Saya sudah lamaaa sekali tidak naik bus. Kemarin saya dan mas Ayik Baskoro Adjie memutuskan naik bus ke Tuban, dalam rangka memperingati 100 harinya Ibu besoknya (hari ini). Kata Mas Ayik, yang sudah beberapa kali naik bus dari Surabaya ke Tuban PP, naik bus patas nyaman, simple, ngirit. Ngirit duit, ngirit tenaga.
Ok,
karena saya sendiri hari itu baru pulang dari Jakarta, dan capeknya belum
ilang, saya setuju dengan usul Mas Ayik. Maka setelah shalat tarawih, kami
diantar si ngganteng yang baik hati dan tidak sombong serta rajin menabung,
Barrock Argashabri Adji , ke terminal Bungurasih.
Syukurlah
ada bus patas yang sebentar lagi berangkat. Kami langsung mengambil tempat duduk.
Jaket dirapatkan karena dinginnya AC cukup menusuk. Juga siap-siap berangkat
tidur. Posisi badan sudah menyandar nyaman.
Eh,
tiba-tiba.... "Tahu sumedang, enak, fresh, silakan untuk
cemilan....." Plek, plek, plek. Tahu sumedang ada di pangkuan saya. "Kaus
kaki, kaus kaki, anget, anget, murah meriah...." Kaus kaki ada di pangkuan
saya. Tak berapa lama tahu dan kaus kaki diambil sama penjualnya, setelah dia
membagikannya dari depan ke belakang, lantas dari depan ke belakang lagi sambil mencomoti barangnya. Begitu seterusnya,
headset, buku doa, gantungan kunci, kacang goreng, lemper, lumpia....
Saya
mulai gelisah. Bakulnya banyak yang lepas masker. Teriak-teriak dan
mondar-mandir. Nggak ada prokes babar blas. Beeelllaaasss.
"Duh.
Kalau kayak gini kapok aku naik bus,
Mas. Ngeri-ngeri sedap gini."
"Kalau
sudah jalan nanti kan enggak....." jawab Mas Ayik.
"Ya
iyalah, Maaassss. Mosok bakule kate meloook..."
Ternyata
itu belum seberapa, Saudara. Muncullah seorang perempuan. Cuwantik. Rambut
panjangnya terurai indah. Alisnya, matanya, bibirnya, wajahnya, semua indah,
bersih dan kopen. Nampak kalau dia sering perawatan. Saya kira dia penumpang.
Ternyata dia bawa gitar. Terus nyanyi. Lhah. Ternyata dia pengamen. Inilah
pengamen tercantik yang saya pernah lihat. Kalau Anda penasaran pingin lihat
pengamen cantik ini, datang saja ke terminal Purabaya ya. Gampang niteninya.
Karena perempuan itu lagi hamil. Ya. Perutnya buncit. Jadi dengan perut buncit
itulah dia menyanyi. Eh salah, menyanyinya tetap dengan mulut ya, bukan dengan
perut hehe. Saya ya sakno-sakno gimana gitu. Sambil mikir, nangdi yo bojone,
arek ayu dan lagi hamil kayak gini kok dibiarkan ngamen malam-malam. Duh.
Sebagai sesama perempuan, saya merasa gimanaaa gitu.
Bakul-bakul
pun terus teriak-teriak dan mondar-mandir. Sampai akhirnya bus mulai berjalan
dan bakul-bakul mulai berkurang. Saya kira ketenangan akan segera saya
dapatkan. Wooo, ternyata belum, Sodara. Seorang perempuan naik lagi dengan
membawa gitar. Nyanyi ndangdut yang lagunya tidak saya kenal. Cantik juga.
Nampak terawat juga. Saya lagi-lagi terpikir, di mana misuanya. Nduwe bojo ayu
koyok ngene kok dijarne di jalanan.
Setelah
dia turun, saya pikir selesailah sudah panggung hiburan yang bagi saya tidak
menghibur ini, namun justeru menggugah keprihatinan. Bus yang berjalan pelan
keluar terminal masih berharap ada tambahan penumpang. Dan betul. Ada dua orang
perempuan naik. Dua-duanya agak gemuk. Dan, olala....bawa gitar juga. Mereka
berdiri persis di sebelah saya. Menyanyi sambil genjreng-genjreng dengan suara
yang memekakkan telinga. Oh Tuhan, benar-benar ujian kesabaran. Satunya lagi
bergerak dari satu penumpang ke penumpang lain sambil menyodorkan kantung
plastik wadah duit. Tentu saja tidak semua penumpang nyemplungke duit.
Nah,
sudah begitu, setelah mereka turun, naik lagi seorang pengamen laki-laki yang,
nyuwun sewu, tangannya cacat dan sepertinya mentalnya kurang sehat juga.
Menyanyi dengan suara dan lagu yang bagi saya ora jelas blas tapi saya yakin
itulah penampilan terbaik yang bisa dia persembahkan. Owalah, Gusti....
Situasi
seperti ini sudah sangat sering saya hadapi, dulu. Meskipun sudah ada mobil,
saya sering menumpang bus keluar kota. Saat kuliah S3 di Malang, mobil sering
saya parkir di terminal, dan saya naik bus PP. Kalau duit lagi longgar, saya
naik bus patas, lantas pakai taksi ke kampus UM. Kalau duit lagi cupet, saya
tetap naik bus patas, tapi lanjut pakai angkot AL menuju kampus.
Nah,
di jalanan itulah banyak saya temui romantika kehidupan. Ada banyak pelajaran.
Ada banyak hikmah. Telinga saya terbiasa mendengarkan musik dari yang paling
indah sampai yang paling ancur. Terbiasa mendengar tutur kata yang paling sopan
dengan kromo inggil sampai yang kuwasar sak kasar-kasare plus sumpah-serapah
komplit dengan pisuhannya.
Tapi
itu bukan pada kondisi pandemi seperti ini tentu saja. It's okay. Aku rapopo.
Ra maskeran yo rapopo. Ra jaga jarak yo rapopo. Bengok-bengok nang kupingku yo
rapopo. Tapi lek saiki, watatattaaa....sungguh situasi kayak gitu menyiksa saya
dan membuat saya prihatin bin kuwatir. Tapi aku kudhu piye?
Hayo,
kudhu piye hayo....
Tuban,
29 April 2021