Prodi S3 Pendidikan Vokasi Pascasarjana Unesa sedang
menerima tamu istimewa. Dia adalah Prof. Mingchang Wu, Ph.D, Dekan College of
Humanities and Apllied Science, National Yunlin University of Science and
Technology (NYUST), Taiwan. Kehadirannya sebagai bagian dari implementasi MoA
antara Unesa dan NYUST, dalam progran visiting professor.
Prof Wu, begitu kami memanggilnya, berpengalaman dalam
bidang vocational education management dan vocational education assesment and
evaluation. Selama di Unesa, dia menjadi tim pengajar dalam kedua matakuliah
itu. Selain mengajar, Prof. Wu juga menawarkan berbagai peluang kerjasama. Dia
mempresentasikan tentang international cooperation dan sangat memungkinkan bagi
kita untuk berkolaborasi dalam bidang riset, international conference, joint
publication, student exchange, dan scholar exchange. Tentu saja hal ini sangat
baik bagi pengembangan pascasarjana dan Unesa saat ini dan ke depan. Merupakan
bagian dari upaya untuk meningkatkan publikasi, kemitraan, dan internasionalisasi.
Sebagai ketua prodi yang berhubungan langsung dengan
kehadiran Prof. Wu, maka saya harus mendampinginya di kelas untuk mengajar dan
juga pada kegiatan-kegiatan lain. Namun untuk urusan bermain tenis, berkuda,
antar jemput, belanja dan city tour, saya meminta bantuan mahasiswa S3
Pendidikan Vokasi, Septian Rahman Hakim dan Bu Yeni. Juga meminta bantuan
sahabat saya, Dik Indarti Anfa Pamungkas, dosen tata busana PKK FT yang
kebetulan adalah mahasiswa S3 creative design di NYUST. Saat ini dia sedang mengerjakan
disertasinya, dan oleh sebab itu dia bisa mondar-mandir Indonesia-Taiwan.
Namun Sabtu ini, saya tidak tega membiarkan Prof. Wu
pergi ke Bromo hanya bersama Bu Yeni dan dua orang staf PascasarjanaUnesa.
Prof. Wu hanya sembilan hari di sini, Kamis minggu ini dia sudah harus kembali
ke Taiwan. Waktu berjalan begitu cepat dan saya merasa tidak pernah punya waktu
leluasa untuk diskusi hal-hal penting yang lain dengan Prof. Wu, karena
kegiatan di kampus sudah cukup padat.
Saya pun bergabung bersama mereka. Berangkat dari
pascasarjana sekitar pukul 13.00, setelah mengajar di kelas kerja sama. Saya
bilang ke Prof. Wu, untuk bersiap traveling ke Bromo plus menikmati macet,
karena weekend.
Perjalanan dari Surabaya ke Bromo, di luar dugaan
saya, tidak lebih dari tiga setengah jam. Tanpa macet. Ya, jalan tol sangat
membantu tentu saja. Namun jalan dari exit tol ke arah Bromo, benar-benar
lengang. Hanya ada satu dua mobil dan sepeda motor yang sepertinya menuju arah
yang sama.
Begitu sampai di Hotel Bromo Permai, saat kami check
in, kami sekalian memesan jeep untuk touring dan eksplore Bromo esok harinya.
Jawaban resepsionis mengejutkan kami. Jeep tidak bisa mengantar sampai ke bawah
kawah, dan tempat-tempat lain seperti Penanjakan, Pasir Berbisik, Bukit Teletubis,
dan sebagainya.
Resepsionis menjelaskan, saat ini Bromo sedang
melaksanakan ritual Wulan Kapitu. Selama sebulan, Bromo bebas kendaraan
bermotor (car free month), mulai 24 Februari-24 Maret 2020. Hanya kuda yang
boleh masuk ke area Bromo. Jalan masuk untuk kendaraan bermotor ditutup mulai
dari depan hotel. Wow. Akhirnya saya mendapatkan jawaban kenapa Bromo sepi. Ya,
pasti karena ritual Wulan Kapitu ini.
Kami tentu saja tidak bisa ke mana-mana kecuali kami
mau berjalan kaki atau naik kuda. Namun Penanjakan yang sebenarnya menjadi
tujuan utama kami selain Puncak Bromo, akan sangat berat bila ditempuh dengan
jalan kaki atau bahkan dengan mengendarai kuda. Maka kami pun memutuskan, kami
hanya akan ke Puncak Bromo, dan perjalanan dari hotel kami tempuh dengan
mengendarai kuda.
Tetapi saya justeru merasa sangat beruntung
mengunjungi Bromo pada saat seperti ini. Berkali-kali ke Bromo, yang saya alami
adalah macet di perjalanan dan wisatawan memenuhi area serta lautan pasir yang
hiruk karena kendaraan bermotor.
Sungguh sangat bertolak-belakang dengan situasi saat
ini. Bromo begitu tenang, begitu damai, begitu hening. Alam sedang menanggalkan
lelahnya dan berkesempatan bernafas dengan leluasa. Alam sedang kembali pada
kemurniannya. Kepala suku dan para sesepuh Suku Tengger sedang berpuasa supaya
lebih bisa mengendalikan diri dari urusan kedunawian dan lebih mendekatkan diri
pada Tuhannya.
Saya menjelaskan hal ini pada Prof. Wu. Dia
terkagum-kagum dengan local wisdom yang dimiliki masyarakat Bromo. Ini adalah
kali kedua dia ke Bromo. Enam tahun yang lalu, dia bersama rombongan
international conference yang dilaksanakan di Malang, sempat mengunjungi Bromo,
tentu saja dengan situasi yang sangat berbeda dengan saat ini. Prof. Wu merasa
betapa dia sangat beruntung karena berkesempatan menikmati Bromo dalam situasi
yang tidak biasa. Bahkan dia mengatakan, Indonesia akan menjadi negara yang
kuat dan stabil di masa depan, karena masyarakatnya adalah penganut agama yang
taat dan memiliki kepedulian pada alam.
Semoga.
Oya, sepulang dari Bromo, kami mampir ke Pantai Bentar
yang eksotis. Dari Pantai Bentar, kami makan siang di Probolinggo dan
menunaikan shalat. Lantas kembali ke Surabaya. Prof. Wu dan kawan-kawan juga
berkesempatan mampir ke rumah kami untuk sekadar minum teh. Sesuatu yang
dikatannya tentang rumah kami adalah 'a beautiful house of wonderful family'.
Semoga.
15-16 Februari 2020.