Pages

Rabu, 08 Mei 2013

PRAS


Laki-laki itu tentu saja sudah banyak berubah. Tubuhnya agak membulat, rambutnya—meski ada topi yang menutupi kepalanya—sepintas kulihat, telah rata memutih. Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan betapa berbagai pengalaman hidup telah dilakoninya. Senyumnya yang mengembang, meskipun terkesan ragu, mengekspresikan kematangannya. Duapuluh tahun. Waktu yang tidak singkat untuk sebuah perpisahan.
 Dia berdiri menyambutku, mengulurkan tangan. Dan entahlah, aku merasakan ada nyeri di dada ketika tangan kami berjabatan.
Kami duduk di sebuah sofa, di lobi hotel itu. Dia—Prasetya—laki-laki itu, duduk di sudut sana dan aku di sudut satunya. Beberapa saat hanya diam. Aku sendiri agak jengah, dan sedang berusaha menguasai keadaan. Sejenak kemudian kami saling bersapa dan menanyakan kabar, berbasa-basi. Tentu tidak terlalu nyaman duduk dengan posisi saling menyamping seperti ini. Di lobi hotel yang lagi ramai lagi. Tapi inilah tempat terbaik yang bisa kami dapatkan. Semua kursi dan sofa penuh. Orang ramai lalu-lalang di depan kami. Belasan temanku bahkan masih belum mendapatkan kamar, dan sedang menunggu untuk check-in.
             Laki-laki itu, adalah masa laluku. Kami memang berjanji untuk saling ketemu sore ini. Tepatnya, aku yang memintanya untuk menemuiku. Setelah sekian kali kuminta, yaitu sejak beberapa bulan kudapatkan nomer ponselnya dari seorang teman. Setiap ada tugas ke Jakarta, aku hampir selalu menghubunginya, setidaknya sekedar say hello. Dan berharap dia berinisiatif untuk menemuiku. Tapi inisiatif itu tak kunjung datang. Selalu saja ada alasan yang dia katakan untuk tidak menemuiku. Setidaknya seperti itulah kesanku. Entah karena dia merasa tidak punya nyali untuk menemuiku…entah karena dia merasa itu tidak penting….
            Sebenarnya aku juga tidak menganggap terlalu penting pertemuan itu. Kalaupun tidak bisa bertemu, yang sudah-sudah, aku juga tidak terlalu kecewa.  Mungkin aku hanya penasaran saja, seperti apa dia kini. Masalah perasaan, rasanya semuanya sudah lewat. Duapuluh tahun yang lalu kami bepisah. Aku memang sempat sakit ketika itu. Lebih-lebih dengan caranya memutuskanku. Tapi semuanya bisa kulalui dengan baik. Meski itu kejadian putus cinta yang pertama dalam hidupku, aku tidak terlalu lama jatuh. Atau setidaknya, aku berusaha untuk tidak berlama-lama. Aku segera bangkit dan melupakan Pras.
            Detik ini dia di hadapanku. Menceriterakan bagaimana perjalanan hidupnya. Mulai dari ketika dia masih sebagai mahasiswa miskin yang kuliah di departemen teater  IKJ.  Bagaimana perjuangannya sebagai anak desa yang hidup di Jakarta yang keras. Masa sulit yang penuh tantangan. Hidup di antara keinginan kuat untuk menjadi seniman dan pesimisme untuk mewujudkan keinginan itu. Tangannya sesekali bergerak-gerak sepanjang ceritanya, mengisyaratkan kesungguhan hati untuk menaklukkan hidup seperti yang diinginkannya. Matanya kadang-kadang menerawang jauh ke depan mengingat-ingat masa-masa sulit yang telah dilaluinya. Wajahnya kadang-kadang mengeras. Suaranya –meskipun tidak keras—tegas dan bersemangat.
            Dan aku menikmati pemandangan di depanku itu. Laki-laki yang —katanya—dulu, pernah mencintaiku. Laki-laki yang membuatku belajar setia, menjaga cinta, tanpa  reserve. Laki-laki yang membuatku merasa berdosa besar saat sedetik saja aku sempat berpaling darinya. Laki-laki yang sepanjang hubungan kami lebih banyak berkeluh-kesah daripada mengumbar rayuan. Laki-laki yang selalu gelisah—yang seringkali tak bisa kupahami kegelisahannya. Kegelisahan yang bagiku terlalu berlebihan. Hidup di matanya seolah begitu sulit. Begitu tidak bersahabat. Sementara dalam falsafah hidupku, “nrimo” adalah kewajiban . Menghayati setiap yang terjadi dengan ikhlas adalah keniscayaan. Berkeluh-kesah adalah wujud dari ketidaksyukuran. Dan selalu kutanyakan padanya, dalam surat-surat balasanku, kenapa selalu mengeluh dan mengeluh. Bukankah semua yang terjadi adalah keinginannya? Bukankah sudah menjadi tekadnya untuk hidup berkesenian? Dan dengan segala konsekuensi atas pilihan itu, bukankah itu sebuah proses yang harus dilaluinya?
            Tapi yang ada di depanku saat ini adalah sosok Prasetya yang lain. Sangat lain. Bukan laki-laki pemalu yang menyerahkan surat cintanya malam-malam di rumah tetangga sebelah, karena tidak berani datang ke rumah. Bukan laki-laki remaja berseragam putih abu-abu yang setia menemaniku menunggu angkutan sepulang sekolah. Bukan laki-laki yang beraninya main ke rumah kalau beramai-ramai. Bukan laki-laki yang suka berkeluh-kesah. Prasetya telah menjadi sosok lain. Gurat-gurat di wajahnya menggambarkan kekuatan hatinya. Kata-katanya yang berjejalan mempresentasikan kekayaan batinnya. Caranya menceriterakan keluarganya—seorang istri dengan enam, ya, enam orang anak—menunjukkan betapa dia menikmati semua itu.
            Istrinya orang Magelang. Dia katakan, semuanya berjalan begitu saja. Lulus dari IKJ—dia kuliah selama tujuh tahun—dia khawatir dengan statusnya, mahasiswa tidak, bekerja tidak, berkeluarga tidak. Maka diputuskannyalah untuk menikah, karena itu yang paling mungkin untuk memperjelas statusnya. Maka dinikahinyalah Siti Handayani, tanpa berlama-lama pacaran, perempuan adik temannya yang sudah agak lama dikenalnya. Lantas mereka hidup sebagai ‘kontraktor’, tinggal di rumah kontrakan selama bertahun-tahun. Menulis skenario, menulis naskah drama, menjadi sutradara, dilakoninya sebagai mata pencahariannya. Sampai akhirnya dia bisa membeli sebuah rumah di pinggiran Jakarta. Pras juga mendirikan teater yang dinamainya ‘Teater Lukisan’, dan puluhan naskah teater telah dihasilkannya. Salah satu naskahnya bahkan menjadi wakil Indonesia dalam Festival Seni Enam Negara. Bersama “Teater Lukisan”-nya, Pras juga telah berhasil meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik, penulis naskah terbaik,  dan grup teater terbaik dalam Festival Teater di Jakarta. Lebih dari seratus naskah skenario telah ditulisnya dan ditayangkan di beberapa stasiun TV seperti RCTI, Lativi, Trans TV dan TPI.  Terakhir, prestasi yang termasuk prestisius, adalah menjadi casting director sebuah film Indonesa yang sangat terkenal. Film yang diangkat dari sebuah novel bernuansa religi.
            Sepanjang ceritanya, sesekali perih menusuk-nusuk hatiku. Heran. Aku sudah membuang Pras jauh-jauh. Menghempaskannya dalam kubangan lumpur masa lalu, berserak dengan semua kenangan tentang dia. Tapi berlama-lama dengannya seperti ini, semuanya seperti berdesak-desakan di dada.  Teringat ketika saat pertama kali dia menyatakan cinta. Teringat ketika aku menerimanya dengan setengah hati karena cinta belum bisa kuhayati sepenuhnya saat itu. Aku baru kelas tiga SMP waktu dia mengatakan, “Iffah, aku cinta kamu”. Dia bukan orang pertama yang menyatakan cinta. Tapi dialah orang pertama yang kuberi harapan. Orang pertama yang membuatku belajar mencintai. Kupupuk terus dengan sepenuh hati. Kujaga rapat-rapat sampai tak tertembus oleh cinta yang lain.
Setahun, dua tahun, tiga tahun, kujalani hubungan jarak jauh itu dengan segunung harapan. Prasetya di Jakarta mengejar impiannya, dan aku di kota kecilku menyelesaikan SMA-ku. Bagiku, Pras sangat luar biasa. Tekadnya untuk hidup di Jakarta sebagai seniman, adalah sebuah cita-cita yang ‘tidak umum’ bagi lingkungan kami pada saat itu. Seorang remaja desa yang cinta mati pada teater dan betekad menjadikan bidang yang sangat tidak jelas jenjang karir dan masa depannya itu sebagai pilihan hidup. Saat sebagian besar teman-temannya pergi tersebar mengejar cita-cita untuk menjadi dokter, insinyur, arsitek, ahli hukum, guru….Pras tanpa bisa dicegah oleh siapapun pergi ke Jakarta untuk menekuni teater. Hanya berbekal tekad membara. Menjadikan seni sebagai hidupnya.
Sepanjang hubungan kami, bertemu bagi kami adalah hal yang sangat langka. Kalaupun bisa bertemu saat Pras pulang kampung, kami sudah terpuaskan hanya dengan ngobrol beramai-ramai dengan teman-teman yang lain. Tidak ada sentuhan, kecuali jabat tangan. Itulah pacaran versi kami. Betul-betul menjaga tetap di koridor. Pergi atau jalan berdua tak pernah sekalipun kami lakukan, selalu beramai-ramai. Ngobrol berdua, hanya bisa kami lakukan mungkin dua-tiga kali, ketika aku sudah kuliah di Malang. Itupun di ruang tamu rumah kos, yang setiap saat teman-teman kos berlalu-lalang. Dudukpun tidak pernah berdekatan. Seperti itulah.  Hanya seperti itu!
Hanya seperti itu, namun Pras telah mengisi ruang hatiku selama bertahun-tahun. Telah membuatku tidak mau berpikir sosok lain. Telah menyita penuh-penuh perhatian dan kesetiaan. Dan menyediakan diriku untuk menjadi tumpuan segala keluh kesah dan kegelisahannya menghadapi kerasnya hidup di Jakarta. Tanpa pamrih—kecuali hanya demi cinta—menunggunya menjadi seperti apa yang dia inginkan…tanpa tahu entah mau jadi apa dia…
Sampai suatu ketika kuterima suratnya. “Surat-surat telah membuat kita jadi pintar berbohong, Iffah.” Awalnya tak kupahami apa makna kata-kata itu. Hingga beberapa hari setelah itu dia datang menemuiku, dan menyatakan, semua yang terjadi selama ini hanyalah cinta monyet. Oleh sebab itu, simpan semuanya, masukkan laci, tutup rapat, kunci, dan buang kuncinya jauh-jauh. Kalimatnya mengalir dari mulutnya tanpa gejolak, datar, sangat tenang….namun aku dibuatnya terkejut-kejut. Terbengong-bengong seperti orang baru terbangun dari mimpi buruk. Mencari-cari nada bercanda dalam kata-katanya.
Tapi tidak, Pras serius. Hebatnya lagi, dia katakan itu semua nyaris tanpa beban. Aku terdiam seperti anak kecil yang dinasehati saudara tuanya. Tak berkata sepatah pun. Tak bisa merasakan apa pun. Cinta yang kujaga bertahun-tahun hancur berkeping. Kesetiaan yang kupupuk kandas tak berbekas. Di matanya, ternyata selama ini aku hanya anak kecil yang sedang mengalami cinta monyet. Bukan gadis remaja yang dengan setia menjaga cinta untuk laki-laki yang dikasihi dan diharapkan.
Dan sore ini, ketika maghrib mulai merangkak, entah kenapa, aku menyampaikan perasaan hatiku yang sudah lama terpendam itu, begitu saja. Rasa sakit dan kecewa yang sudah lama kukubur. Menyeruak pelan-pelan mengalir dari mulutku. Aku agak terbata mengatakannya. Mengimbangi kecamuk di dadaku. Pras tidak pernah tahu, aku sempat sakit setelah dia mengambil keputusan berpisah itu. Bahkan ibuku menanyakan, kenapa aku kurus, apa karena memikirkan Pras? Pras tidak pernah tahu, ibuku—yang tidak siap mempunyai menantu seorang seniman—mungkin sempat merasa bersalah telah melarangku berhubungan dengannya. Pras tidak tahu bahwa kujaga cinta dan kesetiaan untuknya lewat pintu belakang; tanpa restu orang tua, tanpa dukungan saudara-saudaraku, bahkan tanpa dukungan sahabat-sahabatku. Semuanya mempertanyakan, apa yang kucari dengan menunggu seorang seniman yang sangat tidak jelas masa depannya?
Ketika semuanya sudah bisa kukendalikan, hatiku yang hancur sudah tertata rapi, harapan demi harapan telah mampu kubangun kembali, kusadari kemudian, cinta dan kesetiaan yang selama itu kujaga…hanyalah sebuah kekonyolan. Hal terbodoh dalam hidupku. Sedikitpun aku tak salahkan Pras atas semua yang terjadi. Tak pernah kubebani dia dengan rasa berdosa karena telah meninggalkanku. Yang salah adalah diriku sendiri…. sok setia, sok menjaga cinta….sok dewasa…padahal sesungguhnya aku hanyalah gadis kecil belasan tahun yang tidak paham apa itu cinta….
Namun sore ini, Pras akhirnya tahu semua itu. Kuceritakan apa yang terjadi setelah dia pergi. Dan dia terpana. Termangu-mangu seperti tak percaya. Berkali-kali beristighfar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum-senyum tanpa kupahami apa makna senyumnya, antara menyesal, mengejek, atau berbangga karena dicintai.
”Di mana aku ketika kamu sakit itu?” tanyanya, dengan suara agak parau. Matanya mendadak layu. ”maafkan aku...maafkan aku....”
”Soal maaf, kamu bisa ambil sendiri. Sebanyak yang kamu mau....” Aku tersenyum masam. ”Kamu tahu di mana tempatnya kan?”
 Pras menjelaskan betapa Ibu Kota telah membuatnya menjadi berubah, sehingga mungkin itulah yang menyebabkannya mengambil keputusan untuk hubungan kami, tanpa mempertimbangkan perasaanku. Dia jelaskan, mungkin saat itu dia hanya memperhitungkan segi kepraktisan. Jakarta dan Malang betapa jauhnya. Dia tidak mampu membiayai hubungan jarak jauh itu.
”Pertimbangan kepraktisan. Begitukah?” Aku bertanya dengan hati penuh luka.
Tragis betul. Ini urusan perasaan apa urusan menata perabot rumah tangga? Biar dia tidak terbebani untuk mengunjungi aku di Malang, maka lebih baik akhiri semuanya. Begitu? Dan tidak mampu membiayai? Biaya apa?  Bukankah selama ini hanya surat-surat saja yang mewakili hubungan ini? Bukankah aku tak pernah menuntut untuk bertemu dengannya, kecuali atas inisiatifnya sendiri? Bukankah selama ini aku memposisikan diri hanya menunggu dia datang… dan tak pernah sekalipun memintanya untuk datang kepadaku, sebesar apapun kerinduanku padanya? Apakah semahal itu harga satu-dua buah perangko sehingga dia tak mampu membelinya untuk “membiayai” cinta kami?
Semakin kusadari, Pras tak pernah serius mencintaiku. Aku hanya kelinci percobaan yang dia perlukan untuk laboratorium cinta pertamanya. Perjuangannya selama ini hanya untuk hidup sebagai seniman, tapi tidak untuk memenangkan cinta kami. Cinta monyet yang dia tuduhkan kepadaku, sesungguhnya cerminan cintanya sendiri. Pras hanya butuh seseorang yang bisa lebih membuatnya kaya inspirasi. Hanya butuh media untuk menumpahkan segala keluh kesah dan kegelisahannya. Hanya perlu seseorang yang mau mendengar kegalauannya kapanpun dia butuhkan. Dan saat itu, akulah orangnya. Entah setelah itu siapa dan siapa….
Tapi semua sudah berlalu. Aku sudah mendapatkan kesimpulan itu dua puluh tahun yang lalu. Dan aku sudah berjalan sedemikian jauh. Memiliki seorang suami dan seorang anak yang mencintaiku sepenuh hati. Memberiku ruang gerak yang leluasa berlandaskan keyakinan dan kepercayaan. Tak kan kutukar dengan apapun.
Dan Pras….biarlah tetap menjadi bagian dari masalaluku . Setidaknya telah pernah kureguk keindahan bersamanya. Dan tetaplah menjadi kenangan indah….

Hanya serpihan nostalgi
Larut bersama gurat wajah
Dan manis senyuman….

Jakarta, 12 Februari 2010
Surabaya, 7 Mei 2013

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...