Pages

Jumat, 15 Oktober 2021

Ambon Manise


Ambon menjadi kota yang memiliki banyak kenangan untuk saya. Meskipun saya tidak sering ke Ambon--ini adalah kali ketiga saya mengunjungi Ambon--namun Ambon selalu mampu membangkitkan ingatan saya bertahun-tahun yang lalu. Ingatan yang membanggakan sekaligus memprihatinkan, yang menyenangkan sekaligus memilukan. Semua catatan tersebut sudah saya rekam dalam website saya www.luthfiyah.com. Antara lain kisah saat berlayar bersama Marsela yang sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa. Sila baca di http://www.luthfiyah.com/2013/04/mbd-10-berlayar-bersama-marsela.html?m=1 dan juga di http://www.luthfiyah.com/2013/04/mbd-11-semalam-di-marsela.html?m=1. Juga kisah yang sangat memilukan yang Anda bisa baca di http://www.luthfiyah.com/2015/04/kabar-duka-dari-mbd-1-kapal-tenggelam.html?m=1.

 

By the way, Nanda Okkyanti , Ratri Seto Karyaning Utami , Mudho Sasono , Noval Dwi Cahyono , dkk, apa kabar kalian? Bayangan kalian berkelebat-kelebat dalam benak saya nih. 

 

Kunjungan saya ke Ambon kali ini dalam rangka melakukan penandatangan perjanjian kerja bersama antara BPSDM Kemendes PDTT dengan Universitas Pattimura (Unpatti) dan juga dengan Balai Pelatihan Perikanan Ambon. Selain itu juga dalam rangka pengambilan gambar untuk promosi program akademi desa serta--sebagai agenda wajb--adalah bertemu dengan para pendamping desa.

 

Ambon yang disebut sebagai City of Music ini sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Daratannya tidak lebih dari 30%. Maka di mana-mana, bahkan sejak menjelang pesawat kita mendarat, kita sudah bisa melihat bentangan laut yang berpadu dengan bukit serta jajaran rumah di beberapa titik garis pantai. Indah.

 

Sebagai wilayah maritim, hasil laut melimpah. Ikan, udang, cumi, yang berkualitas tinggi, sangat mudah kita dapatkan di pasar tradisional sampai di meja makan di rumah-rumah dan restoran. Menu hasil laut biasanya dipadukan dengan oseng sayuran seperti kangkung--seringkali dicampur dengan bunga pepaya--dan ca wortel, sawi, jamur yang diolah ala chinese food. Yang terakhir ini pasti karena memang pengaruh budaya kuliner China. Beragam sambal melengkapi semuanya, dan yang paling saya suka adalah sambal mangganya.

 

Salah satu menu favorit saya adalah papeda dan ikan kuah kuning. Saya tidak tahu, sejak pertama kali mengenal papeda bertahun-tahun yang lalu di Papua, tepatnya di Kabupaten Sarmi, saya jatuh cinta begitu saja dengan makanan pokok yang terksturnya lembut itu. Dipadukan dengan ikan kuah kuning yang bercita rasa asin dan asam, hidangan ini terasa begitu pas di lidah saya yang pada dasarnya sembarang doyan.

 

Hidangan lain yang juga menjadi favorit saya adalah gorengan ubi, pisang, singkong, yang cara makannya selalu dicocol dengan sambal. Kalau yang ini, tidak hanya bisa kita dapatkan di wilayah timur saja. Di Kalimantan juga sangat lazim gorengan dinikmati dengan cocolan sambal. Halo mas Dani Anto , bu Novita Carolina Supriadi Himakpa , dkk, jadi ingat kalian nih. Mungkin seperti di Madura juga, yang menikmati ubi-ubian, juga kerupuk ubi, yang dicocol dengan petis.

 

Satu lagi yang saya suka setiap kali berkunjung ke mana pun, adalah kelapa muda. Di Ambon, juga di banyak tempat di Tanah Air, kelapa muda berlimpah. Sepanjang pantainya banyak ditumbuhi pohon kelapa. Di mana pun kita membeli kelapa muda, maka kita benar-benar mendapatkan kelapa muda yang ranum dan segar. Bisa disajikan utuh atau dalam gelas. Kalau saya lebih suka disajikan dalam gelas. Tidak repot.

 

Nah, satu lagi. Kalau ini menjadi makanan favorit banyak orang. The most wanted deh. Durian. Saya sendiri heran, mengapa buah satu ini begitu dielu-elukan keberadaannya. Padahal menurut saya, dia itu memang istimewa. He he. Rasanya yang legit, aromanya yang harum, dan di beberapa tempat, harganya yang mahal, membuat durian menjadi buah primadona. Kami biasanya 'dilulu' oleh teman-teman yang kami kunjungi. Durian yang berkualitas wahid disediakan banyak-banyak, dan kami dikompori untuk makan sepuas-puasnya. Kami yang penyuka durian ini menikmatinya dengan sepenuh hati sekaligus dengan penuh kewaspadaan. Kami tahu durian adalah simalakama. Dalam setiap gigitan mengandung ancaman. Bahkan karena begitu jahatnya durian, beberapa teman kami yang sesungguhnya adalah maniak durian, sudah tidak mau lagi menyentuhnya sama sekali. Yang saya herankan, merekalah yang justeru mengiming-ngimingi kami. "Ibu, kami sudah sediakan durian untuk Ibu dan kawan-kawan. Durian di sini beda, Bu. Ibu bisa buktikan nanti." Begitulah kalimat bujuk rayu yang sering saya dengar. Di mana-mana. Untunglah saya orang yang tabah. Tidak mudah tertipu oleh bujuk rayu. Maka selama saya menikmati durian, saya selalu mengaktifkan alarm kesadaran saya dengan kewaspadaan penuh. Saya berdoa semoga Allah selalu menjaga saya dengan ketabahan dan kesehatan. Amiin. Hehe.

 

Oya, ada satu lagi sebenarnya yang juga khas di Ambon. Rujak natsepa. Ya, di Papua juga ada. Saya menikmatinya di Papua beberapa waktu yang lalu. Saya tidak sempat menikmatinya di

Ambon karena agenda sangat padat dan sudah terlalu banyak kuliner yang disajikan. Rujak yang bahan dasarnya buah-buahan ini hampir sama dengan yang kita kenal di Jawa. Bahkan sambal rujaknya pun hampir sama, bedanya hanya porsinya yang jauh lebih banyak. Saking banyaknya sampai buah-buahnya tenggelam semua dalam sambal.

 

Baiklah, ini adalah sekelumit kisah tentang Ambon. Dan karena Ambon adalah kota  musik, maka menyanyi juga seperti menjadi menu utama dalam setiap pertemuan, khususnya saat gathering makan malam. Saya dengan bakat terpendam saya pun, akhirnya harus ikut menyumbangkan lagu, dalam arti yang sebenarnya, membuat lagu menjadi sumbang. Sudah saya jelaskan kalau saya memang memiliki bakat terpendam, tapi terpendamnya terlalu dalam sehingga susah digali, teman-teman tetap meminta saya menyanyi. Maka menyanyilah saya dengan suara cempreng saya tanpa merasa berdosa.....

 

Ambon, 20-21 Oktober 2021

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...