Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Juni 2022

Penulis Amatir (Bagian 2, selesai)


Suatu ketika, secara kebetulan, saya dipertemukan dengan para pegiat dan dedengkot literasi, antara lain almarhumah Sirikit Syah, Satria Dharma , Much Khoiri , almarhum Rukin Firda , Eko Prasetyo , Habe Arifin , Ihsan Mohammad , Ria Fariana , Abdur Rohman , Pratiwi Retnaningdyah , Mas Hartoko ,  Dina Hanif Mufidah ,  Icha Hariani Susanti , Fafi Inayatillah , dan banyak lagi. Mereka semua adalah alumni IKIP Surabaya atau Unesa. Mereka semua penulis yang merupakan alumni fakultas bahasa. Mungkin karena tulisan jugalah yang membawa saya bisa masuk dalam komunitas para dedengkot ini.

 

Kami tergabung dalam milis keluarga Unesa. Berdiskusi banyak hal dan berbagi pengalaman lewat tulisan. Lantas kami membuat buku keroyokan. Ada kumpulan cerpen, kumpulan puisi, kumpulan feature, dan kumpulan artikel.

 

Saya juga mengikuti kegiatan-kegiatan literasi seperti bedah buku, pelatihan menulis, diskusi dan seminar.

 

Suatu saat, ada kegiatan bedah buku di Balai Pemuda. Buku yang dibedah adalah antologi cerpen berjudul "Ndoro, Saya Ingin Bicara." Sebuah buku yang kami tulis keroyokan. Salah satu narasumbernya adalah sastrawan beken Tengsoe Tjahjono . Ada satu pernyataan beliau yang terus terngiang-ngiang di benak saya. Intinya, seorang sastrawan tidak pernah berhenti menulis. Bila seseorang pernah menulis, kemudian dia berhenti menulis, lantas menulis lagi, sesungguhnya dia bukan seorang sastrawan, bukan seorang penulis.

 

Nah, itulah mengapa saya menyebut saya sebagai penulis amatir. Saya menulis hanya kalau ingin saja. Khususnya menulis cerita fiksi, puisi, feature, atau artikel ringan. Saya tidak secara konsisten memaksa mood saya untuk selalu mau menulis. Sesuka-suka saya. Apa yang saya tulis juga sesuka-suka saya. Nyaris tak pernah pasang target. Pokoknya nulis kalau lagi mau. Kalau nggak, ya nggak nulis. Hehe.

 

Namun tentu saja berbeda ketika menulis sebagai tuntutan profesi. Tuntutan akdemis. Kalau urusan ini, saya selalu pasang target. Menulis skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, publikasi ilmiah, buku kuliah, harus dan harus. Tapi jangan salah. Saya pasang targetnya pakai standar minimal saja ya. Sekadar, ya sekadar memenuhi tuntutan minimal untuk naik pangkat dan jabatan. Tapi alhamdulilah, so far, pencapaiannya selalu di atas target minimal. Berkah mestakung. Semesta mendukung.

 

Sebagai seorang penulis amatir, maka menulis yang paling mudah bagi saya adalah menulis feature. Ya, karena jenis tulisan ini lebih banyak menceritakan pengalaman pribadi, bisa yang dialami sendiri atau orang lain. Tidak terlalu terikat pada aturan atau kaidah penulisan. Tidak selalu butuh referensi, tidak memerlukan metodologi.

 

Menulis yang paling abot bagi saya adalah menulis artikel ilmiah untuk publikasi pada jurnal ilmiah. Perlu ketekunan, ketangguhan, kesabaran, daya tahan. Bagi banyak teman, menulis artikel ilmiah bisa jadi mudah dan dia bisa menghasilkan belasan artikel ilmiah setiap tahun. Kalau ada yang seperti ini, saya cukuplah berdecak kagum dan mengucap kata "wow!".

 

Selesai

 

Surabaya, 19 Juni 2022

Jumat, 17 Juni 2022

Penulis Amatir (1)


Saya adalah seorang penulis amatir. Saya menulis apa saja. Cerpen, cerber, puisi, feature, artikel ilmiah, artikel populer, resensi buku, dan tentu saja menulis status di medsos, seperti yang saat ini saya lakukan.

 

Karena penulis amatir, saya tidak pernah secara khusus belajar menulis. Saya belajar sendiri, dari membaca tulisan orang lain dan dari buku-buku. Salah satu buku yang saya baca adalah "Mengarang itu Gampang" tulisan Arswendo Atmowiloto. Kakak saya, Mas Zen Zainal Makarim Azach , tahu kalau saya suka menulis, dan diberilah saya buku itu, waktu saya masih kelas 1 SMA.

 

Pernah juga sih, ikut pelatihan jurnalistik di kampus. Bareng dengan sahabat saya Pratiwi Retnaningdyah . Saat itu, tulisan saya sempat jadi tulisan terbaik. Hihi.

 

Meskipun saya bukan penulis profesional, tapi saya sudah pernah memiliki cita-cita untuk jadi penulis profesional. Ya, setidaknya pernah bercita-cita. Meskipun tidak pernah serius mewujudkan cita-cita itu.

 

Saya kutu buku sejak SD. Buku perpustakaan sekolah habis saya lahap. Buku di perpustakaan umum, yang ada di dekat SMA, sebagian besar sudah saya baca. Saya membaca buku sastra, novel, kumpulan cerpen, biografi, dan lain-lain. Saya membaca majalah Bobo, Kawanku, Kuncup, Jayabaya, Penjebar Semangat, Hai, Gadis, Anita Cemerlang....

 

Nah, ini tentang Anita Cemerlang. Saya adalah penyuka majalah nasional remaja itu. Iya, betul, mungkin karena saya tipe melangkolis dan suka mendayu-dayu. Berhati Rinto, kata Mas Nanang Ahmad Rizali . Untungnya tidak berbodi Rambo.

 

Saking ngefans-nya sama Anita Cemerlang, saya ngebet pingin ikutan nulis di majalah yang super keren itu. Ada Adek Alwi di sana, Leila S Chudhori, Zara Zettira, Lan Fang, banyak lagilah penulis-penulis keren.

 

Maka sejak SMP, saya mulai menulis cerpen dan mengirimkannya ke Redaksi Anita Cemerlang. Lewat pos tentu saja. Seingat saya, alamatnya adalah PO Box 78 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Surat pengantar cerpen pertama saya dibuatkan oleh Mas Zen. Saya gagal, cerpen dikembalikan. Saya menulis lagi, saya kirim, gagal lagi, begitu terus entah sampai berapa kali saya mencoba dan gagal. Bagusnya redaksi, setiap cerpen yang dikembalikan, pasti diberi komentar dan catatan-catatan. Di sini juga saya belajar menulis.

 

Baru kemudian, seingat saya kelas satu SMA, cerpen saya berhasil dimuat. Kepala sekolah SMA 2 Tuban, namanya Pak Bram, memanggil nama saya lewat loudspeaker, supaya saya datang ke kantor sekolah. Ternyata saya mendapat kiriman majalah Anita Cemerlang dan wesel. Girang sekali saya. Honor pertama saya adalah lima belas ribu rupiah.

 

Hari itu juga saya traktir beberapa teman untuk makan bakso. Sahabat saya dulu, salah satunya adalah Yayuk Sri Rahayoe , yang sampai saat ini masih ingat suka saya traktir bakso. Juga Mas Nganti Irawan , yang katanya pernah saya traktir juga, tapi saya tentu saja tidak ingat setiap nama yang pernah makan bakso bersama saya dari honor menulis cerpen. Saya juga membelikan sesuatu untuk adik-adik saya, putra-putrinya Kyai Ali Tamam, tempat saya mondok, meskipun hanya barang-barang kecil. Dik La'alik Helmiyati Aly , apa kabar, Dik?

 

Sejak saat itu, setiap cerpen yang saya kirim, hampir selalu dimuat di Anita Cemerlang. Honor saya juga semakin lama semakin naik. Ada juga cerpen saya yang dimuat sebagai cerita utama, dan ilustrasinya terpampang di cover-nya. Wah, bangganya luar biasa.

 

Saya juga mengikuti lomba cipta cerpen remaja, dan meskipun tidak menang, cerpen saya termasuk yang layak muat. Saya juga menulis cerber, satu-satunya cerber yang saya pernah tulis. Saya juga menulis feature, saya ingat, saya menulis tentang kehidupan para pencari belerang di Gunung Welirang.

 

Di kampus, saya menjadi wakil redaksi majalah ilmiah, juga menjadi reporter di koran kampus. Pernah juga mengisi kolom kuliner yang terbit setiap hari Minggu di Surat Kabar Surya.

 

Saya mulai berhenti menulis, khususnya cerpen, ketika saya sudah mulai dihinggapi gejala imsomnia. Ya, karena ide seringkali berjejalan di kepala saya, setiap malam saya sulit tidur. Sering saya tidur menjelang adzan subuh. Kadang tengah malam saya turun dari tempat tidur karena ingin menuangkan rangkaian cerita yang sudah menumpuk di kepala. Lantas saya mengetik dengan mesin tik cetak-cetok itu sampai menjelang pagi.

 

Khawatir dengan keadaan saya sendiri, saya akhirnya memutuskan untuk sementara berhenti menulis. Setiap ada inspirasi untuk bahan cerpen, saya selalu membuang inspirasi itu. Saya tidak mau terganggu dengan inspirasi. Saya berhenti merangkai-rangkai cerita dalam hayalan saya. Saya harus berhenti. Setidaknya jeda.

 

Bertahun-tahu saya jeda menulis cerpen. Hanya sesekali, sesekali saja kalau lagi pingin. Sebagai gantinya, karena saat itu saya adalah dosen muda, saya menulis proposal penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Saya, tentu saja, juga menulis buku dan artikel ilmiah, sebagai tuntutan standar seorang dosen.

 

Bersambung...

 

Surabaya, 18 Juni 2022

Rabu, 22 Desember 2021

IBU


Perempuan Berdaya, Indonesia Maju. Itulah tema peringatan Hari Kartini ke-93 tahun ini. Merepresentasikan pentingnya peran perempuan bagi kemajuan bangsa dan negara.

 

Tugas seorang perempuan sebagai ibu sekaligus istri, sangatlah luar biasa. Peran perempuan bahkan disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW yang menyatakan, perempuan adalah tiang negara. Jika baik para perempuan, maka baiklah negara. Jika rusak para perempuan, maka rusak pula negara.

 

Pagi sampai siang tadi saya mengikuti dua webinar yang sangat luar biasa. Yang pertama merupakan undangan dari Kemenaker, agendanya adalah Pencanangan Sektor Perkebunan Kelapa Sawit Terbebas dari Pekerja Anak. Ibu Menteri Ida Fauziyah memberikan penghargaan pada puluhan perusahaan dan bupati yang di wilayahnya tidak ada lagi pekerja anak pada perkebunan kelapa sawit. Acara dihadiri oleh para pejabat eselon di kementerian/lembaga terkait, bupati, dan wakil dari perusahaan. Pencanangan ini merupakan salah satu bentuk komitmen untuk mewujudkan visi Indonesia terbebas dari pekerja anak.

 

Webinar lain yang saya ikuti adalah Peringatan Hari Kartini ke-93. Posisi saya sebenarnya adalah mewakili Gus Menteri Desa, namun ternyata pada acara tersebut, juga ada penyerahan buku dari Perhimpunan Pejabat Tinggi Madya Perempuan--yang kebetulan saya sebagai salah satu anggotanya--kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Ibu Bintang Darmawati. Buku yang berjudul “Ibuku Inspirasiku” ini berisi tiga puluh tulisan yang berkisah tentang sosok ibu di mata para penulis. Tulisan para pejabat tinggi perempuan ini ternyata luar biasa, sangat apik, merepresentasikan kekaguman, kecintaan, kerinduan, pada sosok ibu masing-masing. Saya juga menyumbangkan satu tulisan saya, yang tentu saja adalah juga tentang sosok ibu saya tercinta.

 

Saya sangat menikmati webinar ini dan mengikutinya dengan relatif khusyu’. Kebetulan tidak ada agenda lain pada waktu tersebut, kecuali dua webinar yang waktunya bersamaan. Satu PC dan satu laptop tidak terlalu membuat saya pusing. Saya masih relatif bisa mengikuti keduanya dengan baik sampai selesai.

 

Beberapa perempuan hebat berbicara pada webinar ini. Mulai dari Menteri PPPA yang cerdas dan cantik, Ibu Bintang; kemudian Ibu Negara yang sederhana dan anggun, Ibu Iriana Joko Widodo; keduanya hadir secara luring. Kemudian disambung dengan Puan Maharani, Sri Mulyani Indrawati, Ida Fauziah, Tri Rismaharini, Retno Marsudi, dan Siti Nurbaya. Ya, para menteri perempuan yang luar biasa inspiratif itu, lepas dari 'dengan segala.kontroversinya'. Ada juga pemberian penghargaan bagi kementerian/lembaga yang sudah melakukan ‘gender manstreaming’, dengan salah satu indikatornya adalah persentase pejabat tinggi perempuan yang lebih besar daripada persentase pejabat tinggi laki-laki.

 

Hari Ibu bukan sekadar hari untuk mengucapkan terima kasih pada Ibu atas semua jasa yang telah dia korbankan. Hari Ibu adalah saat kita untuk melakukan refleksi diri, siapa pun kita, untuk terus berjuang menjadi isteri dan ibu yang baik, sekaligus mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat. Menjadi perempuan yang berdaya namun tetap menjunjung tinggi kewajiban sebagai ibu dan isteri. Menjadi perempuan yang kuat dan tegar untuk menghadapi segala tantangan hari ini dan ke depan. Menjadi perempuan yang mampu mengantarkan keluarga untuk mampu bertahan, dan bahkan berkembang, dalam situasi perubahan seperti apa pun.

 

Selama mengikuti webinar, pikiran saya terus terkenang almarhumah Ibu saya, Ibu Basjiroh Shoimuri. Ini adalah kali pertama Hari Ibu yang saya lalui tanpa Ibu. Ada rasa kehilangan yang kembali membuncah. Ada kepedihan yang begitu mengiris hati. Ada kerinduan yang menggumpal dan menyesakkan. Ada air mata yang jatuh tak tertahankan…..

Dan meluncurlah doa-doa terbaik saya untuk Ibu.

 

Ibu adalah inspirasi saya sepanjang hayat. Ibulah yang telah melukis jiwa raga saya. Membukakan mata dan hati saya. Menerangi jalan hidup saya. Dengan senyum dan doanya, ibu menguatkan saya, mengantarkan saya sampai pada titik ini.

 

Ibu boleh pergi dari dunia ini. Ibu boleh kembali kepada Allah Sang Pemilik Hidup. Namun spirit ibu tetap di sini, di hati ini. Tak lekang, sampai akhir nanti.

 

Rabbighfir lī, wa li wālidayya, warham humā kamā rabbayānī shaghīrā.

"Tuhanku, ampunilah dosaku dan (dosa) kedua orang tuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu aku kecil."

 

Selamat Hari Ibu.

 

Jakarta, 22 Desember 2021

Kamis, 16 Desember 2021

Kehidupan dan Keilmuan

Oleh: Luthfiyah Nurlaela

Dalam kehidupan kita, ilmu menjadi bagian penting yang tak terpisahkan. Sejak zaman dahulu, bahkan sejak manusia pertama diciptakan, kita selalu berusaha mencari ilmu. Nenek moyang kita mampu bertahan hidup dan memecahkan berbagai persoalan kehidupan karena belajar dari pengalaman demi pengalaman. Pengalaman tersebut yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, dan berkembang menjadi pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

Di sekitar kita, mungkin termasuk kita, banyak orang berusaha menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bahkan tidak puas hanya sampai lulus S1, S2, S3, beberapa dari mereka mengambil program postdoc atau program lain yang sejenis. Para santri tidak cukup belajar pada satu pondok pesantren, seringkali mereka merasa perlu berpindah ke pondok pesantren yang lain. Atau setidaknya belajar dari satu kyai ke kyai yang lain.

Begitulah. Apakah yang sesungguhnya sedang mereka dan kita cari? Ya, mestinya, mereka atau kita sedang mencari ilmu.

Saya teringat pada salah satu mantan mahasiswa saya. Dia kuliah di S2. Seorang guru SMK swasta. Saat menjadi mahasiwa baru S2, usianya sekitar 36 tahun. Dia berharap bisa lulus secepatnya, lantas bisa menjadi dosen. Tetapi ternyata, perjalanan studinya tidak semulus yang dia bayangkan, karena berbagai kendala. Kemudian dia bertanya pada saya. “Bu, sepertinya saya tidak bisa lulus tepat waktu. Padahal keputusan saya untuk mengambil S2 ini karena kalau lulus, saya ingin mendaftar jadi dosen. Saya mengejar lulus sebelum usia 40, karena salah satu syarat mendaftar, usia maksimal 40. Tapi sepertinya saya tidak “nutut”. Apa saya keluar saja ya Bu? Tidak usah lanjut kuliah?”

Saya spontan bertanya. “Tujuan Anda kuliah itu apa?”. “Ya mencari ilmu dan sekaligus cari ijazah, Bu. Biar bisa saya pakai untuk mendaftar jadi dosen.” Begitu jawabnya. “Kembalilah pada niat pertama, mencari ilmu. Insyaallah Gusti Allah akan menata hidup Anda dengan baik, meskipun Anda tidak jadi dosen. Percayalah. Anda akan tetap bisa memberikan manfaat dengan ilmu Anda.

Saya percaya dengan saran saya itu karena saya meyakini mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang. Tentunya ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa kita amalkan, berguna bagi keluarga, dan memberi kemaslahatan pada orang banyak. Ilmu yang bisa kita dedikasikan bagi kehidupan. Tidak sekadar mengantarkan kita pada pekerjaan yang baik, meskipun hal tersebut-tidak kita pungkiri-bisa saja menjadi tujuan banyak orang. Dan itu baik saja.

Namun apa pun pekerjaan kita, sesungguhnya semuanya adalah dalam rangka memberikan kemanfaatan pada keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Memberikan kontribusi bagi kehidupan.

Dari tinjauan filsafat aksiologi, ilmu seharusnya memiliki nilai guna. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna etika memiliki dua arti. Pertama, merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Kedua, suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lain.

Nilai bisa bersifat objektif maupun subjektif. Nilai dikatakan objektif jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran orang yang menilai. Tolak ukurnya berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran menurut individu atau penilainya, melainkan pada objektivitas fakta. Sedangkan nilai menjadi subjektif, bila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dipungkiri, ilmu itu sangat berguna atau bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Francis Bacon sebagaimana dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri (1996), menemukakan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Kekuasaan dalam hal ini bisa bermakna kebaikan atau keburukan. Ilmu (juga teknologi) telah banyak mengubah wajah dunia. Memberikan kemudahan-kemudahan dalam berbagai segi kehidupan. Memberi pencerahan bagi manusia untuk dapat menguak tabir fenomena alam dan melakukan prediksi-prediksi. Memberi kemampuan pada manusia untuk melakukan antisipasi-antisipasi. Dengan begitu manusia bisa mengendalikan alam, mengelolanya, memanfaatkannya seoptimal mungkin bagi kemaslahatan umat. Dengan ilmu juga,  manusia dapat memperpendek dan mempermudah proses pencapaian kebutuhan hidupnya. Ilmu juga telah membantu kehidupan manusia dalam hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan kebodohan, serta keterbelakangan peradaban. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya, ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesejateraan.

Namun, apakah semua ilmu dan teknologi memberikan kemaslahatan bagi umat manusia? Bagaimana dengan kerusakan-kerusakan yang telah terjadi selama ini di muka bumi? Malapetaka yang disebabkan oleh bom atom, misalnya? Atau terjadinya berbagai tindakan yang tidak manusia seperti teror dengan bom bunuh diri, aborsi, pemalsuan obat, pemalsuan makanan, pemalsuan kosmetik, dan sebagainya. Bukankah itu semua dilakukan oleh orang-orang yang berilmu? Lantas, adakah yang salah dengan ilmu itu sendiri?

Dalam lingkungan akademik, berbagai tindakan yang tidak elok juga sering terjadi. Praktik plagiasi, fabrikasi data, gratifikasi, melalaikan tugas, hanyalah beberapa contoh. Apakah pelakuknya bukan orang yang berilmu?

Manusia yang berilmu adalah manusia yang memiliki otoritas dalam bidang keilmuannya. Dialah pemilik kekuasaan. Dia bisa menggunakan untuk apa saja ilmu yang dimilikinya, apakah untuk kebaikan atau untuk keburukan. Bukan salah ilmu bila dia digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Ilmu bersifat netral pada bagian epistemologi dan ontologi, sedangkan pada tingkat aksiologi, ilmu terikat dengan nilai-nilai. Bagaimana pun, ilmu tidak mengenal baik atau buruk. Pemiliknyalah yang bisa menjadikan ilmu itu untuk kebaikan atau keburukan.

Inilah pentingnya mendudukkan ilmu secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusian. Jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka. Dengan demikian, dalam memanfaatkan atau menggunakan ilmu, hendaknya kita berlandaskan kepada moral.

Dengan demikian, semuanya kembali kepada kita sebagai pemilik ilmu. Tentu kita semua berharap, ilmu yang kita miliki adalah ilmu yang bermanfaat, bagi kehidupan, di dunia dan di akhirat kelak.

 

Surabaya, 1 November 2020

Rabu, 06 Oktober 2021

Quality Weekend


Jumat, 1 Oktober 2021  kemarin, saya nyambangi kampus Pascasarjana Unesa. Menguji ujian disertasi terbuka Bapak Heri Sudarmaji. Beliau adalah Kepala Pusat PSDMPU di Kemenhub RI. Kebetulan saya promotornya.

 

Ini adalah kali pertama ujian terbuka teramai selama pandemi. Meskipun ramai, prokes tetap terjaga. Undangannya adalah para pejabat di Kemenhub. Sekjen Kemenhub bahkan menjadi salah satu pengujinya. Sehari sebelumnya, saya seruangan dengan beliau di DPR Pusat saat rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR RI.

 

Pak Heri Sudarmaji bagi saya adalah sosok mahasiswa yang sangat mengagumkan. Pepatah 'berikan pekerjaan pada orang yang sibuk' berlaku untuknya. Meskipun beliau adalah pejabat di Kemenhub, tapi urusan kuliah, tugas-tugas, disertasi, publikasi, toefl, semua beres dengan cepat dan dengan hasil yang juga sangat mengagumkan.  Maka luluslah beliau pada Hari Kesaktian Pancasila itu, dengan predikat cumlaude.

 


Pak Heri Sudarmaji adalah lulusan pertama angkatan 2019 dan Doktor ketiga yang dihasilkan oleh Prodi S3 Pendidikan Vokasi Unesa. Beliau layak menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama mahasiswa. Inspirasi tentang ketekunan, kerja keras, integritas, kemandirian, dan kesantunan.

 

Salah satu temuan penting dari disertasinya adalah bahwa morality merupakan kompetensi inti dalam pengembangan kualitas SDM, tidak hanya skill, knowledge, dan attitude (SKA). Pertanyaan kritis yang hampir selalu muncul sejak ujian komprehensif, kelayakan, tertutup, dan terbuka, adalah attitude Vs morality. Dan beliau selalu bisa membuktikan bahwa morality berbeda dengan attitude. Morality seharusnya juga menjadi bagian penting dalam output pendidikan. Tidak hanya SKA, tetapi SKAM.

 


Setelah menguji, saya juga berkesempatan bertemu dengan para pendamping di Kabupaten Lamongan, juga dengan Kepala Dinas PMD. Yang menggembirakan, Dinas PMD menyediakan satu ruang khusus di lantai 2 kantor dinas untuk sekretariat para pendamping. Pak Kadis bahkan mengatakan, "saya tidak bisa apa-apa tanpa teman-teman pendamping." Andaikata hubungan mesra semacam ini terjalin di semua kabupaten dan provinsi, tentu akan sangat menunjang percepatan pencapaian program-program prioritas Kemndes, khususnya terkait BLT DD, penanganan covid-19, PKTD, dsb.

 

Dari Kantor Dinas PMD, kami mampir ke Masjid Namira. Shalat dhuhur-ashar jama' ta'khir. Mengagumi keindahan masjid yang masyhur itu. Hanya sebentar, dan kami lanjut kembali ke Surabaya. Alhamdulilah, ada bonus quality time bersama suami dan anak cucu tercinta.

 

Alhamdulilah juga, pagi ini kami sudah di Bandara Juanda lagi. Hari ini kami akan terbang ke Bengkulu. Juanda ramainya masyaallah. Beberapa minggu terakhir ini, kondisi di berbagai bandara memang sudah sangat normal. Alhamdulilah. Semoga pandemi terus dan terus melandai. Semoga vaksinasi berhasil dan Indonesia serta seluruh negara segera mencapai herd immunity.

 

Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh.

 

Surabaya, 3 Oktober 2021

Minggu, 22 Agustus 2021

Budi Darma, Sang Penyayang Itu (Sebuah Obituari)

Kenangan saya tampil di Nawawarsa Himapala KM IKIP Surabaya 1987.

Hari ini, saya kehilangan sosok penyayang dan sederhana itu. Sabtu, 21 Agustus 2021, pada sekitar pukul 08.25 WIB, saya membaca kabar duka itu di sebuah grup whatsapp (wa). Sosok yang begitu dekat di hati itu telah berpulang pada sekitar pukul 06.00 WIB. Setelah sejak 28 Juli 2021, begitulah kabar yang saya terima juga dari sebuah grup wa, beliau berjuang karena terpapar covid. Selain beliau, isteri beliau, seorang putra beliau serta seorang asisten rumah tangga beliau, juga terpapar.

Kabar beliau terpapar covid spontan membuat hati saya waswas. Tapi saya tidak mau berpikir buruk. Meski usianya sudah kepala delapan, Prof Budi Darma akan baik-baik saja. Beliau memiliki kesehatan yang relatif prima. Beliau masih menulis, bahkan sebelum dikabarkan sakit itu, beberapa tulisannya kerap menghiasi media surat kabar. Beliau juga masih aktif mengajar, begitulah kabar yang saya terima dari Direktur Pascasarjana Unesa, tentu saja sebelum beliau terpapar covid.

Lalu sehari sebelum Hari Kemerdekaan RI ke-76, sebuah kabar – juga dari grup wa – saya baca, bahwa Prof. Budi Darma kesadarannya menurun. Saya mulai waswas namun tentu saja terus berharap beliau akan membaik. Sampai akhirnya saya harus menerima kenyataan pahit itu, beliau berpulang. Allah telah membebaskan beliau dari segala beban. Telah melunaskan tugas beliau di dunia.

Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya cintai itu. Meski saya menyadari, saya bukan siapa-siapa di blantika sastra, sebagaiman dunia yang digeluti dan menggeluti Prof. Budi Darma. Namun Prof. Budi Darma telah membuat diri saya merasa begitu berarti dan berharga karena betapa beliau tak pernah melupakan saya, sejak pertama kali beliau mengenal saya. Tentu saja, seperti itulah memang beliau. Hampir selalu mengingat siapa pun yang beliau kenal. Dan membuat setiap orang merasa berarti dan berharga karena diingat.

Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya cintai itu. Saya seolah tidak ingin kehilangan setiap kenangan manis tentang beliau. Hari itu, tahun 1987, pertama kali saya berhadapan dengan sosoknya, secara dekat, saat saya menjadi ketua panitia Nawawarsa Himapala. Beliau yang waktu itu menjabat sebagai Rektor, hadir pada kegiatan pembukaan, mendengarkan laporan saya, memberi ucapan selamat, menggunting pita, dan melihat-lihat eksibisi kami di Gedung Gema Kampus Ketintang. Saya mendampinginya, dan betapa saya menyadari, begitu rendah hatinya sosok ini. Begitu penyanyangnya. Saya merasa begitu nyaman berada di dekat beliau, tidak ada kecanggungan, berbangga dan berbesar hati karena apresiasi beliau, senyum beliau, ungkapan kata-kata santun beliau. Sungguh sama sekali bukan ungkapan-ungkapan formalitas. Ungkapan-ungkapan yang benar-benar keluar dari lubuk hati seorang Bapak yang sedang membesarkan hati anak-anaknya, mengobarkan api kebanggan pada kami semua.

Sejak saat itu, Prof. Budi Darma bukanlah orang asing di mata saya. Tentu saja saya sudah mengenal beliau jauh sebelum kami berjumpa hari itu. Setidaknya saya sudah sejak lama menamatkan Olenka dan Orang-orang Bloomington, dan dari situlah saya mengenalnya sebagai sastrawan besar. Tak terbayang bahwa suatu ketika, saya akan merasa begitu dekat dengan penulisnya.

Nasib membawa saya bertumbuh dan berkembang di IKIP Surabaya yang kemudian berubah nama menjadi Unesa. Nasib juga yang membawa saya beruntung bisa relatif sering bertemu dengan Prof. Budi Darma. Di berbagai kesempatan, di berbagai pertemuan, di jalan, di ruang dosen di pascasarjana, di rapat senat terbuka, juga di berbagai kegiatan literasi. Yang saya sangat suka, beliau jarang memanggil nama saya dengan sebutan Bu Luthfiyah, begitulah beliau kadang menyebut saya. Namun beliau lebih sering menyebut saya dengan panggilan Mbak Ella. Itu panggilan yang hanya dilakukan oleh teman-teman kuliah, teman-teman dekat, dan teman-teman Himapala saja. Dan dengan panggilan itulah beliau lebih sering menyebut saya. Begitu berkesan.

Saya memiliki sedikit kegemaran menulis, dan itulah yang kemudian membawa saya banyak bergaul dengan teman-teman IKA Unesa yang memang penulis, seperti Sirikit Syah, M. Khoiri, Rukin Firda, Eko Prasetyo, Suhartoko, Satria Darma, Habe Arifin, Pratiwi Retnaningdyah, Fafi Inayatillah, dan sebagainya. Suatu ketika, kami membuat buku antologi cerpen, dan saya menyumbangkan dua cerpen saya. Itu memang bukan cerpen pertama yang saya tulis, kebetulan saya sudah mulai memuatkan cerpen-cerpen saya di majalah nasional sejak saya remaja dulu, dan masih sesekali menulis cerpen bila sedang ingin menulis atau harus menulis. Namun cerpen di buku antologi itu seperti begitu istimewa, bukan hanya karena prosesnya yang mengasyikkan, namun karena Prof. Budi Darma membaca cerpen-cerpen itu. Ya, termasuk cerpen saya.

Siang itu beliau sedang duduk melayani konsultasi mahasiswa saat saya memasuki ruang dosen pascasarjana. Seperti biasa, dengan kesantunan dan senyum khasnya, beliau menyapa, “apa kabar, Mbak Ella?” Saya menjawab sapaan beliau, dan menanyakan kabar beliau juga. Lantas beliau bertanya, “bagaimana kabar laki-laki di pantai berpasir putih itu?” Wow. Saya merasa sangat takjub dengan pertanyaan itu. “Waduh, Bapak maos nggih? Waduh, malu dalem, Bapak. Itu cerpen rame-rame saja, Bapak.” Beliau tertawa, renyah namun santun. “Juga kisah…. siapa itu, saya lupa namanya, yang di cerpen satunya itu?” Saya semakin tersipu-sipu, namun senang, merasa surprised, excited, namun agak malu, karena menyadari cerpen jelek saya itu dibaca oleh sastrawan besar itu.

Lantas ketika saya diamanahi sebagai Direktur PPPG, saya memiliki lebih banyak kesempatan untuk bersama-sama teman alumni yang penulis, penyunting, dan jurnalis, untuk mengembangkan literasi. Ada Eko Pamuji, Abdur Rohman, Anwar Djaelani, dan sebagainya, selain nama-nama di atas. Pada beberapa kesempatan, kami mengundang Prof. Budi Darma untuk menjadi narasumber dan motivator bagi mahasiswa-mahasiswa calon guru itu. Beberapa kali kami menjemput beliau di rumah beliau, dan mengantarkan kembali beliau ke rumah setelah acara. Rumahnya yang bersih, sederhana, ada di kawasan Kampus Ketintang, merepresentasikan kesederhanaannya. Kadang saya berpikir, bagaimana orang yang memiliki begitu banyak peluang untuk hidup mewah itu bisa memilih menjalani kehidupannya dengan segala kesederhaannya?

Saat saya menikahkan anak saya pada tahun 2017, saya mengundang Prof. Budi Darma. Beliau tidak hadir. Tiba-tiba seminggu setelah itu, beliau mengirim pesan singkat. “Mbak Ella, “ begitu sapanya. Beliau meminta maaf karena baru melihat ada undangan mantu dari saya. Undangan itu ada di meja beliau di kampus, dan beberapa hari beliau ada kegiatan di luar kota, sehingga tidak tahu kalau ada undangan. Pesan singkat itu tentulah sangat berharga bagi saya, karena menyadari, Prof. Budi Darma tidak melupakan saya. Begitu juga saat beliau mengirimkan foto tulisan saya yang dimuat di Jawa Pos, dengan sebuah kalimat pujian yang saya yakin itu tulus, betapa hal itu membuat saya merasa sangat berarti.

Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya cintai itu. Saya seolah tidak ingin kehilangan setiap kenangan manis tentang beliau. Namun terlalu banyak yang mungkin harus saya tuliskan, juga untuk mengungkapkan rasa kehilangan ini. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seseorang yang merasa begitu dekat dengan beliau, seseorang yang telah berhasil dibuatnya merasa begitu berarti, begitu berharga.

Selamat jalan, Prof. Budi Darma. Seharian ini sosok panjenengan berkelebat-kelebat dalam benak saya. Senyum panjenengan menari-nari dalam untain doa saya. Sapa panjenengan terbayang-bayang di mata saya yang basah dan berkabut.

Selamat jalan, Prof. Budi Darma. Beristirahatlah dengan damai. Seperti kedamaian yang senantiasa menghiasi wajah teduhmu…..

 

Taman Dayu Hotel & Resort, Pandaan, 21 Agustus 2021

Sabtu, 19 Juni 2021

Diundang Menutup KKN

Hari ini saya diundang oleh Unesa untuk memberikan sambutan, paparan, dan menutup acara. Agenda kegiatannya adalah Penutupan KKN Mahasiswa Unesa Tahun 2021. Acara digelar di BUMDes Cengkok Asri, Kabupaten Ngajuk.

Ada 5609 mahasiswa Unesa yang telah selesai melaksanakan KKN di seluruh Indonesia.  KKN yang disebut KKN Tematik ini merupakan salah satu perwujudan kurikulum Merdeka Belajar Kampus Mereka (MBKM). Tema-tema KKN meliputi kemanusiaan, kewirausahaan, proyek di desa, asistensi mengajar, dan proyek independen. Selama empat bulan, setara 20 SKS, mahasiswa menempuh program KKN di daerahnya masing-masing karena pandemi.

Acara penutupan hanya dihadiri oleh sebagian kecil mahasiswa yang kebetulan lokasi KKN mereka di Kabupaten Nganjuk. Wakil Rektor 4, PLT Bupati Nganjuk, satgas covid, camat, kepala desa, dosen pembimbing lapangan, dan perwakilan IKA Unesa cabang Nganjuk, merupakan sebagian undangan yang hadir. Undangan yang lain, termasuk mahasiswa yang tersebar di seluruh Indonesia, hadir secara virtual.

Saya sampaikan dalam paparan saya bahwa program KKN Tematik sangat gayut dengan program prioritas kemendes, yaitu SDGs Desa.

SDGs Desa berturut-turut mencakup tujuan: 1) Desa Tanpa Kemiskinan, 2) Desa Tanpa Kelaparan, 3) Desa Sehat dan Sejahtera, 4) Pendidikan Desa Berkualitas, 5) Keterlibatan Perempuan Desa, 6) Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi, 7) Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan, 😎 Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, 9) Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai Kebutuhan, 10) Desa Tanpa Kesenjangan, 11) Kawasan Permukiman Desa Aman dan Nyaman, 12) Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan, 13) Desa Tanggap Perubahan Iklim, 14) Desa Peduli Lingkungan Laut, 15) Desa Peduli Lingkungan Darat, 16) Desa Damai Berkeadilan, 17) Kemitraan untuk Pembangunan Desa, dan 18) Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.


Desa merupakan basis evidential untuk mengidentifikasi berbagai problematika pembangunan. Ada 74.961 desa di seluruh Indonesia,  dengan segala potensi dan keunggulannya, yang bila dikelola dengan baik, sangat potensial dalam menyumbang pencapaian tujuan SDGs. Apabila segenap permasalahan sosial-ekonomi di perdesaan teratasi, sebagian besar tantangan pembangunan di negeri ini dapat teratasi. Di sinilah urgensi menjadikan desa sebagai prioritas dalam pembangunan.

Arah pembangunan perdesaan saat ini bertumpu pada pencapaian 18 tujuan SDGs Desa yang mampu berkontribusi 74% terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Pencapaian ini tentunya memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, komitmen yang tinggi dari seluruh pemangku kepentingan, serta kerjasama multisektor termasuk dukungan kerjasama dari Perguruan Tinggi.

Senin, 07 Juni 2021

Jangan Lengah, Ya?

Jadi ingat waktu kami sekeluarga pesiar ke Madura. Saat itu, kami singgah di sebuah tempat makan, namanya bebek songkem. Konon, bebek songkem di rumah makan ini yang paling enak di antara bebek songkem yang lain. Tahu sendiri kan, warung bebek di Madura tersebar di banyak tempat, dengan berbagai variannya. Menu bebek songkem saja ada di mana-mana, belum lagi bebek-bebek yang lain.

Nah, saat kami pesan makanan di bagian depan, kami lihat petugas pencatat pesanan dan kasir tidak memakai masker. Begitu juga dengan petugas yang lain. Pokoknya mulai dari depan sampai belakang, tidak ada yang pakai masker. Waktu saya ingatkan, mereka bilang, "di sini sudah aman, buk, ndak ada lagi corona."

Dan itu tidak hanya di warung yang tergolong skala kecil-menengah ya. Di hari yang lain, kami singgah di rumah makan yang tergolong besar, berharap para petugasnya lebih disiplin pada prokes. Ternyata, dugaan kami salah besaaarrr. Di rumah makan gede pun, yang menyajikan berbagai pilihan menu yang lezat, tempat makan yang assoy, besar, luas, dikelilingi taman dan kolam yang apik, perilaku petugasnya sama saja. Tak bermasker. Atau bermasker tapi masker hanya jadi hiasan di leher. Saat diingatkan, anehnya, jawabannya kok ya persis sama, "di sini sudah ndak ada lagi corona, buk."

Sebenarnya kondisi seperti itu tidak hanya di Madura. Di berbagai wilayah di Jawa Timur, termasuk, maaf, di kampung halaman saya sendiri, perilaku masyarakatnya sungguh memprihatinkan. Sedihnya, bahkan orang-orang yang seharusnya menjadi contoh tentang pentingnya prokes, karena mereka guru atau tokoh agama misalnya, justeru menjadi pemicu terabaikannya prokes. Tak peduli, cuek, mengejek dan meremehkan saat diingatkan. Dan sikap buruk itu dinampakkan secara demonstratif di depan murid-muridnya. Sedih nggak? Sedih dan prihatin deh pokoknya.

Kita semua berharap, semoga Madura dan Jawa Timur serta Indonesia dan seluruh dunia segera terbebas dari pandemi ini. Vaksinasi adalah salah satu ikhtiar. Ikhtiar yang lain seperti yang sudah sangat kita kenal, yaitu 5M dan 3T, harus terus-menerus dilakukan secara disiplin. Jangan meremehkan. Jangan lengah. Jangan jumawa. Sudah banyak contoh terjadinya lonjakan pandemi di wilayah lain atau negara lain yang justeru lebih dahsyat akibat kejumawaan. Kalau Anda diingatkan, jangan bilang, "itu kan di India, bukan di Indonesia. Itu kan di sana, di sini amaaannnn....". Plis deh. Pliiisssss.....

Bener, jangan lengah ya.... Meskipun sudah divaksin, tetap jaga prokes ya. Jangan lengah.

Surabaya, 8 Juni 2021

Sabtu, 02 Januari 2021

Kenangan tentang Prof Sukamto

Kenangan tentang Prof Sukamto bermula saat saya menempuh studi S2 di Prodi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Saya masuk pada 1991, saat itu, saya baru lulus S1 dan belum lama menikah, serta dalam keadaan hamil.

Sebuah proses yang tidak ringan, namun saya selesaikan semester satu dengan baik. Saya katakan tidak ringan karena saya jauh dari keluarga, masih pengantin baru, hamil muda yang tidak mudah, minim pengetahuan dan pengalaman, finansial terbatas dan tanpa beasiswa kecuali bantuan SPP dan buku dari IKIP Surabaya. Status saya saat itu, CPNS saja belum, sehingga peluang beasiswa TMPD tidak bisa saya dapatkan. Saya ingat dua kali saya dipanggil oleh Dr. Amin, direktur pasca saat itu, dan diminta untuk menyerahkan SK CPNS karena ada kesempatan bagi saya untuk memperoleh beasiswa. Tapi karena salah satu persyaratan pokoknya adalah yang bersangkutan harus sudah memiliki NIP, lepaslah kesempatan itu untuk saya. Maka biaya hidup saya selama studi ditanggung oleh suami sepenuhnya, yang saat itu juga masih belum mapan pekerjaannya.

Pada semester kedua, saya mengambil cuti sekolah. Melahirkan dan mengasuh bayi saya.

Pada semester ketiga, saya kuliah lagi. Mengambil matakuliah di semester 3 sekaligus semester 2. Terasa beraaat banget. Tapi untunglah ada banyak teman yang sangat helpful. Ketua kelas saya, Pak Martubi, sesepuh kelas saya, Pak Said yang biasanya kami sebut Simbah, dan teman-teman yang lain, sungguh sangat berjasa pada perjuangan saya menyelesaikan semester 3 saya.

Nah, di semester 3 inilah kenangan terbaik saya tentang Prof Sukamto. Saya menempuh matakuliah metodologi penelitian yang seharusnya saya ambil di semester 2. Saya diberi jadwal dua minggu sekali bertemu Prof Sukamto untuk kuliah mandiri. Di ruangan beliau, di ruang kepala lembaga penelitian. Waktu itu beliau menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

Setiap dua minggu sekali, saya mengalami hari yang sangat mencemaskan. Duduk di depan meja beliau, melaporkan progres belajar saya dan tugas-tugas, menyimak penjelasan beliau. Waktunya sekitar 1,5 jam per pertemuan, namun rasanya seperti berabad-abad. Saya selalu merasa menjadi orang paling bodoh sedunia di hadapan beliau. Berusaha mencerna apa yang beliau ajarkan, yang mungkin hanya nyantol sepersekian persennya di kepala. Seringkali saya lihat raut muka beliau seperti berusaha menahan kesabaran. Mungkin dalam hati beliau berkata, 'kok ya kebangeten tenan bocah iki leh ra paham-paham....."

Modal saya belajar metodologi penelitian saat itu benar-benar minim. Juga pengalaman meneliti saya. Saya baru lulus S1 ketika saya 'terpaksa' harus sekolah S2. Sebagai mahasiswa S1 penerima beasiswa TID, setelah lulus saya harus siap ditugaskan di mana pun.  Ternyata saya ditugaskan di Jurusan PKK IKIP Surabaya (Unesa saat ini), almamater saya sendiri. Berdasar surat rekomendasi penugasan itulah, saya diwajibkan pimpinan untuk mengikuti tes masuk S2. Saat itu, ada 14 dosen FPTK IKIP Surabaya yang berangkat tes ke Yogya, saya salah satunya. Dosen mudaaaa banget, yang masih culuuuuunnn banget, yang berangkat benar-benar karena terpaksa. Dari 14 dosen tersebut, yang lulus tes hanya 4, termasuk saya. Saya masih berusaha bernego dengan Dekan FPTK supaya saya diizinkan untuk tidak berangkat sekolah. Tapi negosiasi menemui jalan buntu. Saya harus tetap sekolah.

Benar-benar bermodal dengkul. Saat itu, saya adalah mahasiswa termuda di kelas, dan teman sekelas hampir semuanya adalah dosen PNS yang sudah jauh lebih punya banyak pengalaman, pengetahuan, dan juga uang, karena setidaknya mereka sudah memiliki gaji. Pada saat itu, studi lanjut S2 tidak terlalu lazim diambil oleh fresh graduate seperti saya, melainkan oleh para dosen yang memang sudah siap untuk sekolah. Saya benar-benar seperti memasuki hutan belantara.

Kembali pada cerita tentang kuliah mandiri saya dengan  Prof Sukamto.

Ketika UTS tiba, saya duduk di depan meja Prof Sukamto. Beliau menyodorkan sebuah kotak berisi kartu-kartu soal. Saya diminta memilih sendiri kartu-kartu soal itu, sebanyak 3 kartu. Lantas beliau menyodorkan beberapa lembar kertas untuk saya menulis jawabannya dan menyilakan saya berada sendirian di ruangan dekat ruang beliau untuk saya bisa bekerja.

Pada jam yang telah ditentukan, saya kembali menghadap beliau dan menyerahkan hasil pekerjaan saya. Kemudian saya diminta membacakan soal, menyampaikan jawabannya, dan selalu--setiap kali saya selesai membacakan jawaban saya--beliau tersenyum. Tapi, sungguh, jangan bayangkan saya bahagia dengan senyum beliau. Teman-teman bilang, begitu Prof Sukamto tersenyum, maka yang kami rasakan adalah, 'senyummu adalah tangisku.' Ya, entahlah, dengan segala kepintaran dan kepiawaiannya yang bagi sebagian besar kami terasa tak terjangkau, senyum  Prof Sukamto saat di kelas adalah senyum paling sinis yang menyayat hati. Menggores bagai sembilu. Seperti itu jugalah yang saya rasakan saat itu. Meskipun setelah itu, luka hati sedikit terobati saat beliau menjelaskan dengan detil bagaimana seharusnya jawaban saya dan mengapa. Dengan style-nya yang khas, lengkap dengan senyum manisnya yang menghunjamkan luka. Dalam kondisi seperti itu, saya hanya bisa berdoa semoga waktu cepat berlalu.

Keadaan seperti itu terulang lagi saat saya menempuh UAS. Mandiri lagi tentu saja. Dengan prosedur yang sama persis. Dengan senyum sinis yang bagai sembilu menyayat hati itu. Namun Prof Sukamto dengan segala kecermatannya menunjukkan di mana kesalahan saya, bagaimana seharusnya jawaban saya, dan menyarankan untuk membaca buku apa.

Lantas karena saat itu merupakan pertemuan terakhir, beliau bertanya pada saya, yang intinya,  berapa kira-kira nilai yang pantas saya dapatkan dengan proses dan hasil seperti itu. Tentu saja ini pertanyaan yang tidak mudah saya jawab. Namun saat saya menyerahkan kembali keputusan tentang nilai itu pada beliau, beliau bersikeras menolak, dengan mengatakan, "sebut berapa nilainya, saya akan ikuti Ibu. Kan kita sama-sama dosen, mestinya bisalah Ibu memutuskan berapa nilainya." Begitu kata beliau. Dalam hati saya berteriak, "saya dosen yang belum pernah mengajar, Bapaaaakkkk...."

Karena saya tidak punya pilihan untuk menghindar, maka dengan ragu, saya menyebut, "ya....kalau tidak A min, setidaknya B plus."

"Saya memilih B plus," spontan beliau menyahut.

Saya pun spontan tersenyum. Entah senyum kecut entah senyum girang. Apapunlah. Setidaknya saya sudah bebas dari rasa cemas dan tertekan setiap dua minggu sekali itu. Saya merasakan seperti baru saja ada beban berat lepas dari tubuh saya.

Setelah kejadian itu, sekitar seminggu kemudian, suatu sore ada anak laki-laki muda belasan tahun yang ngganteng datang ke tempat kos saya. Dia memberikan sebuah buku ke saya, dan memperkenalkan diri sebagai putra Prof Sukamto. Dia bilang kalau dia diminta bapaknya untuk mengantarkan buku itu ke saya, supaya bisa saya baca dan pelajari.

Masyaallah, saya hampir tidak percaya. Terbayang sosok Prof Sukamto lengkap dengan senyum sinisnya. Namun sesungguhnya di balik senyum itu, adalah keteduhan, keramahan, dan ketulusan, yang seringkali kami tak mampu membacanya karena tertutup rasa takut dan grogi. Rasa takut dan grogi yang sebenarnya muncul dari pikiran sendiri, karena ketidaksiapan kami untuk berhadapan dengan beliau yang sering melempar pertanyaan-pertanyaan kritis yang lantas membuat kami gelagapan.

Segala luka karena sayatan senyum sinis yang bagai sembilu itu lenyap seketika. Tak berbekas. Yang tersisa adalah kekaguman saya pada sosok yang luar biasa itu. Yang dengan caranya memaksa setiap  mahasiswa untuk membangkitkan kemauannya sendiri akan rasa haus pada ilmu, kemandirian, percaya diri, sekaligus memiliki rasa malu pada diri sendiri. Mendorong untuk terus belajar dan belajar. Mendorong setiap orang untuk senantiasa menjadi "a learning person".

Pengalaman dengan Prof Sukamto ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Sejak 2003, saya mulai terlibat di beberapa kegiatan di Jakarta. Saat itu, Prof Sukamto adalah direktur Ditnaga, Ditjen Dikti. Maka saya sering bertemu beliau dalam banyak acara.

Kemudian setelah saya menyelesaikan studi S3 saya di UM pada 2007 dan pada 2009 menjadi guru besar, saya mulai sering bertugas menguji disertasi di beberapa universitas, salah satunya di UNY. Saya beberapa kali kembali  bertemu dengan Prof Sukamto sebagai sesama penguji. Saya melihat beliau tetap dengan kejeniusannya. Namun waktu telah sedikit demi sedikit merenggut kesehatannya. Terakhir menguji bersama beliau, mungkin sekitar setahun yang lalu, kesehatan beliau semakin memprihatinkan. Beliau berjalan dengan sangat pelan, berbicara dengan sangat pelan, bertanya dengan sangat pelan, dan menjelaskan dengan sangat pelan.

Kemarin, Kamis 31 Desember 2020, saya mendengar sosok guru yang sangat berilmu itu berpulang ke haribaan-Nya. Saya merasa sangat amat kehilangan. Ada yang terasa kosong di sudut hati saya. Air mata saya meleleh. Hati saya basah.

Ya Allah, saya bersaksi, Prof. Dr. Sukamto adalah orang baik. Ampuni segala dosanya. Terimalah semua amal kebaikan dan amal jariyahnya. Berikan jannah-Mu yang penuh kedamaian dan keindahan hakiki.

Selamat jalan, Guruku.....

Surabaya, 1 Januari 2020

Kamis, 11 Juni 2020

Teringat Ibu


Selama WFH dan SFH ini, saya lebih punya banyak waktu berolah raga. Ya, bersepeda tentu saja. Setiap hari sekitar pukul 05.00, saya dan Mas Ayik Baskoro Adjie sudah menyiapkan sepeda, lantas mengayuhnya ke Masjid Al Akbar. Hampir selalu, tujuan pertama adalah masjid besar itu. Meskipun kadang-kadang kami hanya lewat saja, dan langsung memutar menuju Jalan A Yani yang elok dan asri. Bisa lanjut sampai ke Royal, pulang lewat Ketintang. Atau terus sampai ke Bonbin, pulang lewat Kodam dan Gunungsari.



Yang saya perhatikan, saat ini orang di segala usia berolah raga. Minimal jalan-jalan. Bayi-bayi di gendongan bapak ibunya atau di kereta dorongnya atau di kursi boncengan sepeda. Anak-anak belasan tahun dan para remaja badminton, main bola, lari-lari, dan bersepeda. Ibu-ibu jogging, badminton, dan senam. Semua mengenakan masker, meskipun masker tidak selalu dipakai. Ya, karena saat berolah raga, misalnya badminton atau lari-lari, masker akan menghalangi kita menghirup oksigen dengan leluasa. Padahal kita memerlukan oksigen lebih banyak untuk mengimbangi 'ngos-ngosan' kita.



Para pedagang juga sudah memulai lagi aktivitas usahanya. Namun jumlahnya memang sangat amat jauh berkurang. Puluhan rombong di lapangan itu dibiarkan terbengkalai di tempatnya. Entah ke mana para pemiliknya. Sedih juga membayangkan ratusan pedagang kecil itu sedang berjuang demi hidup mereka, dengan jalan yang mungkin lebih memberi harapan.



Pagi ini saya mengobrol dengan seorang ibu sepuh. Sepuh sekali, dengan tubuh ringkihnya dan mata kecilnya yang sudah tidak dapat melihat dengan jelas. Duduk di sisi pinggir, di depan halamam masjid yang penuh dengan kerumunan orang dan penjual. Meringkuk,  berpegang pada alat bantu berjalannya. Saya tidak bertanya siapa namanya. Beliau berasal dari Jatisrono. Putranya dua. Sebelumnya, beliau adalah penjual jamu gendong. Namun sejak jatuh di kamar mandi beberapa waktu yang lalu, beliau tidak bisa berjalan. Maka setiap pagi, beliau naik becak dari tempat kosnya, ke depan masjid ini, duduk, menunggu para dermawan. Sekitar pukul 09.00, beliau akan diantar lagi sama abang becak langganannya, pulang ke kos. Oya, saya ingat alamat kosnya: Bebekan Selatan nomor 1. Semoga betul. Saya tidak mengambil gambar beliau. Tidak tega.



Saya 'ngeres' membayangkan hidup beliau. Bagaimana beliau mencari makan, mandi, tidur. Bagaimana kalau beliau sakit, nggreges, flu, capek.....



"Monggo, Mbah. Kalih kulo mawon. Kulo ramut dateng nggriyo kulo mbah. Dikancani anak putu kulo."



"Mboten, Nak. Kulo ngeten mawon....."



Keluarga beliau di Jatisrono tidak tahu keadaan beliau yang seperti ini. Mereka tahunya adalah bahwa si Mbah bekerja sebagai penjual jamu. Mereka tidak tahu bahwa ibunya yang renta ini sudah semakin renta dan bahkan berjalan saja tidak mampu.



Allah....

Menangis saya membayangkan betapa hidup ini begitu sulit bagi beliau dan begitu naif bagi keluarganya.



Saya jadi ingat ibu saya. Baru beberapa menit yang lalu, saya menerima video call beliau.



"Lagi nangdi kok nganggo helm?" Tanya Ibu.



"Sepedaan, Bu. Wonten Masjid Agung."



"O yo wis. Ibu cuma arep ngendikan, ora usah mrene disik. Nunggu lek situasi wis aman."



Usia ibu saya alhamdulilah sudah delapan puluh tahunan, dan kondisi beliau relatif sehat. Tinggal di rumah besar dengan kamar besar yang nyaman. Ada anak cucu yang mengelilingi beliau. Secara ekonomi, insyaallah beliau tidak pernah kekurangan karena rezeki Allah mengalir dari banyak pintu. Mengaji, membaca, beribadah, bercanda dengan anak-cucu, adalah aktivitas utama beliau sehari-hari. Ibu juga sangat mahir ber-wa dan bervideo call.



Alhamdulilah. Ibu menikmati masa senjanya dalam keadaan yang insyaallah membahagiakan. Kalau pun ada hal-hal yang kurang berkenan dan tidak sesuai dengan harapan beliau, beliau selalu mengatakan, semua itu sebagai bentuk kasih sayang Allah, dan supaya kita tidak takabur dengan segala nikmat yang diberikan-Nya.



Saya kembali mengayuh sepeda saya memutari masjid. Dari arah masjid, asma'ul husna menggema.



"Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim, ya Malik. Ya Quddus, ya Salaam, ya Mu'min, ya Muhaimin...."



Bibir saya bergetar melantunkannya. Mata saya basah. Hati saya basah.



Surabaya, 11 Juni 2020