Pages

Selasa, 02 Agustus 2011

Catatan Perjalanan (9) Tarawih di Masjidil Haram

Selasa, 2 Agustus 2011. 

Pukul 18.40. Kami berempat, aku, mas Ayik, Arga dan bu Wiwik (seorang teman dalam rombongan kami), sedang dalam perjalanan dari hotel menuju Masjidil Haram. Toko-toko di sepanjang jalan sudah mulai banyak yang tutup. Sebagaimana di Madinah, mereka hanya menutupi barang dagangan mereka dengan kain-kain, dan memadamkan atau mengurangi lampu-lampu penerangan. Jarang yang menutup toko dengan cara seperti di Tanah Air, yaitu menutup rapat pintu tarik atau pintu dorong, serta mengunci atau menggemboknya.

Di depan toko, di sepanjang jalan itu, tikar-tikar digelar. Berbagai makanan dihidangkan, yang selalu ada adalah kurma, dalam keadaan segar atau kering. Selebihnya roti Arab, hidangan dari ayam, daging, kentang, dan beberapa macam hidangan fast-food (misalnya kabab, shawarma, sandwich, dll), yang memang banyak dijual di sepanjang jalan tersebut. Berbagai minuman juga disiapkan, air putih (mungkin air zam-zam), dan berbagai juice, yang memang mudah didapatkan di toko-toko di sekitar Masjidil Haram. Orang-orang duduk bersila melingkari makanan-makanan tersebut, berkelompok-kelompok, ada yang berempat, berlima, ada yang dalam kelompok besar lebih dari 15 orang. Mereka semua menunggu adzan maghrib, duduk diam sambil berdoa, atau berbincang-bincang untuk mengisi waktu.

Di dalam tas kecil kami, ada bekal minuman, beberapa kurma, dan kue-kue kecil. Kami akan berbuka dan menunaikan sholat maghrib di Masjidil Haram. Beberapa meter sebelum mencapai halaman masjid, adzan berkumandang. Sontak, semua orang membatalkan puasanya. Ada yang langsung menyerbu takjil, yang disediakan di beberapa meja, berupa kurma, kue-kue, yang disiapkan di sudut jalan, di sebuah lahan kosong. Ada juga beberapa orang yang dengan sengaja membawa sekotak kurma, dan ditawar-tawarkan kepada siapa pun yang berlalu lalang di dekatnya. Sangat simpatik.

Kami menyantap bekal yang sudah kami siapkan. Setelah itu berpisah di tangga pintu satu, menuju tempat sholat masing-masing. Di tempat itu jugalah kami nanti akan bertemu selepas sholat maghrib, untuk kembali ke hotel, menikmati santapan buka puasa yang sudah disiapkan.

Setelah berbuka puasa, kami bergegas lagi kembali ke masjid. Orang telah berbondong-bondong berebut tempat, di dalam maupun di halaman masjid. Teriakan para asykar yang mengatur jamaah bersaut-sautan. Asykar-asykar itu akan mengusir siapa pun orang yang menggelar sajadahnya di luar tali pembatas. Bila ada yang nekad, asykar akan mengangkat sajadah dan barang-barang mereka, untuk memaksa mereka pindah tempat. Baru kalau dirasa sangat perlu, tali pembatas akan diulur untuk
memperluas tempat sholat.

Seperti tadi, kami berpisah di tangga pintu satu. Aku dan bu Wiwik memasuki tempat bersekat khusus jamaah perempuan. Di sebelah kananku, perempuan Turki, tinggi besar. Berkulit putih, cantik. Begitu juga barisan di depan kami. Tidak ada tempat kosong sejengkal pun. Syaf rapat. Meski begitu, orang-orang besar itu, umumnya berkulit hitam, berjubah hitam, akan menerobos shaf, berjalan di atas
sajadah, melangkahi orang-orang, kadang sambil memegang kepala orang yang dilangkahinya, memaksa-maksakan tubuh besarnya mengambil tempat di antara tubuh-tubuh yang sudah rapat.

Sekitar pukul 21.00. Adzan isya bergema, sholat demi sholat didirikan. Lantunan ayat-ayat suci dari imam, begitu menghanyutkan. Ayat-ayat yang panjang, yang sebagian besar kukenal namun tidak kupahami maknanya (dari kecil aku diajari mengaji oleh bapak ibuku, kadang-kadang oleh kakak-kakakku, dan ngajiku tidak akan ditambah kalau yang sudah diajarkan sebelumnya belum 'lanyah' dan bahkan setengah hafal. Oleh sebab itu aku mengenal hampir semua surat dalam Al Quran, meski sebagian besar tidak kupahami maknanya). Namun cara imam melafalkannya, terasa begitu penuh perasaan, kadang meninggi, melemah, menghiba, datar, beberapa kali bergetar.... lalu berhenti sejenak. Imam itu menangis. Lantas melanjutkan lantunannya dengan suara serak.

Aku teringat saat malam ramadhan seperti ini, ketika di Tanah Air, aku suka menyaksikan liputan tarawih dari Tanah Suci, di salah satu stasiun TV. Ketika imam menangis saat membaca ayat suci Al Quran, aku selalu ikut sesenggukan. Padahal aku tidak paham maknanya. Kadang-kadang kucoba untuk mencari-cari ayat-ayat yang dibacanya dengan membuka tafsir al Quran, tentu saja tidak semudah itu.

Dan saat ini, aku lalui beberapa rakaatku dengan menangis. Ka'bah ada beberapa puluh meter di depanku, tak nampak oleh mata karena terhalang pilar-pilar besar masjidil haram yang rapat. Namun aku bisa membayangkan di mana imam itu, dengan gamis putihnya, berjubah, dan bersurban hitam putih atau merah putih yang menghiasi kepalanya; sebagaimana yang sering kulihat di TV. Namun suaranya yang begitu dekat, kepasrahan dan keihlasan yang tercermin dari lantunannya, sedemikian mampu membawaku ke titik yang paling nadhir. Aku terisak. Airmata terus mengalir tanpa mampu kutahan. Begitu juga dengan orang-orang di sisi kanan-kiriku, di depanku, di belakangku. Lantunan ayat-ayat suci yang membahana, juga ketika doa qunut yang panjang itu dibacakan, merobek-robek qalbu, menyiramkan kesejukan dan kedamaian dalam rohani setiap orang.

Sholat berakhir sekitar pukul 23.15. Aku dan bu Wiwik bertemu dengan mas Ayik dan Arga di pintu 1. Mata mereka juga sembab. Tak terasa, lebih dari dua jam kami melakukan sholat jamaah ini. Benar-benar tak terasa. Waktu bagiku seperti berjalan begitu cepat. Ayat-ayat suci yang membuai kekhusyukan kami membuat kami seolah tidak ingin beranjak dari tempat kami sujud. Subhanallah....betapa
indahnya.

Alhamdulilah, ya Allah, telah Kau berikan kesempatan pada kami mereguk keindahan yang tak terkira ini...

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...