Jumat, 10 Mei 2013
PERJALANAN WAKTU
Label:
Fiksi
Oleh: Lutfi Az.
(Catatan:
Cerpen ini telah dimuat di Majalah Remaja ’Anita Cemerlang’ No. 288. 2-11
Januari 1989)
Mendung yang sejak pagi tadi
hanya menggantung saja di langit, kini telah berubah jadi hujan deras. Aku
urung melangkah ke halaman parkir, berbalik dan setengah berlari kembali ke
teras Gelanggang Mahasiswa. Sambil mengeluh dalam hati, kusibakkan rok bagian
bawahku yang basah. Mestinya aku sudah sampai di rumah beberapa menit yang
lalu, jika saja aku tak tergoda untuk melihat pameran lukisan ini.
Kulihat
jam di tanganku. Satu tiga puluh lima. Aku mulai gelisah. Kudekap map kuningku
erat-erat, sambil menahan dingin yang tiba-tiba menyergap. Sepuluh menit lagi,
biarpun hujan belum reda, kupikir aku akan nekat pulang. Ibu selalu merasa
lebih tenang kalau aku ada di rumah secepatnya, meskipun untuk itu aku mesti
kehujanan. Tapi... uh! Aku memaki diam-diam sambil mengusap bahuku yang
tiba-tiba basah. Seseorang dengan tubuh dan pakaian hampir kuyup, yang baru
saja datang, telah menyenggolku.
"Oh, sori...."
"Tak
apa." Aku mencoba tersenyum, dan sedikit menggeser tubuhku, memberinya
tempat. Orang itu menatapku saja, dan aku pura-pura tak melihatnya.
"Tera...?"
Kuangkat
kepalaku setengah terkejut, dan... oh Tuhan! Aku benar-benar terkejut kini.
Tidak! Aku sungguh tidak menghendaki pertemuan ini.
"Andre...!"
Kami berjabat tangan, amat erat setelah sama-sama lepas dari ketertegunan.
Andaikata mungkin, betapa inginnya aku menghambur ke pelukannya, dan
menghempaskan segenap kerinduanku. Oh! Segera kusadarkan diri bahwa itu
sebuah pikiran gila.
"Apa
kabar'?" Tanya Andre. Dia selalu bisa lebih dulu menguasai perasaan.
"Baik."
"Kau...."
Matanya menelitiku dengan seksama. "Kau kelihatan agak kurus
sekarang."
"Ah,
tidak!" Aku menghindari tatapan Andre. "Ini sudah jauh lebih gemuk.
"
Andre
tak menjawab. Sekali lagi ditatapnya aku, lembut, tapi sarat dengan luka.
Selalu begitu. Dan hatiku teriris. Luka batin ini ternyata tak juga berhenti
mengucurkan darahnya....
"Bagaimana
kau bisa basah kuyup seperti ini, An?" Kuulurkan sapu tangan handukku,
dan dia mengusap wajahnya serta sebagian rambutnya. Aku memandangnya dengan
seribu perasaan yang berbaur jadi satu. Kemeja dan celananya basah di bagian
depan, dan dia pasti kedinginan. Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya aku
amat ingin membantu mengeringkannya, seperti dulu. Tapi nyatanya, untuk
sekadar mengusap lengannya yang basah pun, aku tak bisa melakukannya!
"Kapan
datang?" tanyaku, sambil menerima kembali sapu tanganku yang telah
menjadi basah.
"Sudah
lama, dua minggu."
"Oya?"
Aku menelan ludah. Dadaku perih tiba-tiba. Dua minggu, dan selama ini dia tak
menemuiku. Oh, tidak. Aku tidak boleh menyesalinya. Bukankah ini telah kami
sepakati bersama?
"Ada
lomba teater di Balai Pemuda. Dan aku bersama beberapa teman mewakili
IKJ." Andre menjelaskan tanpa kuminta. "Aku tahu di sini ada pameran
lukisan dari radio."
Kami
lalu berdiam diri. Aku sendiri sibuk menetralkan perasaanku. Sebenarnya aku
ingin mengajak Andre ke kafetaria. Dia perlu minuman hangat. Tapi dalam
keadaan hujan seperti ini, rasanya tidak mungkin, kecuali bila kami nekat
berbasah-basah.
Oh.
Aku menghela napas dengan letih. Ternyata aku tidak bisa untuk tidak
memikirkannya. Andre, Andre! Nama ini kembali bergaung keras di segenap relung
kalbuku. Bertalu-talu, mengiringi lagu cinta lama yang mendayu-dayu. Dan
telinga batinku mendengarkan dengan pedihnya.
Hujan
mulai agak reda tanpa kusadari. Map kuningku kudekap semakin erat di dadaku.
Rasanya ingin kuendapkan segala cinta dan kerinduan ini di dalamnya. Aku
mesti bisa menguasai perasaanku, sebagaimana Andre. Aku mesti bisa melarikan
cinta dan kerinduanku pada keramahan dan senyum seorang teman, seorang
sahabat, dan bukan kekasih. Tuhan, betapa sulit!
"Tera.... "
Aku
menoleh. Kutatap Andre sekilas, dan aku kembali memalingkan muka. Tatapannya
begitu mengharu biru perasaanku. Aku yakin, sorot serupa itu jugalah yang dia
tangkap dari mataku: penuh cinta.
"Tera,
kau baik-baik saja selama ini?"
Aku
tersenyum. "Itu sudah kau tanyakan tadi, An."
“Kuliahmu
bagaimana?”
“Juga
baik.”
“Masih
aktif di pers fakultas?”
“Ya.”
“Masih
suka memberi les privat?”
“Masih.”
“Tera...!”
Aku
terkejut. Suara Andre lebih menyerupai erangan. Dan benar. Cowok itu menatapku
dengan luka yang menyeruak lebar dari matanya.
"Aku
rindu!" Dia mendesis.
Kugigit
bibirku keras-keras. Kutatap Andre dengan perasaan berkecamuk. Kupalingkan
wajah ketika kidung cinta lama itu kembali mengalun, lebih lembut namun
semakin memporakporandakan hatiku. Tidak, Andre, tidak. Empat bulan kita
berjuang mengendapkan rindu, dan berhasil. Haruskah kini gagal hanya karena
pertemuan ini?
“Andre......”
“Kau
berubah pendiam kini. Kenapa?”
Aku
menggeleng. “Rasanya tidak!”
“Kau
berbicara sedikit sekali.”
“Andre....”
Aku memotong kata-katanya dan menegarkan hati. “Kau kapan kembali ke Jakarta?”
Cowok
itu menghela napas panjang dan menghempaskannya dengan kesal. Aku tahu dia amat
kecewa dengan sikapku. Dia menatapku bagai harimau luka.
"Lusa."
Jawabnya pendek.
Aku
menelan ludah merasakan dinginnya suara Andre. Bagaimana aku mesti
menghadapinya? Cinta dan kerinduan yang telah sekian lama kuendapkan di dasar
hatiku, kini meluap-luap bagai banjir. Andre yang kucintai, oh, kenapa kita
mesti bertemu?
"Kupikir
hujan akan segera reda, An." Aku berkata demi melarikan kegelisahanku.
"Ibu pasti sudah resah di rumah menungguku." Aku mencoba mengulas
senyum. "Aku pulang."
Andre
tak menjawab, meski aku tahu, sebenarnya banyak yang ingin dia ucapkan.
Tiba-tiba aku merasa begitu bersalah. Dia pasti berpikir, betapa tak
berperasaannya aku kini. Itu jauh lebih baik, daripada dia mengetahui hal
yang sebenarnya: betapa hancur luluhnya hatiku!
"Tera...."
Aku
mennghentikan langkah di depan tangga. Kutunggu ucapan Andre. "Apakah
masih pantas jika aku mengharapkan kita bertemu lagi, sebelum aku kembali ke
Jakarta?"
Aku
diam dengan mata terpejam. Entah perasaan apa yang kini mengguyur kalbuku.
Permintaan Andre yang begitu mengharap, diam-diam menyejukkan batinku. Tapi
kenapa kebahagiaan ini senantiasa berkabut?
“Te...”
“Bukan
masalah pantas atau tidak pantas, An.” Kutatap Andre dengan ketegaran yang
masih tersisa. Betapa inginnya aku mengulurkan tangan, dan mengusap matanya
yang senantiasa berawan itu. “Kenapa kita musti melukai perasaan kita
sendiri?”
Andre
tak menyahut, kecuali hanya memandangku. Kalau dia merasa amat hancur, seperti
itu jugalah aku. Tatapannya yang menyapu wajahku dengan putus asa, kini
nampak begitu pasrah. Aku memalingkan muka dengan mata kabur. Sesungguhnyalah
hatiku telah menangis semenjak tadi.
Dan
kulintasi halaman Gelanggang Mahasiswa di bawah guyuran gerimis, menuju tempat
parkir. Aku telah benar-benar terisak kini. Tapi air hujan yang mengguyur
wajahku, membantuku untuk tidak memperlihatkan tangis pada siapa pun. Juga
pada Andre….
***
Langit
putih bersih - benar-benar putih - tanpa noda. Pemandangan seperti itu rasanya
telah begitu lama tak kunikmati, semenjak musim penghujan tahun ini. Sisa air
yang menetes dari ujung-ujung daun, bau tanah basah dan udara segar....
"Heh!"
Sialan!
Aku mengumpat dalam hati saat Amazora memukul punggungku. Tapi dia berlagak tak
bersalah dan terus saja melangkah sambil mendekap diktat-diktatnya. Oh,
ternyata kuliah Statistik telah usai tanpa kusadari. Aku segera menyambar tas
kuliahku, melangkah keluar menyusul teman-teman.
“Zo!”
Aku terengah mengejar Amazora. Gadis itu menghentikan langkah.
“Kau
tidak boleh langsung pulang. Kita membenahi kantor redaksi, kau ingat?”
"Ya.
Tapi aku lapar. Perutku protes terus sejak tadi. Si Jambul itu makan waktu
kita sampai lima belas menit.”
”Tapi
ini baru sembilan empat puluh....”
“Dan
aku belum sarapanl”
“Kita
ke kafe saja, yuk!” Aku membujuknya. “Makan dulu, habis itu ke kantor
redaksi. Mau?”
Amazora
menggeleng dan tersenyum. “Kita pulang saja yuk.” Dia malah balik membujukku.
“Acaranya ditunda saja besok.”
“Kau
selalu egois!” Aku jengkel. “Kita kan sudah sepakat tempo hari.”
Amazora terus saja melenggang tak peduli.
“Zo!”
Aku masih mencoba membujuknya. “Bram menunggu kita di kantor redaksi!”
Gadis
itu tiba-tiba tersenyum dan menghentikan langkah. "Bukan kita."
Matanya mengerdip, menggoda. “Cuma kau yang dia tunggu.”
“Kamu
selalu begitu!”
Amazora
mengibaskan tangannya dan tergelak. “Memang harus begitu!” Dia terus saja
melangkah. “Yok, aku duluan....”
Aku
tak menyahut dan tak lagi membujuk Amazora. Percuma. Kepala batunya tak akan
berubah jadi cair.
“Mana
Amazora?” Sambut Bram bagitu aku muncul di depannya. Cowok itu nampaknya
tengah memeriksa naskah-naskah yang masuk.
“Pulang.”
Kuedarkan mataku ke seluruh ruangan. Semuanya nampak rapi dan kelihatannya
baru saja diatur. Padahal kemarin kulihat masih berantakan seperti kapal
pecah.
”Hendra
dan Yan ke sini tadi, dan membereskan semuanya.” Bram menjelaskan tanpa
kuminta. “Aku sendiri baru datang ketika mereka hampir selesai.”
“Oya?
Sekarang di mana mereka?”
“Kuliah
Kewiraan di lantai dua.” Aku manghampiri Bram dan duduk di depannya.
“Tinggal
ini yang belum beres.” Katanya lagi. “Naskah-naskah untuk edisi mendatang.”
“Dan
itu bagianmu.”
Bram
tersenyum.
“Aku
pulang saja ya?” Kataku meminta. Berdua saja dengan Bram, tanpa siapa-siapa
seperti ini, selalu membuatku gelisah. Tapi Bram menatapku, seperti tak rela.
“Tera....”
Panggilnya lembut. Dihentikannya kesibukannya, dan dia memandangku. “Tidak
bisa menungguku sebentar saja?” Pintanya.
Aku
tersenyum dengan hati gelisah. “Berapa menit?”
Tapi
Bram terus memandangku. "Kelihatannya kau selalu berusaha menghindariku
belakangan ini.”
“Aku....”
Aku semakin gelisah. “Aku musti menyelesaikan tugas resume untuk besok.”
“Aku
tahu itu cuma alasan yang kau cari-cari!”
“Bram!”
“Aku
tak peduli kau marah atau tidak!” Bram tak mengacuhkan kecemasanku. Tapi
suaranya masih tetap lembut. “Kenapa kau bersikap seperti itu? Supaya kau bisa
menciptakan jarak sejauh mungkin denganku? Supaya aku bisa melupakanmu?”
Aku
tersekat. Kutekan kepedihan yang tiba-tiba menyergap dadaku. Cintaku kurasakan
telah memucat sejak aku kehilangan Andre. Dan kehadiran Bram dengan seluruh
harapannya, begitu menggelisahkanku. Bram teramat baik, penuh perhatian, dan
selalu melindungi. Tapi bagaimana mungkin aku menerimanya, sementara nama
Andre masih saja melekat? Aku begitu kecewa ketika kusadari, Bram masih saja
mengharapkan aku kendati aku telah menolaknya.
“Tera....”
Aku
masih saja diam tanpa mengangkat kepala. Tiba-tiba saja aku merasa sangat
letih.
“Tera,
kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Itu
bukan pertanyaan yang musti kujawab, Bram!” Aku bangkit, meraih tas kuliahku.
“Kau datang pada saat yang sangat tidak tepat.” Kutatap Bram dengan kesedihan
yang sarat. Matanya masih saja sejuk, masih saja menawarkan keteduhan. Kadang
aku begitu ingin mereguk kesejukannya dan bernaung di dalamnya dengan tentram.
Ah!
“Boleh
aku pulang?”
Bram
tersenyum hambar. “Kalau aku berhak menghalangimu, aku akan berkata jangan.”
Aku
ikut tersenyum. “Sampai ketemu besok!” ujarku dan berlalu.
***
Aku
baru saja memasang kertas di mesin tik ketika Arum memasuki kamarku. Rambutnya
yang masih basah menyebarkan aroma harum yang semerbak. Dia berdiri di sisiku
dan memperhatikan aku melanjutkan bekerja.
“Bikin
apa, Kak?” tanyanya beberapa saat.
“Paper,
Nona Kecil !” jawabku pendek.
“Masih
lama?”
Aku
menghentikan tanganku dan menatapnya. “Memangnya kenapa!”
“Mas
Andre menunggu di ruang, tamu.”
Kutatap
Arum lekat-lekat. Anak kelas dua es-em-a itu terlalu sering menggodaku.
“Benar, Arum?”
Kepala
mungil itu mengangguk. “Mas Eng yang menyuruhnya menunggu Kak Tera.”
Aku
menghela napas. Dadaku sesak tiba-tiba. Luka cinta ini begitu dalam, begitu
parah. Dan Andre? Oh, kenapa kau mesti mengoreknya lagi?
Aku
melangkah keluar kamar mendahului Arum. Apapun yang terjadi, aku mesti
menemuinya. Kuenyahkan seberkas kebahagiaan yang sempat menyusupi batinku.
Kehadiran Andre, tak bisa kupungkiri, kadangkala kuharapkan, dan membahagiakan.
Tapi apalah artinya, bila prahara lain yang lebih besar senantiasa
membayang-bayangi?
“Selamat
sore, Te.” Andre bangkit dari duduknya. Tangannya terulur kepadaku. Dan aku
menggenggamnya. Dingin dan gemetar. Rasanya seluruh rinduku mengalir di sana.
"Mestinya
kau sudah kembali ke Jakarta dua hari yang lalu." Kataku pelan.
Andre
tak segera menjawab. Dia nampak begitu gelisah. Aku yakin ada sesuatu yang
ingin dia katakan.
“Andre....”
Aku memanggilnya lembut. “Ada apa?”
“Aku
kalut.”
Aku
menunduk. Sedemikian ibanya aku melihat mendung yang menyelubungi wajah Andre.
Dulu, akulah yang mengeluh di depannya. Tentang segala resah dan kekalutan. Dan
Andre hampir selalu bisa membuatku melepaskan semua galau. Dan kini, pada saat
segalanya telah usai, apa yang bisa kulakukan untuk menghiburnya?
“Apa
sesungguhnya yang terjadi, Andre?”
Cowok
itu memandangku sekejap, lalu melemparkan matanya keluar. Suaranya mengambang
ketika berkata. “Kau tidak tersiksa dengan perpisahan ini, Te”
Aku
kembali menunduk, menghindari tatapan Andre. Sejuta kegalauan menyerbuku tanpa
ampun. Empat bulan yang lalu kami memutuskan untuk berpisah, tapi rasanya baru
kemarin semuanya terjadi. Sebesar apapun cinta kasih kami, ternyata itu tak
pernah bisa memadukan prinsip kami, yang amat berbeda. Mestinya kami menyadari
itu sejak awal, dan tidak membiarkan benang-benang merah terajut. Tapi kenyataannya
tidaklah begitu. Dua tahun, ya, dua tahun aku dan Andre membiarkan cinta
tumbuh dengan suburnya, dengan satu keyakinan, bahwa cinta dapat mengatasi
segalanya. Dan bagai terbangun dari mimpi yang amat buruk ketika aku dan Andre
sama-sama menyadari, cinta ternyata tak akan pernah bisa mengubah kenyataan!
“Aku
tak bisa melupakanmu, Te. Tak bisa.” Andre menatapku sendu. “Aku tak bisa
menggantikan kau dengan siapa pun. Aku tersiksa. Tera....” Suaranya begitu
putus asa. “Kenapa kau hanya diam saja?”
Kugigit
bibirku keras-keras. Dadaku sesak menahan tangis. Ingin sekali aku menghambur
ke pelukan Andre, dan menangis sepuas-puasnya di dadanya, seperti yang dulu
sering kulakukan. Aku yakin, tanpa kukatakan sepatahpun, dia sudah bisa meraba
perasaanku. Luka di hati ini tak berbeda sedikit pun dengan luka yang
dideritanya.
“Te....”
“Apa
yang musti kukatakan, Andre? Bukankah semuanya sudah jelas?” Suaraku tersekat
di tenggorokan. “Kita tak mungkin bersatu selama jalan yang kita tempuh
berlainan. Kita telah sama-sama menyadari itu. Kalaupun bisa, keyakinan yang
kita anut sama-sama tidak membenarkan. Andre, apalah artinya kebahagiaan
kalau untuk itu kita musti mengingkari hati nurani!”
“Tapi
kita tersiksa….“
Ya,
tapi kita tersiksa. Aku mengeluh dalam hati. Betapa tidak. Beberapa waktu yang
lalu kami masih selalu bersama merajut cinta dan harapan. Tempat Andre yang
jauh di Jakarta sana, bukanlah alasan untuk memutuskan sebuah kebersamaan.
Surat-surat kami yang terus mengalir senantiasa mengabarkan rindu dan
kesetiaan. Dua tahun! ya, begitu lamanya kami terlena dalam madu asmara.
Berdua meniti jembatan bahagia, berdua menyingkirkan setiap aral yang
melintang... baru kemudian sadar, bahwa kebersamaan tak mungkin selamanya bisa
kami nikmati. Padahal cinta telah sedemikian kokohnya. Aku amat terpukul
menerima kenyataan itu, juga Andre. Itulah satu-satunya kendala yang tak pernah
bisa kami singkirkan, sampai kini!
“Andre....”
Aku memanggil Andre dengan suara kering. “Barangkali kita belum cukup berusaha.
An, percayalah, sepanjang niat kita baik, Tuhan akan selalu menunjukkan jalan
terang bagi kita....”
“Aku
ingin kita kembali, Te.” Potong Andre penuh harap. “Lihatlah, banyak sekali
orang yang berbeda keyakinan, tetapi tetap bisa bersama. Mereka menikah, punya
anak, dan hidup bahagia. Dengan cinta, kita pun bisa, Te...”
“Tidak…!”
Andre
terkejut. Aku sendiri segera menutup mulutku, demi kusadari, aku tidak sekadar
berkata, tapi berteriak sambil meratap. Aku mulai terisak. Kusesali kalimat
Andre barusan. Demi Allah, aku lebih bahagia bila dia tetap tegak pada
prinsipnya. Sejak perpisahan kami empat bulan yang lalu, mata hatiku semakin
terbuka, bahwa cinta bukanlah segalanya. Cinta bukanlah satu-satunya titian
menuju kebahagiaan. Dan demi cinta, orang tidaklah musti mengorbankan
segala-galanya. Apalagi mengorbankan
keyakinan yang telah dianutnya sepanjang hidup!
“Kita
tidak salah mengambil keputusan, An. Sama sekali tidak salah.” Suaraku tersendat-sendat menahan tangis. Aku
tahu, aku menderita setelah kehilangan Andre. Dia orang pertama yang kucintai dengan sepenuh hati. Tapi aku
juga tahu, tak mungkin aku mengingkari kenyataan. Mustahil aku mendustai hati
nurani. Karena matahari selamanya tak akan bisa berjalan bersama bulan. Bila
itu terjadi akan berarti sebuah bencana. Oh, kenapa tidak sedari dulu kusadari
hal ini?
Aku
menatap Andre. Dengan susah payah, kubangun sebuah ketegaran. ”Pulanglah,
Andre....” Suaraku menggantung. “Cinta bukan segala-galanya dalam hidup ini. Cinta
tidak harus mengendalikan kita, tetapi sebaliknya, kitalah yang harus
mengendalikannya.”
Andre
menghela napas. Panjang dan berat. Aku seperti ikut hanyut dalam keletihan di
matanya.
“Kau
tidak akan mengubah keputusan, Te?” Suaranya masih penuh harapan.
Aku
menggeleng. Tidak hanya Andre yang merasa putus asa. Aku pun semakin sadar,
segalanya kini telah kandas. Perahuku tak pernah akan mencapai pantai harapan.
“Kalau
saat ini kau masih belum mengerti, An, nanti kau pasti akan mengerti.” Kataku
amat yakin.
Senja
yang temaram semakin menurunkan gelapnya ke bumi. Aku melepas Andre, dan kami
berpisah dengan luka hati
yang sama. Esok, masih ada pagi, masih ada hari. Namun kenapa begitu cepatnya
cinta berlalu...?
***
Aku
memaki dalam hati. Hujan lagi-lagi
memperlambat perjalananku. Tapi tak ada alasan untuk nekad. Bram bahkan
menggamit lenganku, dan kami kembali berada di
teras percetakan kampus. Beberapa menit yang lalu kami baru saja memasukkan
naskah-naskah untuk buletin edisi mendatang, serta membuat layout-nya.
Dan
kini, hujan menghalangiku untuk segera pulang.
“Kau
kedinginan?”
Aku
menoleh pada Bram dan tersenyum. Kubiarkan dia melepaskan jaketnya dan
mengenakannya di tubuhku. Perhatiannya itu, oh, aku mengeluh diam-diam.
Kularikan kesedihan yang mendadak menyergapku pada sosok lain. Andre. Pagi
tadi, tiba-tiba saja dia muncul lagi di rumah. Lengkap dengan jaket dan hand-bag-nya.
Matanya
masih saja nampak lelah dan luka, seperti kemarin-kemarin.
“Aku
akan kembali ke Jakarta, Te....” Suaranya pelan tapi nampak tegar. “Keputusanmu
kemarin, sepenuhnya kuhargai. Kau benar. Selain cinta, masih ada banyak hal
yang musti kita pikirkan dan kita lakukan dalam hidup....”
Dan
kami berjabatan tangan. Lama dan erat. Susah payah kutahan hatiku untuk tidak
terbawa perasaan. Aku harus kelihatan tetap tegar. Namun begitu Andre berlalu,
kutangisi dia sepuas-puasnya. Aku mencintai Andre. Aku sadar, selama ini aku
hanya berlari-lari dalam asa yang tak kutahu di mana tepinya.
“Te....”
Aku
terkejut. Suara Bram yang lunak begitu dekat di telingaku.
“Kau
melamun?”
Aku
menggeleng.
“Tidak.”
“Katakan
ya. Kenapa berdusta?” Aku menatap Bram. Dia tersenyum. Tidak ada nada mengejek
dalam senyumnya. Aku tiba-tiba menyesal telah membohonginya.
“Kau
selalu bisa menebak isi hati orang....” Ujarku akhirnya.
Hujan
tak juga reda, dan kegelisahan lagi-lagi menyergapku. Aku melepaskan pandangan
ke arah barisan flamboyan di sepanjang jalan kampus. Bunganya begitu semarak,
begitu bagus. Dahan-dahannya bergoyang-goyang tanpa henti karena hujan
terus-terusan menerpanya. Namun begitu, hatiku yang rawan tak juga terhibur.
Dan
Andre, di manakah kau kini? Batinku mulai merintih lagi dengan perihnya. Pagi
tadi dia langsung berangkat ke Jakarta setelah menemuiku. Dulu, aku selalu
melepasnya dengan kebahagiaan yang tulus setiap kali dia berpamitan. Andre
benar-benar menemukan dunianya di Departemen Teater yang diambilnya. Andre
bahagia, dan betapa aku bisa merasakan itu semua.
Oh!
Aku mengeluh diam-diam. Kenapa seorang Andre yang selalu saja mengusikku?
Kenapa aku tidak bisa berhenti mengenangnya? Kenapa?
Aku
sungguh tidak tahu persis, sejak kapan sebenarnya benang-benang merah ini
mulai terajut. Kami telah akrab semenjak es-em-a. Di sekolah, di kelompok
belajar, di OSIS, hampir selalu bersama. Sampai akhirnya, tanpa kusadari,
perasaan lain muncul dalam hati. Perasaan yang begitu menyentuh sampai dasar
kalbu, yang lantas kami sadari, itulah cinta.
Begitu
lamanya aku dan Andre terlena, dan tak mau melihat kenyataan, bahwa
sesungguhnya ada jurang pemisah yang tak mungkin terjembatani, di antara kami.
Tidak. Kami sungguh tidak rela bila kebersamaan yang amat indah itu terenggut.
Kami sungguh tidak rela bila pohon-pohon cinta kami tarcerabut. Ya. Masa remaja
membuat aku dan Andre tak mempedulikan perbedaan prinsip kami, karena itu
hanya menyakitkan. Baru kemudian, pada saat kami mulai mengerti dan dewasa, pada
saat mata hati mulai terbuka, kami seolah baru terjaga dari tidur yang
panjang. Kami samasama sadar bahwa tak mungkin jurang pemisah itu kami
singkirkan. Ya, kesadaran yang datangnya begitu terlambat!
“Tera....”
Lagi-lagi
suara Bram mengejutkanku. “Kau melamun terus sejak tadi. Ada apa, hm?”
Aku
menggeleng. “Tak ada apa-apa, Bram.”
“Kau
tak percaya padaku?” Tanya Bram. “Bicaralah, Te. Bukankah kita berteman sejak
dulu?” Suaranya begitu menyejukkanku. “Kau tak bisa membohongiku dengan
mengatakan, bahwa kau tidak sedang mempunyai masalah.”
Aku
menelan ludah. Ragu.
“Tentang
Andre?” Lanjut Bram, tetap tenang. Seperti yakin bahwa dia tak akan salah ucap.
“Tadi
pagi, kami bertemu lagi, Bram…,” ujarku lirih. “Aku sedih, kenapa kami harus
berbeda keyakinan.” Suaraku keluar begitu saja.
Bram
tiba-tiba menggenggam lunak jemariku. Aku sendiri seperti mendapatkan kekuatan
yang mengalir dari sana.
“Bram,
aku mencintainya, tapi kenapa aku mesti kehilangan dia….” Aku mengeluh dan
tersendat-sendat. Tiba-tiba saja aku ingin bercerita banyak-banyak, supaya
beban batinku berkurang. Tiba-tiba saja aku merasa mendapat teman, dan tidak
lagi berjalan seorang diri, seperti yang kurasakan akhir-akhir ini. “Bram, kau
bisa merasakan apa yang kurasakan?”
“Ya,
aku mengerti, Tera.” Bram mempererat genggamannya. “Kehilangan orang yang
dicintai, selamanya menyakitkan.Tapi bukankah kau yakin, bahwa kau tak salah
mengambil keputusan?" Aku mengangguk setelah diam
“Kau
yakin?” Ulang Bram, sambil menatapku lurus-lurus. Matanya tenang, bagai telaga
yang tanpa gelombang. Tiba-tiba aku membayangkan diriku jadi ikan. Betapa
nyaman berenang di dalamnya. Aku tersenyum sendiri tanpa kusadari.
“Heh,
kenapa?”
Aku
menggeleng dan tersipu. “Bram.” Kualihkan pertanyaannya. “Bagiku, teman hidup
haruslah orang yang sejalan. Itu prinsip!”
“Nah!
Tetaplah tegak pada prinsip itu kalau kau yakini kebenarannya. Jangan meratapi
nasib, kau harus tetap tegar!” Bram berhenti sebentar. “Te....” Suaranya
melembut. "Kalau kau percaya, biarkan aku
menemanimu...!”
Aku
tercenung dan tak tahu mesti berkata apa. Aku tak tahu perasaan apa yang
merayapi batinku. Aku membayangkan hujan yang tiba-tiba turun pada saat
kemarau telah berlalu demikian panjang. Oh, betapa segar. Dan kegersangan hati
ini...?
“Bram,
aku ingin pulang....”
Bram
menatapku penuh tanda tanya. Tapi akhirnya mengangguk. “Masih hujan begini?
Kau yakin tak akan sakit? Ayolah....”
Berdua
kami menerobos hujan. Bram melingkarkan lengannya di bahuku, dan perasaan aman
mendadak mengakrabiku. Betapa tentramnya berada di sisi Bram. Tapi perjalanan
masih amat panjang, masih amat panjang. Aku tidak ingin tergesa-gesa. Kalau
saat ini aku belum bisa menerima kehadiran Bram, aku yakin, itu hanya soal
waktu. Ya. Hanya soal waktu!
***
Diposting oleh
Luthfiyah Nurlaela
di
Jumat, Mei 10, 2013
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...