Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 17 Februari 2022

RPL untuk Desa


Rekognisi Pembelajaran Lampau atau RPL adalah pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan formal atau nonformal atau informal, dan/atau pengalaman kerja ke dalam pendidikan formal. Hal ini berkaitan dengan Peraturan Meteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 73 tahun 2013 tentang penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) bidang Pendidikan Tinggi, yang merupakan bukti bahwa pemerintah memiliki komitmen untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat. Kebijakan ini sangat penting mengingat masih rendahnya angka partisipasi kasar pada tingkat pendidikan tinggi. Peraturan tentang RPL kemudian direvisi dengan terbitnya Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 tahun 2016 tentang RPL.

Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2020, Kementerian Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) memiliki tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi. Salah satu fungsi Kemendesa PDTT adalah melaksanakan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan pemberdayaan masyarakat desa.

Berdasarkan data Kemendesa PDTT tahun 2019, mayoritas pendidikan tertinggi masyarakat desa adalah lulusan SD, sementara di daerah perkotaan lebih banyak didominasi oleh lulusan SMA/MA. Selanjutnya, data tentang kualifikasi pendidikan kepala desa dan perangkat desa meliputi 44.767 kepala desa, 46.983 sekretaris desa, 31.147 pengurus BUM Desa, dan 8.241 pendamping desa adalah lulusan SLTA. Dengan demikian, kurang lebih ada 131.138 potensi di desa yang perlu ditingkatkan pendidikannya ke program Sarjana (S1). Juga terdapat 19.441 kepala desa, 24.470 sekretaris desa, 15.477 pengurus BUM Desa, dan 26.977 pendamping desa adalah lulusan S1/D4, sehingga kurang lebih ada 86.365 orang yang perlu ditingkatkan pendidikannya ke program Pascasarjana (S2).



Kondisi tersebut mendorong Kementerian Desa PDTT menggagas program RPL untuk Desa. Program ini merupakan implementasi dari Nota Kesepahaman Bersama (MoU) antara Kemendesa PDTT, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Juga merupakan implementasi dari kerja sama antara Kemenedesa PDTT dan Forum Perguruan Tinggi untuk Desa (Pertides).

Dengan demikian, RPL untuk Desa merupakan program yang disiapkan oleh Kementerian Desa PDTT bersinergi dengan Perguruan Tinggi untuk Desa (Pertides). Program ini memberikan fasilitasi pada kepala desa dan perangkat desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Tenaga Pendamping Profesional (TPP), Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Pengurus BUMDesa/BUMDes Bersama, Pengurus Lembaga Kemasyarakatan Desa/Lembaga Adat Desa, untuk menempuh pendidikan lanjut pada jenjang S1/D4 dan S2 melalui skema RPL. 

 

Persiapan RPL untuk Desa

Saat ini, persiapan RPL untuk Desa masih pada tahap koordinasi/ konsolidasi dengan berbagai pihak yang terlibat, yaitu pemerintah provinsi/kabupaten, perusahaan, filantropi, dan juga perguruan tinggi. Pemahaman tentang apa itu RPL, bagaimana rekrutmennya, bagaimana pelaksanaannya, bagaimana pembiayaanya, bagaimana penjaminan mutunya, dan bagaimana peran masing-masing pihak yang terlibat, merupakan beberapa hal yang terus didiskusikan dan dikonsolidasikan.

Merujuk pada Keputusan Menteri Desa PDTT RI Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Pembentukan Forum Perguruan Tinggi untuk Desa, ada sebanyak 49 PT yang tergabung dalam forum tersebut, namun belum semua PT menyelenggarakan program RPL. Beberapa PT anggota Pertides yang sudah menyelenggarakan RPL adalah: Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Diponegoro, Universitas Andalas, Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Manado, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Padjajaran, Universitas Bengkulu, Universitas Gajah Mada, Universitas Gorontalo, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan Universitas Pancasila. Penyelenggara program RPL adalah perguruan tinggi yang telah memiliki program studi yang menyelenggarakan RPL dan yang relevan dengan kebutuhan calon peserta program, pada jenjang S1 dan S2. Dengan kata lain, perguruan tinggi tidak perlu membuka program studi baru penyelenggara RPL.

Berdasarkan hasil koordinasi dengan pemerintah kabupaten, misalnya dengan Kabupaten Bojonegoro, pada dasarnya pemda siap mendukung program RPL untuk Desa. Persiapan untuk mengikuti program ini tentu saja memerlukan berbagai konsekuensi, salah satunya adalah perlunya penyesuaian APBD. Juga diperlukan payung hukum dari puasat (Kemendes PDTT) sebagai cantolan untuk pelaksanaan program. Juga, tentu saja adalah adalah MoU antara pemda dengan Kemendes PDTT, serta pemda dengan perguruan tinggi penyelenggara RPL.

Persiapan juga menyangkut penyusunan capaian pembelajaran serta profil lulusan program RPL untuk Desa, yang akan menentukan pengalaman belajar yang  disediakan. Konten/materi yang khas dan spesifik sesuai dengan kebutuhan SDM Desa juga diidentifikasi. Beberapa konten seperti SDGs Desa, Pengelolaan BUMdes/BUMdesma, Pengelolaan Wisata Desa, Desa Cerdas dan Desa Digital, Teknologi Tepat Guna, Mitigasi Bencana, merupakan beberapa issu yang akan mewarnai konten. Issu yang lain seperti Penanganan Stunting, Desa Ramah Anak dan Perempuan, Desa Bebas Radikalisme, juga beberapa issu yang mengemuka. Issu lain yang relevan masih sangat dimungkinkan untuk diidentifikasi.

Tentu saja, dalam hal ini, diskusi intens antar stakeholder, sangatlah diperlukan. Begitu juga  hal-hal yang  menyangkut sistem perkuliahan, tidak saja mempertimbangkan kondisi pandemi, namun juga jarak, serta keharusan para peserta RPL yang tetap harus menjalankan tugas selama mengikuti program; merupakan hal-hal penting yang harus disepakati bersama. Juga berbagai standar sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT), misalnya syarat skor TEP, publikasi, dan memastikan data mahasiswa terkoneksi dengan Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDTT), merupakan hal-hal yang harus disiapkan.

Yang tidak kalah penting juga tentang kontrak komitmen. Setiap calon peserta program RPL harus menandatangani kontrak komitmen, baik dengan Kemendesa PDTT maupun dengan pihak penyandang dana/pemberi beasiswa. Klausul-klausul pada kontrak komitmen kepala desa, perangkat desa, TPP, tentu saja berbeda, karena kondisi dan tuntutan yang juga berbeda pada masing-masih profesi tersebut.

 

Antusiasme di Lapangan

Informasi tentang akan diselenggarakannya RPL untuk Desa baru saja disosialisasikan. Informasi melalui sebuah flyer yang berjudul RPL Desa hanya berisi tentang definisi singkat program tersebut, dibagikan pada seluruh komponen Kemendesa PDTT, termasuk para pendamping desa (TPP). Informasi ini telah mengundang banyak respon dari berbagai kalangan. Tidak hanya dari calon peserta, juga beberapa penggerak swadaya masyarakat (PSM). Sekadar informasi, Kemendesa PDTT merupakan instansi pembina jabatan fungsional PSM di berbagai kementerian/ lembaga serta di pemerintah provinsi dan daerah. Tentu sangat bisa dipahami bila PSM juga merasa berhak untuk bisa mengikuti program RPL untuk Desa. Munculnya antusiasme PSM menjadi inspirasi untuk memunculkan program RPL untuk PSM.

Ternyata antusiasme juga muncul dari beberapa perguruan tinggi. Keinginan untuk menjadi bagian dari program ini, sebagai perguruan tinggi penyelenggara, adalah respon yang sebelumnya tidak terduga. Hal ini menimbulkan satu inspirasi juga, bahwa perguruan tinggi penyelenggara mungkin tidak harus dibatasi hanya PT yang terhimpun dalam Forum Pertides, namun juga PT yang memang memenuhi syarat untuk melaksanakan RPL.

Pemikiran ini bukannya tanpa alasan. Ada sebanyak 74.961 desa di seluruh Indonesia. Ada sekitar 35.000 tenaga pendamping profesional (TPP). Tentu saja ada jutaan perangkat desa, pengelola BUMdes/BUMdesa, dan pegiat desa lainnya. Mereka tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan respon lapangan saat ini saja, peminat Program RPL dari Desa, berasal dari berbagai provinsi. Bila program RPL untuk Desa dibatasi hanya diselenggarakan oleh PT yang terhimpun dalam Forum Pertides, hal ini tidak akan mengimbangi antusiasme di lapangan.

Menanggapi antusiasme ini, persiapan yang relatif matang harus dilakukan dahulu, terutama oleh Kemendesa PDTT, sebagai penanggung jawab program. Berbagai hal terkait kuota, perguruan tinggi penyelenggara, masa studi, penyandang beasiswa, cakupan beasiswa, sistem rekrutmen/seleksi, sistem perkuliahan, dan sebagainya, harus benar-benar dipastikan. Ibarat beperang, peluru harus sudah ada. Antusiasme dan gegap-gempita di lapangan tidak cukup ditanggapi hanya dengan sebuah jawaban normatif, misalnya, “semuanya sedang disiapkan dan dikoordinasikan, bila ada perkembangan terkini, akan segera diinformasikan”.

 

RPL untuk Desa dan SDGs Desa

SDGs Desa dengan 18 tujuan,merupakan arah kebijakan Kementerian Desa PDTT. Delapan belas (18) tujuan tersebut meliputi: 1) Desa tanpa Kemiskinan; 2) Desa tanpa Kelaparan; 3) Desa Sehat dan Sejahtera; 4) Pendidikan desa Berkualitas; 5) Keterlibatan Perempuan Desa; 6) Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi; 7) Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan; 8) Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata; 9) Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai Kebutuhan; 10) Desa tanpa Kesenjangan; 11) Kawasan Pemukiman Desa Aman; 12) Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan; 13) Desa Tanggap Perubahan Iklim; 14) Desa Peduli Lingkungan Laut; 15) Desa Peduli Lingkungan Darat; 16) Desa Damai Berkeadilan; 17) Kemitraan untuk Pembangunan Desa; dan 18) Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.

RPL untuk Desa merupakan salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan SDM desa. SDM desa merupakan faktor kunci dalam pembangunan desa. Dengan meningkatnya SDM desa, maka diharapkan desa akan lebih cepat berkembang, maju, mandiri, dan unggul. Bila desa-desa cepat berkembang, maju, mandiri, dan unggul, maka sangat bisa diharapkan terjadinya kemajuan dan keunggulan bangsa dan negara.  Dengan kata lain, peningkatan SDM Desa akan memberikan kontribusi yang nyata pada percepatan pencapaian seluruh indikator dalam 18 tujuan SDGs Desa.

Secara lebih spesifik, peningkatan SDM Desa menjadi akselerator dalam mewujudkan SDGs Desa, yang merupakan upaya terpadu pembangunan desa untuk percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.  SDM desa yang unggul mendorong terwujudnya desa tanpa kemiskinan dan kelaparan, desa ekonomi tumbuh merata, desa peduli kesehatan, desa peduli lingkungan, desa peduli pendidikan, desa ramah perempuan, desa berjejaring, dan desa tanggap budaya untuk percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SGDs).

 

Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd
Kepala Badan Pengembangan SDM, PMDDTT, Kementerian Desa PDTT RI
Guru Besar Universitas Negeri Surabaya

Sabtu, 05 Februari 2022

Desa Berdikari Indonesia, SDGs Desa, dan Pendamping Desa


BADAN Pembinaan Ideologi Pancasila atau disingkat BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila; melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan; dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya. BPIP merupakan revitalisasi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPIP). Visinya adalah sebagai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang andal, profesional, inovatif, berintegritas dalam pelayanan kepada Presiden dan Wakil Presiden di bidang pembinaan ideologi Pancasila untuk mewujudkan visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden: Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong. Sedangkan misinya yaitu mewujudkan misi Presiden dan Wakil Presiden dengan melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan ideologi Pancasila sehingga nilai-nilai Pancasila teraktualisasikan dalam setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Kamis, 3 Februari 2022, dilaksanakan diskusi antara BPIP dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), di ruang rapat Gedung B lantai 2 Kemendes PDTT. Dari BPIP, hadir Deputi Bidang Hubungan antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan, Prakoso. Hadir juga Direktur Jaringan dan Pembudayaan, Irene Camelyn Sinaga, dan Direktur Sosialisasi dan Komunikasi, Akbar Hadiprabowo. Dari Kemendes PDTT, hadir Dirjen Pembangunan Desa dan Perdesaan, Sugito, dan Kepala BPSDM Kemendes PDTT, Luthfiyah Nurlaela. Selain itu, dari Kemendes PDTT hadir juga Sekretaris Dirjen PDP (Rachmatia Handayani), Sekretaris BPSDM (Jajang Abdullah), Direktur Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan (Teguh Hadi), Kepala Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional (Hasman Ma’ani), Kepala Pusat Pelatihan ASN (Mulyadin Malik), dan Kepala Pusat Pelatihan SDM (Fujiartanto).

 

Pembumian Pancasila menjadi tantangan yang harus dilakukan oleh setiap komponen bangsa Indonesia. Saat ini, banyak masyarakat yang sudah meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Banyak nilai yang sudah luntur dan tergerus, seperti gotong-royong, toleransi beragama, dan kepedulian pada lingkungan. Bahkan sebuah survei yang dilakukan oleh Alvara Research pada tahun 2018 menunjukkan, 19% ASN menyatakan diri mereka anti-Pancasila. Berikutnya survei Kementerian Pertahanan Tahun 2019 juga menunjukkan, 23,4% mahasiswa Indonesia terpapar radikalisme dan anti-Pancasila. Tentu saja hasil survei ini sangat memprihatinkan dan perlu pemikiran serta tindakan nyata untuk membumikan dan menanamkan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pemikiran dan tindakan ini tentu tidak bersifat sporadis, hit and run, namun harus dilakukan secara terus-menerus, berkelanjutan, melembaga, tersistem, serta holistik.

 

Salah satu tugas BPIP adalah mengampu pembinaan ideologi Pancasila pada seluruh warga negara Indonesia, baik di Indonesia yang sekitar 269 juta jiwa dan di luar negeri yang sekitar 3 juta jiwa. Pancasila harus menjadi dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

Di sisi lain, desa memiliki peran yang strategis karena sebagian besar wilayah Indonesia adalah desa. Pada dasarnya, Pancasila digali dari kearifan lokal yang sudah tumbuh dan berkembang di desa-desa nusantara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Pancasila bukan untuk dihadirkan karena pada dasarnya dia sudah hadir. Pancasila untuk direvitalisasi, dikuatkan kembali, khususnya nilai - nilai toleransi, empati, persatuan, juga dalam berbagai aktivitas di desa seperti rembuk desa, musyawarah untuk mufakat, dan sebagainya.

 

Di sisi lain, era digital menawarkan ideologi alternatif melalui media sosial. Untuk itu perlu diperkuat kehadiran Pancasila dalam mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pada era revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 ini, sangat penting untuk memanfaatkan potensi perkembangan teknologi informasi untuk mengkoneksikan 74.961 desa agar terhubung, dan dapat saling menguatkan satu dengan yang lain, sehingga  menjadi pilar-pilar kekuatan bangsa dan negara Indonesia.

 



Salah satu program yang digagas BPIP adalah Desa Berdikari Indonesia menuju Desa Pancasila. Desa Berdikari memiliki makna aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Untuk mewujudkan Desa Berdikari dalam menopang Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan pemahaman, kecintaan, dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Desa Berdikari adalah desa yang mandiri atau tidak bergantung dari pihak lain, berdiri di atas kaki sendiri. Sebagaimana filosofi Bung Karno, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Kuat, mandiri, maju dalam bidang sosial politik, ekonomi, dan budaya.  Juga mendasarkan pada ungkapan para leluhur, yaitu  gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, yang mengisyaratkan betapa indahnya pesona tanah air Indonesia, dengan segala kekayaan dan kesuburan seisi alamnya. Keberkahan ini menjadi sumber kemakmuran warga Indonesia, dengan cara terus memelihara tata kehidupan yang sejahtera, bersih, aman, tertib, damai dan sentosa.

 

Beberapa indikator desa berdikari adalah: 1) Desa mampu melihat potensi dan kekayaan desa, mampu mengelola potensi desa, dan mampu memecahkan masalah yang ada di desa dengan musyawarah mufakat; 2) Desa memiliki solidaritas sosial dan bergotong royong; 3) Desa mampu melakukan gerakan bersama untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat desa untuk mendorong hadirnya keadilan sosial; 4) Desa mampu berdaya dan mengatur mengurus dirinya sendiri dengan sumber daya yang dimiliki; 5) Desa mampu dinamis mengikuti perkembangan zaman (kemajuan iptek) dengan didukung sumber daya manusia yang berkualitas dalam kebudayaan; dan 5) Hasil akhirnya adalah desa memiliki daya tahan tubuh yang kuat, imunitas ideologi dan budaya yang kuat.

 

Konsep Desa Berdikari sangat erat kaitannya dengan tujuan-tujuan dalam SDGs Desa, yang merupakan arah kebijakan dari Kemendes PDTT. SDGs Desa yang merupakan pelokalan SDGs Global dengan merujuk pada Perpres Nomor 59 Tahun 2017, adalah upaya terpadu percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui perwujudan delapan tipe desa, yaitu: desa tanpa kemiskinan dan kelaparan, desa ekonomi tumbuh merata, desa peduli kesehatan, desa peduli lingkungan, desa peduli Pendidikan, desa ramah perempuan, desa berjejaring, dan desa tanggap budaya. SDGs Desa adalah pembangunan total atas desa, seluruh aspek pembangunan harus dirasakan manfaatnya oleh warga desa tanpa ada satu pun yang terlewat (no one left behind). Sementara itu, Desa Berdikari Indonesia bertumpu pada rujukan, batasan, lingkungan hidup, dan kearifan lokal yang telah menumbuhkan desa itu sendiri. Dalam hal ini, desa tak sekadar batas administratif, melainkan juga tentang nilai-nilai yang melekat, sumber daya alam yang ada, tradisi, juga “kesedihan-kebahagiaan” keluarga yang terus menghidupi nilai-nilai tersebut dalam bingkai NKRI. Dalam SDGs Desa dengan 18 tujuannya, konsep tersebut sangat berkesuaian dengan tujuan ke-18, yaitu Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif. SDGs tujuan ke-18 merupakan bentuk penghargaan atas keberadaan bangsa Indonesia yang sangat beragam dalam agama, budaya, bahasa, adat istiadat. Bila dikaitkan dengan tipe desa, maka konsep tersebut sangat relevan dengan tipe Desa Tanggap Budaya.

Tujuan SDGs Desa tidak akan bisa dicapai secara optimal tanpa nilai-nilai Pancasila yang membumi dan menjadi karakter masyarakat Indonesia. UU No 6 tahun 2014 tentang Desa menempatkan masyarakat desa sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek yang selama ini dianggap sebagai residu pembangunan. Kebijakan pembangunan desa mengedepankan perdamaian, kebersamaan, kegotongroyongan dan nilai-nilai lainnya yang terkandung dalam Pancasila. Pelaksanaan SDGs Desa dilakukan dengan berpegang teguh pada dasar kebijakan bahwa seluruh aspek pembangunan harus dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga Desa, terutama warga masyarakat dari golongan terbawah. Sama halnya misi Kemendes PDTT yang membangun Indonesia dari desa, BPIP juga bertekad membangun sendi ekonomi Pancasila dari desa. Dengan tujuan yang sama, yaitu membangun desa menuju desa yang sejahtera, maka sesungguhnya BPIP dan Kemendes PDTT bergerak seiring dan sejalan, bahu-membahu, bergandeng tangan.

 

Tentu saja, kolaborasi untuk mewujudkan Desa Berdikari juga diperlukan dari berbagai pihak lain. Saat ini, BPIP telah melakukan sinergi dengan lintas stakeholder, selain dengan Kemendes PDTT, juga dengan Kominfo, TNI AD, Telkom University, dan terus berupaya mengembangkan kolaborasi dan sinergi. Secara khusus, bersama TNI AD, BPIP melakukan sinergi pembudayaan Pancasila melalui silaturahmi nasional (silatnas) dan silaturahmi daerah (silatda) di setiap Kodam. Dengan Universitas Telkom dan Kemenkominfo, BPIP mengembangkan “Lapak Gotong Royong” sebagai platform desa dengan format pembelajaran melalui learning management systems (LMS) yang menghubungkan satu desa dengan yang lainnya. Juga mengembangkan “NdeSho” sebagai solusi bagi desa untuk memasarkan produk-produk unggulan mereka di 74 ribu lebih desa.

 

Pada semua program yang sedang dan akan terus dilakukan, sangat penting memperhatikan lima prinsip pembangunan desa, yaitu: 1) Meletakkan masyarakat desa sebagai owner atas kepemilikan desa, karena itu masyarakat desa berhak menentukan arah pembangunan bagi desanya; 2) Desa harus memiliki kemauan dan kemampuan serta tekad yang kuat untuk maju dan mandiri atas kekuatan sendiri berdasarkan potensi, aset, dan modal sosial yang dimiliki; 3) Desa adalah arena masyarakat untuk meraih kemuliaan, bukan sebagai ajang pertarungan elit politik untuk perebutan kekuasaan; 4) Desa membutuhkan pendampingan untuk memajukan desa yang mampu bergerak bersama melakukan pembangunan Desa; dan 5) Kemajuan pembangunan Desa tidak boleh merusak modal sosial dan nilai-nilai yang tumbuh dan terpelihara senagai ciri kearifan lokal sekaligus sebagai kekuatan masyaralat desa.

       

Berdasarkan hal tersebut, memberdayakan dan merangkul kader-kader yang sudah ada sebagai simpul-simpul masyarakat perlu dilakukan. Keberadaan pendamping desa dalam hal ini menjadi sangat penting untuk memberikan kontribusinya dalam membangun Desa Berdikari Indonesia menuju Desa Pancasila. Untuk keperluan memastikan peran pendamping desa, maka definisi operasional tentang konsep Desa Berdikari Indonesia menuju Desa Pancasila harus jelas, beserta indikator-indikatornya, dan bagaimana mengukur indikator tersebut. Petunjuk teknis dalam membangun Desa Berdikari menuju Desa Pancasila harus tersedia, berikut bahan/materi serta media sosialisasi dan habituasi yang diperlukan. Konten-konten yang menarik untuk melakukan soft selling, tidak bersifat indoktrinasi, menjadi sangat penting. Desa harus secara kultural, alamiah, dan dengan sepenuh kesadaran sendiri--bukan karena indoktrinasi--merevitalisasi dirinya dengan nilai-nilai luhur yang sebenarnya merupakan jati diri mereka, yaitu nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

 

Juga harus dipikirkan, jika sebuah desa sudah menjadi Desa Berdikari menuju Desa Pancasila, what’s next? Bagaimana desa bisa terus mempertahankan predikat sebagai Desa Berdikari menuju Desa Pancasila? Perlukan monitoring dan evaluasi secara periodik untuk memastikannya? Bagaimana karakter masyarakat desa sebagai warga  yang menghayati dan mencintai nilai-nilai Pancasila ini terus bertumbuh-berkembang dari generasi ke generasi secara berkelanjutan? Di sinilah letak sentralnya peran pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa. Di sinilah letak sentralnya peran para pendamping desa.

 

Ini artinya, tugas pendamping desa akan semakin berat. Namun seberat apa pun, menjadi bagian dari sebuah ikhtiar untuk membumikan dan menggelorakan kembali nilai-nilai Pancasila di hati sanubari setiap warga desa, bahkan di setiap hati sanubari seluruh rakyat Indonesia, adalah sebuah kesempatan emas yang luhur dan mulia.

 

Jakarta, 4 Februari 2022