Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 30 Juni 2013

Gairah Hidup Prof. Djodjok Soepardjo

Pagi ini, saat sedang berdiri di barisan prosesi Senat Unesa, bersiap-siap untuk memasuki ruang wisuda, Prof. Djodjok Soepardjo, mengulurkan sebuah buku ke arah saya. 'Mau dibaca sekarang?' Tanyanya. Saya spontan mengangguk. Menerima buku mungil itu dan berucap terimakasih.

Buku itu berjudul Gairah Hidup. Buku mungil setebal 243 halaman. Diterbitkan oleh Penerbit Bintang Surabaya. Buku yang terbagi dalam 5 bab: Kita Harus Berpegang pada Apa atau Siapa?; Suara Hati Nurani dan Keberanian; Kewajiban Saling Mencintai; Hidup itu Perjuangan; dan Memahami Arti Kehidupan.

Buku ini, meski mungil, begitu kaya hikmah. Sepanjang membacanya, saya sambil membayangkan profil penulisnya. Prof. Djodjok yang tampan, berkulit bersih, ramah, hangat, humoris, kadang-kadang terkesan 'slengekan', ternyata menyimpan ribuan amunisi di dalam jiwa dan pikirannya.

Buku mungil ini mempresentasikan bagaimana dia menyikapi hidup dan kehidupan. 'Adakah yang lebih penting dalam hidup ini selain dari 'kehidupan?' Begitu tanyanya di awal tulisan. Kemudian untaian kalimat demi kalimat indahnya mengalir. Mulai dari hal yang sederhana tapi rumit: bagaimana mengatasi semburan tsunami hawa nafsu (hal 3-8). Di banyak bagian, Djodjok mengutip hadist dan ayat-ayat dalam Al-Quran. Namun dia juga melengkapinya dengan berbagai referensi, misalnya buku karangan Richard Lloyd Parry (2008) yang berjudul Zaman Edan, juga banyak referensi yang lain. Khas akademisi yang religius.

Sebagai guru besar bidang Linguistik (Jepang), serta cukup lama memperoleh pendidikan di Jepang baik dengan beasiswa dari The Japan Foundation dan Mombukagakusho, Djodjok banyak memberikan warna Jepang dalam tulisannya, terlihat dari referensi dan juga isi tulisan. Belajar dari Mushashi dalam menetapkan tujuan hidup, merupakan salah satu yang dia rekomendasikan. Menurutnya, contoh yang ditunjukkan Miyamoto Mushashi dalam kegiatan latihannya sebelum mencapai usia tiga belas tahun adalah salah satu cerita yang paling luar biasa dalam sejarah kelas samurai terkenal Jepang. Dia katakan, kisah tersebut masih sangat pantas ditiru sekali pun oleh orang-orang yang hidup di dunia modern sekarang ini (hal 49).

Djojok juga menyelipkan beberapa tulisan terkat dengan pemahaman lintas budaya, dua di antaranya adalah: 'Jangan Berhenti Belajar' dan 'Hari Ini Lebih Baik dari Hari Kemarin'. 

Pada tulisan pertama, Djodjok menyajikan 'malu' sebagai salah satu kekuatan budaya yang dimiliki bangsa Jepang. Sebuah konsep yang sering dikontraskan dengan budaya bangsa Amerika yaitu 'merasa bersalah' atau 'merasa berdosa'. Menurutnya, semua konsep tersebut dengan mudah dapat disembunyikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tetapi, rasa takut atau malu, bagi bangsa Jepang, lebih dari apa pun.

Bangsa Jepang secara konstan selalu menuju jalan 'hanseikai' atau instropeksi diri sebagai upaya belajar dari kesalahan mereka. Semua itu dilakukan untuk menghindari rasa malu yang merupakan intisari obsesi orang Jepang yang terdapat dalam konsep 'kaizen' (perbaikan terus-menerus). Kaizen akan diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan bangsa Jepang (hal 36).

Buku ini, seperti yang saya katakan, begitu kaya hikmah. Sangat layak dibaca. Buah pikiran yang ditulis 'ketika gelembung di aliran sungai meletup', begitu kata penulisnya; untuk menunjukkan kalau buku ini tidak ditulis secara terus-menerus. Meski begitu, sebagai buku keempat (setelah Jepang Masa Kini/1999, Frendly/2005, Linguistik Jepang/2013), sosok Djodjok bisa menjadi pemicu untuk terus menggelorakan semangat literasi. 


GOR Kampus Unesa Lidah Wetan, 30 Juni 2013.

Wassalam,
LN

Sabtu, 29 Juni 2013

Kampanye Literasi

Prof Budi Darma tandatangani buku peserta.
Sabtu, 29 Juni 2013. Bertempat di Auditorium PPPG, lantai 9 Gedung Wiyata Mandala Unesa (ini nama Gedung PPPG, sesuai dengan hasil rapim Unesa dan yang tertulis di prasasti yang ditandatangani Mendikbud pada saat peresmian 22 Juni yang lalu), telah berlangsung Kampanye Literasi yang bertajuk: "Membangun Budaya Baca di Kelas, Resep Jitu Menarik Minat Siswa dalam Literasi."  

Kegiatan tersebut merupakan kegiatan kerja sama antara PPPG Unesa dan Ikatan Guru Indonesia (IGI). Selain untuk menularkan virus-virus literasi, kegiatan ini juga dibarengkan dengan peluncuran buku SM-3T kedua yang berjudul 'Jangan Tinggalkan Kami' dan buku kumpulan cerpen pendidikan yang diterbitkan oleh IGI yang berjudul 'Adam Panjalu'.

Acara ini dihadiri oleh sekitar 350 peserta, terdiri dari mahasiswa PPG SM-3T dan para guru dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan sekitarnya. Di antara para peserta, hadir juga Ibu Thea (mantan dosen Pendidikan Bahasa Inggris Unesa yang saat ini sedang menyusun buku biografinya), Prof. Dr. Lies Amin Lestari (dosen Pendidikan Bahasa Inggris, juga sedang menulis sebuah buku), Wahju Chairat (Ketua Indonesia Menulis), Djoko Pitono (penulis, editor, mantan wartawan), dan beberapa ketua program studi serta para dosen Unesa.

Dalam 'welcome speech'-nya, Direktur PPPG, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M. Pd., menyampaikan, tujuan kegiatan ini merupakan upaya pengembangan budaya literasi baik di kalangan guru dan para mahasiswa PPG Unesa, yang notabene adalah calon guru. Sebagaimana diketahui, budaya literasi sangat penting dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Guru dan para calon guru memegang peran sentral dalam pengembangan budaya literasi ini. 

Selain untuk tujuan tersebut, kegiatan kampanye literasi juga dimaksudkan untuk lebih mendekatkan para calon guru, yaitu mahasiswa PPG SM-3T Unesa, kepada komunitasnya, salah satunya adalah IGI. Juga untuk mengenalkan keberadaan PPPG Unesa kepada masyarakat, khususnya para guru. 

PPPG selain menyelenggarakan Program PPG bagi 279 mahasiswa alumni Program SM-3T, saat ini juga melayani sekitar 200 peserta Program S1 KKT (Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan). PPPG  juga menyelenggarakan program Jatim Mengajar, kerja sama antara Unesa dengan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). Program ini mirip dengan program SM-3T, namun lingkup sasarannya adalah wilayah pelosok Jawa Timur. 

Prof. Dr. Budi Darma, yang diundang sebagai 'keynote speaker' menyampaikan berbagai ilustrasi tentang pentingnya literasi. Seorang yang 'literate', menurut bagawan sastra dari Unesa tersebut, berarti bisa membaca. Kebalikan dari 'iliterate', tidak bisa membaca. Membaca dalam pengertian ini tentu saja dalam arti luas, termasuk membaca lingkungan, membaca momentun, membaca kesempatan, harus kritis, mampu memecahkan masalah, dan kemampuan yang lain.

Literasi juga sangat berkaitan dengan bagaimana mengekspresikan pikiran, yaitu menulis. Pikiran seseorang akan lebih tertata bila diekspresikan dalam bentuk tulisan. Orang yang pandai menulis biasanya lebih kritis, karena dia harus banyak membaca untuk bisa menulis dengan baik. 

Budi Darma, yang pekan ini mendapatkan penghargaan sebagai cendekiawan berdedikasi dari harian Kompas, seperti membius para peserta dengan paparannya yang tidak lebih dari tiga puluh menit. Suaranya yang datar, nyaris tanpa intonasi, namun padat berisi, begitu memukau. Penulis novel Olenka yang memperoleh berbagai penghargaan skala nasional maupun internasional itu, memberikan motivasinya kepada para peserta dengan memastikan betapa sebuah tulisan mampu menentukan sebuah peradaban. Beliau menyebut naskah karangan Diponegoro dan Nagara Kertagama yang diakui Unesco sebagai Memory of The World. Bayangkan jika Diponegoro tidak pernah menulis. Sejarah kita mungkin berbeda. Begitu juga dengan apa yang sudah dilakukan oleh Plato, Aristoteles, Socrates, Napoleon Bonaparte, dan banyak tokoh yang lain. Pikiran-pikiran mereka tetap hidup sampai berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun kemudian, dipelajari, dikembangkan, diuji, dan sebagainya, karena mereka menuliskannya.

Para narasumber dan moderator. Dari kiri: Ali As'ari, Moch Khoiri, Satria Dharma, dan Eko Prasetyo.
Selain peluncuran buku yang secara simbolis dilakukan dengan penyerahan buku oleh Prof. Budi Darma, Direktur PPPG, para editor, kepada para penulis, acara juga diselingi dengan prakata dari para editor. Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos, menyampaikan prakatanya untuk dua buah buku SM3T: 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' dan 'Jangan Tinggalkan Kami'. Sedangkan Eko Prasetyo, memberikan prakatanya untuk buku 'Adam Panjalu'. Kedua editor tersebut menceritakan suka dukanya menyunting naskah para penulis. Seberat apa pun, pekerjaan mengedit tulisan, bagi mereka tetaplah menyenangkan, semua kendala bisa diatasi dengan baik. Rukin Firda bahkan harus ikut 'blusukan' ke pelosok Sumba Timur untuk menggali data yang diperlukan serta untuk lebih menghayati latar tulisan-tulisan para peserta SM-3T. 

Tiga narasumber, Satria Darma (Ketua Umum IGI, penulis), M. Khoiri (Dosen FBS Unesa, penulis, penggiat literasi), dan Ali Asy'ari (mahasiswa PPG SM3T Unesa, penulis), saling melengkapi dalam memberikan dorongan dan kiat untuk mengembangkan budaya membaca dan menulis, baik di dalam keluarga, di kelas, dan di masyarakat. Dipandu moderator Eko Prasetyo (penulis, editor, penggiat literasi), diskusi itu begitu hangat karena kemasannya yang sama sekali jauh dari formal, diselingi tanya jawab dengan pemberian hadiah buku bagi para penanya, membuat diskusi seperti tak ada habisnya sampai pada batas waktu yang telah dijadwalkan.  

Sekitar pukul 12.15, talkshow ditutup oleh moderator dengan beberapa catatan. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Lebih jauh, seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain.

Surabaya, 29 Juni 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 26 Juni 2013

Puisi Untuk Sahabat (2)

Adalah lembah ngarai dan bukit yang bertumpuk-tumpuk
Laut dan hamparan pantai yang indah memesona
Barisan hutan lebat yang rapat nyaris tanpa sela
Dan gerombolan kuda Sumba yang merumput di padang sabana

Betapa damainya
Namun
Damainya serasa tak lengkap
Tanpa hadirmu di sana

Tahukah 
Betapa semuanya begitu memukau 
Saat menatap mata polos bocah-bocah lugu
Meski wajah dan tubuh mereka lusuh
Bersapa lewat sepotong biskuit atau selembar buku
Mendengar celoteh mereka tentang sapi, anjing, babi
Tentang mata air, kayu bakar, ikan dan ubi

Lihatlah 
Sebuah parang terselip di bawah meja
Selepas sekolah hutan menjadi tumpuan
Pulanglah mereka dengan seonggok kayu bakar
Sekeranjang umbi-umbian dan rumput liar
Bapa mama di rumah menyambut riang
Juga babi dan semua hewan piaraan

Begitu lengkap 
Ada tangis, haru dan bahagia
Ada canda, tawa dan banyak cerita
Namun
Serasa tak lengkap tanpa hadirmu di sana

Ada saat aku ingin kau ada
Hadir dan ada
Menemaniku
Menjagaku
Saat-saat itu
Hanya pada saat-saat itu


Surabaya, 5 Juni 2013. 

Puisi untuk Sahabat (1)

Sahabat
Tak pernah aku bayangkan
Suatu hari kita akan bertemu lagi
Seperti saat ini
Bersama mengarungi samudra
Mendaki bukit menuruni lembah
Menembus kegelapan hutan belantara
Memenuhi setiap jengkalnya dengan jejak-jejak kaki kita

Dulu sekali
Bukankah itu yang selalu kita lakukan bersama?

Tapi ada yang berbeda saat ini
Wajah-wajah kita sudah tidak lagi muda
Garis-garis tipis adalah gurat-gurat usia
Serpihan putih di kepala bukti kita mulai menua

Tapi senyum kita tetap sama
Lepas, bebas
Langkah kita juga tidak berubah
Langkah yang ringan dan tegap
Meski kita harus lebih sering jeda
Mengatur nafas, menghimpun tenaga

Sahabat
Dan kau tak lekang oleh masa
Selalu siap mengulurkan tangan 
Memastikan kakiku berpijak pada bebatuan yang aman
Menemaniku kapan pun  aku butuhkan
Menjadi teman yang penuh perhatian dan menyenangkan

Kau bisa jadi apa saja
Jadi porter dan serpa
Jadi petugas pengumpul data
Jadi motivator yang pandai menguntai kata
Jadi pemusik penghalau duka
Jadi fotografer yang andal tiada dua
Jadi reporter yang cerdas tapi bersahaja
Jadi recycle bin yang siap sedia
Bahkan jadi tukang ojek yang selalu setia
Kau juga problem solver yang tanggap dan waskita 

Itulah kenapa
Berpetualan bersamamu
Adalah saat  yang selalu penuh suka cita

Terimakasih sudah menjadi sahabatku....

Palm Residence, 27 April 2013

Sabtu, 22 Juni 2013

Puisi Buat Sahabatku T-Week

Masa-masa itu sudah sejak lama kita tinggalkan
Puluhan tahun silam
Saat kita selalu bersama
Menorehkan jejak-jejak kita di setiap jengkal waktu
Di ketinggian gunung dan perbukitan 
Di kerimbunan hutan belantara
Di kegelapan malam di  goa-goa
Di dinding-dinding kampus
Bahkan di mall dan gedung-gedung bioskop

Tubuh mungilmu menyimpan sejuta cerita
Untaian perjalanan mengukir sejarah 
Romantisme masa muda saat menggapai cinta
Heroisme perjuangan mencapai cita-cita

Jiwamu menyimpan api abadi
Menyulutkan keceriaan pada sesama
Mengajarkan kepedulian dan kesetiakawanan
Mengabarkan kecerdasan dan ketangguhan

Sahabat,
Saat waktu sampai pada titik ini
Saat selaksa kerikil tajam kehidupan musti kau tapaki
Seonggok demi seonggok bukit batu cadas harus kau daki
Kau bahkan tak peduli rasa sakit di diri
Kau terus mengobarkan semangat berbagi
Meneladankan betapa setiap sakit adalah anugerah yang musti dihayati

Hidup bagimu adalah memberi arti
Suka dan duka hanyalah cerita berseri
Perjuangan dan doa adalah makna sejati
Semua demi menggapai keridhoaan Illahi Robbi

Sahabat
Jarak dan waktu tak akan pernah memisahkan kita
Darat dan lautan tak akan membuat persahatan kita jeda
Dan aku di sini
Masih di sini
Selalu bersedia 
Kapanpun kau ingin aku ada...

Surabaya, 23 Juni 2013. 05.10 WIB

Wassalam,
Ella 

Jumat, 21 Juni 2013

Bersama Anak-Anak Berkebutuhan Khusus yang Hebat

Sore ini, saya jatuh pada keharuan dan kebanggaan yang tak terkatakan. Mata saya merebak basah namun senyum saya mengembang. Dengan tenggorokan sakit, saya berkali-kali mengangkat tangan dan bertepuk pada setiap akhir penampilan mereka.

Lima anak muda itu sedang membawakan sebuah lagu. Rio, memainkan keyboard. Dia adalah alumni S1 dan S2 PLB Unesa. Eka Christian memegang biola, berdiri di sebelah Anggi, yang sedang menyanyi bersama Agus. Eka adalah mahasiswa S1 Pendidikan Sendratasik angkatan 2012. Sedangkan Anggi adalah alumni S1 PLB, baru saja lulus dan akan mengikuti wisuda pada 30 Juni nanti. Agus juga mahasiswa PLB.

Anggi dan Agus bersuara merdu. Meski suara mereka mungkin tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan suara para penyanyi di X-Factor atau di Indonesian Idol, tapi di mata saya, keduanya begitu memukau.

Penjiwaan mereka pada lagu yang mereka nyanyikan begitu total. Suara merdu mereka seperti keluar dari lubuk hati, bergetar-getar, sekaligus juga menggetarkan siapa pun yang mendengarkan. Benar-benar keluar dari lubuk hati. Menyentuh kalbu.

Anggi dan Agus menyenandungkan ‘Jangan Menyerah’ milik D’masiv. Diiringi Rio dan Eka. Sedang di ujung paling kiri, Alfand, anak remaja ngganteng itu, sedang menggerak-gerakkan tangannya, mengekspresikan setiap bait lagu itu, dipandu dengan gurunya, yang duduk di kursi di depan panggung.

‘Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Sgala yang telah terjadi
Kita pasti pernah
Dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini
Tak ada artinya lagi
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik…’

Saya melihat semuanya nyaris tanpa berkedip. Rio, Eka, Anggi dan Agus, adalah anak-anak tuna netra, sedangkan Alfand adalah tuna rungu. Mereka berkolaborasi membawakan sebuah lagu.

Sore ini mereka sedang berlatih untuk mempersiapkan penampilan besok pagi. Untuk dipersembahkan pada Mendikbud yang akan datang ke Gedung Program PPG, dalam rangka Peresmian Gedung PPPG dan Sosialisasi Kurikulum 2013.

Acara yang dihelat di Auditorium di lantai sembilan ini akan dihadiri oleh sekitar 600 undangan. Mereka adalah mahasiswa PPG, dosen, mahasiswa S2, S3, dan tentu saja, jajaran pimpinan, anggota senat, dan undangan lain. Termasuk Ketua LPMP Jawa Timur, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, kota dan kabupaten di Jawa Timur, juga para mitra Unesa.
Rio dan kawan-kawan berlatih dengan didampingi orang tua masing-masing. Anak-anak hebat, dengan para orang tua yang hebat.

Pak Yoyok, dosen PGSD, adalah pelatih mereka. Entah kenapa, kekaguman saya pada sahabat saya yang satu ini tidak habis-habis. Komitmennya, kepeduliannya, ketulusannya, kesetikawanannya, juga kelihaiannya bermain musik, mengagumkan siapa saja yang mengenalnya.

Saya menikmati sajian yang luar biasa di depan saya sore menjelang senja hari ini: tidak hanya anak-anak hebat dengan orang tua yang hebat, tetapi juga guru-guru yang hebat. Mereka seolah membentuk sebuah orkestra kehidupan. Begitu merdu sekaligus mengharukan. Menyadarkan kita semua betapa Maha Adilnya Sang Pencipta, yang telah membuat setiap orang memiliki keistimewaan, siapa pun mereka. Dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun dengan kebersamaan, saling menghargai, saling melengkapi, orkestra kehidupan ini menjadi begitu indah.

Selain tampil bersama, beberapa dari mereka juga tampil solo. Anggi memainkan organ sambil menyenandungkan ‘I Believe I Can Fly’-nya R Kelly. Suara gadis itu mengalun sangat indah. Memenuhi setiap sudut ruangan. Membuat sebagian orang di dalam ruangan itu rela menghentikan aktivitasnya, untuk sejenak membiarkan diri larut menikmati suara Anggi yang menggetarkan.

“I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar
I see me running through that open door
I believe I can fly….”

Tak ayal, tenggorokan saya sakit lagi mendengar senandungnya. Saya pikir hanya saya yang merasakan kegetiran itu. Ternyata, pak Yoyok, tiba-tiba mendekat dan berbisik…’Sesak dadaku, bu…’. Bahkan dia saja yang sudah begitu sering bergaul dengan anak-anak itu selalu diliputi keharuan setiap kali melihat penampilan mereka.

Sore ini saya berbincang dengan beberapa ibu yang luar biasa kuat dan tabah itu. Bercanda dengan anak-anak yang sangat mengispirasi itu. Hanya mereka yang istimewa yang terpilih sebagai orang tua istimewa, dengan anak-anak yang istimewa pula.

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah….

Auditorium PPPG, Kampus Unesa Lidah Wetan, Surabaya, 16.30 WIB.
Wassalam,
LN

Senin, 17 Juni 2013

Menunggui Nizar Jalani Operasi Tumor Otak

Anak jangkung itu tergolek lemah. Bibirnya yang merah, terkatup rapat. Kedua matanya setengah terbuka. Lehernya disangga dengan sebuah bantal berbentuk U, berwarna pink. 

'Budhe, dik....', bisik Bu Yanti (Dr. Suryanti, M. Pd., Pembantu Direktur I P3G Unesa), di telinga anak bungsunya itu. Mata Nizar, anak itu membuka sedikit. 'Budhe....' Lirihnya, menatap saya dan mas Ayik, sebentar, lantas matanya terkatup lagi. Tangannya yang terulur segera saya tangkap, saya genggam erat. Hati saya meleleh.

Nizar, adalah putra bungsu Dr. Wahono Widodo dan Dr. Suryanti, keduanya sahabat saya. Mereka dan kedua anaknya, Danang dan Nizar, sudah seperti keluarga saya sendiri. Kami sangat dekat. Sejak belasan tahun. Sejak anak-anak kami masih balita. Sampai saat ini anak-anak kami sudah menjadi mahasiswa dan tumbuh remaja. 

Nizar sendiri, saat ini sudah kelas 3 SMP. Baru saja lulus, namun tidak bisa mengikuti wisuda pada Sabtu kemarin, karena dia sakit.

Nizar dan Danang memanggil saya Budhe, dan menyebut mas Ayik dengan Abah. Arga, anak kami, menyebut bapak ibu mereka sebagai Tante Yanti dan Wak Son. Ya, entah bagaimana ceritanya, pak Wahono oleh kami semua, dipanggil Wak Son. Kami, adalah kelompok Kobamin, kepanjangan dari Komunitas Bambung Indonesia. Kelompok penyuka aktivitas outdoor (camping, rafting, dan travelling). Beranggotakan beberapa teman dosen dan keluarganya.

Malam ini Nizar akan masuk ke ruang operasi. Cairan di kepalanya akan diambil, sebelum operasi untuk mengangkat tumor di otaknya dilakukan pada hari yang akan datang. 

Wajahnya yang pasrah begitu menyentuh hati. Sakit yang dideritanya hanya dia keluhkan sekitar satu dua minggu sebelum akhirnya dia harus terbaring di tempat ini, di Paviliyun VII, RSAL. Dokter bilang, seharusnya dia sudah merasa kesakitan sejak lama. Tumor yang ada di kepala bagian kiri itu sudah cukup besar. Terjadinya sudah berbulan-bulan. Namun, menurut dik Yanti, Nizar hanya belakangan ini saja sering mengeluh pusing-pusing. Puncaknya, adalah sejak Rabu minggu kemarin, saat Bu Yanti baru saja pulang dari monev SM-3T di Sumba Timur. Nizar tidak bisa menoleh. Dokter bilang kemungkinan terjadi  injury sport. Namun ternyata setelah itu Nizar muntah-muntah, dan dia tidak kuat untuk berdiri. Ternyata, hasil CT Scan yang baru bisa dilihat  tadi pagi menunjukkan, ada tumor di kepalanya.

Kabar sedih itu saya terima langsung dari Bu Yanti  tadi pagi saat saya rapat di rektorat. Tak ayal, hati saya sontak sangat terpukul. Saya mengikuti rapat dengan setengah hati, dan meninggalkan ruang sebelum rapat usai karena harus menguji di pasca. Pikiran saya terus terbayang Nizar. 

Usai menguji, saya mengikuti upacara pemberangkatan Tim Ekspedisi Lawe Alas Himapala, tetap dengan pikiran yang 'sumpek'. Selepas upacara, saya bermaksud langsung ke RSAL. Namun genangan air di mana-mana, kerumunan orang di mana-mana (para calon peserta SBMPTN yang sedang mencari lokasi tes besok), serta macet di mana-mana; ditambah dengan kondisi saya yang tidak terlalu fit, menyurutkan langkah saya menuju RSAL. Saya memutuskan untuk pulang. Minum obat, beristirahat sebentar sambil menuggu mas Ayik pulang kantor, untuk bersama-sama menunggui Nizar selepas maghrib nanti.

Selain saya dan mas Ayik, ada beberapa teman dosen yang menunggui Nizar. Pak Yoyok, pak Mintohari, pak Subandi, pak Alimufi, dan sebagainya, termasuk sanak saudara Bu Yanti. Pak Wahono, yang biasanya super ndableg, malam ini matanya sembab, lebih sembab dari mata bu Yanti. Tadi pagi, begitu Bu Yanti mengabarkan ke saya tentang hasil CT scan, dia bilang kalau pak Wahono sudah terus-terusan menangis. 'Aku berusaha tabah, Budhe...', begitu katanya. 'Bapaknya sudah menangis terus dari tadi...'.

Nizar (depan) bersama ayah dan ibunya mengikuti rafting.
Nizar disuntik antibiotik. Suster bilang kalau suntikan itu akan terasa panas, tapi dia meminta supaya Nizar menahan rasa sakit itu dengan menarik nafas dan membuangnya melalui hidung. Benar saja. Ketika suntikan itu menghunjam menusuk lengannya, anak itu menarik nafas, menahan sakit. Punggung tangannya yang ditusuk jarum infus kugenggam dan kuusap-usap. Mata saya perih dan air mata nyaris membasahi lengan Nizar bila saya tak segera membuang muka.

Sepuluh menit setelah itu, tiga orang suster memasuki ruangan. Nizar siap dibawa ke ruang operasi. Seperti memahami perasaan kami, suster membiarkan bapak dan ibu anak itu mengusap-usap kepalanya dengan penuh kesedihan, dan berbisik di telinganya untuk menguatkankan hatinya. 'Kuat ya, dik...'. Begitu bisik Bu Yanti. 'Mama menunggu sama Bapak di sini'. Sementara itu Pak Wahono yang tidak tahan, menahan isaknya, menjauh dari kerumunan. 

Malam ini kami semua ada di ruang tunggu ICU, menunggui Nizar diobservasi, dan menjalani pengambilan cairan di kepalanya. Kami semua dengan pikiran dan doa kami masing-masing. 

Semakin malam, teman-teman yang datang semakin banyak. Pak Waspodo dan istri, ibu PR I (Prof. Dr. Kisyani), Bu Hani dan pak Dewanto, Pak Asrul sekeluarga, dan banyak yang lain. Bahkan Pak Alimufi yang tadi sudah pamit pulang, malam ini datang lagi bersama istrinya.

Saya sendiri terus membaca sholawat dan doa untuk Nizar. Terbayang Nizar kecil di pelupuk mata. Saat di lehernya tergantung dua liter air mineral waktu kami berpetualang ke Pulau Sempu. Karena di sana tidak ada air tawar, maka semua orang harus membawa air tawar, tak terkecuali anak-anak kecil kami. Terbayang juga saat Nizar menangis mencari ubur-ubur hitamnya sewaktu kemping di Pantai Lombeng. Atau malam-malam memanggil-manggil mamanya dan minta dipijit karena kakinya 'putus-putus' (saking capeknya, dia menyebut kakinya putus-putus). Terbayang juga saat dia melompat-lompat dengan sebelah tangannya memegang tangan saya, sambil berceloteh kalau dia barusan muntah-muntah karena habis minum bing (maksudnya bir. Sebenarnya yang dia minum adalah minuman bersoda).

Hampir tiga jam kami semua menunggui Nizar yang sedang ditangani dokter di kamar operasi. Pada pukul 21.20, tiba-tiba suster memanggil nama keluarga Nizar. Pak Wahono dan Bu Yanti spontan mendekat. Suster mengatakan, pengeluaran cairan sudah selesai, dan lancar. Kami semua bernafas lega. Kemudian suster menyilakan Bu Yanti dan Pak Wahono menengok Nizar sebentar. Kami menunggu di luar ruangan, membiarkan kedua sahabat kami itu menengok putra bungsunya.  

Meski dengan mata yang semakin sembab, Pak Wahono dan Bu Yanti nampak sedikit lega. Begitu juga kami. 'Nizar gundul...' Desis Bu Yanti. Matanya memerah. 'Ada selang di kepalanya. Alhamdulilah, Nizar sudah sadar, dan membalas menyapa kami...'.

Setidaknya, satu tahap telah terlewati dengan lancar. Insyaallah tahap-tahap berikutnya juga lancar. Allah yang Maha Pengasih, berikan kekuatan pada Ahmad Nizar Permana. Berikan kesembuhan, berikan kesehatan, dan berikan dia umur panjang yang penuh berkah. Amin YRA.

Surabaya, 17 Juni 2013. 01.10 WIB.

Wassalam,
LN

Ekspedisi Rafting Lawe Alas Himapala 2013

Siang tadi (Senin, 17 Juni 2013)pukul 13.30, bertempat di Gedung G4.01.05 FE Unesa Kampus Ketintang, telah dilaksanakan upacara pemberangkatan Tim Ekpedisi Rafting Lawe Alas Himapala 2013. Acara tersebut dihadiri oleh Pembantu Rektor III (Prof. Dr. Warsono, M.S), Pembina Himapala (Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M. Pd), Dekan FMIPA (Prof. Dr. Suyono, M. Pd), serta para ketua unit kegiatan mahasiswa (UKM) di lingkungan Unesa.

Dalam laporannya, ketua panitia, Mar'atus Sulistyo (Atus), yang juga sebagai anggota tim, menyampaikan bahwa kegiatan ekspedisi dimulai sejak pembentukan panitia pada 22 Januari 2013. Selanjutnya dibuka pendaftaran bagi para calon peserta tim, termasuk tes wawancara, terus berproses dengan berbagai materi, baik materi ruang, lapang, sungai, serta try out. Try out yang pertama dilakukan di Sungai Pekalen, Probolinggo, dan try out kedua dilakukan di Sungai Serayu, Jawa Barat.

Pada awal pengajuan kegiatan dulu, menurut Pembina Himapala, yang biasa dipanggal Mbak Ella oleh para anggota aktif, PR III sempat menyampaikan keberatannya karena pertimbangan keselamatan. Pada saat itu baru saja ada kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa, yang menimpa tim ekspedisi rafting dari perguruan tinggi lain, juga di Aceh. Namun melihat kesungguhan hati tim ekspedisi Himapala, Pembina Himapala menyarankan supaya tim melakukan audiensi lagi dengan PR III, untuk meyakinkan beliau. Kekhawatiran beliau merupakan kekhawatiran seorang bapak sekaligus penanggung jawab bidang kemahasiswaan. 

Hal tersebut dibenarkan oleh PR III. Dalam sambutannya, Prof. Warsono mengemukakan bahwa memang awalnya beliau penuh dengan kekhawatiran. Namun melihat tekad tim ekpedisi dan komitmennya, akhirnya beliau memberikan izin dan mendukung sepenuhnya. 

Tim yang terdiri dari 14 orang itu (11 putra dan 3 putri) akan berangkat dalam dua tahap. Tahap pertama, tiga orang, merupakan tim pionir, berangkat tanggal 19 Juni 2013. Selanjutnya tahap kedua berangkat pada 22 Juni 2013. Mereka akan menumpang kereta api dari Surabaya ke Jakarta, dan melanjutkan perjalanan menuju Medan dengan menumpang pesawat.  Dari Medan, tim akan menempuh perjalanan darat selama sekitar 8 jam untuk mencapai Kutacane, Aceh Tenggara. Di sinilah ekspedisi akan dimulai.

Ekspedisi pertama akan  mengarungi Sungai Bingge, sebagai appetizer-nya. Selanjutnya selama tujuh hari, tim akan mengarungi sungai Lawe Alas, inilah main course-nya. Selanjutnya, sebagai dessert-nya, tim akan mengarungi Sungai Laekombe. Jadi tiga sungai akan diarungi dalam ekspedisi yang memakan waktu selama 21 hari tersebut (mulai 19 Juni sampai dengan 10 Juli 2013).
  
Sejak beberapa periode ini, divisi rafting Himapala belum berhasil melakukan satu ekspedisi pun, selalu gagal di tengah jalan. Sementara divisi yang lain (Gunung Hutan, Susur Pantai, Panjat, dan Konservasi) setiap tahunnya selalu melakukan ekspedisi. Begitu tutur Ketua Umum Himapala, Ardhan.

Namun saat ini, semua divisi bersatu dalam rangka menyukseskan ekspedisi rafting. Latar belakang mereka yang pada dasarnya bukan rafter, tidak menjadi masalah karena mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk membekali diri sebaik-baiknya dengan berbagai keterampilan fisik maupun mental.

Prof. Warsono menyampaikan kebanggaannya pada Tim Ekspedisi Rafting Lawe Alas ini. Mereka tidak sekedar menghadapai tantangan, tetapi menciptakan tantangan dan berjuang keras untuk  menghadapinya. Tantangan luar biasa yang telah mereka ciptakan, akan membuat mereka menjadi pribadi-pribadi yang cerdas, tangguh, trengginas dan tanggap. 

Menjelang menutup sambutannya, Prof. Warsono berpesan, supaya tim tidak  terlalu jumawa. Jangan pernah bersombong utk menundukkan alam, tetapi bagaimana kita beradaptasi dengan alam, dengan segala upaya dan doa. Alam tdk bisa kita lawan, tetapi kita harus hidup serasi dan selaras dengannya, dengan berusaha untuk beradaptasi. Harapan beliau, semoga apa yang dilakukan Himapala ini mampu memberikan inspirasi bagi banyak pihak, khususnya para mahasiswa, agar selalu berani menciptakan tantangan dan menghadapinya dengan cerdas.

Selamat untuk Tim Ekspedisi Lawe Alas Himapala 2013. Semoga perjalanannya lancar, semoga ekspedisinya lancar dan sukses, seluruh anggota tim selamat, kembali ke kampus tanpa halangan suatu apa pun.

Amin YRA.

RSAL, Surabaya, 17 Juni 2013. 20.30 WIB.
(Menunggu Nizar Wahono di ruang operasi).

Rabu, 12 Juni 2013

Puisi Untuk Para Guru di Sumba

Sementara itu
Kita masih berkutat di sini
Dengan oto yang jalannya terseok-seok
Penuh dengan manusia
Hasil bumi, anjing, babi dan ayam bahkan kuda
Bergerak terguncang-guncang di jalan-jalan berlubang
Melanggar sungai sampai puluhan kali

Di sinilah kita
Di sekolah-sekolah berlantai tanah
Beratap seng
Berdinding kayu
Anak-anak bertelanjang kaki 
Menunggu bapak dan ibu guru menghampiri

Merekalah anak-anak zaman
Yang akan menentukan masa depan
Lihatlah mata polos
Wajah-wajah lugu
Senyum sayu
Saat mereka menunggui jurigen-jurigen air terisi
atau menghalau sapi dan kuda pulang ke rumah menjelang senja
Sambil menyunggi ember-ember penuh sayuran di atas kepala

Mereka sedang belajar sesuatu
Tentang kerja keras
Berjuang demi hidup
Tentang tanggung jawab
Tentang kepedulian
Segala yang penting untuk bekalnya di masa depan

Biarkan mereka terus belajar semua itu
Namun jangan renggut keindahan masa kecil
Jangan cabut 
Keceriaan saat di sekolah
Ajari mereka memegang pena
Mengeja kata 
Sejatinya mereka sedang melengkapi bekal hidupnya

Mereka membutuhkan sentuhan
Mereka membutuhkan kepedulian
Mereka membutuhkan sosok panutan
Mereka membutuhkan guru-guru yang tak lekang oleh zaman

Rengkuhlah mereka 
Antarkan menuju masa depan
Menempuh jalan panjang membentang
Agar bintang mereka terang dan indah
Seindah kuda-kuda Sumba nan menawan                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Seindah bukit-bukit yang tinggi menjulang
Seindah padang sabana yang luas menghampar

Aku mungkin tidak sedang di Tanah Marapu
Namun hati dan jiwaku ada selalu untukmu...

Gedung Nasional,  Umbu Tipuk Marisi, Waingapu. 8 Juni 2013. 

Wassalam,
LN

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (7): Bertarung dengan Ombak

Kami meninggalkan mess pada pukul 10.00 WITA. Tidak seperti kemarin, cuaca hari ini panas sekali. Saya pikir, laut akan lebih aman dalam cuaca seperti ini. Dugaan saya salah. Heri yang datang dari mengecek laut  menggelengkan kepala. Air laut naik dan tidak ada satu perahu pun yang berani menyeberang, sampai nanti setelah pukul 13.00.

Saya menatap pak Rahman. 'Oke, tidak apa-apa. Mari kita menunggu sampai laut surut, di pantai saja. Sambil menikmati pantai.' Begitu kata pak Rahman.

Kami pun menuju pantai. Pak Rahman membenamkan tubuhnya dalam pasir laut. Andi ikut-ikutan. Sigit dan Zia berenang. Lukman dan Oscar sibuk mencari-cari sinyal di pohon-pohon. Saya termangu-mangu memandangi semua itu.

Kami sebenarnya berjanji sama Bidin dan Ela, dua peserta yang bertugas di Karera Jangga, bahwa kami akan singgah di sana. Tapi kalau waktu penyeberangan tidak jelas seperti ini, siapa yang berani janji? Perjalanan menuju Karera Jangga tidak cukup hanya ditempuh dengan roda empat, namun ada bagian yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar satu jam. Dengan sangat menyesal akhirnya kami membatalkan janji kami ke Bidin dan Ela, dan berharap suatu saat kami bisa mengunjungi Karera Jangga.

Setelah menunggu lebih dari tiga jam, alhamdulilah, akhirnya pada pukul 13.30, perahu siap karena laut sudah agak teduh. Kami bersiap menaiki perahu. Perahu yang akan membawa kami adalah perahu yang sama dengan yang kemarin. Hanya kali ini cukup satu perahu. Heri dan kawan-kawan tentu saja tidak perlu mengantarkan kami ke Katundu. 

Di pantai, saat kami semua sudah berada di perahu, saya memandangi mereka satu per satu, Heri dan kawan-kawan. Kami saling melambai. Anak-anak hebat itu membanggakan saya. Wajah-wajah optimisnya meyakinkan saya bahwa mereka akan menyelesaikan sisa pengabdiannya dengan sangat baik.

Ternyata penyeberangan siang ini jauh lebih berisiko dibanding yang kemarin. Ternyata penyeberangan kemarin itu tidak ada apa-apanya. Kalau kemarin Sigit dan kawan-kawan masih berani sesekali berdiri dan menikmati ayunan perahu, kali ini tidak. 

Sepanjang perjalanan, semua diam. Sigit bahkan menutupi seluruh tubuhnya dengan jas hujan saya. Lukman meringkuk di depan, bersisian dengan Zia. Oscar duduk di belakang berdampingan dengan awak perahu. Awak perahu yang satu lagi ada di tengah, sesekali membuangi air di dalam perahu dengan ember. Saya duduk bersisian dengan pak Rahman, memandangi laut dengan hati kecut.

Ombak begitu hitam dan menggelora. Waktu terasa begitu lambat jalannya. Sinar matahari yang panas menyengat di seluruh tubuh seperti tak ada apa-apanya dibanding dengan rasa khawatir yang melingkupi hati saya. 

Namun begitu, meskipun dengan perasaan ngeri, saya memberanikan diri memandangi gulungan-gulungan ombak yang kira-kita setinggi dua meter itu, mengejar-ngejar perahu kami. Ombak itu seperti monster-monster raksasa yang seolah siap melumat-lumat perahu kecil ini. Setiap kali ombak meninggi, perahu seperti dihempaskan ke dalam sebuah ceruk. Perahu tidak hanya bergoyang-goyang, namun terhempas-hempas dengan cukup keras, dan berkali-kali terasa seperti mau oleng. Sesekali pengemudi meredakan laju perahu ketika ombak besar datang menghantam untuk menjaga supaya perahu tidak oleng. Air laut, kalau kemarin hanya memercik-mercik di wajah kami, siang ini mengguyur tubuh kami. Berkali-kali. Pak Rahman memastikan barang-barang kami aman dan tidak basah terguyur air. 

Saya terus menggumamkan doa dan mengembangkan pikiran positif. Saya tahu, bahkan dalam kondisi saya yang sudah berpelampung seperti ini pun, sesuatu yang sangat buruk bisa saja terjadi di tengah laut luas seperti ini. Dengan ombak hitam yang tinggi bergulung-gulung. Hanya mengandalkan sebuah perahu nelayan yang kecil. Namun dengan seluruh niat baik saya jauh-jauh datang ke sini, dan kepasrahan pada Allah Yang Maha Melindungi, saya bahkan harus siap dengan apa pun yang terjadi.

Namun, sekali lagi, wajah-wajah tenang para awak perahu itu mendamaikan saya. Mereka bahkan melemparkan senyumnya ke arah saya setiap kali tiba-tiba ombak mengguyur tubuhnya atau tubuh kami. Seolah ingin meyakinkan saya bahwa semua aman dan terkendali. Mereka sama sekali tidak nampak panik, namun jelas sekali kalau mereka tengah memasang kewaspadaan yang tinggi.

Akhirnya pantai itu pun nampak semakin dekat. Pantai di Desa Katundu. Warna laut yang tadi hitam pekat berangsur menjadi biru bening, pertanda laut landai. Pada titik itu, kelegaan terpancar di wajah-wajah kami.

Akhirnya menepilah perahu kami ke pantai. Kami pun bersiap. Mengemasi barang bawaan. Bahu-membahu menurunkannya ke pantai. Tubuh kami semua basah. Bahkan wajah kami terasa berpasir karena guyuran ombak. Namun rasanya semuanya itu tak ada artinya. Ombak yang hitam telah kami tinggalkan jauh di belakang sana. Saatnya mendamaikan hati dengan membersihkan diri di rumah singgah yang sudah menanti.

Tubuh terasa segar kembali setelah saya mandi dan berwudhu. Sholat saya terasa lebih khusyuk dipenuhi rasa haru dan lega. Dalam sujud syukur, saya menitikkan air mata. Ya Allah, betapa ini semua terjadi hanya atas kuasa-Mu. Terimakasih telah melindungi kami semua dan senantiasa menjadi sumber kekuatan kami. Bimbinglah terus kami ke jalan yang Engkau ridhoi. Amin.

Desa Katundu, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN