Pages

Jumat, 17 Juni 2022

Penulis Amatir (1)


Saya adalah seorang penulis amatir. Saya menulis apa saja. Cerpen, cerber, puisi, feature, artikel ilmiah, artikel populer, resensi buku, dan tentu saja menulis status di medsos, seperti yang saat ini saya lakukan.

 

Karena penulis amatir, saya tidak pernah secara khusus belajar menulis. Saya belajar sendiri, dari membaca tulisan orang lain dan dari buku-buku. Salah satu buku yang saya baca adalah "Mengarang itu Gampang" tulisan Arswendo Atmowiloto. Kakak saya, Mas Zen Zainal Makarim Azach , tahu kalau saya suka menulis, dan diberilah saya buku itu, waktu saya masih kelas 1 SMA.

 

Pernah juga sih, ikut pelatihan jurnalistik di kampus. Bareng dengan sahabat saya Pratiwi Retnaningdyah . Saat itu, tulisan saya sempat jadi tulisan terbaik. Hihi.

 

Meskipun saya bukan penulis profesional, tapi saya sudah pernah memiliki cita-cita untuk jadi penulis profesional. Ya, setidaknya pernah bercita-cita. Meskipun tidak pernah serius mewujudkan cita-cita itu.

 

Saya kutu buku sejak SD. Buku perpustakaan sekolah habis saya lahap. Buku di perpustakaan umum, yang ada di dekat SMA, sebagian besar sudah saya baca. Saya membaca buku sastra, novel, kumpulan cerpen, biografi, dan lain-lain. Saya membaca majalah Bobo, Kawanku, Kuncup, Jayabaya, Penjebar Semangat, Hai, Gadis, Anita Cemerlang....

 

Nah, ini tentang Anita Cemerlang. Saya adalah penyuka majalah nasional remaja itu. Iya, betul, mungkin karena saya tipe melangkolis dan suka mendayu-dayu. Berhati Rinto, kata Mas Nanang Ahmad Rizali . Untungnya tidak berbodi Rambo.

 

Saking ngefans-nya sama Anita Cemerlang, saya ngebet pingin ikutan nulis di majalah yang super keren itu. Ada Adek Alwi di sana, Leila S Chudhori, Zara Zettira, Lan Fang, banyak lagilah penulis-penulis keren.

 

Maka sejak SMP, saya mulai menulis cerpen dan mengirimkannya ke Redaksi Anita Cemerlang. Lewat pos tentu saja. Seingat saya, alamatnya adalah PO Box 78 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Surat pengantar cerpen pertama saya dibuatkan oleh Mas Zen. Saya gagal, cerpen dikembalikan. Saya menulis lagi, saya kirim, gagal lagi, begitu terus entah sampai berapa kali saya mencoba dan gagal. Bagusnya redaksi, setiap cerpen yang dikembalikan, pasti diberi komentar dan catatan-catatan. Di sini juga saya belajar menulis.

 

Baru kemudian, seingat saya kelas satu SMA, cerpen saya berhasil dimuat. Kepala sekolah SMA 2 Tuban, namanya Pak Bram, memanggil nama saya lewat loudspeaker, supaya saya datang ke kantor sekolah. Ternyata saya mendapat kiriman majalah Anita Cemerlang dan wesel. Girang sekali saya. Honor pertama saya adalah lima belas ribu rupiah.

 

Hari itu juga saya traktir beberapa teman untuk makan bakso. Sahabat saya dulu, salah satunya adalah Yayuk Sri Rahayoe , yang sampai saat ini masih ingat suka saya traktir bakso. Juga Mas Nganti Irawan , yang katanya pernah saya traktir juga, tapi saya tentu saja tidak ingat setiap nama yang pernah makan bakso bersama saya dari honor menulis cerpen. Saya juga membelikan sesuatu untuk adik-adik saya, putra-putrinya Kyai Ali Tamam, tempat saya mondok, meskipun hanya barang-barang kecil. Dik La'alik Helmiyati Aly , apa kabar, Dik?

 

Sejak saat itu, setiap cerpen yang saya kirim, hampir selalu dimuat di Anita Cemerlang. Honor saya juga semakin lama semakin naik. Ada juga cerpen saya yang dimuat sebagai cerita utama, dan ilustrasinya terpampang di cover-nya. Wah, bangganya luar biasa.

 

Saya juga mengikuti lomba cipta cerpen remaja, dan meskipun tidak menang, cerpen saya termasuk yang layak muat. Saya juga menulis cerber, satu-satunya cerber yang saya pernah tulis. Saya juga menulis feature, saya ingat, saya menulis tentang kehidupan para pencari belerang di Gunung Welirang.

 

Di kampus, saya menjadi wakil redaksi majalah ilmiah, juga menjadi reporter di koran kampus. Pernah juga mengisi kolom kuliner yang terbit setiap hari Minggu di Surat Kabar Surya.

 

Saya mulai berhenti menulis, khususnya cerpen, ketika saya sudah mulai dihinggapi gejala imsomnia. Ya, karena ide seringkali berjejalan di kepala saya, setiap malam saya sulit tidur. Sering saya tidur menjelang adzan subuh. Kadang tengah malam saya turun dari tempat tidur karena ingin menuangkan rangkaian cerita yang sudah menumpuk di kepala. Lantas saya mengetik dengan mesin tik cetak-cetok itu sampai menjelang pagi.

 

Khawatir dengan keadaan saya sendiri, saya akhirnya memutuskan untuk sementara berhenti menulis. Setiap ada inspirasi untuk bahan cerpen, saya selalu membuang inspirasi itu. Saya tidak mau terganggu dengan inspirasi. Saya berhenti merangkai-rangkai cerita dalam hayalan saya. Saya harus berhenti. Setidaknya jeda.

 

Bertahun-tahu saya jeda menulis cerpen. Hanya sesekali, sesekali saja kalau lagi pingin. Sebagai gantinya, karena saat itu saya adalah dosen muda, saya menulis proposal penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Saya, tentu saja, juga menulis buku dan artikel ilmiah, sebagai tuntutan standar seorang dosen.

 

Bersambung...

 

Surabaya, 18 Juni 2022

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...