Pages

Kamis, 09 Mei 2013

HARI-HARI BERBUNGA


Oleh: Lutfi Az

(Catatan: Cerpen ini telah dimuat sebagai Cerita Utama di majalah remaja ’Anita Cemerlang’ No. 272. Tgl. 18 s.d. 27 Juli 1988)

Panas yang menyengat seolah menikam muka bumi. Kemarau rasanya telah begitu panjang, namun Tuhan tak jnga mengirimkan hujan anugerah-Nya. Kutatapi guguran daun-daun kering yang berserakan di mana-­mana. Di seputar halaman Workshop Teknik Mesin, di dekat pintu halaman parkir, di sepanjang pinggiran koridor

“He!” Aku menoleh dengan kaget. "Ngelamun?"

Asih, gadis itu, duduk di sebelahku, setelah meletakkan bakinya yang penuh makanan dan minuman di atas meja. Siapa pun yang melihatnya pasti akan langsung tahu kalau dia tengah ke­laparan. Sekilas kulayangkan mataku ke seluruh ruangan kafe yang pikuk. Uh, aku jadi ingat kalau ini sudah waktunya makan siang. Penjaga kafe yang cukup banyak itu selalu kerepotan melayani tamu pada jam-jam begini.

"Nggak makan, Ra?" Asih bertanya sambil menuangkan saus ke dalam mangkuk baksonya. Isi mangkuk itu berubah merah sekali. Dan dia mela­hapnya dengan nikmat.

"Heh, kok bengong?"

Aku segera tersenyum. Kutenga­dahkan gelas esku yang sudah kosong. Aku bersiap-siap pergi.

"Selamat makan siang, Sih. Aku pu­lang dulu!" Kugantungkan tas kuliahku di pundak. Asih hanya mengangguk karena mulutnya penuh makanan. Tapi pada saat hampir mencapai pintu ke­luar, kudengar suaranya memanggilku.

"Kau sendirian? Tumben?"

Aku tersenyum saja sambil mengusir sesuatu yang tiba-tiba menggigit hatiku. Andri dan Yan tadi juga berkomentar begitu ketika kami bertemu di Gelang­gang Mahasiswa. Komentar yang wajar. Bahkan amat wajar. Selama ini aku ham­pir tak pernah mereka lihat sendirian kemana pun, karena seorang Sentanu selalu berada di sisiku. Ah! Masa lalu.

Kulangkahkan kakiku menyusuri ja­lan-jalan kampus. Daun-daun kering yang berserakan di sana-sini berisik ketika kakiku menapakinya. Kupikir ini adalah siang yang paling terik sepan­jang kemarau tahun ini. Begitu panas, begitu menyengat. Jika besok masih ada siang yang lebih terik lagi, aku tak bisa membayangkan bagaimana pula panasnya. Sementara itu angin yang juga berhembus keras membangunkan debu-debu kering dan menerbang­kannya ke mana-mana.

"Rara, ikut yuk!"

Kugelengkan kepalaku ke arah Rudi yang sudah menghentikan motornya di sisiku. Anak manis itu semakin baik hati saja belakangan ini.

"Aku dijemput," tangkisku.

"Mana?"

"Di dekat pintu gerbang."

"Ya sudahlah, kuantar sampai di sana!"

"Thanks, Rud." Aku menggeleng lagi, sambil tersenyum agar dia tidak, terlalu kecewa. "Aku lagi pingin jalan kaki."

Dan Rudi pun mau mengerti. Dia ber­lalu setelah menatapku sekilas. Begitu apik dia simpan kecewanya.

Aku tentu saja tahu betul kalau ber­jalan kaki di siang yang sepanas ini, dengan angin keras yang menerbang­kan debu-debu kering, sama sekali tidak enak. Tetapi seolah ada sesuatu yang lain yang tengah kususuri setiap kali aku berjalan seorang diri seperti ini. Aku tidak tahu persis apa itu. Namun hampir sepanjang jalan ini pernah ku­lalui bersama Sentanu. Dan jejak masa lalu itukah yang kini tengah kuhimpun lagi?

Sentanu. Nyatanya nama itu tak pernah - dan aku yakin pasti - tak akan per­nah lekang dari batinku. Aku tak bisa mengibaratkan dengan sesuatu yang lain, betapa seorang Sentanu telah begitu melekat erat dalam kehidupan­ku. Dia tertanam di hatiku, jauh lebih kokoh ketimbang karang di tengah laut. Jauh lebih dalam dan lebih kuat ketimbang pohon besar yang tertancap di bumi. Dan keadaan seperti ini, sung­guh -sungguh tak bisa berubah, betapa pun dia kini ....

Sampai di pintu gerbang kampus, aku mengedarkan mataku. Aku tak melihat siapa-siapa yang biasa menjemputku. Pak Amir, supir kami, tak kulihat. Bagas, adikku, juga tak kulihat. Ayah apalagi. Sesiang ini beliau pasti masih berkutet di kantornya.

"Rara… !”

Sebuah suara, meski pelan, begitu ­mengejutkanku. Dan aku lebih. terkejut lagi ketika tahu siapa lelaki setengah baya yang berdiri di depanku itu. "Bapak ada di sini?" tanyaku senang sekali. Beliau tertawa dan merangkul bahu­ku. Dibukanya pintu sedan biru langit­nya, dan aku duduk di sebelahnya tanpa canggung sedikit pun. "Tadi Bapak ketemu Bagas, lantas Bapak usir dia!" Beliau tertawa lagi, lepas sekali. Ada kerinduan yang sangat yang tak mampu dia sembunyikan. Pe­rasaanku sendiri mulai berkecamuk. Masa lalu yang kelewat manis selalu tak mampu kutolak dengan dinding hatiku yang memang rapuh, setiap kali dia hadir seperti ini. "Bapak kangen," Beliau bersuara lagi. "Dua bulan kita tak pernah bertemu dan berbincang, begitu lama rasanya. Kau sungguh-sungguh tak sudi ke rumah lagi?" Ditatapnya aku sekilas, namun begitu tajam. Begitu menikam. "Tidak untuk Nunu, Rara. Tapi untuk Bapak, Ibu, Iwuk dan Dedy. Mereka semua kangen. Mereka semua menanyakan­mu. Dan kau bisa bayangkan betapa bi­ngungnya Nunu setiap kali menghadapi pertanyaan mereka tentang kau!"

Mobil yang semula berjalan lurus kini berbelok. Panas di luar tak lagi ku­hiraukan kini. Sebab ada yang jauh lebih membara dan menggelegak di dalam sini. Oh, kerinduan ini ternyata tidak hanya pada Sentanu seorang. Te­tapi juga pada seluruh keluarganya. Dan kalau begini, aku tak tahu apakah aku harus menyesal dengan keputusan yang telah kuambil. Semakin kusadari betapa sebenarnya aku amat takut menghadapi sesuatu yang bernama ke­hilangan!

"Kita makan dulu. Setuju?"

"Tapi. . . . "

"Kau ditunggu di rumah? Baiklah. Lain kali tak apa. Jadi langsung pulang?"

Aku mengangguk. Haru. Beliau tak pernah memaksaku. Juga Sentanu. Itu­lah. Sentanu memang terbaik buatku. Dalam segala hal. Sayang dia hanya manusia biasa, yang tak akan pernah lepas dari salah. Dan dia telah melaku­kannya, begitu fatal. Dan hatiku begitu sulit untuk memaafkannya. Dan aku ke­hilangan!

***

Siang itu panas cukup terik, tapi hatiku sejuk saat turun dari bus yang membawa kami kembali ke kampus, setelah tiga bulan melak­sanakan KKN. Aku telah melihat Sen­tanu sejak bus memasuki pintu gerbang tadi, dan betapa waktu yang tidak terlalu lama ini telah diam-diam menyiksa kami. Mengendapkan kerinduan dan memutuskan sementara se­buah kebersamaan.

"Apa kabarmu, Rara?" Sentanu men­jabat tanganku erat, erat sekali, dengan kerinduan yang begitu sarat di matanya. Andaikata tidak banyak orang, rasanya ingin sekali aku menghambur ke dalam pelukannya. Supaya dia tahu bahwa aku pun telah begitu lama mengharapkan pertemuan seperti ini.

Dan seharian itu, tanpa mempeduli­kan sisa-sisa lelahku sehabis KKN, kuhabiskan bersama Sentanu. Aku ingat betul besok hari ulang tahunnya. Se­buah kipas cendana bertuliskan 'Ra­ra-Sentanu', yang kupesan khusus dari temanku di Bali, telah kusiapkan dengan bungkusnya yang manis sekali sejak seminggu yang lalu, pada saat aku masih di lokasi KKN. Aku ingin dia tahu betapa aku tak pernah bisa sedetik pun untuk tidak mengenangnya.

Tapi justru pagi di hari ulang tahunnya itulah awal badai yang memporak-po­randakan hubungan kami. Sentanu menerima kiriman bunga, lengkap dengan kartu ucapan berbentuk jantung hati berwarna merah sekali. Selamat ultah, Nunu. Dariku yang selalu mencintaimu. Indriana.

"Siapa dia, Nunu?" Aku tak bisa me­nahan diri untuk tidak bertanya. Kalau aku curiga, itu sungguh beralasan. Se­orang cewek, siapa pun dia, tak akan seberani ini mengungkapkan perasaan­nya, kalau Sentanu tak lebih dulu masuk dalam kehidupannya.

"Aku kesepian, Rara. . . !" Lama sekali suara itu baru keluar dari bibir Sentanu. Meski begitu pelan dia mengucapkan­nya, namun gelegarnya melebihi petir di siang bolong sekali pun! Aku amat terpukul. Amat terluka. Dan Sentanu seketika berubah jadi orang yang amat asing bagiku.

PPL dan KKN kalau dijumlahkan menghabiskan waktu kurang lebih lima bulan. Aku telah melampauinya dengan baik sekali. Sepenuhnya melebur dengan masyarakat, jauh dari keluarga, jauh dari orang-orang tercinta dan kam­pung halaman, sungguh bukan cobaan yang ringan bagiku. Aku seringkali mengalami kesepian yang paling sepi, begitu menjemukan, namun aku selalu berusaha membuatnya menjadi ramai. Dan aku bisa. Telah kubuktikan bahwa, Rudi yang selama PPL dan KKN tak per­nah sejengkal pun mundur dari usaha­nya untuk menarik perhatianku, ternya­ta tak pernah mampu menembus ben­teng pertahananku. Padahal, sungguh tak ada alasan untuk menolaknya. Dia amat baik, penuh pengertian, cerdas. Dia juga amat simpatik. Dan Sentanu tak melebihi dia, dalam segala hal, kecuali bahwa aku begitu mencintainya!

Karena itu aku tak bisa menerima ala­san 'kesepian' yang dikemukakan Sen­tanu. Sepi bisa dibuat ramai kalau dia mau. Tapi dia justru membiarkan sepi menjadi semakin sepi, sehingga ke­hadiran Indriana, teman KKN-nya, tak mampu ditolaknya.

"Tapi akhirnya aku berterus-terang kalau ada kau, Ra." Sentanu mengaju­kan pembelaannya pada sehari berikut­nya. "Aku mengaku khilaf. Aku telah melukainya, juga melukaimu. Tapi aku sungguh tidak ingin kehilangan kau!"

Waktu itu aku hanya diam. Entah ke­napa aku semakin suka berdiam diri, kendati batinku berteriak-teriak. Sen­tanu tak sekadar melukaiku. Tapi lebih dalam dan lebih sakit dari hanya se­kadar luka!

Dulu sekali aku sudah pernah berkata padanya bahwa, adalah hal yang amat mudah untuk mengkhianatiku. Aku tak pernah menuntutnya apa pun karena aku begitu percaya dia setia.

"Denganku, menyeleweng, berkhi­anat, adalah hal yang amat mudah, Nu. Tapi tolong jangan lakukan itu!" kataku suatu hari. Dan Sentanu mengangguk mengerti.

"Apa aku perlu janji?" tanyanya ke­mudian.

Aku cepat menggeleng. Sebab aku memang tak begitu suka dengan janji. Bagiku - dan aku yakin juga bagi yang lain - bukti adalah jauh lebih penting dan berarti daripada sekedar janji.

Waktu itu musim tidaklah kemarau seperti ini. Bahkan hujan hampir setiap hari mengguyur wajah bumi. Hari-hari­ku hampir tak ada yang tak kulalui ber­sama Sentanu. Kami saling menjaga, kami saling mengerti. Kami saling mem­beri arti. Mengenangkan hari-hari yang cerah berbunga seperti itu, betapa me­meriahkan. Akankah ia kembali?

“Rara… !”

Aku segera menata perasaanku dan menariknya dari dunia lamunan. Aku tahu sebentar lagi pemilik suara itu, Ba­gas, akan duduk di sampingku, dan kami bisa berbincang sampai jauh malam. Tak ada teman yang lebih baik dari dia sementara ini.

"Bagaimana dengan ayah Nanu? Kau diantarnya tadi?" Bagas duduk di sebelahku.

Aku meagangguk.

“Dia kelihatannya rindu sekali pa­damu!”

“Ya.”

“Apalagi Nunu!”

Aku tersenyum tanpa makna. Perih. Nunu - Sentanu - kusadari kalau nama itu suka membuatku sinting sejak dulu.

"Dia tak pernah menemuimu lagi?"

"Kelihatannya bagaimana?" Aku balik bertanya.

"Di rumah sih tidak. Mungkin di kam­pus?"

Kugelengkan kepala. Seminggu sete­lah ulang tahunnya, adalah pertemuan kami yang terakhir. Kukatakan bahwa semuanya telah sia-sia. Bangunan cinta yang telah kami dirikan dengan susah payah, ambruk dengan percuma. Dia harus pergi dari hatiku. Dan kupaksa supaya menutup segalanya yang per­nah kami alami bersama sebagai ke­nangan masa silam. Sentanu pun ber­lalu, namun betapa terluka ia. Semen­tara setelah itu, aku sendiri ibarat kelana yang ke mana pun pergi membawa cin­ta!

"Kau tidak menyesal dangan keputusan ini, Rara?"

            "Berapa kali kau tanyakan itu, dan berapa kali kujawab dengan kata tidak?"

            Bagas tersenyum meski dia tahu aku mulai marah.

            "Kupikir kau memang terlalu angkuh. Kau terlalu tinggi hati untuk mengakui bahwa kau sebenarnya amat membutuhkan Nunu. Kau mesti jujur, Ra, bahwa kau menyesal dengan sikap seperti ini!"

            Kutatap mata adikku dalam-dalam. Aku kakaknya, dan kalimat seperti itu terlalu lancang untuk dia lontarkan. Tapi aku mencoba menyabarkan diri. Selama ini kami saling mengasihi. Apa pun yang kami lakukan, bagaimanapun sikap yang kami perlihatkan, semata-­mata demi kebaikan kami. Mungkin kali ini pun Bagas berusaha melakukan yang terbaik; dia tengah mencoba membuka mata batinku yang telah cukup lama di­selubungi sakit hati. Sayang aku belum mengizinkannya...!

***

 

Lelaki setengah baya itu, ayah Sentanu, menjemputku lagi. Senyum­nya terasa jauh lebih sejuk di si­ang yang panas seperti ini.

"Bapak mengusir Bagas lagi?" tanya­ku begitu aku telah duduk di se­belahnya, di dalam sedan biru langit­nya.

"Tidak. Pak Amir. Dan Bapak telah katakan juga kalau kita akan makan siang bersama hari ini. Begitu, kan?" Aku tersenyum kecut. Ringan sekali bicaranya. Seolah rencana seperti ini telah kami sepakati bersama sebelum­nya. Padahal aku lebih merasa ditodong daripada diajak baik-baik.

"Kau merasa ditodong?" Beliau se­perti tahu jalan pikiranku.

"Ya. Seperti ini, apalagi namanya kalau tidak ditodong?" Aku tertawa.

"Iya, kan? Bapak memang sengaja me­nodong saya, kan?"

Beliau tergelak. Suaranya lunak sekali, dan aku begitu menyukainya. Sentanu juga menyenangkan seperti itu kalau lagi tertawa.

"Tidak. Kau boleh menolak kalau ti­dak setuju."

Kugelengkan kepala dan tersenyum.

"Saya toh tidak bilang tidak setuju, Pak!"

Dan mobil pun berjalan terus. Sesekali pelan karena lalu lintas pada jam-jam begini begitu ramai. Aku tahu ke mana orang ini akan membawaku; Bioskop Aurora. Di depannya ada warung se­derhana yang hanya bersekat kain, tapi bakso dan es telernya enak sekali. Kami - aku dan Sentanu sekeluarga - sering sekali ke sana, dulu. Biasanya  Sentanu akan protes kalau aku lebih suka duduk di sisi ayahnya daripada di sisinya. Oh, masa-masa manis seperti itu, kapan ter­ulang lagi?

Aurora tidak begitu penuh ternyata. Padahal pada jam-jam makan seperti ini, biasanya sangat padat. Kami memilih tempat duduk di sudut, tempat yang du­lunya telah amat akrab.

"Bakso? Es Teler?"

"Dua-duanya!" Aku cepat menyahut ketika ayah Sentanu menawariku. Beliau tergelak dan langsung memesan ma­sing-masing dua pada pelayan. Hal-hal seperti ini telah amat biasa kami lakukan bersama. Bahkan aku merasa lebih se­ring melakukannya bersama ayah Santanu daripada dengan ayahku sendiri.

Kami menyantap hidangan yang da­tang dengan nikmat. Tapi kurasakan ada sesuatu yang kurang. Kutatap ayah Sentanu dengan ekor mataku. Pe­rasaanku berubah sedih dengan begitu saja. Adakah dia merasakan perasaan yang sama? Bahwa suasana akan jauh lebih menyenangkan jika saja Sentanu, Iwuk, Dedy serta Ibu juga berada di tengah-tengah kami?

"Apa kabar dengan Ibu, Bapak?" Aku memecah kesepian yang beberapa saat menguasai.

"Baik. Oya, Ibu selalu ingat kau setiap kali bikin sirup jeruk, sirup kesukaan­mu. He, kau tidak kangen dengan ora­nge juice segar bikinannya?"

Aku tersenyum tanpa tahu mesti ber­ucap apa. Kalau ditanya soal kangen, rasanya jika kutuangkan tak akan cukup berapa pun tempatnya. Kangen ini ke­lewat besar. Pada semuanya. Pada Sen­tanu. Pada Ibu, Iwuk serta Dedy. Pada kehangatan yang tak pernah lekang melingkupi keluarga mereka.

"Rara, kau benar-benar tidak sudi lagi ke rumah?" Ayah Sentanu bertanya tan­pa menatapku.

Kutata perasaanku sebelum menja­wab. "Saya tidak pernah berkata begitu, kan, Pak?

"Tapi nyatanya kau tak pernah da­tang. Apa bedanya?"

“Saya...!”

"Bapak mengerti kau sangat terluka. Wajar. Memang tak selayaknya Nunu memperlakukan kau seperti ini Kau lembut hati, amat sensitif, Bapak tahu betul itu. Tapi kau juga keras kepala, terlalu tinggi hati untuk memaafkan kalau disakiti...!"

"Saya telah memaafkan Nunu!"

"Hatimu tak pernah bisa memaafkannya!"

Aku menggigit. bibir. Kuaduk es te­lerku tanpa gelera. Berapa orang sudah yang menuduhku angkuh? Dan betapa aku tak pernah bisa menolak. Sebab hati kecilku sendiri tak pernah bisa me­ngelak.

"Nunu teramat mencintaimu, Rara. Kau juga amat mencintainya, kan?" Bapak memandangku lembut. Tatapan itu, terasa bagai sembilu menikam jan­tungku. Begitu jugalah cara Sentanu menatapku. Segera kusembunyikan ma­taku, takut kalau kerawanan di segenap hati dan perasaanku saat ini terbaca olehnya.

"Selama ini tak ada apa pun yang mengikat kami, Bapak. Selain cinta dan saling percaya. Bila salah satu dari kami sudah tak bisa lagi memegang keper­cayaan itu, apalagi yang saya harap­kan?"

"Tapi Nunu bukanlah malaikat atau nabi, Rara. Nunu manusia biasa. Dia tak mungkin bisa lepas dari khilaf, kau pasti tahu itu. Sepandai-pandai tupai melom­pat, dia akan jatuh juga sekali waktu. Sepandai-pandai ular merambat, satu saat dia akan terpeleset juga. Dan Nunu memang bukan tupai, bukan ular. Tapi, sekali lagi, dia manusia biasa!"

Aku tersenyum begitu saja setelah laki-laki arif itu mengakhiri kalimatnya.

"Hm, saya diajak ke sini tidak untuk mendengarkan pidato kan, Pak?" selo­rohku. Beliau tersenyum mengerti..

"Maaf. Maaf kalau Bapak terlalu menggebu-gebu. Itu karena kami semua sudah terlanjur amat menya­yangimu. Tidak hanya Nunu yang takut kehilanganmu, Rara. Tapi juga Bapak, Ibu, bahkan Iwuk dan Dedy. Kau me­ngerti, kan?"  

Aku mengangguk. "Saya mengerti."

"Sekadar mengerti?"

"Maksud Bapak?"

“Datanglah ke rumah. Kau mau?”

Mata tua itu begitu mengharap. Dan aku kebingungan.

"Kapan, Bapak?"

"Nanti sore Bapak dan Ibu akan mera­yakan kawin perak. Kau mau datang?" Aku bingung lagi.

"Atau perlu dijemput?"

"Oh, tidak!" Cepat kugelengkan kepala. Aku tahu. pada akhirnya nanti Sentanulah yang akan menjemputku. Dan tiba-tiba saja sebuah kecurigaan muncul di kepalaku.

"Bapak betul-betul ingin saya dan Nunu bisa kembali seperti dulu?"

Lelaki itu memandangku tajam se­belum kepalanya mengangguk. "Ten­tu."

"Karena itu jugakah Bapak begitu mengharapkan saya datang?"

Bibirnya langsung mengulas senyum. "Rupanya kau mulai curiga lagi. Rara, meskipun kami semua ingin kau dan Nunu bisa kembali seperti dulu, tapi kami tak akan pernah ikut campur da­lam masalah kalian. Kau sudah dewasa, Nunu juga. Dan kami semua yakin, apa pun masalah yang kalian hadapi, akan kalian selesaikan secara dewasa juga. Ayolah, jangan berprasangka yang ti­dak-tidak. Tak ada misi terselubung dalam undangan Bapak ini!"

Aku tersenyum, dan diam-diam me­rasa berdosa. Orang ini selalu bijaksana dalam menanggapi sikapku.

"Bagaimana kalau sekarang juga saya ikut Bapak ke rumah?"

"Oya?" Jelas sekali kalau dia amat ter­kejut. "Oh, Bapak akan senang sekali. Ayo!"

Sedan biru langit yang kami tumpangi meluncur lagi di jalan raya. Tak ada kata-kata yang kami ucapkan. Lelaki se­tengah baya di sebelahku itu seperti sedang berusaha menahan perasaanya. Wajahnya yang bersih begitu berseri, ibarat pahlawan menang perang. Se­makin kusadari betapa aku amat berarti bagi mereka.

Aku seperti pengembara yang pulang kampung waktu sampai di rumah. Ada perasaan yang begitu karib sekaligus amat asing. Namun sambutan Ibu, Iwuk dan Dedy segera menetralkan hatiku. Kebahagiaan mereka dengan kehadir­anku begitu tak disembunyikan. Tapi mereka segera pergi ketika Sentanu rnuncul.

Dan sedemikian tertegunnya aku saat kupandang Sentanu. Dia jauh lebih kurus ketimbang dua-tiga bulan yang lalu. Begitu cepatnya waktu dan situasi mengubahnya. Aku tahu, bibirnya yang bergetar saat memanggilku, adalah lu­apan kerinduan yang telah sekian lama diendapkannya.

"Akhirnya kau datang juga, Rara!" Ka­tanya, masih dengan nada penuh dosa, seperti pesakitan. Oh, betapa aku telah menyiksanya selama ini. Mestinya aku tahu ini sejak dulu.

"Kau akan berkata bahwa aku telah kalah?"

"Tidak!" Sentanu menggeleng. "Kau justru telah menang!"

Kutatap dia tak mengerti Dia ter­senyum, amat hati-hati, seperti takut senyumnya akan salah.

"Kau justru telah menang." Dia ulangi kalimatnya. "Sebab kau telah berhasil menaklukkan keangkuhanmu sendiri, yang orang lain tak pernah bisa melaku­kannya, termasuk aku. Kau tahu mak­sudku?"

Tentu saja aku amat mengerti. Sentanu masih saja amat menarik kalau bicara. Dan bagiku dia akan selalu menarik. Selalu kucinta. Itu artinya aku. harus bisa memaafkannya, menerimanya lengkap dengan segala kelebihan dan keku­rangannya. Aku ingin belajar banyak dari semua ini…!

***

Pertengahan September ini, hujan belum juga turun. Rupa-rupanya dia sangat terlambat datang, hing­ga kemarau rasanya jadi kian panjang. Tapi pagi tadi sempat kulihat flamboyan mulai berbunga di sepanjang jalan-jalan kampus. Sebentar lagi dia pasti akan semakin semarak.

"Rara!"

Aku menoleh ke arah suara itu. Rudi yang baru keluar hari halaman parkir, menghampiriku bersama motornya.

"Ayo kuantar."

Aku mendesahkan napas panjang. Dia adalah rajawali paling tangkas di jurusanku. Siapa pun mengenalnya. Dan sungguh amat tidak pantas bila sepa­sang matanya yang tajam bisa berubah sesendu itu, hanya karena seorang Rara. Aku.

"Lihat, langit sebelah selatan men­dung. Sebentar lagi hujan akan turun!” ajak Rudi lagi dengan suara lunak.

Aku mengikuti pandangan Rudi. Ya, ada kulihat mendung di langit selatan. Tak begitu gelap memang. Tapi aku yakin, pasti hujan sebentar lagi turun. Oh. Tuhan telah mengirimkan anuge­rah-Nya.

Dan aku tetap menggeleng. "Pergilah duluan!"

Rudi menatapku putus asa. Begitu lama, sebelum akhirnya berlalu. Kali ini dia tak cukup lihai menyernbunyikan lu­kanya. Lewat matanya, aku bisa meli­hatnya dengan jelas.

Gerimis itu akhirnya turun juga. Ge­rimis pertama sejak kemarau panjang tahun ini. Bagai sejuta karunia dia meng­guyur hatiku. Begitu sejuk. Berkali-kali kuhirup udara yang bercampur dengan bau tanah basah. Segar sekali.

"Rara, ayo cepat. Hujan deras sekali!" Aku segera bangkit dan berlari men­dapatkan Sentanu yang telah kuyup. Dialah yang sejak tadi kutunggu. Baru kusadari kalau gerimis telah berubah jadi hujan yang deras. Tapi kami tetap duduk tenang di atas motor, pulang. Hu­jan seperti ini telah amat lama kurin­dukan. Sederas apa pun dia, tatap kuanggap sebagai karunia Tuhan.

Dan bunga-bunga flamboyan yang terangguk-angguk di sepanjang jalan yang kami lalui, adalah bunga-bunga di hatiku. Aku tahu, jika musimnya telah tiba, dia akan gugur. Namun hari-hari kami akan tetap cerah penuh bunga: bunga cinta.

(Buat Baskoro Adjie: happy birthday).            

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...