Kamis, 09 Mei 2013
HARI-HARI BERBUNGA
Label:
Fiksi
Oleh: Lutfi Az
(Catatan:
Cerpen ini telah dimuat sebagai Cerita Utama di majalah remaja ’Anita
Cemerlang’ No. 272. Tgl. 18 s.d. 27 Juli 1988)
Panas yang menyengat seolah
menikam muka bumi. Kemarau rasanya telah begitu panjang, namun Tuhan tak jnga
mengirimkan hujan anugerah-Nya. Kutatapi guguran daun-daun kering yang
berserakan di mana-mana. Di seputar halaman Workshop Teknik Mesin, di dekat
pintu halaman parkir, di sepanjang pinggiran koridor
“He!”
Aku menoleh dengan kaget. "Ngelamun?"
Asih,
gadis itu, duduk di sebelahku, setelah meletakkan bakinya yang penuh makanan
dan minuman di atas meja. Siapa pun yang melihatnya pasti akan langsung tahu
kalau dia tengah kelaparan. Sekilas kulayangkan mataku ke seluruh ruangan kafe
yang pikuk. Uh, aku jadi ingat kalau ini sudah waktunya makan siang. Penjaga
kafe yang cukup banyak itu selalu kerepotan melayani tamu pada jam-jam begini.
"Nggak
makan, Ra?" Asih bertanya sambil menuangkan saus ke dalam mangkuk
baksonya. Isi mangkuk itu berubah merah sekali. Dan dia melahapnya dengan
nikmat.
"Heh,
kok bengong?"
Aku
segera tersenyum. Kutengadahkan gelas esku yang sudah kosong. Aku bersiap-siap
pergi.
"Selamat
makan siang, Sih. Aku pulang dulu!" Kugantungkan tas kuliahku di pundak.
Asih hanya mengangguk karena mulutnya penuh makanan. Tapi pada saat hampir
mencapai pintu keluar, kudengar suaranya memanggilku.
"Kau
sendirian? Tumben?"
Aku
tersenyum saja sambil mengusir sesuatu yang tiba-tiba menggigit hatiku. Andri
dan Yan tadi juga berkomentar begitu ketika kami bertemu di Gelanggang
Mahasiswa. Komentar yang wajar. Bahkan amat wajar. Selama ini aku hampir tak
pernah mereka lihat sendirian kemana pun, karena seorang Sentanu selalu berada
di sisiku. Ah! Masa lalu.
Kulangkahkan
kakiku menyusuri jalan-jalan kampus. Daun-daun kering yang berserakan di
sana-sini berisik ketika kakiku menapakinya. Kupikir ini adalah siang yang
paling terik sepanjang kemarau tahun ini. Begitu panas, begitu menyengat. Jika
besok masih ada siang yang lebih terik lagi, aku tak bisa membayangkan
bagaimana pula panasnya. Sementara itu angin yang juga berhembus keras
membangunkan debu-debu kering dan menerbangkannya ke mana-mana.
"Rara,
ikut yuk!"
Kugelengkan
kepalaku ke arah Rudi yang sudah menghentikan motornya di sisiku. Anak manis
itu semakin baik hati saja belakangan ini.
"Aku
dijemput," tangkisku.
"Mana?"
"Di
dekat pintu gerbang."
"Ya
sudahlah, kuantar sampai di sana!"
"Thanks,
Rud."
Aku menggeleng lagi, sambil tersenyum agar dia tidak, terlalu kecewa. "Aku
lagi pingin jalan
kaki."
Dan
Rudi pun mau mengerti. Dia berlalu setelah menatapku sekilas. Begitu apik dia
simpan kecewanya.
Aku
tentu saja tahu betul kalau berjalan kaki di siang yang sepanas ini, dengan
angin keras yang menerbangkan debu-debu kering, sama sekali tidak enak. Tetapi
seolah ada sesuatu yang lain yang tengah kususuri setiap kali aku berjalan
seorang diri seperti ini. Aku tidak tahu persis apa itu. Namun hampir sepanjang
jalan ini pernah kulalui bersama Sentanu. Dan jejak masa lalu itukah yang kini
tengah kuhimpun lagi?
Sentanu.
Nyatanya nama itu tak pernah - dan aku yakin pasti - tak akan pernah lekang
dari batinku. Aku tak bisa mengibaratkan dengan sesuatu yang lain, betapa
seorang Sentanu telah begitu melekat erat dalam kehidupanku. Dia tertanam di
hatiku, jauh lebih kokoh ketimbang karang di tengah laut. Jauh lebih dalam dan
lebih kuat ketimbang pohon besar yang tertancap di bumi. Dan keadaan seperti
ini, sungguh -sungguh tak bisa berubah, betapa pun dia kini ....
Sampai
di pintu gerbang kampus, aku mengedarkan mataku. Aku tak melihat siapa-siapa
yang biasa menjemputku. Pak Amir, supir kami, tak kulihat. Bagas, adikku, juga tak
kulihat. Ayah apalagi. Sesiang ini beliau pasti masih berkutet di kantornya.
"Rara…
!”
Sebuah
suara, meski pelan, begitu mengejutkanku. Dan aku lebih. terkejut
lagi ketika tahu siapa lelaki setengah baya yang berdiri di depanku itu.
"Bapak ada di sini?" tanyaku senang sekali. Beliau tertawa dan
merangkul bahuku. Dibukanya pintu sedan biru langitnya, dan aku duduk di
sebelahnya tanpa canggung sedikit pun. "Tadi Bapak ketemu Bagas, lantas
Bapak usir dia!" Beliau tertawa lagi, lepas sekali. Ada kerinduan yang
sangat yang tak mampu dia sembunyikan. Perasaanku sendiri mulai berkecamuk.
Masa lalu yang kelewat manis selalu tak mampu kutolak dengan dinding hatiku
yang memang rapuh, setiap kali dia hadir seperti ini. "Bapak kangen,"
Beliau bersuara lagi. "Dua bulan kita tak pernah bertemu dan berbincang,
begitu lama rasanya. Kau sungguh-sungguh tak sudi ke rumah lagi?"
Ditatapnya aku sekilas, namun begitu tajam. Begitu menikam. "Tidak untuk Nunu, Rara. Tapi untuk
Bapak, Ibu, Iwuk dan Dedy. Mereka semua kangen. Mereka semua menanyakanmu. Dan
kau bisa bayangkan betapa bingungnya Nunu setiap kali menghadapi pertanyaan
mereka tentang kau!"
Mobil
yang semula berjalan lurus kini berbelok. Panas di luar tak lagi kuhiraukan
kini. Sebab ada yang jauh lebih membara dan menggelegak di dalam sini. Oh,
kerinduan ini ternyata tidak hanya pada Sentanu seorang. Tetapi juga pada
seluruh keluarganya. Dan kalau begini, aku tak tahu apakah aku harus menyesal
dengan keputusan yang telah kuambil. Semakin kusadari betapa sebenarnya aku
amat takut menghadapi sesuatu yang bernama kehilangan!
"Kita
makan dulu. Setuju?"
"Tapi.
. . . "
"Kau
ditunggu di rumah? Baiklah. Lain kali tak apa. Jadi langsung pulang?"
Aku
mengangguk. Haru. Beliau tak pernah memaksaku. Juga Sentanu. Itulah. Sentanu
memang terbaik buatku. Dalam segala hal. Sayang dia hanya manusia biasa, yang
tak akan pernah lepas dari salah. Dan dia telah melakukannya,
begitu fatal. Dan hatiku begitu sulit untuk memaafkannya. Dan aku kehilangan!
***
Siang itu panas cukup
terik, tapi hatiku sejuk saat turun dari bus yang membawa kami kembali ke
kampus, setelah tiga bulan melaksanakan KKN. Aku telah melihat
Sentanu sejak bus memasuki pintu gerbang tadi, dan betapa waktu yang tidak
terlalu lama ini telah diam-diam menyiksa kami. Mengendapkan kerinduan dan
memutuskan sementara sebuah kebersamaan.
"Apa
kabarmu, Rara?" Sentanu menjabat tanganku erat, erat sekali, dengan
kerinduan yang begitu sarat di matanya. Andaikata tidak banyak orang, rasanya
ingin sekali aku menghambur ke dalam pelukannya. Supaya dia tahu bahwa aku pun
telah begitu lama mengharapkan pertemuan seperti ini.
Dan
seharian itu, tanpa mempedulikan sisa-sisa lelahku sehabis KKN, kuhabiskan
bersama Sentanu. Aku ingat betul besok hari ulang tahunnya. Sebuah kipas
cendana bertuliskan 'Rara-Sentanu', yang kupesan khusus dari temanku di Bali,
telah kusiapkan dengan bungkusnya yang manis sekali sejak seminggu yang lalu,
pada saat aku masih di lokasi KKN. Aku ingin dia tahu betapa aku tak pernah
bisa sedetik pun untuk tidak mengenangnya.
Tapi
justru pagi di hari ulang tahunnya itulah awal badai yang memporak-porandakan
hubungan kami. Sentanu menerima kiriman bunga, lengkap dengan kartu ucapan
berbentuk jantung hati berwarna merah sekali. Selamat ultah, Nunu. Dariku yang
selalu mencintaimu. Indriana.
"Siapa
dia, Nunu?" Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Kalau aku
curiga, itu sungguh beralasan. Seorang cewek, siapa pun dia, tak akan seberani
ini mengungkapkan perasaannya, kalau Sentanu tak lebih dulu masuk dalam
kehidupannya.
"Aku
kesepian, Rara. . . !" Lama sekali suara itu baru keluar dari bibir
Sentanu. Meski begitu pelan dia mengucapkannya, namun gelegarnya melebihi
petir di siang bolong sekali pun! Aku amat terpukul. Amat terluka. Dan Sentanu
seketika berubah jadi orang yang amat asing bagiku.
PPL
dan KKN kalau dijumlahkan menghabiskan waktu kurang lebih lima bulan. Aku telah
melampauinya dengan baik sekali. Sepenuhnya melebur dengan masyarakat, jauh
dari keluarga, jauh dari orang-orang tercinta dan kampung halaman, sungguh
bukan cobaan yang ringan bagiku. Aku seringkali mengalami kesepian yang paling
sepi, begitu menjemukan, namun aku selalu berusaha membuatnya menjadi ramai.
Dan aku bisa. Telah kubuktikan bahwa, Rudi yang selama PPL dan KKN tak pernah
sejengkal pun mundur dari usahanya untuk menarik perhatianku, ternyata tak
pernah mampu menembus benteng pertahananku. Padahal, sungguh tak ada alasan
untuk menolaknya. Dia amat baik, penuh pengertian, cerdas. Dia juga amat
simpatik. Dan Sentanu tak melebihi dia, dalam segala hal, kecuali bahwa aku
begitu mencintainya!
Karena
itu aku tak bisa menerima alasan 'kesepian' yang dikemukakan Sentanu. Sepi
bisa dibuat ramai kalau dia mau. Tapi dia justru membiarkan sepi menjadi
semakin sepi, sehingga kehadiran Indriana, teman KKN-nya, tak mampu ditolaknya.
"Tapi
akhirnya aku berterus-terang kalau ada kau, Ra." Sentanu mengajukan pembelaannya
pada sehari berikutnya. "Aku mengaku khilaf. Aku telah melukainya, juga
melukaimu. Tapi aku sungguh tidak ingin kehilangan kau!"
Waktu
itu aku hanya diam. Entah kenapa aku semakin suka berdiam diri, kendati
batinku berteriak-teriak. Sentanu tak sekadar melukaiku. Tapi lebih dalam dan
lebih sakit dari hanya sekadar luka!
Dulu sekali aku sudah
pernah berkata padanya bahwa, adalah hal yang amat mudah untuk mengkhianatiku. Aku tak
pernah menuntutnya apa pun karena aku begitu percaya dia setia.
"Denganku,
menyeleweng, berkhianat, adalah hal yang amat mudah, Nu. Tapi tolong jangan
lakukan itu!" kataku suatu hari. Dan Sentanu mengangguk mengerti.
"Apa
aku perlu janji?" tanyanya kemudian.
Aku
cepat menggeleng. Sebab aku memang tak begitu suka dengan janji. Bagiku - dan
aku yakin juga bagi yang lain - bukti adalah jauh lebih penting dan berarti
daripada sekedar janji.
Waktu
itu musim tidaklah kemarau seperti ini. Bahkan hujan hampir setiap hari
mengguyur wajah bumi. Hari-hariku hampir tak ada yang tak kulalui bersama
Sentanu. Kami saling menjaga, kami saling mengerti. Kami saling memberi arti.
Mengenangkan hari-hari yang cerah berbunga seperti itu, betapa memeriahkan. Akankah ia kembali?
“Rara…
!”
Aku
segera menata perasaanku dan menariknya dari dunia lamunan. Aku tahu sebentar
lagi pemilik suara itu, Bagas, akan duduk di sampingku, dan kami bisa
berbincang sampai jauh malam. Tak ada teman yang lebih baik dari dia sementara
ini.
"Bagaimana
dengan ayah Nanu? Kau diantarnya
tadi?" Bagas duduk di sebelahku.
Aku
meagangguk.
“Dia
kelihatannya rindu sekali padamu!”
“Ya.”
“Apalagi Nunu!”
Aku
tersenyum tanpa makna. Perih. Nunu - Sentanu - kusadari kalau nama itu suka
membuatku sinting sejak dulu.
"Dia
tak pernah menemuimu lagi?"
"Kelihatannya
bagaimana?" Aku balik bertanya.
"Di
rumah sih tidak. Mungkin di kampus?"
Kugelengkan
kepala. Seminggu setelah ulang tahunnya, adalah pertemuan kami yang terakhir.
Kukatakan bahwa semuanya telah sia-sia. Bangunan cinta yang telah kami dirikan
dengan susah payah, ambruk dengan
percuma. Dia harus pergi dari hatiku. Dan kupaksa supaya menutup segalanya yang
pernah kami alami bersama sebagai kenangan masa silam. Sentanu pun berlalu,
namun betapa terluka ia. Sementara setelah itu, aku sendiri ibarat kelana yang
ke mana pun pergi membawa cinta!
"Kau
tidak menyesal dangan keputusan ini, Rara?"
"Berapa kali kau tanyakan itu,
dan berapa kali kujawab dengan kata tidak?"
Bagas tersenyum meski dia tahu aku
mulai marah.
"Kupikir kau memang terlalu
angkuh. Kau terlalu tinggi hati untuk mengakui bahwa kau sebenarnya amat
membutuhkan Nunu. Kau mesti jujur, Ra, bahwa kau menyesal dengan sikap seperti
ini!"
Kutatap mata adikku dalam-dalam. Aku
kakaknya, dan kalimat seperti itu terlalu lancang untuk dia lontarkan. Tapi aku
mencoba menyabarkan diri. Selama ini kami saling mengasihi. Apa pun yang kami
lakukan, bagaimanapun sikap yang kami perlihatkan, semata-mata demi kebaikan
kami. Mungkin kali ini pun Bagas berusaha melakukan yang terbaik; dia tengah
mencoba membuka mata batinku yang telah cukup lama diselubungi sakit hati.
Sayang aku belum mengizinkannya...!
***
Lelaki
setengah baya itu, ayah Sentanu, menjemputku lagi. Senyumnya terasa jauh lebih
sejuk di siang yang panas seperti ini.
"Bapak
mengusir Bagas lagi?" tanyaku begitu aku telah duduk di sebelahnya, di
dalam sedan biru langitnya.
"Tidak.
Pak Amir. Dan Bapak telah katakan juga kalau kita akan makan siang bersama hari
ini. Begitu, kan?" Aku tersenyum kecut. Ringan sekali bicaranya. Seolah
rencana seperti ini telah kami sepakati bersama sebelumnya. Padahal aku lebih
merasa ditodong daripada diajak baik-baik.
"Kau
merasa ditodong?" Beliau seperti tahu jalan pikiranku.
"Ya.
Seperti ini, apalagi namanya kalau tidak ditodong?" Aku tertawa.
"Iya,
kan? Bapak memang sengaja menodong saya, kan?"
Beliau
tergelak. Suaranya lunak sekali, dan aku begitu menyukainya. Sentanu juga
menyenangkan seperti itu kalau lagi tertawa.
"Tidak.
Kau boleh menolak kalau tidak setuju."
Kugelengkan
kepala dan tersenyum.
"Saya
toh tidak bilang tidak setuju, Pak!"
Dan
mobil pun berjalan terus. Sesekali pelan karena lalu lintas pada jam-jam begini
begitu ramai. Aku tahu ke mana orang ini akan membawaku; Bioskop Aurora. Di
depannya ada warung sederhana yang hanya bersekat kain, tapi bakso dan es telernya
enak sekali. Kami - aku dan Sentanu sekeluarga - sering sekali ke sana, dulu.
Biasanya Sentanu akan protes kalau aku
lebih suka duduk di sisi ayahnya daripada di sisinya. Oh, masa-masa manis
seperti itu, kapan terulang lagi?
Aurora
tidak begitu penuh ternyata. Padahal pada jam-jam makan seperti ini, biasanya
sangat padat. Kami memilih tempat duduk di sudut, tempat yang dulunya telah
amat akrab.
"Bakso?
Es Teler?"
"Dua-duanya!"
Aku cepat menyahut ketika ayah Sentanu menawariku. Beliau tergelak dan langsung
memesan masing-masing dua pada pelayan. Hal-hal seperti ini telah amat biasa
kami lakukan bersama. Bahkan aku merasa lebih sering melakukannya bersama ayah
Santanu daripada dengan ayahku
sendiri.
Kami menyantap hidangan yang
datang dengan nikmat. Tapi kurasakan ada sesuatu yang kurang. Kutatap ayah
Sentanu dengan ekor mataku. Perasaanku berubah sedih dengan begitu saja.
Adakah dia merasakan perasaan yang sama? Bahwa suasana akan jauh lebih
menyenangkan jika saja Sentanu, Iwuk, Dedy serta Ibu juga berada di
tengah-tengah kami?
"Apa kabar dengan Ibu,
Bapak?" Aku memecah kesepian yang beberapa saat menguasai.
"Baik. Oya, Ibu selalu
ingat kau setiap kali bikin sirup jeruk, sirup kesukaanmu. He, kau tidak
kangen dengan orange juice segar bikinannya?"
Aku tersenyum tanpa tahu mesti
berucap apa. Kalau ditanya soal kangen, rasanya jika kutuangkan tak akan cukup
berapa pun tempatnya. Kangen ini kelewat besar. Pada semuanya. Pada Sentanu.
Pada Ibu, Iwuk serta Dedy. Pada kehangatan yang tak pernah lekang melingkupi
keluarga mereka.
"Rara, kau benar-benar
tidak sudi lagi ke rumah?" Ayah Sentanu bertanya tanpa menatapku.
Kutata perasaanku sebelum
menjawab. "Saya tidak pernah berkata begitu, kan, Pak?
"Tapi nyatanya kau tak
pernah datang. Apa bedanya?"
“Saya...!”
"Bapak mengerti kau
sangat terluka. Wajar. Memang tak selayaknya Nunu memperlakukan kau seperti ini
Kau lembut hati, amat sensitif, Bapak tahu betul itu. Tapi kau juga keras
kepala, terlalu tinggi hati untuk memaafkan kalau disakiti...!"
"Saya telah memaafkan
Nunu!"
"Hatimu tak pernah bisa
memaafkannya!"
Aku
menggigit. bibir. Kuaduk es telerku tanpa gelera. Berapa orang
sudah yang menuduhku angkuh? Dan betapa aku tak pernah bisa menolak. Sebab hati
kecilku sendiri tak pernah bisa mengelak.
"Nunu
teramat mencintaimu, Rara. Kau juga amat mencintainya, kan?" Bapak
memandangku lembut. Tatapan itu, terasa bagai sembilu menikam jantungku.
Begitu jugalah cara Sentanu menatapku. Segera kusembunyikan mataku, takut
kalau kerawanan di segenap hati dan perasaanku saat ini terbaca olehnya.
"Selama
ini tak ada apa pun yang mengikat kami, Bapak. Selain cinta dan saling percaya. Bila salah satu dari kami
sudah tak bisa lagi memegang kepercayaan itu, apalagi yang saya harapkan?"
"Tapi
Nunu bukanlah malaikat atau nabi, Rara. Nunu manusia biasa. Dia tak mungkin
bisa lepas dari khilaf, kau pasti tahu itu. Sepandai-pandai tupai melompat,
dia akan jatuh juga sekali waktu. Sepandai-pandai ular merambat, satu saat dia
akan terpeleset juga. Dan Nunu memang bukan tupai, bukan ular. Tapi, sekali
lagi, dia manusia biasa!"
Aku
tersenyum begitu saja setelah laki-laki arif itu mengakhiri kalimatnya.
"Hm,
saya diajak ke sini tidak untuk mendengarkan pidato kan, Pak?" selorohku.
Beliau tersenyum mengerti..
"Maaf.
Maaf kalau Bapak terlalu menggebu-gebu. Itu karena kami semua sudah terlanjur
amat menyayangimu. Tidak hanya Nunu yang takut kehilanganmu, Rara. Tapi juga
Bapak, Ibu, bahkan Iwuk dan Dedy. Kau mengerti, kan?"
Aku
mengangguk. "Saya mengerti."
"Sekadar
mengerti?"
"Maksud
Bapak?"
“Datanglah
ke rumah. Kau mau?”
Mata
tua itu begitu mengharap. Dan aku kebingungan.
"Kapan,
Bapak?"
"Nanti
sore Bapak dan Ibu akan merayakan kawin perak. Kau mau datang?" Aku
bingung lagi.
"Atau
perlu dijemput?"
"Oh,
tidak!" Cepat kugelengkan kepala. Aku tahu. pada akhirnya nanti Sentanulah
yang akan menjemputku. Dan tiba-tiba saja sebuah kecurigaan muncul di kepalaku.
"Bapak
betul-betul ingin saya dan Nunu bisa kembali seperti dulu?"
Lelaki
itu memandangku tajam sebelum kepalanya mengangguk. "Tentu."
"Karena
itu jugakah Bapak begitu mengharapkan saya datang?"
Bibirnya
langsung mengulas senyum. "Rupanya kau mulai curiga lagi. Rara, meskipun
kami semua ingin kau dan Nunu bisa kembali seperti dulu, tapi kami tak akan
pernah ikut campur dalam masalah kalian. Kau sudah dewasa, Nunu juga. Dan kami
semua yakin, apa pun masalah yang kalian hadapi, akan kalian selesaikan secara
dewasa juga. Ayolah, jangan berprasangka yang tidak-tidak. Tak ada misi
terselubung dalam undangan Bapak ini!"
Aku
tersenyum, dan diam-diam merasa berdosa. Orang ini selalu bijaksana dalam menanggapi
sikapku.
"Bagaimana
kalau sekarang juga saya ikut Bapak ke rumah?"
"Oya?"
Jelas sekali kalau dia amat terkejut. "Oh, Bapak akan senang sekali.
Ayo!"
Sedan
biru langit yang kami tumpangi meluncur lagi di jalan raya. Tak ada kata-kata
yang kami ucapkan. Lelaki setengah baya di sebelahku itu seperti sedang
berusaha menahan perasaanya. Wajahnya yang bersih begitu berseri, ibarat
pahlawan menang perang. Semakin kusadari betapa aku amat berarti bagi mereka.
Aku
seperti pengembara yang pulang kampung waktu sampai di rumah. Ada perasaan yang
begitu karib sekaligus amat asing. Namun sambutan Ibu, Iwuk dan Dedy segera
menetralkan hatiku. Kebahagiaan mereka dengan kehadiranku begitu tak
disembunyikan. Tapi mereka segera pergi ketika Sentanu rnuncul.
Dan
sedemikian tertegunnya aku saat kupandang Sentanu. Dia jauh lebih kurus
ketimbang dua-tiga bulan yang lalu. Begitu cepatnya waktu dan situasi
mengubahnya. Aku tahu, bibirnya yang bergetar saat memanggilku, adalah luapan
kerinduan yang telah sekian lama diendapkannya.
"Akhirnya
kau datang juga, Rara!" Katanya, masih dengan nada penuh dosa, seperti
pesakitan. Oh, betapa aku telah menyiksanya selama ini. Mestinya aku tahu ini
sejak dulu.
"Kau
akan berkata bahwa aku telah kalah?"
"Tidak!"
Sentanu menggeleng. "Kau justru telah menang!"
Kutatap
dia tak mengerti Dia tersenyum, amat hati-hati, seperti takut senyumnya akan
salah.
"Kau
justru telah menang." Dia ulangi kalimatnya. "Sebab kau telah
berhasil menaklukkan keangkuhanmu sendiri, yang orang lain tak pernah bisa
melakukannya, termasuk aku. Kau tahu maksudku?"
Tentu
saja aku amat mengerti. Sentanu masih saja
amat menarik kalau bicara. Dan bagiku dia akan selalu menarik. Selalu kucinta.
Itu artinya aku. harus bisa memaafkannya, menerimanya lengkap dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Aku ingin belajar banyak dari semua ini…!
***
Pertengahan
September ini, hujan belum juga turun. Rupa-rupanya dia sangat terlambat
datang, hingga kemarau rasanya jadi kian panjang. Tapi pagi tadi sempat
kulihat flamboyan mulai berbunga di sepanjang jalan-jalan kampus. Sebentar lagi
dia pasti akan semakin semarak.
"Rara!"
Aku
menoleh ke arah suara itu. Rudi yang baru keluar hari halaman parkir, menghampiriku
bersama motornya.
"Ayo
kuantar."
Aku
mendesahkan napas panjang. Dia adalah rajawali paling tangkas di jurusanku.
Siapa pun mengenalnya. Dan sungguh amat tidak pantas bila sepasang matanya
yang tajam bisa berubah sesendu itu, hanya karena seorang Rara. Aku.
"Lihat,
langit sebelah selatan mendung. Sebentar lagi hujan akan turun!” ajak Rudi
lagi dengan suara lunak.
Aku
mengikuti pandangan Rudi. Ya, ada kulihat mendung di langit selatan. Tak begitu
gelap memang. Tapi aku yakin, pasti hujan sebentar lagi turun. Oh. Tuhan telah
mengirimkan anugerah-Nya.
Dan
aku tetap menggeleng. "Pergilah duluan!"
Rudi
menatapku putus asa. Begitu lama, sebelum akhirnya berlalu. Kali ini dia tak
cukup lihai menyernbunyikan lukanya. Lewat matanya, aku bisa melihatnya dengan
jelas.
Gerimis
itu akhirnya turun juga. Gerimis pertama sejak kemarau panjang tahun ini.
Bagai sejuta karunia dia mengguyur hatiku. Begitu sejuk. Berkali-kali kuhirup
udara yang bercampur dengan bau tanah basah. Segar sekali.
"Rara,
ayo cepat. Hujan deras sekali!" Aku segera bangkit dan berlari mendapatkan
Sentanu yang telah kuyup. Dialah yang sejak tadi kutunggu. Baru kusadari kalau
gerimis telah berubah jadi hujan yang deras. Tapi kami tetap duduk tenang di
atas motor, pulang. Hujan seperti ini telah amat lama kurindukan. Sederas apa
pun dia, tatap kuanggap sebagai karunia Tuhan.
Dan
bunga-bunga flamboyan yang terangguk-angguk di sepanjang jalan yang kami lalui,
adalah bunga-bunga di hatiku. Aku tahu, jika musimnya telah tiba, dia akan
gugur. Namun hari-hari kami akan tetap cerah penuh bunga: bunga cinta.
(Buat
Baskoro Adjie: happy birthday).
Diposting oleh
Luthfiyah Nurlaela
di
Kamis, Mei 09, 2013
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...