Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 02 September 2011

Ke Pantai

Pagi tadi, kami sekeluarga bersama keponakan-keponakan, kakak ipar dan adik perempuanku dengan suaminya, pergi ke pantai. Pantai itu letaknya sekitar 3 km dari rumah kami, berada beberapa puluh meter sebelah barat terminal  (rumah kami sekitar 9 km di sebelah barat kota). Pantainya bersih, pasirnya putih kecokelatan, lembut, dan banyak pohon cemara yang rendah dan rindang untuk kami berteduh.


Kami berangkat sekitar pukul 07.00. Mobil kami penuh. Di jok belakang, ada 5 anak 'kruntelan'. Di jok tengah, ada 2 anak kecil dan 3 orang dewasa. Di depan, aku dan suamiku. Bekal kami memenuhi bagasi. Serabi, nasi uduk, berbagai makanan kecil termasuk aneka biskuit dan pastry (dari bongkaran parcel-parcel untuk suami), dan tentu saja, permen dan minuman. Juga baju-baju untuk ganti setelah main di pantai.

Cerita tentang serabi dan nasi uduk dulu. Sehabis shubuh tadi, aku dan mas Ayik, suamiku, bersepeda ke Merakurak, 5 km dari tempat kami di desa Jenu. Niatnya berolah raga sambil berburu serabi dan nasi uduk. Pagi masih gelap. Kami bersepeda dengan lampu sepeda menyala, menyusuri jalan datar yang mulus, dengan hamparan sawah dan kebun jagung yang samar-samar bisa kami lihat di sepanjang kanan-kiri jalan. Udara dingin. Sejuk sekali. Lima km kami tempuh sekitar 20 menit. Penjual serabi masih siap-siap 'bukak dasar', tapi sudah ada yang ngantre 2 orang. Kami pesan 20 biji atau 10 'tangkep'. Dari bakul serabi bergeser beberapa meter ke bakul uduk. Wuih..., yang ngantre sudah hampir sepuluh orang, beberapa bahkan sudah ada yang 'ngandok' (ya, meskipun masih repet-rapet, mereka sudah sarapan). Kami pesan 20 bungkus.

Mas Ayik sabar menunggu di belakang bakul Serabeh.
Serabinya terbuat dari tepung beras, kelapa parut, dan garam, dimatangkan dengan cara dipanggang dengan wajan tanah liat  kecil, di atas 'pawonan' dari tanah liat, berbahan bakar kayu dan sekam. Rasanya khas, gurih, lembut, dengan kuah santannya yang juga gurih. Harganya seribu setangkep (2 biji). Sedang nasi uduknya, berkuah sayur lodeh kecambah dan kobis (ini memang khasnya),  mie, dan 2 buah tempe gimbal. Harganya dua ribu. Menu sesederhana itu, selalu kami cari setiap pulang kampung. Ngangeni. Makanan kami sejak kanak-kanak. Setelah dapat serabi dan nasi uduk, kami mengayuh sepeda kembali ke arah pulang. Seperti tadi, waktu tempuh sekitar 20 menit. Sampai di rumah, keponakan-keponakan sudah bangun dan bersiap-siap pergi ke pantai.

Nah, serabi dan nasi uduk itulah yang sebagian kami bawa utk bekal ke pantai. Sebagian kami tinggal di meja makan untuk persediaan ibu dan kakak-kakak yang di rumah.

Matahari bersinar hangat ketika kami tiba di pantai. Pengunjung sudah cukup banyak. Mas Ayik memarkir mobil agak menjauh dari keramaian, supaya kami lebih leluasa bermain di pantai. Kami menghambur keluar begitu pintu mobil dibuka. Anak-anak kecil  langsung berlarian ke arah laut. Kami yang tua-tua juga tak mau kalah. Menceburkan diri, sengaja berbasah-basah, menantang ombak yang datang bergulung-gulung kecil, bebas lepas.... 

Aku membuat acara lomba lari. Dari satu titik ke titik tertentu. Semua anak kecil ikut, aku juga, adikku yang jadi juri. Karena larinya di air, lari kami tidak bisa kencang, kecipak-kecipok.....apalagi kalau ombak datang, air 'muncrat-muncrat' sampai ke muka dan bahkan ada yang tertelan...wih, asin buwanget. Tiga empat kali putaran, aku nggak pernah menang, pura-pura, memberi peluang pada manusia-manusia mungil itu utk menjadi juara. 

Puas berlarian, kami main tanah. Bikin sumur-sumuran, rumah-rumahan, dan gunung-gunungan. Badan kami kotor semua. Bau kami amis kayak laut (ya lah, masak kayak duren, he he). Tapi kami bersuka ria. Pindah dari satu titik ke titik lain, membuat gunung-gunungan, sumur-sumuran, di beberapa tempat. Bertepuk tangan dan berteriak-teriak kalau ada ombak datang mengempasnya. Waahhh....senangnya, semua beban seolah terlepas, lupa pekerjaan, lupa hutang, juga lupa daratan (karena kami sedang ada di laut he he...).

Capek bermain, kami makan es krim (kok ya kebetulan ada penjual es krim yang lagi 'ider' di pantai). Makan nasi uduk, serabi, biskuit. Belum cukup, kami makan cilok (kok ya pas ada penjual cilok datang). Kayaknya perut nggak kenyang-kenyang juga, semua bekal yang kami bawa nyaris habis tandas.

Menjelang jam 9, kami mengakhiri wisata kami. Anak-anak berganti pakaian, tanpa mandi. Toh rumah kami dekat, sebentar lagi bisa mandi sepuasnya di rumah. Kami yang tua-tua, dengan pakaian 'kemel-kumel', membersihkan pasir-pasir yang nempel, biar tidak terlalu mengotori mobil. 

Dan pulanglah kami dengan bagasi penuh baju kotor, piring-piring dan sendok-sendok kotor, tapi hati riang gembira karena wisata pantai yang sangat berkesan.....

Nanti siang kami berencana berburu becek dan sate mentok sorwo yang direkomendasikan teman kami, mas Rohman, wartawan kuliner. Hmm, pasti sedap...

Wassalam,
LN

Kamis, 01 September 2011

Nasi Belut

Pagi ini kami sekeluarga mudik ke Tuban. Berangkat dari rumah sekitar jam 7. Sengaja tidak sarapan, niat sarapan di jalan. Sasarannya, kalau tidak nasi boranan, ya rumah makan Kaliotik di Lamongan.

Ternyata dua-duanya tidak ada, tutup libur lebaran. Anak tidur mendengkur di jok tengah. Semalaman dia tidak tidur, melekan sama teman-teman masa kecilnya. Jadi aman, tidak ada yang 'ngroweng' minta makan. Mobil terus melaju. Suami pegang setir sambil makan biskuit utk mengganjal perut. Saya juga.

Masuk kota Tuban sekitar pukul 9. Tujuan tempat makannya jelas. Belut. Langganan kami. Kalau pulang ke Tuban, hampir selalu mampir makan di warung Jangkar, di desa Pronggahan. Alhamdulilah, warung itu buka. Pembelinya full.
Kebek mencep.

Suami dan anak penggemar belut. Saya ikut-ikutan saja. Belutnya dimasak mirip bumbu bali, tapi rasanya puwanas, puwedes. Nasinya nasi jagung lembut, tapi nasi putih juga ada. Huwenak polll.... Kalau makan pasti gobyos.....ngoweh-ngoweh....

Wassalam,
LN