Ambon menjadi kota yang memiliki banyak kenangan untuk saya. Meskipun saya tidak sering ke Ambon--ini adalah kali ketiga saya mengunjungi Ambon--namun Ambon selalu mampu membangkitkan ingatan saya bertahun-tahun yang lalu. Ingatan yang membanggakan sekaligus memprihatinkan, yang menyenangkan sekaligus memilukan. Semua catatan tersebut sudah saya rekam dalam website saya www.luthfiyah.com. Antara lain kisah saat berlayar bersama Marsela yang sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa. Sila baca di http://www.luthfiyah.com/2013/04/mbd-10-berlayar-bersama-marsela.html?m=1 dan juga di http://www.luthfiyah.com/2013/04/mbd-11-semalam-di-marsela.html?m=1. Juga kisah yang sangat memilukan yang Anda bisa baca di http://www.luthfiyah.com/2015/04/kabar-duka-dari-mbd-1-kapal-tenggelam.html?m=1.
By
the way, Nanda Okkyanti , Ratri Seto Karyaning Utami , Mudho Sasono , Noval Dwi
Cahyono , dkk, apa kabar kalian? Bayangan kalian berkelebat-kelebat dalam benak
saya nih.
Kunjungan
saya ke Ambon kali ini dalam rangka melakukan penandatangan perjanjian kerja
bersama antara BPSDM Kemendes PDTT dengan Universitas Pattimura (Unpatti) dan
juga dengan Balai Pelatihan Perikanan Ambon. Selain itu juga dalam rangka
pengambilan gambar untuk promosi program akademi desa serta--sebagai agenda
wajb--adalah bertemu dengan para pendamping desa.
Ambon
yang disebut sebagai City of Music ini sebagian besar wilayahnya adalah lautan.
Daratannya tidak lebih dari 30%. Maka di mana-mana, bahkan sejak menjelang
pesawat kita mendarat, kita sudah bisa melihat bentangan laut yang berpadu
dengan bukit serta jajaran rumah di beberapa titik garis pantai. Indah.
Sebagai
wilayah maritim, hasil laut melimpah. Ikan, udang, cumi, yang berkualitas
tinggi, sangat mudah kita dapatkan di pasar tradisional sampai di meja makan di
rumah-rumah dan restoran. Menu hasil laut biasanya dipadukan dengan oseng
sayuran seperti kangkung--seringkali dicampur dengan bunga pepaya--dan ca
wortel, sawi, jamur yang diolah ala chinese food. Yang terakhir ini pasti
karena memang pengaruh budaya kuliner China. Beragam sambal melengkapi
semuanya, dan yang paling saya suka adalah sambal mangganya.
Salah
satu menu favorit saya adalah papeda dan ikan kuah kuning. Saya tidak tahu,
sejak pertama kali mengenal papeda bertahun-tahun yang lalu di Papua, tepatnya
di Kabupaten Sarmi, saya jatuh cinta begitu saja dengan makanan pokok yang
terksturnya lembut itu. Dipadukan dengan ikan kuah kuning yang bercita rasa
asin dan asam, hidangan ini terasa begitu pas di lidah saya yang pada dasarnya
sembarang doyan.
Hidangan
lain yang juga menjadi favorit saya adalah gorengan ubi, pisang, singkong, yang
cara makannya selalu dicocol dengan sambal. Kalau yang ini, tidak hanya bisa
kita dapatkan di wilayah timur saja. Di Kalimantan juga sangat lazim gorengan
dinikmati dengan cocolan sambal. Halo mas Dani Anto , bu Novita Carolina
Supriadi Himakpa , dkk, jadi ingat kalian nih. Mungkin seperti di Madura juga,
yang menikmati ubi-ubian, juga kerupuk ubi, yang dicocol dengan petis.
Satu
lagi yang saya suka setiap kali berkunjung ke mana pun, adalah kelapa muda. Di
Ambon, juga di banyak tempat di Tanah Air, kelapa muda berlimpah. Sepanjang
pantainya banyak ditumbuhi pohon kelapa. Di mana pun kita membeli kelapa muda,
maka kita benar-benar mendapatkan kelapa muda yang ranum dan segar. Bisa
disajikan utuh atau dalam gelas. Kalau saya lebih suka disajikan dalam gelas.
Tidak repot.
Nah,
satu lagi. Kalau ini menjadi makanan favorit banyak orang. The most wanted deh.
Durian. Saya sendiri heran, mengapa buah satu ini begitu dielu-elukan
keberadaannya. Padahal menurut saya, dia itu memang istimewa. He he. Rasanya
yang legit, aromanya yang harum, dan di beberapa tempat, harganya yang mahal,
membuat durian menjadi buah primadona. Kami biasanya 'dilulu' oleh teman-teman
yang kami kunjungi. Durian yang berkualitas wahid disediakan banyak-banyak, dan
kami dikompori untuk makan sepuas-puasnya. Kami yang penyuka durian ini
menikmatinya dengan sepenuh hati sekaligus dengan penuh kewaspadaan. Kami tahu
durian adalah simalakama. Dalam setiap gigitan mengandung ancaman. Bahkan
karena begitu jahatnya durian, beberapa teman kami yang sesungguhnya adalah
maniak durian, sudah tidak mau lagi menyentuhnya sama sekali. Yang saya
herankan, merekalah yang justeru mengiming-ngimingi kami. "Ibu, kami sudah
sediakan durian untuk Ibu dan kawan-kawan. Durian di sini beda, Bu. Ibu bisa
buktikan nanti." Begitulah kalimat bujuk rayu yang sering saya dengar. Di
mana-mana. Untunglah saya orang yang tabah. Tidak mudah tertipu oleh bujuk
rayu. Maka selama saya menikmati durian, saya selalu mengaktifkan alarm
kesadaran saya dengan kewaspadaan penuh. Saya berdoa semoga Allah selalu
menjaga saya dengan ketabahan dan kesehatan. Amiin. Hehe.
Oya,
ada satu lagi sebenarnya yang juga khas di Ambon. Rujak natsepa. Ya, di Papua
juga ada. Saya menikmatinya di Papua beberapa waktu yang lalu. Saya tidak
sempat menikmatinya di
Ambon
karena agenda sangat padat dan sudah terlalu banyak kuliner yang disajikan.
Rujak yang bahan dasarnya buah-buahan ini hampir sama dengan yang kita kenal di
Jawa. Bahkan sambal rujaknya pun hampir sama, bedanya hanya porsinya yang jauh
lebih banyak. Saking banyaknya sampai buah-buahnya tenggelam semua dalam
sambal.
Baiklah,
ini adalah sekelumit kisah tentang Ambon. Dan karena Ambon adalah kota musik, maka menyanyi juga seperti menjadi
menu utama dalam setiap pertemuan, khususnya saat gathering makan malam. Saya
dengan bakat terpendam saya pun, akhirnya harus ikut menyumbangkan lagu, dalam
arti yang sebenarnya, membuat lagu menjadi sumbang. Sudah saya jelaskan kalau
saya memang memiliki bakat terpendam, tapi terpendamnya terlalu dalam sehingga
susah digali, teman-teman tetap meminta saya menyanyi. Maka menyanyilah saya
dengan suara cempreng saya tanpa merasa berdosa.....
Ambon,
20-21 Oktober 2021
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...