Pages

Rabu, 15 Mei 2013

Menulis Puisi (Inspirasi dari Eko Prast)

Adalah sahabat saya, Eko Prasetyo, penulis, editor, guru, trainer, motivator; betapa saya sangat mengaguminya. Konsistensinya dalam menulis begitu menginspirasi saya. Tak pernah dalam satu hari pun dia lewatkan tanpa satu dua buah tulisan. Entah itu puisi, feature, esai, apa saja. Dia bisa menulis tentang seni, sejarah, musik, olah raga, biografi, politik, sosial, dan sebagainya; seringkali juga tentang pendidikan dan agama. Dan, juga, tentang cinta (pada Jeng Ratih, pada Tuhan, pada bangsa, pada cintanya yang tak kesampaian....haha). 

Ya, di antara kesibukannya sebagai editor Jawa Pos (konon sebentar lagi dia akan 'pensiun dini' dari Jawa Pos, karena ingin hidup 'normal'), dia selalu menyempatkan diri untuk menulis. Dia selalu mengirimkan tulisannya, salah satunya, ke milis keluarga unesa. Karena saya juga tergabung dalam milis itu, maka setiap hari saya menemukan tulisannya. Setiap hari juga saya sempatkan membacanya. 

Eko Prast, begitu dia menyebut dirinya, atau Must Prast (ini juga dia sendiri yang menyebutnya), mengangkat hal-hal yang seringkali begitu sederhana menjadi sebuah tulisan yang begitu bermakna dan penuh hikmah. Dia bisa saja menyeret sebuah peristiwa dan situasi--yang orang lain mungkin menganggap itu hal biasa--ke mana pun yang dia mau. Misalnya, ketika melihat kekompakan anggota himapala Unesa, dia menyeretnya ke kisah perjuangan Raden Mas Said dalam memerangi VOC. Atau menghubungkan sebuah puisi sederhana berjudul 'Gerimis' dengan lagu-lagu Elton John. 

Hebatnya, ide-ide yang berat bisa ditulisnya dengan begitu ringan dan menyenangkan, misalnya ketika dia menulis tentang sejarah dan kisah-kisah perjuangan para pahlawan atau tokoh-tokoh dari dalam maupun luar negeri. Hebatnya lagi, dia hampir selalu bisa menyelipkan kekonyolan yang menggelikan dalam tulisannya. Ya, Eko Prast memang sangat humoris. Humornya segar dan cerdas.
  
Seingat saya, saya beberapa kali dimintanya untuk memberikan endorsement pada beberapa buku kumpulan tulisannya dan juga kumpulan puisinya. Setidaknya ada 'Kota Santri', 'Golden Generation', dan 'Rumah Kartu' yang saya pernah membuat endorsement-nya. Tulisan-tulisan ringan tapi berbobot, ringan tapi perlu, yang dihimpunnya, dan kemudian jadi sebuah buku.  
  
Sepertinya, anak muda yang tampan itu (dia selalu percaya diri kalau dia ngganteng meskipun mengakui kalau dekil), tak peduli apakah tulisannya dibaca atau tidak oleh anggota milis. Yang penting bagi dia adalah menulis dan menulis. Bahkan salah satu kata mutiara yang selalu dituliskannya pada setiap postingan adalah “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” (Milan Kundera).

Konsistensinya dalam menulis itulah yang menginspirasi saya. Sayang sekali, saya bukan termasuk orang yang rajin menulis. Apalagi kalau sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas di kampus atau kegiatan di tempat lain, lantas pulang ke rumah dengan setumpuk kelelahan, maka pulas adalah pilihan yang paling pas. Boro-boro nulis....hehe.

Nah, akhir-akhir ini saya lebih sering menulis puisi. Puisi yang singkat, sederhana, tidak rumit. Menulis puisi tidak memerlukan waktu yang panjang seperti bila menulis feature. Namun tetap saja, sebuah puisi mampu mengabadikan setiap momen. Momen-momen yang sayang kalau dilewatkan begitu saja. Namun karena tidak cukup punya waktu untuk menulis panjang, jadilah puisi-puisi itu yang mewakili.

Saya masih ingat, momen seperti apa ketika saya menulis 'Purnama'. Senja hari pulang dari kampus PPG di Lidah, saya mengemudikan mobil. Matahari ada di ufuk barat, di belakang saya, siap tenggelam. Bulan ada di ufuk timur, di depan saya, bulat penuh tapi pucat. Saya lelah. Jalan macet. Saya bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa yang saya cari dalam hidup ini? 'Mulih kok bengi-bengi?' 

Saya juga masih ingat bagaimana suasana hati saya ketika membuat 'Gerimis'. Sore itu, sebuah sms mengabarkan kalau bapak kontrakan (kami mengontrak satu rumah besar untuk para peserta SM-3T), meninggal. Belum lagi menindaklanjuti berita itu, sebuah telepon mengabarkan kalau dua peserta PPG kecelakan dan luka parah. Belum lagi menindaklanjuti kabar itu juga, sebuah email di BB saya mengabarkan, para peserta SM-3T malam itu mogok makan. Tentu saja sebelumnya sudah begitu banyak masalah dan malam itu seperti mencapai puncaknya. Ingin menumpahkan sepuas-puasnya dalam bentuk tulisan, namun situasi dan kondisinya benar-benar tidak memungkinkan. Maka dari pada kehilangan momen, cukuplah dengan sebuah puisi. Cuaca kebetulan juga sangat mendukung suasana batin saya. Saya melaju ke rumah sakit menjelang tengah malam, menerobos gerimis. Esoknya, gerimis terus berlanjut, pada saat hati saya dan kawan-kawan Tim PPG merasa sangat terluka dengan ulah para peserta PPG. Pada saat yang sama, bapak kontrakan dimakamkan. 

Seorang peserta SM-3T yang bertugas di Tepa, Pulau Babar, namanya Noval, seringkali mengirimkan puisinya melalui sms. Puisi tentang apa saja yang dia rasakan dalam menjalani masa-masa pengabdiannya. Saya katakan kepadanya, bahwa 'ada orang yang suka memotret dengan kamera, ada yang suka memotret dengan tulisan, maka memotretlah kamu dengan puisi-puisimu'.

Puisi ternyata manjur juga untuk mengabadikan setiap momen dalam hidup kita. 

Terimakasih, mas Eko, sudah menginspirasi saya.... 
'Biar dekil yang penting ganteng'.

Celumud pugi...
Cemungud ea...

Wassalam,
LN

Surabaya, 16 Mei 2013
(Menjelang 'angkat kaki' dari RSI)

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...