Senin, 1 Agustus 2011.
Hari ini, selepas shubuh di Nabawi, kami bertiga langsung pulang ke hotel. Tubuh lelah kami memerlukan istirahat, dan ada cukup waktu untuk sejenak menghimpun energi, sebelum kami melakukan perjalanan panjang menuju Makkah Al Mukarromah, setelah dhuhur nanti.
Aku bangun dari tidur pagi itu pada pukul 10. Mas Ayik kulihat sibuk dengan bagasi-bagasi kami. Orang itu memang sangat care pada urusan "packing-memacking". Meskipun kami sudah mencoba melakukan packing bagasi kami masing-masing, dia masih memastikan bahwa barang-barang kami sudah diatur sedemikian rupa dalam tas koper, barang-barang yang baru saja kami beli sudah dirapikan semua, dan barang mana yang diperlukan dalam perjalanan serta yang mungkin diperlukan, disiapkannya dengan
baik. Nampaknya itulah yang dilakukannya sejak pagi, dan sengaja membiarkan aku dan Arga pulas.
Arga masih pulas ketika aku memutuskan untuk bangun, mandi dan keramas. Aku juga berwudhu untuk menunaikan sholat dhuha. Perlu waktu beberapa menit untuk mengeringkan rambut. Sementara itu, Arga bangun dan langsung masuk ke kamar mandi, dan setelah dia selesai, abahnya menyusul. Mandi yang kami lakukan hari ini, adalah mandi wajib sebelum umroh.
Pukul 12.00, kami bertiga berangkat ke Nabawi. Adzan dhuhur berkumandang pukul 12.30. Rangkaian kegiatan mulai dari takhiyatul masjid dan ibadah-ibadah yang lain, termasuk sholat ghaib, selesai pukul 13.15-an. Kami bertiga bertemu di pintu 22, dan langsung pulang ke hotel, tanpa melakukan shopping atau window shopping seperti biasanya. Panas terik dan waktu yang terbatas untuk bersiap diri (mengemasi bagasi dan berganti busana dengan busana ihrom), membuat kami tidak berselera untuk berlama-lama di jalan, apalagi kami memang harus menghemat energy pada puasa pertama ini untuk melakukan perjalanan menuju Mekkah.
Jam 14.30-an, kami semua telah siap memasuki bus yang akan membawa kami. Semua berpakaian ihrom. Kami akan melakukan umroh wajib dengan mengambil miqot di Bir Ali atau Zulhulaifah. Saat bus mulai bergerak, Achmad, sang muthawif, memimpin membaca doa meninggalkan kota Madinah, diteruskan dengan membaca doa safar. Selamat tinggal Madinaturrosul. Ya Allah, limpahkanlah rahmad bagi junjungan kami Muhammad dan keluarganya...
Dari Nabawi ke Bir Ali hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit. Panas terik begitu menusuk-nusuk kulit. Tenggorokan kami kering, sampai pahit rasanya. Wajah terasa terbakar. Kami menuju tempat wudhu, lengkap dengan busana umroh penuh (hanya telapak tangan dan wajah yang terbuka untuk perempuan; untuk laki-laki, mengenakan dua helai kain putih). Ustadz kami selalu mengingatkan supaya kami tidak membuka aurat, lebih-lebih bila nanti setelah sholat sunat umroh dan membaca doa umroh. Berbagai hal seperti menggunting kuku, menutup kepala (bagi laki-laki), adalah beberapa larangan ketika kita sudah mengenakan pakaian ihrom dan berniat umroh.
Kami ber-16 orang kembali ke bus setelah ustadz Agung memimpin kami membaca doa dan niat umroh. Bacaan talbiyah diselingi sholawat terus-menerus kami lantunkan seiring dengan bergeraknya bus meninggalkan Bir Ali. Labbailka Allaahumma labbaik.... Hatiku bergetar melafalkannya. Ya Allah, kami datang memenuhi panggilan-Mu.....
Sambil terus bertalbiyah dan bersholawat, aku menikmati pemandangan di luar. Adalah padang pasir yang luas menghampar, gunung-gunung dan perbukitan gundul, sesekali diselingi dengan barisan pohon kurma dan bangunan-bangunan berbentuk kotak-kotak tanpa genteng, yang bercat senada dengan warna padang pasir di sekelilingnya. Selebihnya adalah tiang-tiang listrik yang berbaris di sepanjang jalan, dan pagar besi pembatas jalur jalan. Pemandangan yang sama seperti itu jugalah yang kulihat ketika perjalanan dari Jeddah menuju Madinah.
Bus meluncur dengan tenang di atas jalan yang mulus, lalu lintas yang tidak terlalu padat, dan kecepatan yang mungkin berkisar sedikit di bawah 100 km/jam. Kata Achmad, ada larangan bagi kendaraan besar untuk melaju di atas 100 km/jam. Dengan kondisi jalan yang relatif lengang, bus sebenarnya bisa melaju
dengan kecepatan yang lebih tinggi (seperti kebiasaan supir-supir bus di Tanah Air), namun itu tidak terjadi, mungkin karena kesadaran berlalu-lintas mereka yang cukup baik, atau karena mereka takut kena tilang polisi yang banyak berpatroli di sepanjang jalan.
Hampir semua penumpang di dalam bus tertidur, termasuk Achmad dan ustadz Agung. Aku sebenarnya berusaha memejamkan mata, namun tak juga tertidur. Yang kulakukan akhirnya menulis, bertalbiyah, bersholawat. Pada jarak sekitar 150 km sebelum kota Makkah, Achmad bangun dan meminta para penumpang untuk bersiap diri berbuka puasa dan menunaikan sholat maghrib. Bus berhenti di tempat peristirahatan, di sana ada beberapa kedai makanan dan minuman, serta masjid.
Masjid itu tidak terlalu besar, setidaknya bila dibandingkan dengan jumlah jamaah yang seharusnya bisa ditampung dengan cukup layak. Tempat wudhu, seperti kebanyakan tempat wudhu di tempat-tempat peristirahatan di sepanjang jalan kota Madinah dan Makkah, kotor dan bau, mungkin itulah representasi dari berbagai kultur di seluruh dunia. Aku seringkali tidak habis pikir, bagaimana Makkah dan Madinah, kota muslim yang menjadi pusat ziarah dan ibadah umat muslim di seluruh dunia itu, tidak menunjukkan gambaran perilaku muslim yang seharusnya suka kebersihan, setidaknya di tempat-tempat yang digunakan untuk bersuci. Bukankah "annadhoofatu minal iimaan?"
Kami berbuka dengan nasi kotak, lauknya ayam bumbu dan oseng buncis. Sebuah pisang dan segelas air putih. Menu buka puasa yang sangat sederhana dibandingkan dengan bila kita berbuka puasa di rumah. Seperti biasa, separo porsi kuserahkan Arga untuk diselesaikannya.
Bus bergerak lagi. Talbiyah dan sholawat dikumandangkan lagi. Perut kenyang, tubuh lelah, mata mulai mengantuk. Talbiyah dan sholawat pun lambat-laun berhenti. Berganti dengan dengkuran tubuh-tubuh yang lelah.
Sekitar jam 23-an, kami dibangunkan oleh Achmad. Dia menyampaikan kalau kami sebentar lagi sampai di tujuan, yaitu hotel tempat kami menginap. Tetapi ternyata bus harus memutar, karena jalan yang seharusnya dilewati dipenuhi oleh jamaah yang pulang dari tarawih dari masjidil haram.
Sekitar pukul 24.00 kami tiba di depan hotel. Kami semua, termasuk ustadz Agung, kaget bukan kepalang. Hotel itu, lebih tepat disebut maktab, itu pun kondisinya jauh lebih baik maktab-maktab yang kami tempati ketika berhaji. Tidak ada lobi, lift kecil (hanya cukup utk 4 orang), dan kondisi kamar yang... Dengan kos-kosanku di Ketintang ketika kuliah dulu, yang sekamar untuk berempat, yang bayarnya waktu itu terhitung murah..., masih lebih baik kos-kosanku. Tapi stop bicara tentang hotel ini dulu... nanti dilanjutkan. Waktunya ke masjidil haram untuk thawaf, sai, dan tahalul....dan sempurnalah umroh kami. Semoga menjadi umroh yang diterima dan berkah. Amin.
Wassalam,
LN