  
Seingat saya, saya beberapa kali dimintanya untuk memberikan endorsement pada beberapa buku kumpulan tulisannya dan juga kumpulan puisinya. Setidaknya ada 'Kota Santri', 'Golden Generation', dan 'Rumah Kartu' yang saya pernah membuat endorsement-nya. Tulisan-tulisan ringan tapi berbobot, ringan tapi perlu, yang dihimpunnya, dan kemudian jadi sebuah buku.  
  
Sepertinya, anak muda yang tampan itu (dia selalu percaya diri kalau dia ngganteng meskipun mengakui kalau dekil), tak peduli apakah tulisannya dibaca atau tidak oleh anggota milis. Yang penting bagi dia adalah menulis dan menulis. Bahkan salah satu kata mutiara yang selalu dituliskannya pada setiap postingan adalah “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” (Milan Kundera).

Konsistensinya dalam menulis itulah yang menginspirasi saya. Sayang sekali, saya bukan termasuk orang yang rajin menulis. Apalagi kalau sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas di kampus atau kegiatan di tempat lain, lantas pulang ke rumah dengan setumpuk kelelahan, maka pulas adalah pilihan yang paling pas. Boro-boro nulis....hehe.

Nah, akhir-akhir ini saya lebih sering menulis puisi. Puisi yang singkat, sederhana, tidak rumit. Menulis puisi tidak memerlukan waktu yang panjang seperti bila menulis feature. Namun tetap saja, sebuah puisi mampu mengabadikan setiap momen. Momen-momen yang sayang kalau dilewatkan begitu saja. Namun karena tidak cukup punya waktu untuk menulis panjang, jadilah puisi-puisi itu yang mewakili.

Saya masih ingat, momen seperti apa ketika saya menulis 'Purnama'. Senja hari pulang dari kampus PPG di Lidah, saya mengemudikan mobil. Matahari ada di ufuk barat, di belakang saya, siap tenggelam. Bulan ada di ufuk timur, di depan saya, bulat penuh tapi pucat. Saya lelah. Jalan macet. Saya bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa yang saya cari dalam hidup ini? 'Mulih kok bengi-bengi?' 

Saya juga masih ingat bagaimana suasana hati saya ketika membuat 'Gerimis'. Sore itu, sebuah sms mengabarkan kalau bapak kontrakan (kami mengontrak satu rumah besar untuk para peserta SM-3T), meninggal. Belum lagi menindaklanjuti berita itu, sebuah telepon mengabarkan kalau dua peserta PPG kecelakan dan luka parah. Belum lagi menindaklanjuti kabar itu juga, sebuah email di BB saya mengabarkan, para peserta SM-3T malam itu mogok makan. Tentu saja sebelumnya sudah begitu banyak masalah dan malam itu seperti mencapai puncaknya. Ingin menumpahkan sepuas-puasnya dalam bentuk tulisan, namun situasi dan kondisinya benar-benar tidak memungkinkan. Maka dari pada kehilangan momen, cukuplah dengan sebuah puisi. Cuaca kebetulan juga sangat mendukung suasana batin saya. Saya melaju ke rumah sakit menjelang tengah malam, menerobos gerimis. Esoknya, gerimis terus berlanjut, pada saat hati saya dan kawan-kawan Tim PPG merasa sangat terluka dengan ulah para peserta PPG. Pada saat yang sama, bapak kontrakan dimakamkan. 

Seorang peserta SM-3T yang bertugas di Tepa, Pulau Babar, namanya Noval, seringkali mengirimkan puisinya melalui sms. Puisi tentang apa saja yang dia rasakan dalam menjalani masa-masa pengabdiannya. Saya katakan kepadanya, bahwa 'ada orang yang suka memotret dengan kamera, ada yang suka memotret dengan tulisan, maka memotretlah kamu dengan puisi-puisimu'.

Puisi ternyata manjur juga untuk mengabadikan setiap momen dalam hidup kita. 

Terimakasih, mas Eko, sudah menginspirasi saya.... 
'Biar dekil yang penting ganteng'.

Celumud pugi...
Cemungud ea...

Wassalam,
LN

Surabaya, 16 Mei 2013
(Menjelang 'angkat kaki' dari RSI)

Minggu, 05 Mei 2013

Dzikir Kuliner

Waktu masih menunjukkan pukul 08.15 ketika saya tiba di Bandara Ahmad Yani Semarang. Cetak tiket, check in, boarding pass, beres. Langsung masuk ke ruang tunggu. Sriwijaya Air yang akan membawa saya ke Surabaya dijadwalkan terbang pukul 09.35. Masih banyak waktu untuk melakukan sesuatu sebelum boarding time.

Saya pun menggeser tas koper saya ke dekat mas Ali Sidik, staf Puskom Unesa yang sejak kemarin menemani saya mengikuti Rapat Koordinasi SM-3T di Hotel Patra Jasa. Memastikan dia menjaga barang  saya itu. Saya pamit jalan-jalan, 'nglemeske sikil.' 

Tentu saja saya hanya jalan-jalan dari satu konter ke konter lain yang berderet di sepanjang sisi kanan-kiri ruang tunggu. Tak bermaksud membeli sesuatu pun, sekedar window shopping. Tapi ketika masuk ke sebuah toko buku, saya menghabiskan waktu membaca-baca. Memilih-milih. Ada beberapa yang cukup menarik perhatian dan menarik hati saya untuk membelinya. Namun saya bertahan untuk sekedar membaca ringkasan di cover belakang buku-buku tersebut. Belasan buku yang saya beli beberapa waktu yang lalu masih terbungkus rapi dalam sampul plastiknya. Saya tidak mau menambah tumpukan buku-buku baru itu. Menumpuk buku baru yang belum dibaca seperti menumpuk hutang saja.

Tapi sebuah buku berjudul 'Dzikir Kuliner' tak mampu membuat hati saya menolak. Saya sudah bisa meraba seperti apa isinya dari membaca ringkasannya di cover belakang. Tapi saya belum puas. Lagi pula, semua yang berbau kuliner memang harus saya minati. Apalagi dengan embel-embel 'dzikir'. Ini pasti menarik. Sama menariknya dengan rahasia konsep Kurikulum 2013 yang muncul dari sebuah 'dzikir' saat Pak Nuh menunaikan umroh pada tahun 2006. Haha....

Makan adalah dzikir. Begitulah kata Tauhid Nur Azhar (TNA), penulis buku itu, dalam prakatanya. Pertanyaannya, bagaimana kita mengingat Allah SWT lewat proses makan? 

Menurut TNA, jawabannya memang bukan hanya pada gurihnya tengkleng di depan Pasar Klewer ataupun mak nyussnya coto makasar pelabuhan 45, tetapi justeru melekat pada proses makan dan makanannya. Setiap unsur sampai elemen subatomik dalam makanan semuanya bertasbih. Mereka berthawaf dan membentuk orbital atom, membangun medan elektromagnetik, mengadakan perjanjian perikatan van der Walls atau hidrogen. Mereka kaffah memerankan diri sebagai pemenuh kebutuhan yang harus memenuhi persyaratan. Acap kali tubuh meminta zat berpolaritas tertentu, acap kali pula ia meminta hanya ion-ion kecil untuk menjaga tekanan osmotik agar tetap kharismatik. 

Di balik semua kebutuhan serta pemenuhannya yang dapat berjalan dengan cantik, sungguh tersimpan tanda-tanda keajaiban-Nya yang begitu nyata. Jadi, rujak cingur, tahu campur, beberuk terung, pallu basa, kaledo, cakalang fufu sampai ayam bengawan solo adalah serangkaian komposisi sonata kerinduan makhluk terhadap Sang Komposer Agungnya! (hal. VIII).

Saya menahan diri untuk langsung membaca isi buku yang pasti sangat menarik ini. Saya ingin tahu siapa sebenarnya penulis buku yang dicetak pada Mei 2012 ini. TNA yang kelahiran Bandung pada 1970 ini ternyata lulusan S1 Kedokteran Undip dan S2 Kedokteran UI. Ia juga sempat terdampar di Fakulti Perubatan Universiti Kebangsaan Malaysia dan di Health Science Technology Harvard-MIT, AS. Dia juga aktif sebagai peneliti, penulis, sutradara, penulis naskah drama, menjadi konsultan tesis dan disertasi khususnya bidang biomedis dan biomolekuler. Karena kepakarannya, dia pun menjadi salah satu konsultan dan tim ahli PT Telkom, PT KAI, PT Angkasa Pura, PT Unilever dan banyak instansi yang lain. Dia telah menulis lebih dari dua puluh buku yang terbit sejak 2007. Dan banyak lagi pengalamannya, yang pasti akan terlalu panjang bila saya tuliskan semua di sini.

Pantas, tulisannya tentang makanan dan bagaimana makan itu sesungguhnya adalah suatu proses dzikir begitu memukau. Lengkap ditinjau dari berbagai sudut pandang. 

Dia berbicara tentang manajemen makan sebagai suatu seni (art) pengelolaan diri yang dinamis, sebagaimana seni pemenuhan kebutuhan primer manusia lainnya. 

Dia juga meninjau proses makan sebagai proses biologis.  Rasa lapar sebagai suatu sinyal melibatkan banyak unsur biologis di dalam sistem tubuh dengan mekanisme yang sangat rumit. Sinyal awal berasal dari impuls molekuler yang secara kumulatif akan memberikan pertanda atau gejala awal. Misalnya, menurunnya kadar gula di dalam darah atau hipoglekemi.
Dst dst...... Dikatakan bahwa fenomena biologis ini akan berintegrasi dengan fungsi luhur analitik dan bermanifestasi pada 'cara mendapatkan makanan'.

Pada titik ini, konsep 'makan-memakan' menjadi sangat krusial dan bergeser menuju ranah filosofis. Konsep halal dan haram berkembang bukan hanya terfokus pada substansi bahan makanannya, melainkan juga menambah kawasan 'bagaimana cara memperolehnya?' Dijelaskan di sini, bahwa makanan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak halal akan memberikan pengaruh pada pribadi anak setelah mereka dewasa, dan bahkan akan mempengaruhi kualitas sebuah keluarga, dunia sampai akhiratnya. 

Terkuaklah makna doa sebelum makan, yang memiliki arti tidak sekedar mengharapkan berkah dari makanan yang tersedia, tetapi juga permohonan agar terhindar dari azab neraka. Doa makan merupakan proses stelirilasi dan pengeliminasian unsur-unsur dosa (haram) dalam sebuah makanan.

Pada saat bahan makanan yang halal dan thayib telah didapatkan, berkembang pula suatu proses pelatihan diri yang tidak kalah menariknya. Pada tahap ini, kita dihadapkan pada permasalahan pengelolaan dan pengendalian hawa nafsu. Kita harus secara jernih dan mandiri mengukur tingkat kebutuhan dan kepatutan, baik dari aspek metabolisme maupun finansial.

Penjabaran sunnah Rasulullah SAW, 'berhentilah makan sebelum kenyang' mengharuskan kita untuk menemukan ambang batas yang tidak mengganggu kesetimbangan kecerdasan intgeratif. Kegiatan tersebut harus selalu direvitalisasi setiap hari, mengingat kita juga makan setiap hari. Proses revitalisasi itu juga harus mengakomodasi setiap perubahan yang secara dinamik pasti terjadi setiap waktu (sunnatullah di ranah waktu yang relatif). 

Seandainya konsep filosofis dari ritual makan-memakan ini bisa kita pahami, prosesi makan sesungguhnya merupakan bentuk ibadah ghairu mahdhah yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas keimanan.

Dalam buku ini, TNA menyajikan tulisannya dalam tema-tema: Cita Rasa Kuliner Laut, Cita Rasa Kuliner Darat, Kuliner dari berbagai Penjuru, dan Refleksi Kuliner. Dalam setiap tema itu dia mendeskripsikan tempat-tempat makan favorit di banyak tempat baik di dalam maupun di luar negeri, tidak hanya dari kelezatan makananya, kenyamanan tempatnya, eksotisme alamnya, namun juga historis, kandungan gizi, serta hikmah spiritual dan manajerial. Dia menulis dengan gaya feature yang alurnya enak mengalir namun sarat dengan muatan akademis-ilmiah, memukau sejak dari judul sampai pada akhir tulisan. Lihat saja beberapa judulnya: Karamba di Teluk Donggala, Suatu Siang di Bosphorus, Palling dari North Sea, Angkringan Pasar Kembang, Merpati tak Pernah Ingkar Janji, Apakah Warung Padang sudah Buka di Bulan, dan judul-judul lain yang sederhana tapi tetap menarik. 

Beberapa kalimat kunci dalam buku ini: Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu (QS al-Baqarah (2):57). Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan (QS al-An'am (6):142). 

Inti dari buku ini adalah: makan adalah ibadah, kelezatannya yang tercecap adalah dzikir.

Dalam penutupnya, TNA mengingatkan kita semua: Maka, Nikmat Tuhan Manakah yang Kau Dustakan?


Semarang, 5 Mei 2013

Wassalam,
LN

Selasa, 25 Desember 2012

Semanggi Suroboyo

Siapa penggemar semanggi? Makanan khas Surabaya yang bahan pokoknya adalah daun semanggi yang direbus, ditaburi sejumput taoge panjang di atasnya, ditutup dengan saus kacang yang dicampur dengan lumatan ketela rambat dan sedikit petis dan cabe, serta disajikan dalam sebuah 'pincuk'? Dua buah krupuk yang lebar-lebar ditumpangkan di atas hidangan tersebut. Krupuk itu tidak hanya sebagai pelengkap semanggi, namun sekaligus juga berfungsi sebagai sendok.
Anda bisa menyendok semanggi itu sesuap demi sesuap menggunakan krupuk itu. Atau bila Anda lebih suka makan dengan sendok yang sebenarnya, tersedia juga sendok plastik untuk Anda.

Bila Anda berjalan-jalan atau bersepeda di Masjid Al-Akbar atau lebih dikenal sebagai Masjid Agung Surabaya di pagi hari, terutama pada hari Sabtu dan Minggu, Anda akan menjumpai para ibu penjual semanggi. Mereka adalah ibu-ibu yang usianya sekitar empat puluhan, semuanya berjilbab, rapi, bersih, bermake-up tipis, ramah dan selalu tersenyum melayani pelanggan. Sebuah keranjang wadah semanggi, taoge, dan sambal ada di depan mereka, juga sekantung plastik besar krupuk puli. Selembar dua lembar tikar digelar di sisinya, dengan sebotol dua botol air bersih yang disediakan untuk mencuci tangan. Beberapa gelas air mineral sebagai pelepas dahaga seusai menikmati sepincuk semanggi.

Sangat berbeda dengan kesan yang ditampilkan oleh para penjual semanggi di masa lalu. Perempuan-perempuan tua, berkebaya dan berkain panjang kusam, keranjang semanggi disunggi di atas kepalanya, dan semanggi dijual dengan berkeliling dari satu kampung ke kampung lain atau dari satu perkantoran ke perkantoran lain. Penampilan mereka yang terkesan kurang bersih jauh dari menarik. Keadaan tersebut membuat semanggi pada saat itu menjadi makanan yang tidak berkelas, bahkan dianggap bisa menurunkan 'gengsi sosial' bagi orang yang mengonsumsinya. 

Ya, seperti itulah nasib semanggi suroboyo dan beberapa jajanan tradisional pada tahun 90-an yang lalu. Data menunjukkan bahwa makanan tradisional amat sulit disandingkan dengan makanan modern, seperti makanan yang dijual di restoran cepat saji atau di waralaba. Kenyataannya memang makanan modern lebih memiliki daya pikat bagi konsumen karena lebih praktis, cepat dalam penyajian dan mengandung 'gengsi' bagi sementara golongan masyarakat. Lebih-lebih dalam pemasarannya, makanan modern ini dibarengi dengan promosi yang sangat meluas dan menggoda, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

Namun sejak beberapa tahun belakangan ini, pamor makanan tradisional mulai terangkat. Banyak restoran yang menyajikan beberapa menu makanan tradisional di antara menu pilihan makanan modern. Pada acara-acara pesta di gedung-gedung, di hotel atau di restoran-restoran besar, hidangan tradisional seperti tahu campur, lontong kikil, soto madura, nasi krawu, dan lain-lain, menjadi hidangan yang disukai. Sejajar dengan berbagai hidangan modern seperti asparagus cream soup, fruit salad, galantine steak, fried chicken dan omelet. Bahkan ada kecenderungan, makanan tradisional yang biasanya disajikan di joglo-joglo itu lebih diserbu para tamu daripada makanan utama yang disajikan di meja-meja prasmanan yang besar dan panjang.

Meningkatnya citra makanan tradisional ini tentu saja tidak lepas dari upaya berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun akademisi. Di kalangan perguruan tinggi, dikenal ada kegiatan rutin yang namanya Widyakarya Nasional Makanan dan Gizi, Seminar Nasional Makanan Tradisional, serta berbagai event lain semacam gelar dan lomba-lomba, yang memberi porsi besar pada pengkajian dan pameran makanan tradisional dengan berbagai aspeknya (misalnya aspek ekonomi, kesehatan dan teknologinya). Pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan juga terus-menerus melakukan sosialisasi peningkatan mutu dan keamanan makanan tradisional melalui pelatihan, seminar, pendampingan, yang sasarannya mulai dari ibu-ibu PKK, petugas ketahanan pangan, serta para praktisi/pengusaha bidang pangan tradisional. Berbagai hasil penelitian makanan tradisional juga banyak dipublikasikan di berbagai jurnal, baik jurnal yang belum terakreditasi, terkreditasi nasional maupun beberapa jurnal internasional.

Kondisi tersebut relevan dengan apa yang dikemukakan Green (1990), bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi konsumsi, yaitu: faktor predisposisi perorangan, faktor dukungan pemerintah dan swasta, dan faktor penguat. Faktor predisposisi perorangan berkaitan dengan kebiasaan, kepercayaan, pengetahuan dan sikap seseorang terhadap makanan tertentu. Faktor dukungan pemerintah dan swasta berhubungan dengan upaya-upaya yang dapat dilakukan sehingga keberadaan makanan tradisional tersedia kapan saja dibutuhkan, terjangkau daya beli, digemari, mudah didapat, modis, penjualnya terampil dan menyenangkan, tempatnya nyaman serta tersedia informasi rujukan. Faktor penguat antara lain meliputi ajakan teman dekat, dukungan orang tua, ajakan orang panutan seperti atasan, guru, petugas kesehatan dan sebagainya yang menganjurkan untuk mengonsumsi makanan tradisional tersebut.

Bicara tentang semanggi, saya bersama seorang rekan dosen pernah melakukan penelitian yang berjudul 'Pola Konsumsi dan Nilai Sosial Makanan Tradisional Semanggi'. Penelitian tersebut kami lakukan pada tahun 2003, didanai dari DIK Unesa. Berdasarkan hasil penelitian, penjual semanggi yang ada di Surabaya hampir seluruhnya berasal dari kecamatan Benowo, khususnya dari desa Kedung, kelurahan Sememi. Bahan dasar berupa daun semanggi mereka peroleh dari para pemasok secara berlangganan. Rata-rata para penjual yang jumlahnya sekitar empat puluh orang itu membeli sebanyak 5-10 takar sehari, dengan harga Rp. 5.000 - Rp. 7.500 per takarnya. Penjual semanggi pada umumnya adalah ibu rumah tangga yang berjualan semanggi sebagai mata pencahariannya. Mereka mengolah semanggi setelah subuh, berangkat pada sekitar pukul 07.00, memasarkannya secara berkeliling dan berpindah-pindah. Mereka juga memanfaatkan angkutan umum untuk memasarkan semanggi. Daerah pemasaran mereka antara lain: Rungkut, Medokan Ayu, Rungkut Wonorejo, Semolowaru, Rungkut Kedungbaruk, dan Penjaringan Sari. Semanggi ini dipasarkan di wilayah perumahan, perkampungan, perkantoran, kampus, dan pasar. Semanggi juga ada yang dijual secara menetap di pusat jajanan, misalnya di Lantai III Jembatan Merah Plaza (JMP). Pada saat itu, harga semanggi berkisar Rp.2.500 - Rp.3.000.

Semanggi sebenarnya cukup disukai oleh berbagai kalangan, baik pria maupun wanita, remaja maupun dewasa, ibu rumah tangga maupun wanita bekerja serta mahasiswa dan pelajar. Bagi penyuka semanggi, mereka bahkan mengonsumsi semanggi 1-2 kali seminggu. Mereka mengonsumsi semanggi sebagai makanan selingan. Namun penampilan hidangan semanggi yang kadang-kadang daunnya tidak lagi hijau namun ada sebagian yang kekuningan, ditambah dengan penampilan penjualnya yang kurang bersih serta perilakunya kurang higienis, membuat hidangan semanggi kurang mendapat tempat di hati masyarakat.

Untunglah pada saat ini, dengan semakin meningkatnya kesadaran para penjual semanggi, dan begitu banyaknya tempat-tempat untuk berjualan semanggi, semanggi semakin dikenal dan ternyata juga disukai oleh masyarakat luas. Harga saat ini yang berkisar Rp. 5.000,- merupakan harga yang sangat rasional. Semanggi yang bergizi tinggi karena kandungan mineral dan vitamin serta seratnya ini sangat layak sebagai salah satu primadona makanan tradisional Jawa Timur.

Mari kita nikmati semanggi suroboyo. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi? Tanpa upaya dari kita, maka makanan tradisional, termasuk semanggi, benar-benar akan menjadi makanan yang klasik, yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang ingin bernostalgia.

Surabaya, 23 Desember 2012

Wassalam,
LN 

Rabu, 19 Desember 2012

Sebotol Air Mineral

Saya memasuki kelas itu. Sebuah kelas di gedung K-10, gedung baru di Pascasarjana Unesa. Sejuk, bersih. Meski di luar gedung, beragam bahan bangunan masih menumpuk, karena memang pembangunan gedung baru Pacasarjana Unesa ini belum selesai. Pasir, batu, semen, kayu-kayu, dan juga alat-alat bangunan. 

Ada dua puluh dua mahasiswa di kelas itu. Mereka sudah duduk rapi di kursinya masing-masing. Kursi yang diatur di sepanjang dinding, membentuk huruf U, dan meja dosen ada di depan mereka. Sebuah LCD gantung sudah dinyalakan, siap digunakan. Dan, seperti biasa, sebotol air mineral di atas meja dosen.

Para mahasiswa ini adalah guru-guru berprestasi, wakil dari berbagai penjuru Indonesia: Sumut, Sumbar, Kalsel, Sulteng, Jatim, Jateng, dan DIY. Mereka diseleksi di tingkat kabupaten, lanjut ke tingkat provinsi, kemudian di tingkat pusat. Mereka didanai dengan beasiswa dari Direktorat Pembinaan SD Kemdikbud untuk menempuh perkuliahan di S2 Manajemen Pendidikan PPs Unesa. Jumlah beasiswa mereka lumayan, 48 juta rupiah setahun, 19,5 juta rupiah di antaranya untuk biaya hidup dan pembelian bahan referensi. Tentu saja beasiswa itu diterimakan dalam bentuk fresh money, masuk ke rekening pribadi mereka masing-masing. 

Sekitar tujuh puluh lima persen dari guru-guru tersebut sudah memiliki sertifikat pendidik. Demi mengikuti program ini, mereka merelakan tunjangan profesi dan tunjangan fungsionalnya. Hanya gaji pokok yang diterima setiap bulan selama mereka bersekolah. Tidak masalah. Kesempatan mengambil program S2 ini adalah peluang emas yang tidak semua guru bisa memperolehnya.

Seorang mahasiswa, Masri namanya, segera bangkit dari duduknya begitu dia melihat saya mengurai charger laptop. Dengan senang hati saya pun menyerahkan charger itu dan membiarkan Masri menancapkannya ke stop kontak. Saya sebenarnya bisa melakukannya sendiri, tentu saja, tapi saya selalu menikmati perhatian-perhatian kecil dari para mahasiswa saya. Perhatian-perhatian kecil sebagai bentuk kepedulian. 
Bukankah 'peduli' merupakan salah satu karakter yang perlu terus dikembangkan?

Siang ini kami akan membahas model-model pembelajaran, melanjutkan materi minggu yang lalu. Dua mahasiswa sudah mempresentasikan model pembelajaran langsung dan model kooperatif minggu kemarin. Saatnya sekarang bicara model yang lain. Elisatra, seorang mahasiswa mantan kepala sekolah, menyampaikan bagaimana memilih strategi pembelajaran. Dilanjutkan rekannya, Anifatul, yang mengemukakan model pembelajaran berbasis masalah dan model berbasis penemuan. Diskusi berjalan lancar. Ada cukup banyak tambahan yang saya berikan. Terutama menyangkut penerapan berbagai model itu di lapangan. 

Seorang mahasiswi yang manis, Eni Priyani, menanyakan bagaimana penerapan model pembelajaran itu bisa diterapkan di SD kelas enam? Sementara mereka harus menuntaskan materi sebelum menempun UN? Cukupkah waktu bagi guru untuk melakukan pembelajaran dengan menerapkan model-model tersebut?

Diskusi berkembang menjadi berlarut-larut karena pertanyaan Eni. Perbedaan pendapat di antara mereka cukup tajam. Saya akhirnya mencoba menjadi penengah. Saya ajak mahasiswa melakukan refleksi diri terkait dengan tugas mereka mengajar siswa kelas enam SD.  Saat para guru di satu sisi harus menuntaskan target pembelajaran, namun di sisi lain harus mempersiapkan siswa-siswa menyambut UN. Maka apa yang dilakukan guru? Latihan soal-soal, drill, dan try out-try out. Mana sempat berpikir tentang model pembelajaran kooperarif, apalagi berbasis masalah dan penemuan? 

Kami mengakhiri perkuliahan sore itu tepat waktu. Saya tidak ingin Prof. Made Pidarta harus menunggu di luar kelas karena saya 'molor'. Wajah-wajah puas para mahasiswa membahagiakan saya. Hari ini mereka telah belajar sesuatu yang mungkin baru, atau sesuatu yang mungkin tidak baru tapi pemahaman mereka tentang sesuatu itu menjadi lebih baik. Saat saya akan mengangkat berkas tugas-tugas yang mereka kumpulkan hari ini, seorang mahasiswa spontan berdiri menghampiri. 'Mari, Ibu, saya bantu'. Katanya simpatik. Saya mengucapkan terimakasih, untuk bantuan itu, untuk perhatian dan keterlibatan penuh mereka selama perkuliahan. Juga, untuk sebotol air mineral yang telah disediakannya untuk saya hari ini.


Surabaya, 8 Desember 2012

Wassalam,
LN

Kamis, 05 April 2012

Sisi Lain UN

Pada berbagai kesempatan, mendikbud memastikan UN tahun ini akan berjalan dengan bersih. Ikrar UN Jujur dan Berprestasi telah didengung-dengungkan setiap saat. Berbagai kecurangan yang mungkin terjadi, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sudah diantisipasi sedemikian rupa. Kelulusan siswa yang dulu hanya ditentukan melulu dari hasil UN, sejak tahun lalu sudah diubah. Nilai rapor juga diperhitungkan.  

Namun begitu, UN tetap saja kontroversial. Perdebatan tentang UN seperti tak ada habisnya. Tetapi seseru apa pun perdebatan itu, toh semua komponen pendidikan tetap mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut UN. Suka atau tidak, faktanya, UN tetap jalan. 

Tulisan ini tak hendak menyoroti UN dari sisi kontroversinya. Tulisan ini akan mencoba menyajikan sisi baik UN, khususnya dari komponen siswa. Sebagaimana sebuah kebijakan, selalu saja ada plus-minusnya. Dan UN, ya, bagi banyak kalangan, mungkin begitu banyak sisi negatifnya daripada positifnya. 

Kita semua mahfum, ketika UN akan dilangsungkan, maka semua komponen pendidikan dengan gegap gempita mempersiapkan segala sesuatunya. Terutama yang berkaitan dengan kesiapan siswanya. Try out beberapa kali untuk meningkatkan keterampilan siswa mengerjakan butir-butir soal. Ya, keterampilan. Sesuatu yang bisa dikuasai dengan banyak latihan. Itu artinya dalam soal-soal UN, mengandung aspek skill. Otomatisasi. Semakin sering siswa mengerjakan soal, semakin terbiasa mereka dengan soal-soal yang sejenis. Maka keterampilan mereka akan meningkat. Tentu saja keterampilan ini diikuti oleh pemahaman mereka yang meningkat, atau sebaliknya, karena pemahaman meningkat, keterampilan mereka meningkat. Dua domain ini, kognitif dan psikomotorik, tidak bisa dipisahkan secara tegas. Adanya peningkatan pemahaman dan keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal-soal ini merupakan salah satu sisi baik UN. 

Butir-butir soal yang dibuat try out adalah soal-soal yang diprediksi mirip-mirip dengan yang akan diujikan dalam UN nanti. Pemanasan menjelang UN ini begitu ditekankan. Try out bisa dilakukan lebih dari tiga kali, dan semua siswa diharuskan untuk belajar. Belajar dan belajar. Kalau perlu menambah jam belajar di luar jadwal yang sudah ditentukan. Kalau perlu mendatangkan guru les di rumah. Maka dihadapkanlah siswa pada situasi yang menegangkan. Situasi yang membuat mereka tertekan. Konsep 'joyful learning' tidak berbekas. Yang ada adalah suka tidak suka, semua harus belajar. Sepanjang waktu adalah belajar, membaca buku-buku, mengerjakan soal-soal latihan. Hidup dalam suasana tertekan itu berlangsung sejak siswa-siswa itu menginjakkan kakinya di kelas enam (untuk tingkat SD), atau di kelas tiga (untuk tingkat SMP dan SMA). Maka siswa-siswa yang mampu melalui masa itu dengan baik, satu keterampilan lagi telah diperolehnya: bekerja dalam kondisi penuh tekanan. Ya. Bukankah pada saat ini, hal itu menjadi persyaratan atau kualifikasi untuk melamar pekerjaan? Work under pressure situation.

Pada sekolah-sekolah tertentu, nuansa keagamaan menjadi jauh lebih kental menjelang UN. Istighotsah diadakan di mana-mana. Yel-yel untuk mengobarkan semangat didengung-dengungkan pada saat memulai dan mengakhiri pelajaran. Juga pada saat-saat tertentu, misalnya ketika upacara, yel-yel itu diteriakkan dengan sepenuh hati. Sekolah mempersiapkan siswa sebagai sepasukan mujahid yang akan melaksanakan jihad.  Sholat dhuhur dan ashar rutin dilakukan secara berjamaah. Sholat dhuha dan sholat hajat bersama juga diadakan. Bahkan, saya pernah mengamati, ada sekolah yang setiap tahun melakukan ziarah ke wali-wali, membaca surat yasin sebanyak-banyaknya, untuk mendapatkan karomahnya para wali. Nilai plusnya, sekolah menjadi lebih religius, guru dan siswa menjadi lebih dekat, dan mental siswa dipompa terus untuk tidak gentar menghadapi UN.  

Ketika pada saatnya kepastian kelulusan diumumkan, maka siswa yang lulus akan sangat bersuka cita. Mereka telah mendapatkan buah dari hasil kerja mereka. Siswa-siswa itu pantas mendapatkannya. Mereka telah belajar keras, menggunakan hampir seluruh waktunya untuk berlatih menyelesaikan soal-soal latihan. Selain itu, mereka juga telah mengisi malam-malamnya dengan sujud, tahajjud, hajat, bahkan sholat tasbih, agar Allah mendengar doa-doa mereka. Satu pelajaran penting yang diperoleh siswa: nothing is free. Untuk mendapatkan sesuatu, seseorang harus bekerja keras. Tidak cukup dengan kerja keras, di atas segalanya, Tuhan yang menentukan. Maka, berihtiar dan berdoa adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam hidup mereka jika ingin mendapatkan kesuksesan. Satu lagi pelajaran berharga dari UN.

Lantas bagaimana dengan siswa-siswa yang tidak lulus? Mereka pasti akan kecewa. Sangat berat kekecewaan mereka. Tapi satu hal, mereka akan menyadari, sebesar apa pun usaha kita untuk meraih sesuatu, kalau Tuhan belum mengizinkan, maka sesuatu itu tidak akan menjadi milik kita. Mereka akan berintrospeksi, mereka akan mengambil hikmah dari kegagalan, dan mereka percaya, Tuhan punya rencana lain yang lebih indah untuk mereka. Siswa-siswa itu menjadi jauh lebih bijak dalam menghadapi kegagalan. Mereka akan lebih teruji jika dalam hidupnya dia harus mengalami kegagalan lagi. Mereka akan meyakini, kegagalan hanyalah sukses yang tertunda. Ya. Satu poin plus lagi untuk UN.

Jadi, seburuk apa pun UN, ternyata dia memiliki banyak sisi positif: siswa akan lebih pintar karena lebih banyak belajar, siswa akan lebih religius, siswa akan memiliki kemampuan bekerja dalam kondisi penuh tekanan, siswa akan menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis, dan siswa akan memiliki jiwa besar dalam menerima kegagalan.

Jadi, daripada terus-menerus memerangi UN, lebih baik kita berdamai saja.......

Jakarta, 5 April 2012

Wassalam,
UN

Selasa, 03 April 2012

KWU, Bercerita, dan Menulis

Salah satu matakuliah yang saya ampu adalah Kewirausahaan. Kami biasa menyebutnya KWU. Pada semester ini, saya mengajar mahasiswa D3 Tata Boga. Ada sebanyak 30 mahasiswa, 6 di antaranya cowok.

Saya mengajar KWU sejak tahun 2000-an, sejak KWU menjadi matakuliah wajib di Unesa, dan sejumlah dosen diberi pelatihan dalam sebuah lokakarya, termasuk mengembangkan bahan perkuliahan bermuatan wirausaha. Saya menikmati mengajar matakuliah ini. Pengalaman saya mengurus usaha katering pribadi maupun katering kampus (sekitar 5 tahunan setelah menyelesaikan S2), dan menjadi penjual kue-kue lebaran bertahun-tahun (bahkan sampai saat ini), merupakan sedikit pengalaman kewirausahaan yang bisa saya bagikan. Namun selalu saya tekankan pada mahasiswa, bahwa kewirausahaan tidaklah identik dengan jualan. Ada banyak hal yang jauh lebih penting daripada sekedar mendapatkan uang. Ketika meninggalkan kelas, maka kelas harus kembali rapi dan bersih. Ketika melihat lampu menyala tidak pada waktunya, maka lampu harus dipadamkan. Ketika melihat sampah berceceran, maka harus berinisiatif untuk membersihkan. Ketika ada teman mempresentasikan sesuatu topik, harus menjadi pendengar yang baik, berani mengemukakan pendapat, dan terlibat sepenuhnya dalam diskusi. Wirausaha juga berarti suka bekerja keras, jujur, peduli, tidak mudah putus asa... Di atas semua itu, berwirausaha juga berarti berorientasi pada keuntungan.

Lebih dari sepuluh tahun saya mengajar KWU. Dengan beragam tipe kelas: ada yang aktif, setengah aktif, dan tidak aktif atau cenderung acuh. Tipe yang terakhir ini seringkali membuat saya harus memutar otak untuk bisa membuat mereka berubah. Memaksa mereka bertanya dalam diskusi. Mengharuskan setiap mahasiswa menjawab atau menanggapi. Memastikan presentasi berjalan baik dan lancar. Menuntun mereka menyusun business plan step by step. Memastikan produk yang akan mereka pasarkan layak dengan harga yang 'rasionable.' Memacu keberanian untuk mencari lokasi usaha, menghadapi kompetitor, menghadapi satpol PP dan 'preman-preman' pasar, menjemput pelanggan, dan siap gagal.

Mahasiswa-mahasiswa yang semester ini saya ajar, kebetulan termasuk tipe yang kurang aktif. Bukan termasuk jenis mahasiswa yang 'self-regulated learner'. Hanya ada dua orang yang aktif dan dua orang yang lumayan aktif dalam setiap diskusi materi. Selebihnya, perlu ekstra energi untuk membuat mereka mau bertanya, menanggapi, menjawab, dan terlibat penuh dalam diskusi.

Dari 16 kali pertemuan, separo untuk teori KWU, separo untuk praktek. Empat kali pertemuan untuk praktek di luar kampus, 3-4 kali pertemuan untuk praktek di dalam kampus, dalam bentuk gelar wirausaha. Praktek di luar kampus mereka laksanakan pada hari Sabtu dan Minggu, dengan mengambil lokasi di pusat-pusat keramaian, seperti Taman Bungkul, Tugu Pahlawan, Taman Mundu, Masjid Al Akbar, dan lain-lain.

Tidak seperti dalam kuliah teori di mana saya mendapatkan banyak kendala dalam mengaktifkan mahasiswa, dalam kegiatan praktek, saya tidak menemui kesulitan yang berarti dalam membimbing mereka. Pada dasarnya, mahasiswa menyukai praktek wirausaha. Mereka mengkonsultasikan jenis produk dengan penuh semangat, menghitung kebutuhan bahan, harga jual, dan sebagainya terkait dengan rencana bisnis mereka, dengan giat. Namun begitu gilirannya kuliah teori, mereka 'habis'. Ya, hanya ada sekitar 3-4 mahasiswa saja yang 'hidup'.

Untuk mengatasi gejala 'melempemnya' mahasiswa ketika kuliah teori, saya mengatur perkuliahan dengan cara berselang-seling antara teori dan praktek. Saya membagi kelas menjadi 6 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 anggota. Setiap selesai praktek, selain membuat laporan praktek, saya meminta setiap kelompok maju di depan kelas, menceritakan serunya kegiatan praktek mereka. Meskipun ketika kuliah teori sebagian besar mereka 'mati suri', namun ketika saya minta mereka untuk menceritakan pengalaman praktek, mereka saling berebut untuk bercerita. Betapa sulitnya mendapatkan tempat untuk memasang meja tempat jualan, bagaimana serunya menghadapi petugas keamanan, betapa asyiknya menawarkan barang dagangan, dan betapa luar biasa lelahnya mempersiapkan dan melakukan semuanya. Meskipun lelah dan capai, nampak sekali mereka menyukai pengalaman berwirausaha di luar kampus tersebut. Berhadapan langsung dengan kompetitor yang sebenarnya, konsumen yang sebenarnya, dan berbagai tantangan lain, yang sebenar-benarnya tantangan. Tidak seperti di kampus, di mana konsumennya adalah mahasiswa teman-teman mereka dan dosen-dosen, yang seringkali 'terpaksa' membeli produk mereka dengan alasan pertemanan atau karena kasihan.

Ya. Sesi berbagi pengalaman wirausaha ternyata menjadi sesi yang menyenangkan bagi mereka. Mereka yang dalam kuliah teori seperti 'hilang nyawa', berubah menjadi sangat bersemangat dan spontan ketika bercerita. Lepas. Penuh semangat. Pada saat seperti itu, saya lantas membawa mereka ke ranah teoretik. Membawa pengalaman-pengalaman mereka kepada teori-teori wirausaha yang relevan, sehingga terjadilah kegiatan eksplorasi pengetahuan, elaborasi, dan konfirmasi, dengan lebih baik.

Selain bercerita, saya juga meminta mereka menuangkan ceritanya itu dalam bentuk tulisan. Tidak seperti ketika mereka membuat makalah untuk presentasi, yang tulisannya sarat dengan 'ketidak jelasan' dan 'ketidak runtutan', tulisan mereka tentang pengalaman berwirausaha begitu spontan dan orisinil. Terasa betul semangatnya, luapan-luapan emosinya, kegalauan dan kecemasan, sekaligus kebanggaannya karena telah berhasil menghadapi berbagai tantangan. Kemampuan menulis, bagi saya, juga merupakan bagian dari wirausaha.

Sepanjang saya mengajar, saya banyak belajar. Mengajar mahasiswa yang pintar, sangat menyenangkan. Seperti mobil dengan power steering, mereka akan bergerak cepat dengan sedikit sentuhan. Mengajar mahasiswa yang kurang pintar, seperti mendaki bukit yang tinggi dan  terjal. Namun betapa nikmatnya jika berhasil mencapai puncak...   

Surabaya, 3 April 2012

Wassalam,
LN

Minggu, 26 Februari 2012

Ketika Sekolah adalah Penting

Adalah Rahmad Syarifuddin, salah satu mahasiswa saya di Prodi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK). Baru sekitar seminggu yang lalu dia menemui saya di ruang saya di Program Pascasarjana (PPs). Tujuannya adalah meminta ujian susulan. Tentu saja dia sudah menghubungi saya sebelumnya melalui telepon. Anak MA (Madura Asli) itu sopan sekali. Attitude-nya sangat bagus. 

Ini adalah ujian yang kelima yang ditempuhnya. Sendirian. Semua temannya sudah selesai menempuhnya. Bahkan perkuliahan semester ini sudah berakhir sejak dua minggu yang lalu. 

Pada matakuliah Teori Belajar, saya memberi 5 kali ujian, untuk teori belajar perilaku dan sosial, teori belajar kognitif, teori belajar konstruktivis, pemotivasian belajar, dan strategi-strategi belajar. Setiap satu topik selesai dibahas (biasanya memerlukan waktu dua atau tiga kali pertemuan), pertemuan berikutnya adalah ujian. Soal ujian terdiri dari dua bentuk, multiple choice dan essay. Soal jenis pertama harus dikerjakan tanpa membuka buku, soal jenis kedua boleh membuka buku dan internet, yang penting harus dikerjakan sendiri. Selain ujian, untuk setiap topik, mereka harus membuat ringkasan dalam bentuk power point, dengan ketentuan tertentu (saya membuat rubrik penilaian power point untuk digunakan sebagai pedoman). Pada power point itu juga, mereka harus memunculkan dua pertanyaan yang berbobot terkait dengan topik yang diringkas (penerapan strategi membuat ringkasan, bertanya, dan metakognitif). Pola ini mungkin cukup berat bagi sebagian besar mahasiswa, namun karena dari pengalaman selama ini pola tersebut memberikan banyak manfaat dalam hal meningkatkan motivasi, pemahaman, dan kemajuan belajar mahasiswa, maka pola yang saya adopsi dari Prof. Nur ini masih saya pertahankan.  

Kembali ke Rahmad Syarifudin. Anak muda itu baru mengikuti satu kali pertemuan di awal perkuliahan, ketika sebuah kecelakaan lalu lintas menimpanya pada awal semester yang lalu. Sepulang dari mengajar, sepeda motor yang dikendarainya terserempet mobil, dan dia terjatuh dengan luka kaki yang sangat parah. Ya, kakinya patah. Maka tidak ada pilihan, dia harus dioperasi untuk memulihkan kakinya, dan menjalani perawatan yang cukup lama. Ibunya menelepon saya dari rumah sakit, memintakan izin anaknya untuk sedikitnya tiga bulan (sesuai kata dokter) tidak mengikuti kuliah. Tiga bulan. Artinya lebih dari 50 persen dia akan absen. Maka ketika ibunya bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, apakah Rahmad masih boleh meneruskan kuliahnya, saya jawab, 'ya, tentu saja boleh'. Beliau bertanya lagi, 'tapi kalau absen selama tiga bulan, apakah dia bisa lulus untuk matakuliah yang ditempuhnya di semester ini?' Saya sejenak bingung, namun secepat mungkin saya jawab, 'Ibu, apa pun konsekuensinya, Rahmad harus sehat dulu kan? Insyaallah Allah akan mengatur semuanya dengan sangat baik. Yang penting sekarang fokus pada kesehatan Rahmad dulu.'

Sekitar sebulan setelah itu, Rahmad menelepon saya kalau dia sedang berada di Surabaya. Dia ingin menemui saya setelah kontrol di RS PHC. Karena kebetulan saya sedang ada tugas di luar kota, maka saya katakan, mungkin sebaiknya dia langsung pulang saja ke Madura, toh dia masih dalam keadaan sakit, dan tidak boleh terlalu banyak bergerak. Namun ternyata besoknya, ketika saya bertemu dengan Prof. Fabiola, dosen pengajar matakuliah Bahasa Inggis di Prodi S2 PTK, beliau bercerita kalau kemarin Rahmad menemui beliau. Nampak sekali Prof. Fabiola begitu terkesan pada anak itu. Dengan diantar ibunya, berjalan dibantu kruk, Rahmad berusaha menemui dosennya satu per satu untuk meminta izin tidak mengikuti kuliah selama kondisinya belum memungkinkan; padahal sebenarnya dia sudah meminta izin melalui telepon. 

Sekitar dua minggu setelah itu, Rahmad menelepon lagi, dan mengatakan bahwa dia ingin menemui saya. Dia katakan, dia habis kontrol di RS PHC, dan saat ini sedang meluncur ke kampus. 

Akhirnya, muncullah anak itu di hadapan saya. Berjalan tertatih-tatih dengan dua kruk menyangga tubuhnya, dengan wajah yang meringis menahan sakit. Ibunya mendampinginya dengan penuh kesabaran. Mereka diantar pamannya dari Madura dengan mobil pick-up. Ibunya adalah seorang guru SD. Rahmad merupakan anak satu-satunya, dan bapak Rahmad sudah lama meninggal. Karena begitu kuatnya keinginan Rahmad untuk sekolah, ibunya memberanikan diri mengambil pinjaman dari bank, sejumlah 10 juta. Uang itu sudah digunakan untuk membayar SPP semester pertama, dan saat ini yang 5 juta, cadangan untuk SPP semester kedua, masih tetap di tabungan. Bahkan meskipun beliau memerlukan banyak dana untuk pengobatan Rahmad, beliau memilih meminjam dari koperasi sekolah dan dari teman-temannya yang lain; dan tidak mengutak-atik uang sekolah Rahmad. Juga ketika rumahnya rata dengan tanah karena diterjang angin puting beliung, beliau tetap bertahan untuk tidak menggunakan uang sekolah itu; namun meminjam dari sanak-saudaranya untuk memperbaiki rumahnya. Perempuan sederhana itu menceritakan semuanya dengan sangat tegar, dengan tutur katanya yang lancar, tidak ada nada mengeluh, bahkan berkali-kali justru rasa syukur yang meluncur dari bibirnya, karena meskipun cobaan beruntun menderanya, Allah tetap melindunginya dan anaknya,  dan selalu memberikan jalan keluar bagi setiap kesulitannya.

Rahmad mengatakan, kalau kondisinya sudah memungkinkan, dia akan mengumpulkan semua tugas dan akan menempuh semua ujian untuk mata kuliah saya. Dia juga akan lakukan hal yang sama untuk matakuliah lain. Dia tanyakan apa itu bisa. Saya katakan, bahwa saya belum bisa memastikan saat ini. Bahwa jumlah kehadiran mempengaruhi nilai partisipasi kelas. Karena saya kaprodi S2 PTK, saya berjanji, saya akan menghubungi semua dosen pengajar, meminta kesediaan beliau semua untuk melayani Rahmad dengan memberinya kesempatan untuk mengumpulkan tugas dan menempuh ujian. Setidaknya, meskipun nilainya tidak bisa optimal, karena nilai partisipasinya pasti sangat rendah, namun setidaknya, yang penting dia bisa lulus, bahkan dengan nilai minimal sekali pun (tentu saja kalau dia dinilai pantas lulus;  saya tidak akan melakukan intervensi pada dosen yang bersangkutan, karena itu menyangkut kewenangan dosen). Saya juga katakan pada Rahmad, saya harus konsultasikan kebijakan ini pada Prof. Muslimin, Asdir I PPs.

Besoknya, ketika saya menelepon semua dosen, jawaban beliau-beliau melegakan saya. 'Oke, bu Lutfi, no problem'. Kata Prof. Fabiola. 'Siap, Prof.' Jawaban Prof. Munoto. Jawaban dosen-dosen yang lain pun bernada sama. Prof. Muslimin, Asdir I, juga menyerahkan pada kebijakan saya sebagai Kaprodi, dan kesepakatan dosen-dosen pengajar. Saya benar-benar lega. 

Saya sampaikan kabar yang melegakan itu kepada Rahmad. Dia nampak senang sekali, dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Dia berjanji akan segera mengikuti kuliah bila kondisinya sudah memungkinkan, dan akan sebisa mungkin mengejar ketertinggalannya.

Tiga kali pertemuan sebelum perkuliahan semester ini berakhir, Rahmad tiba-tiba muncul di kelas. Masih mengenakan kruk, tapi tinggal satu. Saya tanyakan ke dia, apakah kondisinya sudah memungkinkan untuk ikut kuliah. Dia jawab, 'insyaallah, ibu. Yaa....dipaksa-paksa sedikit, ibu, sekalian latihan jalan.' Sejak itu, dia mulai mengumpulkan tugasnya satu demi satu, menempuh lima kali ujiannya setahap demi setahap; dan itu dilakukannya juga untuk matakuliah yang lain. Setiap kali saya ketemu dosen pengampu matakuliah, hampir semuanya mengemukakan kekagumannya pada Rahmad. Pada daya juangnya dan motivasi belajarnya yang luar biasa. Pada kehalusan budi pekerti dan kesantunannya. Hampir setiap hari selama minggu-minggu terakhir perkuliahannya itu, dia menyetorkan tugas-tugas, menempuh ujian, dan mengikuti kuliah demi kuliah. Di dalam setiap perkuliahan, dia berusaha untuk sepenuhnya terlibat, bertanya, menanggapi, menunjukkan kesungguhannya untuk mengejar ketertinggalannya dalam nilai partisipasi kelas.

Sebagai seorang dosen yang sudah puluhan tahun bertugas, saya sering dibuat terharu dengan kegigihan beberapa mahasiswa saya. Beberapa dari mereka ke kampus sambil membawakan nasi bungkus untuk teman-temannya, tentu saja teman-temannya itu harus membelinya. Atau membawa goreng-gorengan (tahu, tempe, pisang, dll). Ada juga yang harus membagi waktu sedemikian rupa karena dia bekerja sebagai tenaga casual di sebuah hotel, sehingga kadang-kadang di kelas dia terkantuk-kantuk kelelahan. Saat ini ada sekelompok mahasiswa bimbingan saya berwirausaha dengan menjual berbagai makanan di kampus, dan mereka seringkali berlari-lari untuk mengejar perkuliahan yang akan segera dimulai. Namun begitu, mereka menjalani aktivitas kuliahnya dengan sangat baik,  tugas selalu tepat waktu, UTS- UAS tidak ketinggalan, dan aktif di kelas.

Sebagian besar mahasiswa S2 saya adalah guru dan sebagian lagi dosen, yang tetap harus mengajar di antara waktu-waktu kuliahnya. Seorang mahasiswa saya, Abdul Fatah, guru SMA di Lamongan, setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, 'nglajo' dengan vespanya. Seorang lagi, dosen Unmuh Madiun, 'ngebus'. Beberapa yang lain, bersepeda motor PP Pamekasan-Surabaya, Mojokerto-Surabaya, dan Jombang-Surabaya. Spirit mereka, ya spirit itu,  begitu bisa saya rasakan. Spirit untuk menuntut ilmu, apa pun motivasinya. Padahal, kalau mereka sekedar ingin dapat ijazah S2, mereka bisa mendapatkannya dengan jauh lebih mudah dari banyak perguruan tinggi swasta yang menawarinya. Tidak harus bersusah-payah dengan menjadi mahasiswa reguler dengan segala macam aturan dan beban kuliahnya.

Semua itu dikarenakan, bagi mereka, sekolah adalah penting. Mungkin ada banyak hal juga yang sebenarnya bagi mereka tidak sesuai dengan keinginan. Dosen yang terlalu banyak memberi tugas, dosen yang seringkali mengubah-ubah jadwal semaunya, dosen yang sangat pelit nilai, bahkan dosen yang membosankan ketika mengajar. Tapi mereka semua menjalaninya dengan sangat realistis. Bagaimana pun mereka sudah ada di sini, dan 'do my best', itulah pilihan sikap yang terbaik. Bahkan bagaimana menghadapi kejenuhan yang luar biasa saat dosen mengajar dengan membosankan, perlu kemampuan mengelola emosi dan daya tahan. Bila mereka mampu melewatinya, maka satu tahap telah berhasil dicapainya. Selalu ada hal baik yang bisa dipetik, bahkan dari seorang dosen yang mengajar dengan cara yang paling membosankan sekali pun.... 

Bagi mereka, pendidikan jelas bukan sekedar persekolahan (meminjam istilah Daniel M. Rosyid dalam 'Dunia setelah Sekolah'); dan bagi mereka, belajar juga bukan sekedar untuk lulus ujian.  Pendidikan dan belajar bagi mereka, saya yakin, adalah benar-benar untuk bekal menyongsong masa depan....

Wassalam,
LN