Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Organisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Organisasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 November 2014

New Zealand, Akhirnya Terwujud

Delapan mahasiswa itu berdiri tegak di sudut panggung. Tangan kiri mereka mengepal,  tangan kanan mengacungkan dayung. Di belakangnya adalah perahu karet besar berwarna biru. Di sebelah kiri mereka berdiri sebuah banner bertuliskan New Zealand Rafting Expedition 2014. Beberapa meter di belakang mereka, backdrop bertuliskan "Persembahan Himapala Unesa untuk Almamater dan Negeriku Tercinta, New Zealand Rafting Expedition 2014." Di depan panggung, belasan awak media cetak dan TV sedang mengambil gambar mereka.

Ya. Setelah diperjuangkan sejak lebih dari setahun yang lalu, mimpi itu, ekspedisi ke New Zealand, akhirnya terwujud. Ekspedisi rafting untuk mengakrabi tiga sungai sekaligus, Sungai Kaituna, Rangitaiki, dan Ngaruroro.

Ketiga sungai itu memang penuh dengan jeram yang curam dan sudah dikenal sebagai tempat untuk rafting yang menantang. Sungai Kaituna memiliki panjang sekitar 50 kilometer. Rangitaiki memiliki panjang 155 kilometer. Sedangkan Ngaruroro, terpanjang di antara ketiganya, yakni 164 kilometer.

Delapan orang itu, adalah Dimas Prasetyo Kurniawan, Anggar Sukmana Saputra, Dwi Zulaikah, Rizal Fanani Aziz, Fitria Indriani, Choirul Huda, Ulumuddin Fanani, dan Nafisa Ratna Sari. Tiga perempuan, lima laki-laki. Dua perempuan di antaranya adalah dari Program Studi Pendidikan Tata Busana. Ya, meski sehari-hari berurusan dengan fashion dan jahit-menjahit, nyali mereka besar juga untuk menjadi atlit rafting di lokasi yang bahkan belum pernah mereka kunjungi kecuali lewat dunia maya.

Tim delapan itu, tentu tidak terbentuk begitu saja. Ada proses panjang yang harus mereka lalui. Dari sebanyak 37 pendaftar, disaring sedemikian rupa, baik fisik maupun mental, tinggallah 10. Dari 10 orang, karena hanya diperlukan 8, maka gugurlah 2  di antaranya. 

Mereka juga harus masuk training center. Rutin fitness dan latihan dayung di Rolak dua kali seminggu. Bahkan pada hampir setiap akhir pekan, mereka turun ke Sungai Pekalen dan sungai lain untuk latihan. Mereka juga melakukan tryout di Dampit, Malang, juga ke Sungai Citandui, Jawa Barat. Sampai akhirnya, setelah fisik dan keterampialn mereka dinilai siap, mereka harus menjalani karantina di Roks (Rolak Outbound Kids) mulai tanggal 17 November sampai menjelang pemberangkatan nanti. Karantina itu dimaksudkan untuk lebih membangun kekompakan dan kebersamaan mereka. Lepas dari itu, sejak berbulan-bulan sebelumnya, korespondensi, perizinan, pengurusan passport dan visa, serta persiapan logistik, terus dilakukan.

Pada tanggal 27 November nanti, tim akan berangkat dari Surabaya menuju Auckland, New Zealand. Semua perjuangan yang telah dilakukan sejak setahun yang lalu, dengan berbagai rintangan dan tantangan yang harus dihadapi, akhirnya terbayar sudah. Benar. Bukan perjuangan yang ringan untuk mendapatkan dana sekitar 180 juta, bernegosiasi dan beaudiensi kesana kemari untuk mencari dukungan, di antara waktu-waktu kuliah dan tugas-tugas yang menumpuk, dan jadwal latihan yang padat. Mereka melalui semunya benar-benar dengan penuh perjuangan, dengan segala daya upaya, tetesan keringat, bahkan air mata, demi mewujudkan mimpi itu.

Siang itu, di Gedung Gema Kampus Ketintang, upacara pelepasan Tim New Zealand digelar. PR 3, Dr. Ketut Prasetyo, menyerangkan bendera Merah Putih sebagai simbol menitipkan nama baik negeri untuk mereka. Pembina Himapala, Luthfiyah Nurlaela, menyerahkan bendera Unesa, sebagai simbol menitipkan kejayaan Unesa. Dan Ketua Umum Himapala, Maratus Sholihah, Menyerahkan bendera Himapala, sebagai simbol menitipkan kehormatan Himapala untuk mereka. Semua yang hadir menyaksikan dengan penuh rasa haru dan bangga. Para orang tua, para senior Himapala, juga para awak media.

Ini bukan ekspedisi pertama untuk Himapala. Setidaknya sudah ada lima kali ekpedisi besar yang sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam. Ekspedisi Cartenz, ekspedisi Lawe Alas, ekspedisi Tebing Bambapuang, ekspedisi Sulsel 3 divisi (panjat, caving, rafting), ekspedisi ladies team Selelo Sumatera, dan ekspedisi elit (5 tebing dalam satu bulan penuh). 

Ekspedisi New Zealand, sejatinya, adalah juga mimpi para senior Himapala. Dan saat ini, anak-anak muda itu, mewujudkan mimpi itu, dengan dukungan penuh para seniornya. Betapa indahnya sebuah silaturahim yang terus terjaga sebagaimana layaknya seorang adik-kakak.    

Ekspedisi semacam ini, tidaklah dimaksudkan untuk menaklukan alam. Alam sama sekali bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk diakrabi. Juga bukan sebagai simbol kekuatan, keperkasaan. Ini tentang perjuangan mengalahkan rasa takut, tentang ketegaran, sekaligus tentang kerendah hatian, kebersamaan, serta kemampuan untuk bertahan. Sebagai bagian dari peningkatan kesadaran akan betapa kecil dan tak berartinya manusia, di tengah alam yang maha luas dan tak terhingga nilainya. Sebagai wujud rasa syukur dari sosok-sosok makhluk yang begitu tak berarti di hadapan Sang Pencipta. Ini tentang menjaga reputasi, menjaga kejayaan sebuah organisasi, almamater, dan kejayaan negeri.

Tanggal 7 Desember nanti, Tim New Zealand akan kembali dari petualangan mereka. Mereka akan membawa banyak pengalaman. Mereka akan membawa oleh-oleh berupa dokumentasi foto dan video. Mereka akan membawa banyak cerita. Namun, sebagai bagian dari masyarakat akademis, mereka akan menuliskan cerita pengalaman petualangan itu dalam sebuah buku. Buku yang menceritakan seluruh perjuangan mereka, suka duka mereka, dan juga--mungkin--tentang pelajaran berharga bagi semua untuk lebih mencintai alam semesta. 

Buku itu, akan menjadi kado indah untuk Ulang Tahun Unesa yang ke-50. Selamat Ulang Tahun, Unesa. Semoga kejayaan semakin dekat dan senantiasa dalam genggaman.

Selamat jalan, selamat berjuang, kawan. Kami di sini menanti kalian, lengkap dengan doa penuh harapan untuk kesuksesan kalian. Jaga kesehatan, jaga keamanan, jaga kehormatan. 

Salam lestari.

Surabaya, 21 November 2014.

Wassalam,
LN

Senin, 17 Juni 2013

Ekspedisi Rafting Lawe Alas Himapala 2013

Siang tadi (Senin, 17 Juni 2013)pukul 13.30, bertempat di Gedung G4.01.05 FE Unesa Kampus Ketintang, telah dilaksanakan upacara pemberangkatan Tim Ekpedisi Rafting Lawe Alas Himapala 2013. Acara tersebut dihadiri oleh Pembantu Rektor III (Prof. Dr. Warsono, M.S), Pembina Himapala (Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M. Pd), Dekan FMIPA (Prof. Dr. Suyono, M. Pd), serta para ketua unit kegiatan mahasiswa (UKM) di lingkungan Unesa.

Dalam laporannya, ketua panitia, Mar'atus Sulistyo (Atus), yang juga sebagai anggota tim, menyampaikan bahwa kegiatan ekspedisi dimulai sejak pembentukan panitia pada 22 Januari 2013. Selanjutnya dibuka pendaftaran bagi para calon peserta tim, termasuk tes wawancara, terus berproses dengan berbagai materi, baik materi ruang, lapang, sungai, serta try out. Try out yang pertama dilakukan di Sungai Pekalen, Probolinggo, dan try out kedua dilakukan di Sungai Serayu, Jawa Barat.

Pada awal pengajuan kegiatan dulu, menurut Pembina Himapala, yang biasa dipanggal Mbak Ella oleh para anggota aktif, PR III sempat menyampaikan keberatannya karena pertimbangan keselamatan. Pada saat itu baru saja ada kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa, yang menimpa tim ekspedisi rafting dari perguruan tinggi lain, juga di Aceh. Namun melihat kesungguhan hati tim ekspedisi Himapala, Pembina Himapala menyarankan supaya tim melakukan audiensi lagi dengan PR III, untuk meyakinkan beliau. Kekhawatiran beliau merupakan kekhawatiran seorang bapak sekaligus penanggung jawab bidang kemahasiswaan. 

Hal tersebut dibenarkan oleh PR III. Dalam sambutannya, Prof. Warsono mengemukakan bahwa memang awalnya beliau penuh dengan kekhawatiran. Namun melihat tekad tim ekpedisi dan komitmennya, akhirnya beliau memberikan izin dan mendukung sepenuhnya. 

Tim yang terdiri dari 14 orang itu (11 putra dan 3 putri) akan berangkat dalam dua tahap. Tahap pertama, tiga orang, merupakan tim pionir, berangkat tanggal 19 Juni 2013. Selanjutnya tahap kedua berangkat pada 22 Juni 2013. Mereka akan menumpang kereta api dari Surabaya ke Jakarta, dan melanjutkan perjalanan menuju Medan dengan menumpang pesawat.  Dari Medan, tim akan menempuh perjalanan darat selama sekitar 8 jam untuk mencapai Kutacane, Aceh Tenggara. Di sinilah ekspedisi akan dimulai.

Ekspedisi pertama akan  mengarungi Sungai Bingge, sebagai appetizer-nya. Selanjutnya selama tujuh hari, tim akan mengarungi sungai Lawe Alas, inilah main course-nya. Selanjutnya, sebagai dessert-nya, tim akan mengarungi Sungai Laekombe. Jadi tiga sungai akan diarungi dalam ekspedisi yang memakan waktu selama 21 hari tersebut (mulai 19 Juni sampai dengan 10 Juli 2013).
  
Sejak beberapa periode ini, divisi rafting Himapala belum berhasil melakukan satu ekspedisi pun, selalu gagal di tengah jalan. Sementara divisi yang lain (Gunung Hutan, Susur Pantai, Panjat, dan Konservasi) setiap tahunnya selalu melakukan ekspedisi. Begitu tutur Ketua Umum Himapala, Ardhan.

Namun saat ini, semua divisi bersatu dalam rangka menyukseskan ekspedisi rafting. Latar belakang mereka yang pada dasarnya bukan rafter, tidak menjadi masalah karena mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk membekali diri sebaik-baiknya dengan berbagai keterampilan fisik maupun mental.

Prof. Warsono menyampaikan kebanggaannya pada Tim Ekspedisi Rafting Lawe Alas ini. Mereka tidak sekedar menghadapai tantangan, tetapi menciptakan tantangan dan berjuang keras untuk  menghadapinya. Tantangan luar biasa yang telah mereka ciptakan, akan membuat mereka menjadi pribadi-pribadi yang cerdas, tangguh, trengginas dan tanggap. 

Menjelang menutup sambutannya, Prof. Warsono berpesan, supaya tim tidak  terlalu jumawa. Jangan pernah bersombong utk menundukkan alam, tetapi bagaimana kita beradaptasi dengan alam, dengan segala upaya dan doa. Alam tdk bisa kita lawan, tetapi kita harus hidup serasi dan selaras dengannya, dengan berusaha untuk beradaptasi. Harapan beliau, semoga apa yang dilakukan Himapala ini mampu memberikan inspirasi bagi banyak pihak, khususnya para mahasiswa, agar selalu berani menciptakan tantangan dan menghadapinya dengan cerdas.

Selamat untuk Tim Ekspedisi Lawe Alas Himapala 2013. Semoga perjalanannya lancar, semoga ekspedisinya lancar dan sukses, seluruh anggota tim selamat, kembali ke kampus tanpa halangan suatu apa pun.

Amin YRA.

RSAL, Surabaya, 17 Juni 2013. 20.30 WIB.
(Menunggu Nizar Wahono di ruang operasi).

Minggu, 31 Maret 2013

Mengabarkan Kebahagiaan

Suatu hari saya mengirim sebuah tulisan ke milis keluarga Unesa. Tulisan tentang pengalaman saya dalam acara reuni Himapala. Reuni yang menyenangkan. Perjalanan yang panjang, konsumsi dan akomodasi yang lezat dan nyaman, kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat wisata yang mengagumkan dan persahabatan yang indah, sangat berarti dan mencerahkan.

Seorang teman berkomentar: Dilihat dari tulisannya, kisah Bu Ella kok bahagia terus padahal kata Mario Teguh "Life is never flat". Apa yang ditulis emang yg bahagia aja ya? 

Sebenarnya saya tidak selalu menulis cerita yang bahagia saja. Sama dengan hidup saya, hidup kita semua, duka dan bahagia selalu menyertai. Saya ingat pernah menulis 'Episode Baru bagi Bapak' dan 'Di Ujung Ramadhan'. Dua tulisan yang mengisahkan tentang kesedihan kami saat bapak jatuh sakit, dan kami harus bahu-membahu untuk saling mendukung bagi kesembuhan bapak. Saya juga menulis tentang 'Ibuku (1)' dan 'Ibuku (2), sebagian menceritakan bagaimana rasa kehilangan kami semua saat bapak berpulang. Ada juga tulisan tentang 'Anak Lanang', sebuah cerita suka dan duka menemani anak semata wayang kami dalam menjalani proses pendewasaannya. Tulisan-tulisan itu sebagian ada di website www.luthfiyah.com dan juga di buku 'Jejak-Jejak Penuh Kesan', buku yang saya tulis untuk menandai momen pernikahan emas bapak dan ibu. 

Tapi memang, harus saya akui, saya lebih suka menuliskan hal-hal yang membahagiakan daripada hal-hal yang menyedihkan. Berbagi kebahagiaan akan menularkan energi positif bagi orang yang mendengar atau membacanya. Membagikan cerita sedih hanya perlu saya lakukan ketika saya yakin kita bisa mengambil hikmah dari cerita itu. Hikmah untuk selalu bersabar, ikhlas dan bersyukur.  
Mario Teguh menulis: 
"Jika hatimu baik, pikiranmu baik, yang kau katakan baik, dan yang kau lakukan baik, maka baiklah nasibmu.

Mas Ayik panorama waduk Gajah Mungkur...
Maka ikhlaskanlah hati, pikiran, kata-kata, dan keseluruhan gerak tubuhmu kepada kebaikan.

Sesungguhnya, lebih mudah bagimu mendekatkan dirimu kepada kebaikan, daripada mengeluarkan dirimu dari kesulitan karena keburukan."

Saya sangat sepakat dengan kata-kata bijak Mario Teguh itu. Meski dia mengakui "Life is never flat", tapi dia juga meyakini mengabarkan kebaikan akan membawa kita kepada 'nasib baik'. 

Ada juga syair dari The Best of Opick yang sangat saya suka. Saya memang penggemar Opick. Lagu-lagunya hampir selalu menemani saya sepanjang perjalanan menuju atau pulang kerja. Begitu saya membaca basmallah dan doa bepergian serta bersholawat, saya kemudian menghidupkan tape.  Saya bersenandung, tapi yang saya senandungkan adalah kalimat-kalimat pujian. 

RAPUH
Lagu/Lirik: Opick

"Detik waktu terus berjalan
Berhias gelap dan terang
Suka dan duka, tangis dan tawa
Tergores bagai lukisan

Seribu mimpi, berjuta sepi
Hadir bagai teman sejati
Di antara lelahnya jiwa
Dalam resah dan air mata
Kupersembahkan kepada-Mu
Yang terindah dalam hidupku

Meskipun rapuh dalam langkah
Kadang tak setia kepada-Mu
Namun cinta dalam jiwa
Hanyalah pada-Mu

Maafkanlah bila hati
Tak sempurna mencintai-Mu
Dalam dada kuharap hanya
Diri-Mu yang bertahta

Detik waktu terus berlalu
Semua berakhir pada-Mu..."

Entah kenapa, meski lagu ini sudah puluhan kali saya dengar dan saya senandungkan, saya hampir selalu menangis setiap mendengarnya. Bagi saya, ini tidak sekedar lagu. Bagi saya, lagu ini maknanya begitu luar biasa, begitu menyentuh titik kesadaran saya yang paling dalam. Pernah suatu ketika saya dan mas Ayik melakukan perjalanan mudik ke Tuban, dan kami menyenandungkan lagu itu bersama-sama, tiba-tiba saya terdiam. Terisak. Ternyata mas Ayik juga. Dia diam dan mebiarkan lagu itu terus mengalun sementara kami meresapinya dengan sepenuh hati. 

TAKDIR
Lagu/Lirik: Opick

"Dihempas gelombang
Dilemparkan angin
Terkisah kubersedih, kubahagia
Di indah dunia yang berakhir sunyi
Langkah kaki di dalam rencana-Nya

Semua berjalan 
Di dalam kehendak-Nya
Nafas hidup, cinta dan segalanya...

Dan tertakdir menjalani
Segala kehendak-Mu ya Rabbi
Kuberserah, kuberpasrah
Hanya padamu ya Rabbi

Bila mungkin ada luka
Kau coba tersenyumlah
Bila mungkin tawa
Kau coba bersabarlah
Karena air mata tak abadi
Akan hilang dan berganti

Bila hidup hampa yang dirasa
Mungkinkah hati merindukan Dia
Karena hanya dengan-Nya
Hati tenang damai jiwa dalam dada..."

Surabaya, 31 Maret 2013

Wassalam,
LN

Reuni Himapala (3): Mbak Dien yang Baik Hati

Pagi, pukul 05.30. Saya dan mas Ayik sudah menyelesaikan rutinitas pagi. Dua sepeda lipat sudah disiapkan. Bagasi sudah diikat di bagian belakang sepeda. Segelas teh manis cukuplah untuk menghangatkan tubuh.

Kamar mas Badi masih tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hehe. Mereka berempat pasti masih pulas. Menuntaskan sisa kelelahan setelah perjalanan kemarin dan karena kegiatan tadi malam. 

Kami keluar hotel, mengayuh sepeda kami. Tentu saja setelah pamitan pada resepsionis. Kami check out pagi ini. Menikmati pagi sambil bersepeda pelan-pelan. Tidak perlu ngoyo. Yang penting speed diatur, bertahan, konsisten. Tujuan kami tentu saja ke rumah angin. 

Tapi sepagi ini, banyak pemandangan yang sayang untuk dilewatkan, sehingga kami tidak langsung ke tempat tujuan. Beberapa kali berhenti di tempat-tempat yang indah. Juga singgah di Taman Rekreasi Gajah Mungkur. Matahari yang mengintip di kaki langit. Warnanya yang jingga bersinar berpendar-pendar. Para nelayan yang sedang menebar jaring. Gerombolan burung yang melintas di angkasa. Dan dermaga yang menunggu siapa saja untuk menyinggahinya. 

Sesi pemotretan pun tak terelakkan. Semua pemandangan indah nyaris tak terlewatkan. Termasuk macam-macam ikan goreng kering yang banyak dijual di pinggir jalan. Wader, mujair, udang, semua digoreng kering. Ada juga abon dari bermacam-macam ikan.  

Sehari ini ada beberapa kali sesi pemotretan. Di halaman rumah angin. Di Museum Karst Indonesia. Juga di Pantai Sembukan. Untuk dua tempat yang terakhir, kami kunjungi bersama rombongan. Mbak Dien menyediakan bus polisi, lengkap dengan driver, para pengawal, dan juga konsumsi yang berlimpah. Tentu saja tiket masuk juga bukan kami yang bayar.

Mas Ayik berpose di depan manusia purba Solo.

Potret rame-rame di depan pintu masuk Pantai Sembukan
Tentang Karst, menurut 'mbah google', Indonesia memiliki kawasan Karst yang sangat luas, mencapai lebih dari 15,4 juta hektar.  Kawasan Karst Indonesia umumnya memiliki keanekaragaman hayati dan non-hayati yang mempunyai nilai keindahan, keunikan, ilmiah, ekonomi, budaya, sejarah dan kemanusiaan. 

Memang benar. Kami bisa belajar banyak di Museum Karst yang berdiri sejak tahun 2007 ini. Mulai dari lokasi batuan karst di seluruh Indonesia bahkan di seluruh dunia, macam-macam batuan karst dan bagaimana terjadinya, kehidupan flora fauna, penemuan fosil-fosil di gua-gua batuan karst, potensi ekonomi, benda-benda purba, dan masih banyak lagi. Kami juga diputarkan film tentang gunung Merapi. Kalimat yang menyentuh kesadaran kita ada di ujung film dokumenter itu:  "Merapi telah memberikan waktu pada kita untuk menikmati keindahannya serta memanfaatkan hasil buminya, maka ada saatnya kita harus memberinya waktu untuk bererupsi." Kalimat ini mengandung makna yang dalam tentang bagaimana kita seharusnya hidup berdampingan dengan alam.  

Museum Karst Indonesia ini letaknya di Desa Gebangharjo Kecamatan Pracimantoro, 45 km di selatan kota Wonogiri. Museum ini juga menggambarkan khasanah karst dengan keunikan goa-goa di Pracimantoro. Di Desa Gebangharjo Kecamatan Pracimantoro - yang menjadi pusat penelitian kawasan karst - terdapat puluhan gua, antara lain Gua Tembus, Gua Mrica, Gua Sodong, Gua Potro, Gua Sapen, Gua Gilap, dan Gua Sonya Ruri. Sayang kami tidak memiliki cukup waktu untuk mengunjungi gua-gua itu, tapi harus cukup puas hanya dengan menikmati miniaturnya. 

Berada dalam goa museum manusia purba.

Potret diri berdua dengan Mas Ayik. 
Berdasarkan penelitian para ahli sejarah dan geologi, kawasan gua-gua di Pracimantoro Wonogiri ini layak dijadikan sebagai situs Kawasan Karst yang potensial di Indonesia. Kawasan ini bahkan dinilai terbaik oleh para ahli sejarah dan geologi karena telah memenuhi kriteria keberagaman gua, struktur lapisan tanah, dan panorama alam yang khas. Potensinya dinilai lebih baik daripada kawasan karst yang ada di Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Gunung Kidul. 

Setelah puas mengunjungi Museum Karst dan berpamitan dengan pemandunya yang cantik, ramah, sopan dan cerdas, kami kembali memasuki bus polisi. Oya, sebelum masuk bus, saya dan mas Ayik sempat berwisata kuliner sebentar. Menikmati tempe mlanding yang digoreng tepung, kripik tempe mlanding, dan tape gaplek. Bagi kami, itu jenis makanan yang langka dan rodo aneh, makanya perlu dicoba.
  
Keindahan tepian waduk Gajah Mungkur bertemaram mentari.

Bepose di atas karang.

Mas Ayik action di batuan cadas.
Pantai  Sembukan terletak di Kecamatan Paranggupito, kurang lebih 40 Km arah selatan Kota Wonogiri. Pantai yang dikelilingi perbukitan. Kita bisa turun ke pantai yang ada di bawah sana, melewati tangga. Atau bila ingin memandang laut lepas lengkap dengan batu-batu karangnya yang besar-besar, kita bisa naik ke bukit-bukit. Serasa di sorga. Begitu luar biasa indahnya. Laut biru yang luas. Ombak yang berkejaran memecah batu-batu karang, buih putihnya pecah berpendar-pendar tinggi sekali, sebelum akhirnya riak-riaknya mencapai pantai. Subhanallah...indahnya.

Selain terkenal dengan keindahan alamnya, pantai Sembukan juga terkenal sebagai pantai ritual yang ramai dikunjungi orang untuk bermeditasi dan ngalab berkah. Pantai yang jaraknya dari Kantor Kecamatan Paranggupito kurang lebih 3,5 km ini, pada waktu-waktu tertentu juga digunakan sebagai tempat acara larung,  yang biasanya dilanjutkan dengan acara wayangan. Selain itu juga ada tempat peribadatan yang ada di puncak bukit.

Kami mengakhiri acara suka-suka itu dengan foto bersama. Makan siang disiapkan oleh mbak Dien dan 'bolo kurowo'-nya. Nasi kotak dengan menu ayam goreng, bihun, dan sambal goreng kentang. Lauk tambahan, yang kita bisa mengambilnya sesuka hati, adalah tahu tempe bacem, ayam goreng, urap, telur dadar, ikan asin, krupuk dan rempeyek. Ada teh hangat dan es degan juga. Komplit. 

Mbak Dien, polwan berpangkat letkol itu, adalah perempuan berhati kapas. Tubuhnya yang tinggi besar menyimpan kesejukan dan ketulusan hati seorang sahabat. Ketika secara tulus saya sampaikan ucapan terimakasih saya kepadanya, mewakili anggota Himapala, mbak Dien justru balik menyampaikan terimakasihnya karena pertemuan ini. Dia katakan, dia dan keluarganya sangat bahagia karena kami semua sudah menyinggahinya. Katanya, seperti batere, jiwa kita juga perlu di-charge. Bertemu kawan-kawan adalah salah satu bentuknya. Rutinitas kerja setiap hari telah membuat hati kita selalu merindukan saat-saat seperti ini.

Mbak Dien sudah mencapai tingkat tertinggi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Aktualisasi diri. Menurut Abraham Maslow yang dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik itu, manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Ahli yang terkenal dengan teori Hierarchy of Needs itu
percaya bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat untuk merealisasikan potensi dalam dirinya, untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri. Maslow menggambarkan bahwa manusia baru dapat mengalami "puncak pengalamannya" saat manusia tersebut selaras dengan dirinya maupun sekitarnya. Manusia yang mengaktualisasikan dirinya, dapat memiliki banyak puncak dari pengalaman dibanding manusia yang kurang mengaktualisasi dirinya.

Mbak Dien juga mengingatkan saya pada pandangan Komaruddin Hidayat saat menyajikan konsep the archtypes pada waktu Konaspi VII di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu. Setiap orang akan mengalami siklus hidup yang disebut 'The Archtypes'. Dimulai dengan tahap 'orphan'.  tidak berdaya, selalu membutuhkan orang lain, tapi juga terbuka pada persahabatan dan pertemanan.  Selanjutnya tahap' wanderer',  pengelana, melakukan eksplorasi, memperluas wawasan. Kemudian tahap ' warrior', harga diri, menjaga martabat. Terakhir adalah 'altruist' artinya 'find the more meaningful life'. Saatnya berjuang untuk orang lain. Bukan hanya memikirkan diri sendiri (selfish,  self center). Ketika seseorang mencapai tahap altruist, dia akan merasa bahagia ketika membahagiakan orang lain. Berbahagialah Anda yang hidup untuk memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi orang lain. Kepribadian yang sehat adalah ketika sudah sampai pada tahap altruist. 

Terimakasih, mbak Dien. Untuk pertemuan yang luar biasa ini. Untuk persahabatan yang indah ini. Semoga terus terjalin dan bisa saling memberi manfaat. Saling berbagi, saling menginspirasi....

Wonogiri, 30 Maret 2013

Wassalam,
LN

Sabtu, 30 Maret 2013

Reuni Himapala (2): Ada Dokter Edi Dharma dan Sabar Gorky

Hehe, ini reuni yang keren sekali. Meski perjalanan jauh, lebih dari sepuluh jam (karena macet dan mampir-mampir), capek seperti tidak terasa. Cipaganti cukup nyaman....terlalu nyaman untuk kami para anggota himapala (yang biasa naik truk saat berkegiatan dulu). Kami bernyanyi-nyanyi di sepanjang perjalanan, ngemil, dan guyon. Selebihnya tidur, baca, menulis bagi yang suka menulis. 

Pukul 19-an kami tiba di kantor Polres Wonogiri. Beberapa polisi menyambut kami dan menyilakan bus kami parkir. Ternyata rumah mbak Dien berada di belakang Polres. Melewati jalan makadam yang menanjak dengan jarak sekitar seratus meter, kami tiba di joglo besar yang berada di ketinggian. Di tempat yang lebih tinggi lagi, berjarak sekitar sepuluh meter, sebuah rumah kayu. Rumah dan joglo ini menyatu, menjadi sebuah tempat persinggahan yang mengasyikkan. Angin yang sejuk dan dingin berhembus semilir, menerpa wajah. Mbak Dien menamakan rumahnya ini sebagai rumah angin. Nama yang tepat.

Kebersamaan antar generasi.
Di joglo, orang-orang 'berserakan'. Ada banyak wajah, mulai dari wajah kanak-kanak, remaja, dewasa, sebagian besar wajah manula. Dan....surprise. Ada lima remaja berseragam batik yang sedang melakukan massage. Pijat refleksi. Wow, rupanya mbak Dien tidak hanya menyediakan tempat yang sangat eksotis, makanan yang berlimpah, namun juga membuka panti pijat dadakan untuk kami. Mantan kapolres Wonogiri itu menyambut dan memeluk kami satu per satu. Pelukan tulus dan keramahan yang hangat itu menyentuh sampai ke relung hati saya. Dia menunjukkan di mana meja makan, di mana kue-kue termasuk polo-pendem dan kacang rebus, dan menyilakan kami apakah akan langsung makan atau mau pijat dulu. Wow....benar-benar full service.

Saya memilih mengambil wedang jahe, menikmati kehangatannya, setelah menyalami semua yang ada di situ. Lantas menyelonjorkan kaki, ngantri untuk dipijat. 
Malam ini kami lalui dengan sangat menyenangkan. Ada banyak wajah lama yang sangat saya kenal. Mas Joko, mas Bayu, mas Badi', mas Gatot, mas Hardik, mbak Oris, mas Andik, mas Jack, mas Hari Is, mbak Retno, mas Sidik,  Chairul, Gudel, Agus Pedhet, Dwi,  dan masih banyak yang lain. Hampir semua membawa keluarganya. Ramai dan guyub. 

Setelah makan malam, kami duduk melingkar. Ike, salah satu motor kegiatan ini, angkatan 2000, mantan Ketua Umum Himapala, mengantarkan acara. Sambutan dari mbak Dien, nyonya rumah, dilanjutkan dari pembina Himapala, saya sendiri, terus senior himapala, diwakili mas Joko. 

Lagi-lagi mbak Dien membuat kejutan. Di antara kami ternyata ada dua sosok asing, dialah dokter Edi Dharma dan Sabar Gorky. Dokter Edi Dharma adalah dokter yang bertugas di Puskesmas Selogiri, Wonogiri. Tahun lalu, beliau terpiilih sebagai dokter teladan. Entah karena memiliki kemiripan latar belakang sebagai pecinta alam, dokter Edi menjadi sahabat mbak Dien. Meski mbak Dien hanya bertugas sebentar di Wonogiri (sekitar 1,5 tahun), namun karena dokter Edi juga penggiat lingkungan, mereka berdua sering berkolaborasi untuk melakukan berbagai kegiatan. 

Sedangkan Sabar Gorky, dialah pria tunadaksa berkaki satu, yang memiliki banyak prestasi luar biasa. Salah satunya adalah  berhasil menaklukkan Gunung Elbrus, Rusia, tepat pada HUT ke 66 RI, pada 2011 yang lalu. Nama Gorky merupakan nama Rusia yang dia peroleh setelah melakukan pendakian itu. Gunung Elbrus merupakan gunung tertinggi di Eropa. Diisinyalir oleh banyak kalangan, Sabar adalah tuna daksa berkaki satu pertama di dunia yang telah menaklukkan Elbrus. 

Setelah Sabar mengakhiri presentasinya yang dilengkapi dengan video petualangannya di berbagai tempat di dunia,  yang begitu mencengangkan, tibalah saatnya Atus dkk, anggota aktif Himapala, menyampaikan rancangan program ekspedisi mereka. Pengarungan Lawe Alas di Aceh pada Juli nanti, dilanjutkan ke New Zealand pada tahun berikutnya. Berbagai tanggapan disampaikan oleh para senior. Intinya, semua mendukung. Berbagai masukan dan saran dilontarkan. Saya sendiri, entah kenapa, dirundung keharuan sekaligus kesyahduan. Betapa luar biasanya momen ini. Saat anak-anak muda itu menyampaikan mimpi-mimpinya, kami para orang tua membukakan celah-celah untuk mereka agar bisa menemukan jalan mencapai impian. Saya lebih banyak terdiam menikmati suasana ini. Himapala berdiri saat anak-anak muda itu belum lahir. Kini, mereka bertemu dengan para pendirinya, untuk sebuah tujuan yang sama: bendera Himapala tetap berkibar. Ada perbedaan usia yang jauh di antara kami, namun direkatkan oleh kesatuan visi dan misi.

Acara lantas ditutup dengan penjualan souvenir ekspedisi. Kaus, ballpoin, dan batik. Tentu saja semua berlogo Himapala. Para anggota aktif sedang mengumpulkan dana untuk kegiatan mereka, maka kami para senior pun memborong semuanya. Dagangan mereka habis ludes. Malah banyak yang tidak kebagian. Horee....laris manis.
  
Saat malam semakin merangkak, dan kantuk mulai menyerang, mbak Dien mengumumkan pada kami, bagi yang sudah berusia 35 tahun ke atas, telah disediakan penginapan di hotel Joglo. Bagi yang ingin tetap beristirahat di rumah angin tidak masalah.  Mbak Dien benar-benar total dalam menjamu kami.  

Bersama para senior.
Saya dan mas Ayik, dengan beberapa teman, memilih tidur di hotel. Kami berdua numpang di mobil mas Badi. Tapi dasar mas Ayik. Hanya bagasi kami saja yang dimasukkan ke mobil. Dua sepeda lipat yang kami bawa dari Surabaya, disiapkannya. Ya, malam ini kami akan mengayuh sepeda dari rumah angin menuju hotel. Jaraknya memang hanya tiga kilometeran, namun jalannya yang naik turun dan berbelok-belok sempat membuat saya ragu. Mas Badi mengawal saya dan mas Ayik. Di sebuah tanjakan, ketika saya bermaksud istirahat sebentar, dua anak mas Badi menghambur keluar dari mobil dan 'merebut' sepeda kami. Mereka minta kami masuk mobil dan mereka yang bersepeda. Memaksa. Mungkin mereka tidak tega, atau mungkin mereka 'kebelet' pingin naik sepeda mungil itu. Ya sudah, karena mas Badi dan mbak Danik, istrinya, meyakinkan kami kalau anak-anak biasa bersepeda, maka kami ikhlaskan saja mereka merebut sepeda kami. Benar ternyata. Gadis remaja berpostur tinggi yang baru kelas tiga SMP  dan adiknya, cowok kelas 1 SMP itu, bersepeda cukup kencang di jalanan di tengah hutan jati. Sampai kami semua tiba di hotel joglo. Tiga kamar dibiarkan terbuka untuk siapa pun yang akan memanfaatkan. 
Lelah, mengantuk dan lega. Setelah ngobrol dengan mas Badi di teras hotel sampai mendekati tengah malam, kami pun masuk ke kamar masing-masing. Mandi, sholat, tidur.....

Besok masih banyak acara yang menarik....


Wonogiri, tengah malam, 29 Maret 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 29 Maret 2013

Reuni Himapala

Pukul 07.15. Kami siap berangkat. Cipaganti mungil begerak menjauhi sekretariat Himapala menuju pintu gerbang Unesa. Bus yang hanya berkapasitas 25 penumpang ini tidak penuh, hanya terisi 15 kursi plus 2 kursi untuk driver dan codriver-nya. Maka kami bebas memilih tempat duduk. Masing-masing mau ambil dua juga boleh selama persediaan masih ada. Hehe. 

Kursi yang lebih ini sudah diprediksi sebelumnya. Banyak  senior himapala yang berangkat dengan membawa kendaraan pribadi. Saya dan mas Ayik sebenarnya juga berencana seperti itu, tapi dengan berbagai pertimbangan akhirnya bergabung naik bus. Antara lain karena supaya bus tidak terlalu kosong, bisa beramai-ramai dengan teman-teman yang lain, dan....ini yang lebih penting, bisa bersantai.... Bisa sambil tidur dan leyeh-leyeh. Juga bisa sambil karaoke. Beda kalau membawa mobil sendiri. Ya, 'ngeman awak'. Apalagi pada long-weekend seperti ini, jalan menuju luar kota biasanya sangat padat.

Oya, tujuan kami adalah Wonogiri. Lumayah jauh. Sekitar tujuh jam dari Surabaya. Seorang senior Himapala, mbak Dien (Dien Irhastini, angkatan 82, waka Sekolah Perwira Polwan, mantan kapolres Wonogiri) mengundang kami para senior himapala untuk dijamu di rumahnya. Dalam rangka temu kangen. 

Ide ini muncul usai acara Reuni IKA Unesa beberapa waktu yang lalu. Saat itu, puluhan senior Himapala hadir. Gegap-gempitanya luar biasa. Tidak puas bertemu di Gema, pertemuan diteruskan di rumah kami, sembari menunggu penerbangan mbak Dien selepas Isya. Ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya mengerucut pada rencana reuni. 

Reuni. Saya selalu senang dengan acara reuni. Demi sebuah silaturahim. Ngumpulne balung, kata orang Jawa. Ada keceriaan, ada keharuan, ada kebersamaan. Saling berkabar. Kadang-kadang harus saling kenalan lagi karena saking lamanya tidak bersua. Termasuk berkenalan dengan para anggota keluarga masing-masing. Persahabatan yang terus terpupuk, rezeki yang luas dari mana saja, dan insyaallah, memanjangkan umur. Amin YRA.

Tentu saja kami akan menginap semalam di Wonogiri. Perkiraan sekitar pukul 15.00 kami akan sampai. Bersantai, acara bebas, sampai selepas isya. Setelah itu baru acara dialog. Sambung rasa. Juga ada presentasi dari adik-adik anggota aktif Himapala dan beberapa senior. Rencananya, awal Juli yang akan datang, mereka akan melakukan ekspedisi Lawe Alas, di Aceh. Selama empat hari mereka akan mengarungi sungai Alas dengan rutenya yang sangat menantang. Ekspedisi Lawe Alas ini hanya untuk pemanasan. Tahun depan, bersama para senior, mereka akan mengarungi sungai Wairua dan Kaituna, di kota Rotorua, New Zealand bagian utara. Semangatnya, ekspedisi ini akan menjadi kado persembahan bagi Unesa, tepat di usianya yang ke-50 tahun, menjelang akhir tahun 2014 nanti. 

Momen reuni ini awalnya juga akan dimanfaatkan untuk sosialisasi website IKA Unesa. Mas Rukin Firda, wartawan Jawa Pos, tim web yang juga senior Himapala, yang dijadwalkan akan membawakan. Namun karena dia habis sakit, dan saat ini masih pemulihan, maka acara sosialisasi web di hadapan para senior himapala ditunda dulu sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Hehe...

Oya, penumpang yang paling senior di bus kami adalah mas Ahli Budi (angkatan 75). Kemudian mas Abimanyu (80), mbak Indung (82), mas Ayik (83), saya sendiri (85), selebihnya angkatan di bawah saya. Yang terkecil adalah Aira, bayi perempuan mungil berusia 15 bulan. Tapi si baby dan ayah-ibunya yang dua-duanya adalah senior Himapala ini tidak ikut sampai Wonogiri. Mereka akan turun di Ngawi untuk menjenguk keluarga yang lagi sakit.

Semoga perjalanan lancar, semoga acara lancar, semoga semua lancar dan berkah. Amin YRA.

Wassalam,
LN

Kamis, 19 Juli 2012

Jipurapah, Sisi Jombang yang 'Eksotis'

Pukul 07.30, berangkat dari rumah menuju Mojokerto. Ada Sinung dan Ike, dua orang adik Himapala yang hari ini saya minta menemani. Sinung menjadi driver, ditemani Ike di sebelahnya. Saya duduk di jok tengah, membuka laptop, menyiapkan materi -- lebih tepatnya menghimpun materi -- untuk acara workshop di SMK Negeri 1 Dlanggu. 

Sekitar pukul 09.00, kami tiba di tempat tujuan. Disambut guru-guru yang sebagian besar adalah alumni Unesa. Kepala sekolah, namanya bapak Hasyim, ternyata juga alumni Unesa. Beliau saudaranya Pak Yasir dan pak Yadi, dua-duanya dosen Unesa. 

Maka kegiatan pagi itu berjalan dengan sangat gayeng tapi serius. Para guru itu meminta sesuatu yang sangat simpel dari saya: bagaimana menyusun RPP yang benar. RPP, sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi 'sego jangan' mereka. 

Tentu saja mereka bukannya belum bisa menyusun RPP. Namun seiring dengan perkembangan beragam model pembelajaran dan penilaian inovatif, ditambah tuntutan harus mengintegrasikan karakter dalam pembelajaran, membuat mereka merasa perlu untuk meng-up grade pengetahuan mereka. 

***

Sekitar pukul 14.00, acara workshop selesai. Kami pamit. Meluncur ke arah Ploso, untuk mengunjungi anak-anak Himapala yang sedang melaksanakan kegiatan Pekan Pengabdian kepada Masyarakat. 

Hanya berbekal alamat yang dikirimkan oleh salah seorang anggota Himapala via sms, kami melaju. Beberapa kali Ike yang duduk di sebelah Sinung harus turun dan bertanya pada beberapa orang di pinggir jalan, karena kami tidak yakin dengan arah kami. Salah seorang bapak yang masih muda yang sedang mereparasi sepeda motor dengan anaknya, kami tanya ke mana arah desa Jipurapah, ketika kami sudah menempuh perjalanan lebih dari satu jam sejak dari SMK Dlanggu. Dia mengatakan arah kami sudah benar. Kami akan bertemu dengan kampung, masuk hutan pertama, keluar dan masuk kampung lagi, terus masuk hutan lagi, baru ketemu dengan desa Jipurapah. "Lumayan kok, bu, radosanipun...." Dia tersenyum, manis, tapi menyembunyikan sesuatu. "Radi mumbul-mumbul sekedik...." 

Tidak lama kemudian, mungkin tidak lebih dari 5 menit sejak bertemu bapak itu, kami menemukan 'rahasia di balik senyum manisnya'. Jalan panjang di depan kami luar biasa terjal, berbatu-batu, berlubang-lubang, berkelok-kelok, naik turun. Subhanallah. Tidak perlu jauh-jauh ke Sumba kalau ingin menikmati sensasi berpetualang di medan sulit. Kami bertiga berdecak-decak kagum memuji kelihaian anak-anak himapala junior kami mencari lokasi untuk pengabdian. Entah dari mana mereka tahu ada tempat yang begini 'eksotis' di pelosok Jombang ini.

Dan sampailah kami di tempat ini setelah sekitar satu jam melakukan perjalanan dalam kondisi 'mumbul-mumbul' di dalam mobil. Di sebuah desa bernama Jipurapah. Desa yang seolah menghampar di sebuah lembah yang dikelilingi hutan-hutan jati. 

Perasaaan kami lega, namun rasa lega itu tidak lama. Kami belum sampai tujuan. Ya, memang Jipurapah sudah ketemu. Tapi kami harus menuju salah satu dusunnya, yaitu dusun Kedungdendeng. Ada papan tanda penunjuk jalan menuju ke sebuah arah. Papan bercat hijau, yang di bagian bawahnya tertulis 'Himapala Unesa'. Oh, papan itu pasti mereka yang membuat. 

Maka kami pun melanjutkan perjalanan. Setelah satu jam lebih kami dikocok-kocok di dalam mobil, tentu saja kami berharap akan menemui jalan yang lebih bersahabat. Tapi ternyata tidak. Jalan yang harus kami tempuh bahkan lebih terjal. Jarum speedometer tidak pernah melampaui angka 5. Karena saking terjalnya, beberapa kali bemper depan atau belakang mobil tersangkut batu, sungguh pun Sinung sudah sangat hati-hati memilih jalan. Sempat juga mobil terhenti tidak bergerak ketika jalan menanjak curam, ban belakang hanya 'muter'.

Perjalanan seperti itu, harus kami lalui lebih dari satu jam. Sepanjang kanan kiri jalan adalah hutan jati. Hutan dan hutan. Tidak ada pemandangan lain kecuali, sesekali, kebun tembakau dan jagung. Juga lombok. Senja yang mulai turun sempat membuat kami khawatir. Bila lokasi anak-anak belum juga ketemu sementara hari sudah mulai gelap, tentu akan lebih menyulitkan kami. Sebuah baleho bertuliskan 'Himapala Unesa' di sisi kanan jalan menentramkan kami. Tapi, seperti yang sudah saya duga, baleho itu benar-benar hanya untuk menentramkan. Lebih dari 15 menit dari tempat itu, lokasi anak-anak 'nakal' itu belum juga kami temukan. 

Dusun yang bernama Kedungdendeng itu benar-benar terpencil. Berada di desa  Jipurapah, kecamatan Plandaan, Kabupaten Jombang, konon dusun itu merupakan perbatasan antara Nganjuk, Lamongan, Bojonegoro, dan Jombang. 

Adzan maghrib menyambut kedatangan kami. Anak-anak yang tidak menyangka akan kedatangan kami, kaget bercampur senang. Belasan anak itu menyalami kami. Mereka datang dari arah rerimbunan, seperti makhluk-makhluk penghuni hutan yang menyerbu mangsa. Tubuh kotor mereka mengeluarkan aroma 'lebus', perpaduan antara bau keringat, tanah, dan hutan. Rupanya mereka baru saja melakukan aktivitas outbond dengan anak-anak dan pemuda setempat. 

Mereka bermarkas di sebuah rumah milik perhutani. Rumah yang masih setengah jadi. Di depan rumah itu berdirilah sebuah bangunan sekolah dasar yang halamannya tidak terlalu luas, dan tidak berpagar. Di samping sekolah ada tanah lapang kosong, yang terpasang sebuah layar, semacam layar untuk melihat layar tancap. Hampir setiap malam anak-anak himapala memutarkan film untuk menghibur masyarakat setempat yang haus akan hiburan. Mulai dari film-film kartun sampai film-film pendidikan semacam Laskar Pelangi dan Garuda di Dadaku. Sumber listrik dari genset, karena dusun itu belum dialiri listrik. Ya, tanpa listrik, tanpa sinyal. Pilihan lokasi yang tepat untuk 'nyepi'.

Dusun Kedungdendeng terdiri dari 137 KK dan 500-an jiwa. Hasil alam yang utama adalah tembakau dan lombok. Makanan yang khas adalah oseng-oseng lombok. Hidangan yang diolah dari segenggam tempe dan sekilo lombok hijau. Kata anak-anak, sayur lombok dibumbu tempe (bukan tempe dibumbu lombok). Saking pedasnya, bila makan oseng-oseng itu, kata anak-anak, sampai membuat telinga mereka mengeluarkan asap yang mengepul-ngepul.

SD Jipurapah, satu-satunya sekolah di dusun itu, memiliki 43 siswa. Kelas 4 kosong. 6 guru, 3 PNS termasuk Kepala sekolah, dan 3 yang lain guru honorer. Guru datang bergantian. Dijadwal per hari, setiap hari ada 3 orang guru. Kepala sekolah, lulusan S2 UTS (Universitas Teknologi Surabaya), datang sekitar 2-3 kali sebulan.  

Sekolah itu sudah lama sekali tidak pernah melaksanakan upacara. Anak-anak Himapala memasang tiang bendera di depan sekolah, membelikan bendera merah putih, dan mengajari mereka upacara. Senin besok, adalah upacara pertama setelah bertahun-tahun upacara bendera tidak pernah dilakukan di sekolah yang sudah berdiri sejak lebih dari 30 tahun yang lalu itu. 

SD itu memiliki 3 ruang untuk kelas, ditambah 1 ruang guru yang sempit. Satu ruang kelas digunakan untuk 2 kelas. Kelas 1 digabung dengan kelas 2, kelas 3 dengan kelas 4, dan kelas 5 dengan kelas 6. Kelas 1, 2, 3 jumlahnya 22 siswa; kelas 5, 6 jumlahnya 21 siswa. Siswa ilegalnya ada 3 (titipan, karena tidak ada TK).  Oleh karena kelas 4 tidak ada siswanya, buku-buku perpustakaan diletakkan di ruang kelas tersebut. Buku-buku itu, sebagian besar adalah sumbangan dari IGI (terimakasih, mas Ihsan). Begitu buku-buku itu diatur di rak-rak bambu yang juga dibuat sendiri oleh anak-anak Himapala, buku-buku itu langsung diserbu anak-anak sekolah yang haus buku bacaan itu. 

Ketika UN yang lalu, siswa SD Jipurapah bergabung ke SD-SMP satap di Jipurapah, di dusun Brangkal. Tahun ini, ada 3 siswa kelas 6 yang ikut UN, semua lulus. Jadi tingkat kelulusannya mencapai 100 persen. 

Masjid di dusun ini bernama masjid Al-Istiqomah, sebuah masjid yang mungil (paling mungil yang pernah saya lihat). Luasnya hanya sekitar 36 meter persegi. Di situlah sholat berjamaah lima waktu, termasuk sholat Jumat, dilaksanakan. Dengan seorang ustadz, yang setia menjadi imam dan mengajari anak-anak dusun belajar membaca Al-Quran.

Selepas isya, ketika para ibu, bapak, pemuda, anak-anak, berdatangan, berduyun-duyun ke 'markas' anak-anak Himapala, duduk bergerombol di atas rerumputan di tanah lapang yang tidak terlalu lapang itu, dengan tujuan menyaksikan hiburan malam layar tancap yang sudah disiapkan, kami berpamitan. Hanya sekitar dua jam kami singgah di tempat itu. Dua jam yang bermakna. Cukup waktu untuk melihat perpustakaan di SD Jipurapah, meninjau MCK hasil karya anak-anak Himapala dan pemuda setempat, berinteraksi dengan perangkat dan masyarakat setempat di masjid mereka yang mungil, dan beramah-tamah dengan anak-anak himapala, para ibu, para bapak, para pemuda dan anak-anak. Juga menikmati hidangan singkong berbumbu masakan ibu kamituwo. 

Mobil kami menembus hutan di malam yang pekat itu. Harapanku hanya dua, Sinung yang pegang kemudi tidak mengantuk, dan yang kedua, mobil tidak mogok di tengah jalan. Tidak terbayangkan kalau kami harus bermalam di tengah hutan rimba di malam yang gelap gulita tanpa cahaya apa pun, tanpa sinyal lagi. Namun doa-doa dan pikiran positif kami akhirnya mengantarkan kami mencapai desa Ploso yang terang benderang setelah dua jam bergulat dengan medan terjal dan kegelapan malam......

Kedungdendeng, 15 Juli 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 06 Juni 2012

Paguyuban IKASMADA

Siang tadi, saya menghadiri pertemuan dengan teman-teman seangkatan, yaitu angkatan 85 SMA 2 (SMADA) Tuban. Sengaja waktu pertemuan disesuaikan dengan kesanggupan saya untuk bisa hadir. Menurut Esa, ketua alumni angkatan 85, saya sangat diharapkan bisa hadir, sehingga saya diberi keleluasaan untuk menyebut hari dan jam pertemuan. 

Pertemuan diadakan di sekretariat IKASMADA. Sebuah bangunan baru yang berlokasi di kompleks SMA 2 Tuban. Baru berdiri sekitar satu dua bulan yang lalu, atas upaya Ketua IKASMADA, yang anggota legislatif Provinsi Jatim. Atas upayanya melakukan pendekatan dengan pemprov, IKASMADA memperoleh bantuan penuh sebesar 150 juta untuk mendirikan bangunan di atas tanah milik SMADA. Bangunan itulah yang digunakan sebagai sekretariat IKASMADA.

Agenda pertemuan siang ini adalah sosialisasi keberadaan IKASMADA pada teman-teman kami seangkatan. Sosialisasi ini penting karena dari sekitar 120 orang angkatan 85, hanya empat orang yang masuk dalam kepengurusan IKASMADA. Esa, Suryadi, Bambang Iswoyo, dan saya sendiri. Sejak pelantikan pengurus pada September 2011, kami belum pernah bertemu dengan teman-teman seangkatan untuk melakukan sosialisasi. 

Kami juga mengundang Ketua IKASMADA untuk hadir dan memanfaatkan momen ini untuk bersilaturahim, serta menyampaian visi, misi, dan program IKASMADA. Agus Maimun, ketua IKASMADA itu, adalah adik angkatan kami, yaitu angkatan 1992. Dia menjelaskan segala sesuatu terkait dengan sejarah terbentuknya IKASMADA, visi misi dan programnya, dengan sangat baik, runtut, gamblang, faktual, sekaligus visioner. 

Keberadaannya sebagai 'makhluk politik' sempat mengundang kecurigaan banyak pihak. Bahkan saya, yang dimintanya sebagai salah satu Pembina IKASMADA, suatu ketika terang-terangan menyatakan pada dia, jangan pernah berfikir menggunakan IKASMADA sebagai kendaraan politik. Itu sama saja mencari makan di IKASMADA. Tentu saja saya bersuara tidak hanya atas nama saya sendiri, namun lebih karena lontaran dari beberapa teman. Tapi saya yakin, Agus Maimun dan timnya bukanlah orang semacam itu. Keyakinan yang lebih didasari pada positive thinking. Meski begitu, saya merasa perlu untuk memastikan pikiran positif saya itu pada yang bersangkutan. 


Untuk mengeliminir kecurigaan itu, dia harus sesering mungkin melakukan silaturahim dan sosialisasi dalam rangka menyampaikan visi misinya, serta menunjukkan perwujudan visi misi itu. Siang ini, dia memanfaatkan momen pertemuan alumni angkatan 85 ini untuk keperluan itu.

Mas Agus, seperti itu kami memanggilnya meskipun dia lebih muda dari kami, menyampaikan banyak hal yang luar biasa. Dia katakan, ada sebanyak 8 anggota legislatif yang duduk sebagai Pengurus IKASMADA, dan lebih dari 100 orang pengurus dan anggota IKASMADA yang aktif di berbagai partai politik. Mereka semua menghimpun diri dengan pengurus dan anggota yang lain yang tentu saja bukan anggota legislatif maupun aktivis parpol. Ada guru, dosen, pengusaha, bankir, lawyer, sampai tukang kayu. Komitmennya hanya satu, mendarmabaktikan segala potensi untuk IKASMADA dan masyarakat Tuban. 

Ada beberapa kegiatan yang sudah dilakukan IKASMADA, beberapa di antaranya adalah penanaman sejuta pohon, pengobatan gratis, mobil pintar, dan beberapa kegiatan yang lain. IKASMADA juga sudah melembaga sebagai bagian dari SMADA, bahkan disejajarkan dengan komite sekolah. Kepala sekolah sendiri juga telah berkali-kali meminta pertimbangan IKASMADA untuk beberapa hal atau untuk keputusan-keputusan penting menyangkut pengembangan SMADA. 

Semua kegiatan IKASMADA selama ini memang lebih banyak inisiatif dari pengurus. Dalam kondisi awal seperti ini, itulah hal terbaik yang bisa dilakukan.  Menunggu inisiatif dari anggota tentu bukan pilihan terbaik, karena sangat mungkin akan memerlukan waktu yang terlalu lama dan belum tentu tepat sasaran. Yang terpenting adalah bahwa setiap kegiatan disosialisasikan dengan baik, membuka peluang untuk merangkul keterlibatan banyak anggota, dan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak. IKASMADA harus segera disosialisasikan agar dikenal oleh semua alumni dan masyarakat luas. Untuk itu, IKASMADA harus menunjukkan bukti nyata sebagai wujud
keberadaan dan komitmennya.

Yang menarik, semua kegiatan besar yang sudah dilakukan itu, tidak serupiah pun memungut dari alumni. Semuanya dari pihak sponsor dan donatur. Mas Agus dan seluruh pengurus berkomitmen, tidak akan menarik serupiah pun dari anggota IKASMADA sebelum bisa menunjukkan bahwa IKASMADA eksis dan mampu memberikan manfaat bagi almamater serta masyarakat Tuban. Meskipun IKASMADA sudah memiliki rekening khusus, mas Agus dan semua pengurus bersepakat, rekening itu tidak digunakan dulu sebelum sistemnya terbangun. Siapa pun yang mengirimkan dana harus bisa terdeteksi (terbaca dari mana sumber atau pengirimnya), dan langsung bisa dikirimkan bukti penerimaan dana tersebut pada yang bersangkutan, misalnya melalui SMS secara otomatis. Sistem pemanfaatan dana dan pertanggungjawabannya juga harus terbangun dulu, agar bisa dijamin transparansi dan akuntabilitasnya. 

Dana yang digunakan untuk kegiatan selama ini, masih murni dana dari para sponsor dan donatur yang tidak mengikat. Tentu saja hal itu tidak sulit untuk mereka dapatkan. Keberadaan mereka sebagai 'makhluk politik' memungkinkan mereka untuk mudah memperoleh berbagai fasilitas karena mereka memiliki networking yang bagus, kemampuan negosiasi dan lobi-lobi. Apalagi fasilitas itu memang benar-benar dimanfaatkan sesuai peruntukannya, yaitu membesarkan nama IKASMADA melalui berbagai kegiatan nyata. Hal ini membangun kepercayaan dari para sponsor dan donatur untuk tidak segan-segan  mengalokasikan sejumlah dananya untuk IKASMADA.

Agus Maimun, orang muda itu, sangat smart, namun begitu rendah hati. Teman-teman pengurus yang lain, yang beberapa juga hadir pada siang hari itu, sama smart dan rendah hatinya dengan mas Agus. Mas Agus menyampaikan, sebagai sebuah paguyuban (nama organisasi kami memang Paguyuban IKASMADA), komitmen dari setiap orang untuk secara sadar dan rela hati mengikatkan diri, itulah kuncinya. Tidak ada ikatan apa pun kecuali ikatan batin yang berwujud saling percaya, tanggung jawab, dan kebersamaan. Kerelaan untuk saling mengikatkan diri, sekali lagi, itulah kuncinya. Paguyuban atau apa pun namanya, yang penting adalah bagaimana organisasi itu dikelola dan mampu menunjukkan kiprahnya.

Sebagai sesepuh mereka (kami adalah lulusan angkatan pertama SMADA), kami merasa sangat bangga. Mereka menyampaikan program yang sudah tersusun, memohon masukan untuk program itu, mengharapkan ada usulan program-program lain, dan memasang nama-nama kami sebagai panitia dalam beberapa kegiatan. Mereka juga memastikan, kegiatan tidak akan berjalan sesuai harapan tanpa dukungan kami semua.

Siang itu, pertemuan ditutup dengan acara rujakan dan makan nasi urap. Rujak manis disiapkan oleh teman kami, Suryadi, yang adalah tukang kayu, namun nampak begitu nyaman di antara teman-teman pengurus yang pada umumnya adalah 'orang sukses'. Makan siang disiapkan oleh Esa, ketua alumni 85, yang sedang syukuran untuk promosi jabatannya. Ada minuman kopi lowo (gulo jowo) juga, tentu juga kue-kue, entah siapa yang menyediakan. 

Dalam usianya yang sudah menjelang dasawarsa, dengan sebanyak 5700-an anggota IKASMADA yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan berbagai profesi dan keadaannya saat ini, kami yakin, di bawah kepemimpinan Agus Maimun, alumnus SMADA angkatan 1992 itu, IKASMADA akan dibawa menuju arah yang tepat. Berjuang bersama dengan penuh kerelaan demi membesarkan SMADA dan masyarakat Tuban khususnya, serta masyarakat Indonesia pada umumnya. Insyaallah.

Tuban, 3 Juni 2012

Wassalam,
LN