Pages

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (4): Mengarungi Samudra Hindia

Pada sekitar pukul 13.00, akhirnya kami tiba di tempat ini, Desa Katundu, Kecamatan Karera. Setelah menempuh lebih dari lima jam perjalanan dari Waingapu. Lima jam yang diliputi gerimis, kabut dan mendung tebal. Membuat wiper mobil nyaris tidak berhenti bergerak sepanjang perjalanan. Juga membuat perasaan jadi agak ciut karena khawatir cuaca tersebut akan berpengaruh pada  kondisi laut.  

Dari desa ini kami akan menyeberang menuju Salura. Kami berhenti dulu di sebuah rumah singgah di tepi pantai. Rumah singgah yang hanya seperti warung kecil semi permanen. Terasnya disekat dan diberi alas tikar. Di situlah orang-orang singgah sambil menunggu perahu. Minum kopi dan main kartu untuk membunuh waktu. 

Pada hari-hari biasa, perahu beroperasi setiap hari Selasa, bertepatan dengan hari pasar. Sejak pagi pukul 07.00 perahu-perahu bertolak dari Salura, membawa para penumpang yang akan menjual hasil tangkapan ikannya atau orang-orang yang akan berbelanja ke Katundu. Pukul 10.00, perahu bergerak pulang ke Salura, membawa orang-orang itu juga. 

Rutinitas itu bisa terjadi bila laut bersahabat. Bila tidak, mereka harus menunggu satu dua hari sampai seminggu untuk bisa kembali ke Salura. Heri dan teman-temannya pernah berangkat belanja berbagai kebutuhan bahan makanan, termasuk sayur-sayuran. Bertolak pada hari Selasa pagi dari Salura menuju pasar di Katundu. Sesampainya di Katundu, ternyata laut tiba-tiba bergejolak dan perahu baru berani menyeberang seminggu kemudian. Jadilah sayur-sayuran yang dibeli Heri layu dan terbuang percuma.

Begitu Oscar menghentikan mobil di depan rumah singgah itu, kami semua turun. Acara pertama adalah makan siang. Menunya nasi dan ayam goreng lalap yang kami beli dari Mr Cafe tadi pagi. Sebetulnya saya sudah menambahkan porsi melebihi jumlah penumpang mobil. Heri dan Andi yang menjemput kami di Katundu sudah saya perhitungkan. Namun ternyata di situ ada lima orang, termasuk murid Heri, yang juga sedang menjemput kami. Untunglah Heri dan Andi sudah memasak mi instan rebus, sehingga bekal yang ada disantap bersama-sama dengan mi rebus itu. 

Saya sendiri, seperti biasa setiap waktu makan, sibuk mencari recycle bin. Porsi nasi dan ayam yang terlalu besar tidak mungkin saya bereskan. Maka berpindahlah separo porsi saya ke piring Zia.

Gerimis ternyata semakin rapat, namun kami harus terus bersiap. Pak Rahman sudah berganti mengenakan kaus dan celana pendek. Semua tas sudah dibungkus plastik. Anak-anak sibuk mengganti sepatunya dengan sandal jepit.  Pak Rahman memastikan saya mengenakan jas hujan. Semua bawaan saya dicek, apakah sudah aman atau belum. Sebuah tas plastik besar ditutupkannya di ransel saya dan ditentengnya ransel itu.

Kami berarak menuju dua perahu yang kami sewa, yang sudah menunggu di bibir pantai. Satu perahu ternyata milik pak Rasyid, dan satu perahu milik Heri. Ya, Heri telah merintis usaha dengan menyewakan perahunya, baik untuk transportasi maupun untuk mencari cumi.  

Perahu. Bukan kapal. Pantas saja Heri dan kawan-kawan selalu meralat kalau saya bilang kapal. 'Perahu, Ibu, bukan kapal', begitu katanya. Ternyata memang kendaraan laut kecil itu benar-benar perahu. Perahu nelayan yang menggunakan motor. Yang terbuka tanpa atap sama sekali. Dengan suara mesin yang meraung-raung. Asap hitam keluar dari cerobong kecilnya dan membuat hidung terasa berjelaga. Itulah kendaraan yang akan kami gunakan untuk mengarungi Samudra Hindia menuju Salura. 

Entah kenapa, pada akhirnya saya memutuskan untuk menempuh perjalanan berisiko ini. Salura merupakan satu-satunya desa pulau di Sumba Timur dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Beberapa waktu yang lalu, Heri mengirim kabar via FB kalau sekolah di Salura terancam tutup karena tidak ada gurunya. Saat ini Salura yang sudah pernah mengancam untuk bergabung dengan Australia ini,  digunakan sebagai tempat penugasan peserta SM-3T untuk yang kedua kalinya. Hal-hal itulah yang mendorong saya akhirnya berada di sini. Tidak sekedar demi menunaikan tugas melakukan monev, tapi yang lebih penting adalah demi sebuah silaturahim. Juga, senyampang laut sedang relatif tenang.

Perjalanan berperahu mengarungi Samudra Hindia dari Katundu menuju Salura itu memerlukan waktu sekitar satu jam. Hampir separo perjalanan kami lalui di bawah guyuran gerimis yang rapat. Airnya asin. Ombak laut yang berwarna hitam seperti bekerjaran berlomba mendatangi kapal. Seolah siap menggulung. Ya, kami sedang berperahu melawan arus. Kapal menerjangnya, membuat kapal terhempas, oleng sebentar ke kanan dan ke kiri, dan ombak memercik menerpa wajah-wajah kami. 

Saya seperti tidak percaya, saya sedang berada di atas Samudra Hindia, berlayar dengan perahu nelayan. Tidak jauh di depan sana adalah laut lepas. Pulau Salura, Pulau Kambing dan Pulau Mengkudu nampak seperti gundukan bukit berwarna kecoklatan. Di seberang Pulau Mengkudu adalah Australia. Menurut Tamam, seorang peserta yang bertugas di Salura, bila kita menaiki bukit di malam hari, lampu-lampu di Benua Kanguru itu terlihat dari kejauhan.

Pada separo perjalanan berikutnya, gerimis reda. Meski matahari tak menampakkan diri sama sekali, dan kabut serta mendung tebal terus menyelimuti, tapi setidaknya kami tidak terus-menerus diguyur air hujan yang rasanya sangat asin itu.

Semakin dekat dengan Salura, ombak semakin tinggi dan disertai angin. Saya sangat merasakan goyangannya dan tiupan angin. Perahu terpaksa agak memutar untuk menghindari ombak besar menjelang merapat ke pantai. 

Setiap kali saya merasa agak cemas, saya melihat wajah-wajah di perahu itu, terutama dua orang awaknya. Mereka bergantian menjaga mesin dan membuang air di bagian dasar kapal dengan sebuah timba. Meski ombak menghempas-hempaskan perahu dengan cukup keras, wajah-wajah mereka sangat tenang. So, tidak ada alasan bagi saya untuk merasa cemas dan panik. Namun begitu, doa yang diajarkan ibu saat saya berlayar dengan Kapal Marsela di atas Laut Banda terus saya gumamkan. Bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim.  

Akhirnya....saya pun tercengang penuh takjub. Subhanallah....indahnya. Salura ternyata begitu eksotis. Puluhan perahu nelayan berjajar di bagian tepi laut. Garis pantai yang putih bersih membentang dari arah kiri ke arah kanan saya. Pohon-pohon kelapa berjajar, dan di bawah pepohonan itulah rumah-rumah nelayan bersisian. Juga puluhan tenda-tenda.

Tenda-tenda itu adalah milik para nelayan yang eksodus dari Lombok untuk mencari cumi di laut ini. Tenda, pantai, perahu dan laut. Tempat ini menjadi begitu eksotis bukan hanya karena laut birunya dan gundukan bukit-bukit yang mengitarinya. Puluhan bahkan mungkin ratusan perahu yang sedang parkir di tepian laut itu membuatnya menjadi semakin eksotis. 

Begitu turun dari perahu, saya pun spontan membongkar tas saya untuk mencari apa pun yang bisa saya gunakan untuk mengabadikan pemadangan alam yang luar biasa ini. Sejak naik ke perahu tadi, tak ada seorang pun yang memotret karena semua barang elektronik diamankan dalam tas plastik untuk menghindari air hujan yang mengandung garam. Hanya saya saja yang nekad mengeluarkan BB dan sempat mengabadikan momen menjelang menaiki kapal. Saat ini, saya mengabadikan semua yang menghampar di depan saya dengan kamera pocket saya dan BB. Anak-anak pantai yang berlarian di atas pasir. Para nelayan yang sedang menyiapkan perahu-perahu. Dan laut, pantai, kabut, mendung tebal, pulau-pulau...semuanya telah saya rekam. Ya, meski hasil rekamannya tidaklah sebagus hasil jepretan fotografer profesional, tapi setidaknya, saya tidak terlalu banyak kehilangan momen.

Salura
Akhirnya
Kesentuh nadimu
Kuhirup aromamu
Kucumbui keindahanmu


Pulau Salura, Karera, Sumba Timur, 9 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN 

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...