Pages

Minggu, 30 Juni 2013

Gairah Hidup Prof. Djodjok Soepardjo

Pagi ini, saat sedang berdiri di barisan prosesi Senat Unesa, bersiap-siap untuk memasuki ruang wisuda, Prof. Djodjok Soepardjo, mengulurkan sebuah buku ke arah saya. 'Mau dibaca sekarang?' Tanyanya. Saya spontan mengangguk. Menerima buku mungil itu dan berucap terimakasih.

Buku itu berjudul Gairah Hidup. Buku mungil setebal 243 halaman. Diterbitkan oleh Penerbit Bintang Surabaya. Buku yang terbagi dalam 5 bab: Kita Harus Berpegang pada Apa atau Siapa?; Suara Hati Nurani dan Keberanian; Kewajiban Saling Mencintai; Hidup itu Perjuangan; dan Memahami Arti Kehidupan.

Buku ini, meski mungil, begitu kaya hikmah. Sepanjang membacanya, saya sambil membayangkan profil penulisnya. Prof. Djodjok yang tampan, berkulit bersih, ramah, hangat, humoris, kadang-kadang terkesan 'slengekan', ternyata menyimpan ribuan amunisi di dalam jiwa dan pikirannya.

Buku mungil ini mempresentasikan bagaimana dia menyikapi hidup dan kehidupan. 'Adakah yang lebih penting dalam hidup ini selain dari 'kehidupan?' Begitu tanyanya di awal tulisan. Kemudian untaian kalimat demi kalimat indahnya mengalir. Mulai dari hal yang sederhana tapi rumit: bagaimana mengatasi semburan tsunami hawa nafsu (hal 3-8). Di banyak bagian, Djodjok mengutip hadist dan ayat-ayat dalam Al-Quran. Namun dia juga melengkapinya dengan berbagai referensi, misalnya buku karangan Richard Lloyd Parry (2008) yang berjudul Zaman Edan, juga banyak referensi yang lain. Khas akademisi yang religius.

Sebagai guru besar bidang Linguistik (Jepang), serta cukup lama memperoleh pendidikan di Jepang baik dengan beasiswa dari The Japan Foundation dan Mombukagakusho, Djodjok banyak memberikan warna Jepang dalam tulisannya, terlihat dari referensi dan juga isi tulisan. Belajar dari Mushashi dalam menetapkan tujuan hidup, merupakan salah satu yang dia rekomendasikan. Menurutnya, contoh yang ditunjukkan Miyamoto Mushashi dalam kegiatan latihannya sebelum mencapai usia tiga belas tahun adalah salah satu cerita yang paling luar biasa dalam sejarah kelas samurai terkenal Jepang. Dia katakan, kisah tersebut masih sangat pantas ditiru sekali pun oleh orang-orang yang hidup di dunia modern sekarang ini (hal 49).

Djojok juga menyelipkan beberapa tulisan terkat dengan pemahaman lintas budaya, dua di antaranya adalah: 'Jangan Berhenti Belajar' dan 'Hari Ini Lebih Baik dari Hari Kemarin'. 

Pada tulisan pertama, Djodjok menyajikan 'malu' sebagai salah satu kekuatan budaya yang dimiliki bangsa Jepang. Sebuah konsep yang sering dikontraskan dengan budaya bangsa Amerika yaitu 'merasa bersalah' atau 'merasa berdosa'. Menurutnya, semua konsep tersebut dengan mudah dapat disembunyikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tetapi, rasa takut atau malu, bagi bangsa Jepang, lebih dari apa pun.

Bangsa Jepang secara konstan selalu menuju jalan 'hanseikai' atau instropeksi diri sebagai upaya belajar dari kesalahan mereka. Semua itu dilakukan untuk menghindari rasa malu yang merupakan intisari obsesi orang Jepang yang terdapat dalam konsep 'kaizen' (perbaikan terus-menerus). Kaizen akan diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan bangsa Jepang (hal 36).

Buku ini, seperti yang saya katakan, begitu kaya hikmah. Sangat layak dibaca. Buah pikiran yang ditulis 'ketika gelembung di aliran sungai meletup', begitu kata penulisnya; untuk menunjukkan kalau buku ini tidak ditulis secara terus-menerus. Meski begitu, sebagai buku keempat (setelah Jepang Masa Kini/1999, Frendly/2005, Linguistik Jepang/2013), sosok Djodjok bisa menjadi pemicu untuk terus menggelorakan semangat literasi. 


GOR Kampus Unesa Lidah Wetan, 30 Juni 2013.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...