Suatu ketika, secara kebetulan, saya dipertemukan dengan para pegiat dan dedengkot literasi, antara lain almarhumah Sirikit Syah, Satria Dharma , Much Khoiri , almarhum Rukin Firda , Eko Prasetyo , Habe Arifin , Ihsan Mohammad , Ria Fariana , Abdur Rohman , Pratiwi Retnaningdyah , Mas Hartoko , Dina Hanif Mufidah , Icha Hariani Susanti , Fafi Inayatillah , dan banyak lagi. Mereka semua adalah alumni IKIP Surabaya atau Unesa. Mereka semua penulis yang merupakan alumni fakultas bahasa. Mungkin karena tulisan jugalah yang membawa saya bisa masuk dalam komunitas para dedengkot ini.
Kami
tergabung dalam milis keluarga Unesa. Berdiskusi banyak hal dan berbagi
pengalaman lewat tulisan. Lantas kami membuat buku keroyokan. Ada kumpulan
cerpen, kumpulan puisi, kumpulan feature, dan kumpulan artikel.
Saya
juga mengikuti kegiatan-kegiatan literasi seperti bedah buku, pelatihan
menulis, diskusi dan seminar.
Suatu
saat, ada kegiatan bedah buku di Balai Pemuda. Buku yang dibedah adalah
antologi cerpen berjudul "Ndoro, Saya Ingin Bicara." Sebuah buku yang
kami tulis keroyokan. Salah satu narasumbernya adalah sastrawan beken Tengsoe
Tjahjono . Ada satu pernyataan beliau yang terus terngiang-ngiang di benak
saya. Intinya, seorang sastrawan tidak pernah berhenti menulis. Bila seseorang
pernah menulis, kemudian dia berhenti menulis, lantas menulis lagi,
sesungguhnya dia bukan seorang sastrawan, bukan seorang penulis.
Nah,
itulah mengapa saya menyebut saya sebagai penulis amatir. Saya menulis hanya
kalau ingin saja. Khususnya menulis cerita fiksi, puisi, feature, atau artikel
ringan. Saya tidak secara konsisten memaksa mood saya untuk selalu mau menulis.
Sesuka-suka saya. Apa yang saya tulis juga sesuka-suka saya. Nyaris tak pernah
pasang target. Pokoknya nulis kalau lagi mau. Kalau nggak, ya nggak nulis.
Hehe.
Namun
tentu saja berbeda ketika menulis sebagai tuntutan profesi. Tuntutan akdemis.
Kalau urusan ini, saya selalu pasang target. Menulis skripsi, tesis, disertasi,
artikel ilmiah, publikasi ilmiah, buku kuliah, harus dan harus. Tapi jangan
salah. Saya pasang targetnya pakai standar minimal saja ya. Sekadar, ya sekadar
memenuhi tuntutan minimal untuk naik pangkat dan jabatan. Tapi alhamdulilah, so
far, pencapaiannya selalu di atas target minimal. Berkah mestakung. Semesta
mendukung.
Sebagai
seorang penulis amatir, maka menulis yang paling mudah bagi saya adalah menulis
feature. Ya, karena jenis tulisan ini lebih banyak menceritakan pengalaman
pribadi, bisa yang dialami sendiri atau orang lain. Tidak terlalu terikat pada
aturan atau kaidah penulisan. Tidak selalu butuh referensi, tidak memerlukan
metodologi.
Menulis
yang paling abot bagi saya adalah menulis artikel ilmiah untuk publikasi pada
jurnal ilmiah. Perlu ketekunan, ketangguhan, kesabaran, daya tahan. Bagi banyak
teman, menulis artikel ilmiah bisa jadi mudah dan dia bisa menghasilkan belasan
artikel ilmiah setiap tahun. Kalau ada yang seperti ini, saya cukuplah berdecak
kagum dan mengucap kata "wow!".
Selesai
Surabaya,
19 Juni 2022
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...