Pagi ini, di Hotel Patra Jasa Semarang, kami dari 17 LPTK penyelenggara Program SM-3T, berkumpul. Di depan tim SM-3T Dikti, sejak tadi malam kami mempresentasikan laporan pelaksanaan program SM-3T, mulai dari pendaftaran, seleksi, prakondisi, pemberangkatan, serta monitoring dan evaluasi.
Begitu luar biasa pengalaman yang dibagikan di ruang sidang 'Kayangan' di Patra Jasa ini. Mulai dari beratnya medan yang harus ditempuh untuk mencapai lokasi pengabdian, berbagai persoalan dalam bidang pendidikan, dan juga banyaknya persoalan karena perbedaan kultur dan agama.
Koordinator dari Unsyiah menayangkan sebuah gambar seorang peserta SM-3T di Anambas yang dari mata dan hidungnya keluar darah. Gadis dari prodi Pendidikan Bahasa Inggris itu konon terkena ilmu hitam karena dia menolak cinta kepala sekolah. Meski tempat tugasnya sudah dipindahkan jauh dari tempat tugas kepala sekolahnya tersebut, ternyata itu tidak menjadikan dia terbebas dari ancaman mengerikan itu. Minggu ini, koordinator SM-3T Unsyiah akan menjemput gadis malang tersebut agar bisa disembuhkan di tempat yang lebih aman.
Penyakit nonmedis semacam ini ditemukan di mana-mana, termasuk di NTT, Aceh dan Talaud. Nai ular, nai api, swanggi, adalah istilah-istilah yang umum disebut untuk sakit-sakit nonmedis ini.
Di Aceh Singkil, ada beberapa peserta yang terus-menerus diteror oleh perilaku orang yang memiliki kegemaran mengintip, apa pun aktivitas mereka. Kadang-kadang pintu mess mereka juga diketuk-ketuk. Tentu saja hal ini sangat mengganggu, tidak hanya kenyamanan namun juga, terutama, keamanan.
Itu hanya sekelumit kisah yang memprihatinkan dari puluhan atau bahkan ratusan kisah memprihatinkan yang lain. Serangan 'agas', semacam nyamuk, juga menjadi gangguan yang sangat menyiksa. Nyamuk itu kalau sudah menggigit menyebabkan kulit melepuh seperti terbakar, panas dan pedihnya bukan main, serta sembuhnya lama sekali. Beberapa peserta dari UNM harus dipulangkan dan dirawat di rumah sakit di Makasar karena luka gigitan agas itu menyebabkan infeksi yang berkepanjangan. Beberapa dari mereka kabarnya harus dioperasi untuk menyembukan infeksinya.
Saya kira hal ini hanya dialamai oleh anak-anak kami di Maluku Barat Daya (MBD), ternyata di Papua dan Papua Barat juga terjadi. Bahkan bisa dikatakan, di tempat-tempat itu, nyaris tak seorang pun yang bisa terbebas dari serangan agas.
Keterbatasan air bersih juga menjadi kendala yang cukup berat. Banyak lokasi yang sulit air. Kalau pun ada air, air itu payau. Sudah begitu, yang memanfaatkan tidak hanya manusia, tetapi juga binatang: babi, anjing, kambing, sapi.... Untuk berwudhu mereka lebih banyak bertayamum, dan, ini yang sangat memperihatinkan, mereka tidak pernah lagi menunaikan sholat jumat. Tidak ada masjid, apa lagi jamaahnya....
Beberapa peserta sempat protes begitu dia tahu tempat tugasnya. Bagaimana mungkin Dikti dan LPTK menugaskan mereka di tempat seperti itu? Untuk mencapainya saja harus penuh perjuangan, lewat udara, laut, darat, menyeberang sungai yang arusnya deras, berbukit-bukit, terisolir, tidak ada sinyal, tidak ada listrik, air susah. Belum lagi kondisi keamanan di daerah-daerah perbatasan dan daerah-daerah yang rentan konflik, betapa kompleksnya persoalan yang harus mereka hadapi.
Berbagai persoalan dalam bidang pendidikan juga tidak ringan. Kadangkala mereka merasa kehabisan akal menghadapi siswa-siswa yang sangat sulit, bukan hanya dalam masalah akademik tapi juga perilaku. Ditambah dengan etos kerja yang rendah dari kepala sekolah dan guru. Dukungan orang tua yang minim, yang lebih mementingkan anak-anak mereka mencari kayu bakar di hutan atau menggembala sapi atau mencari air.
Lambat laun, memang semua tantangan itu bisa diurai satu per satu. Setidaknya, para guru pengabdi itu sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan berbagai kendala. Mandi seminggu sekali adalah biasa, berebut air dengan binatang merupakan lagu wajib, gigitan agas ditunggu saja sampai musim binatang kecil itu berlalu, dan bahkan yang suka diintip pun meyakinkan diri bahwa suatu saat si pengintip itu akan bosan dengan sendirinya....
Ya, memang berat jalan yang harus ditempuh untuk menjadi guru. Hanya mereka yang benar-benar terpanggil sajalah yang akhirnya akan mengejar profesi itu.
Saya sendiri lebih menekankan pada pentingnya memastikan kesiapan peserta sebelum mengirimkan mereka ke tempat tugas. Fisik dan mental harus benar-benar prima. Maka tahap seleksi dan prakondisi harus benar-benar menjadi tahap yang sangat penting.
Kerjasama dengan pemda setempat juga harus optimal. Ada pemda yang terkesan tidak butuh program ini, meski pun sebenarnya kondisi pendidikan dan masyarakatnya sangat membutuhkan bantuan. Sikap pemda yang kurang kooperatif seperti ini berimbas pada tingkat keamanan dan kenyamanan para peserta dalam mengemban tugasnya.
Hal lain yang saya dan teman-teman rekomendasikan adalah pentingnya survei awal ke tempat tugas sebelum pengiriman peserta. Ini penting, karena menyangkut ketepatan wilayah sasaran, pemahaman pada medan, dan juga pendekatan pada pemda setempat.
Di akhir presentasi, saya menayangkan feature SM-3T, baik yang dimuat di Jawa Pos, di Majalah Unesa, dan juga, saya katakan bahwa kisah lebih lengkapnya bisa di-klik di www.ikaunesa.net dan di www.luthfiyah.com. Saya juga membawa beberapa majalah Unesa, yang saya peroleh dari mas Rohman, yang tadi malam sudah saya serahkan ke Dikti beserta laporan SM-3T Unesa, beberapa juga saya bagikan ke teman-teman sesama koordinator.
Mas Rukin, terimakasih sudah menemani kami melakukan monev, terimakasih untuk liputannya, untuk versi pdf-nya juga. Mas Samsul, Mas Fiki, dan juga Mas Rukin sebagai pemred, terimakasih untuk tulisan-tulisan SM-3T yang sudah diunggah di website ikaunesa. Mas Rohman dan tim Humas Unesa, terimakasih untuk majalah Unesanya.
Sukses untuk kita semua.
Patra Jasa Semarang, 4 Mei 2013
Wassalam,
LN
Sabtu, 04 Mei 2013
Presentasi Laporan Pelaksanaan Program SM-3T Angkatan Kedua
Label:
SM-3T 2012
Diposting oleh
Luthfiyah Nurlaela
di
Sabtu, Mei 04, 2013
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...