Saya adalah seorang penulis amatir. Saya menulis apa saja. Cerpen, cerber, puisi, feature, artikel ilmiah, artikel populer, resensi buku, dan tentu saja menulis status di medsos, seperti yang saat ini saya lakukan.
Karena
penulis amatir, saya tidak pernah secara khusus belajar menulis. Saya belajar
sendiri, dari membaca tulisan orang lain dan dari buku-buku. Salah satu buku
yang saya baca adalah "Mengarang itu Gampang" tulisan Arswendo
Atmowiloto. Kakak saya, Mas Zen Zainal Makarim Azach , tahu kalau saya suka
menulis, dan diberilah saya buku itu, waktu saya masih kelas 1 SMA.
Pernah
juga sih, ikut pelatihan jurnalistik di kampus. Bareng dengan sahabat saya
Pratiwi Retnaningdyah . Saat itu, tulisan saya sempat jadi tulisan terbaik.
Hihi.
Meskipun
saya bukan penulis profesional, tapi saya sudah pernah memiliki cita-cita untuk
jadi penulis profesional. Ya, setidaknya pernah bercita-cita. Meskipun tidak
pernah serius mewujudkan cita-cita itu.
Saya
kutu buku sejak SD. Buku perpustakaan sekolah habis saya lahap. Buku di
perpustakaan umum, yang ada di dekat SMA, sebagian besar sudah saya baca. Saya
membaca buku sastra, novel, kumpulan cerpen, biografi, dan lain-lain. Saya
membaca majalah Bobo, Kawanku, Kuncup, Jayabaya, Penjebar Semangat, Hai, Gadis,
Anita Cemerlang....
Nah,
ini tentang Anita Cemerlang. Saya adalah penyuka majalah nasional remaja itu.
Iya, betul, mungkin karena saya tipe melangkolis dan suka mendayu-dayu. Berhati
Rinto, kata Mas Nanang Ahmad Rizali . Untungnya tidak berbodi Rambo.
Saking
ngefans-nya sama Anita Cemerlang, saya ngebet pingin ikutan nulis di majalah
yang super keren itu. Ada Adek Alwi di sana, Leila S Chudhori, Zara Zettira,
Lan Fang, banyak lagilah penulis-penulis keren.
Maka
sejak SMP, saya mulai menulis cerpen dan mengirimkannya ke Redaksi Anita
Cemerlang. Lewat pos tentu saja. Seingat saya, alamatnya adalah PO Box 78
Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Surat pengantar cerpen pertama saya dibuatkan
oleh Mas Zen. Saya gagal, cerpen dikembalikan. Saya menulis lagi, saya kirim,
gagal lagi, begitu terus entah sampai berapa kali saya mencoba dan gagal.
Bagusnya redaksi, setiap cerpen yang dikembalikan, pasti diberi komentar dan
catatan-catatan. Di sini juga saya belajar menulis.
Baru
kemudian, seingat saya kelas satu SMA, cerpen saya berhasil dimuat. Kepala
sekolah SMA 2 Tuban, namanya Pak Bram, memanggil nama saya lewat loudspeaker,
supaya saya datang ke kantor sekolah. Ternyata saya mendapat kiriman majalah
Anita Cemerlang dan wesel. Girang sekali saya. Honor pertama saya adalah lima
belas ribu rupiah.
Hari
itu juga saya traktir beberapa teman untuk makan bakso. Sahabat saya dulu,
salah satunya adalah Yayuk Sri Rahayoe , yang sampai saat ini masih ingat suka
saya traktir bakso. Juga Mas Nganti Irawan , yang katanya pernah saya traktir
juga, tapi saya tentu saja tidak ingat setiap nama yang pernah makan bakso
bersama saya dari honor menulis cerpen. Saya juga membelikan sesuatu untuk
adik-adik saya, putra-putrinya Kyai Ali Tamam, tempat saya mondok, meskipun
hanya barang-barang kecil. Dik La'alik Helmiyati Aly , apa kabar, Dik?
Sejak
saat itu, setiap cerpen yang saya kirim, hampir selalu dimuat di Anita
Cemerlang. Honor saya juga semakin lama semakin naik. Ada juga cerpen saya yang
dimuat sebagai cerita utama, dan ilustrasinya terpampang di cover-nya. Wah,
bangganya luar biasa.
Saya
juga mengikuti lomba cipta cerpen remaja, dan meskipun tidak menang, cerpen
saya termasuk yang layak muat. Saya juga menulis cerber, satu-satunya cerber
yang saya pernah tulis. Saya juga menulis feature, saya ingat, saya menulis
tentang kehidupan para pencari belerang di Gunung Welirang.
Di
kampus, saya menjadi wakil redaksi majalah ilmiah, juga menjadi reporter di
koran kampus. Pernah juga mengisi kolom kuliner yang terbit setiap hari Minggu
di Surat Kabar Surya.
Saya
mulai berhenti menulis, khususnya cerpen, ketika saya sudah mulai dihinggapi
gejala imsomnia. Ya, karena ide seringkali berjejalan di kepala saya, setiap
malam saya sulit tidur. Sering saya tidur menjelang adzan subuh. Kadang tengah
malam saya turun dari tempat tidur karena ingin menuangkan rangkaian cerita
yang sudah menumpuk di kepala. Lantas saya mengetik dengan mesin tik
cetak-cetok itu sampai menjelang pagi.
Khawatir
dengan keadaan saya sendiri, saya akhirnya memutuskan untuk sementara berhenti
menulis. Setiap ada inspirasi untuk bahan cerpen, saya selalu membuang
inspirasi itu. Saya tidak mau terganggu dengan inspirasi. Saya berhenti
merangkai-rangkai cerita dalam hayalan saya. Saya harus berhenti. Setidaknya
jeda.
Bertahun-tahu
saya jeda menulis cerpen. Hanya sesekali, sesekali saja kalau lagi pingin.
Sebagai gantinya, karena saat itu saya adalah dosen muda, saya menulis proposal
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Saya, tentu saja, juga menulis
buku dan artikel ilmiah, sebagai tuntutan standar seorang dosen.
Bersambung...
Surabaya,
18 Juni 2022
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...