Pages

Minggu, 16 Februari 2020

Wulan Kapitu


Prodi S3 Pendidikan Vokasi Pascasarjana Unesa sedang menerima tamu istimewa. Dia adalah Prof. Mingchang Wu, Ph.D, Dekan College of Humanities and Apllied Science, National Yunlin University of Science and Technology (NYUST), Taiwan. Kehadirannya sebagai bagian dari implementasi MoA antara Unesa dan NYUST, dalam progran visiting professor.

Prof Wu, begitu kami memanggilnya, berpengalaman dalam bidang vocational education management dan vocational education assesment and evaluation. Selama di Unesa, dia menjadi tim pengajar dalam kedua matakuliah itu. Selain mengajar, Prof. Wu juga menawarkan berbagai peluang kerjasama. Dia mempresentasikan tentang international cooperation dan sangat memungkinkan bagi kita untuk berkolaborasi dalam bidang riset, international conference, joint publication, student exchange, dan scholar exchange. Tentu saja hal ini sangat baik bagi pengembangan pascasarjana dan Unesa saat ini dan ke depan. Merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan publikasi, kemitraan, dan internasionalisasi.

Sebagai ketua prodi yang berhubungan langsung dengan kehadiran Prof. Wu, maka saya harus mendampinginya di kelas untuk mengajar dan juga pada kegiatan-kegiatan lain. Namun untuk urusan bermain tenis, berkuda, antar jemput, belanja dan city tour, saya meminta bantuan mahasiswa S3 Pendidikan Vokasi, Septian Rahman Hakim dan Bu Yeni. Juga meminta bantuan sahabat saya, Dik Indarti Anfa Pamungkas, dosen tata busana PKK FT yang kebetulan adalah mahasiswa S3 creative design di NYUST. Saat ini dia sedang mengerjakan disertasinya, dan oleh sebab itu dia bisa mondar-mandir Indonesia-Taiwan.

Namun Sabtu ini, saya tidak tega membiarkan Prof. Wu pergi ke Bromo hanya bersama Bu Yeni dan dua orang staf PascasarjanaUnesa. Prof. Wu hanya sembilan hari di sini, Kamis minggu ini dia sudah harus kembali ke Taiwan. Waktu berjalan begitu cepat dan saya merasa tidak pernah punya waktu leluasa untuk diskusi hal-hal penting yang lain dengan Prof. Wu, karena kegiatan di kampus sudah cukup padat.

Saya pun bergabung bersama mereka. Berangkat dari pascasarjana sekitar pukul 13.00, setelah mengajar di kelas kerja sama. Saya bilang ke Prof. Wu, untuk bersiap traveling ke Bromo plus menikmati macet, karena weekend.

Perjalanan dari Surabaya ke Bromo, di luar dugaan saya, tidak lebih dari tiga setengah jam. Tanpa macet. Ya, jalan tol sangat membantu tentu saja. Namun jalan dari exit tol ke arah Bromo, benar-benar lengang. Hanya ada satu dua mobil dan sepeda motor yang sepertinya menuju arah yang sama.

Begitu sampai di Hotel Bromo Permai, saat kami check in, kami sekalian memesan jeep untuk touring dan eksplore Bromo esok harinya. Jawaban resepsionis mengejutkan kami. Jeep tidak bisa mengantar sampai ke bawah kawah, dan tempat-tempat lain seperti Penanjakan, Pasir Berbisik, Bukit Teletubis, dan sebagainya.

Resepsionis menjelaskan, saat ini Bromo sedang melaksanakan ritual Wulan Kapitu. Selama sebulan, Bromo bebas kendaraan bermotor (car free month), mulai 24 Februari-24 Maret 2020. Hanya kuda yang boleh masuk ke area Bromo. Jalan masuk untuk kendaraan bermotor ditutup mulai dari depan hotel. Wow. Akhirnya saya mendapatkan jawaban kenapa Bromo sepi. Ya, pasti karena ritual Wulan Kapitu ini.

Kami tentu saja tidak bisa ke mana-mana kecuali kami mau berjalan kaki atau naik kuda. Namun Penanjakan yang sebenarnya menjadi tujuan utama kami selain Puncak Bromo, akan sangat berat bila ditempuh dengan jalan kaki atau bahkan dengan mengendarai kuda. Maka kami pun memutuskan, kami hanya akan ke Puncak Bromo, dan perjalanan dari hotel kami tempuh dengan mengendarai kuda.

Tetapi saya justeru merasa sangat beruntung mengunjungi Bromo pada saat seperti ini. Berkali-kali ke Bromo, yang saya alami adalah macet di perjalanan dan wisatawan memenuhi area serta lautan pasir yang hiruk karena kendaraan bermotor.

Sungguh sangat bertolak-belakang dengan situasi saat ini. Bromo begitu tenang, begitu damai, begitu hening. Alam sedang menanggalkan lelahnya dan berkesempatan bernafas dengan leluasa. Alam sedang kembali pada kemurniannya. Kepala suku dan para sesepuh Suku Tengger sedang berpuasa supaya lebih bisa mengendalikan diri dari urusan kedunawian dan lebih mendekatkan diri pada Tuhannya.

Saya menjelaskan hal ini pada Prof. Wu. Dia terkagum-kagum dengan local wisdom yang dimiliki masyarakat Bromo. Ini adalah kali kedua dia ke Bromo. Enam tahun yang lalu, dia bersama rombongan international conference yang dilaksanakan di Malang, sempat mengunjungi Bromo, tentu saja dengan situasi yang sangat berbeda dengan saat ini. Prof. Wu merasa betapa dia sangat beruntung karena berkesempatan menikmati Bromo dalam situasi yang tidak biasa. Bahkan dia mengatakan, Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan stabil di masa depan, karena masyarakatnya adalah penganut agama yang taat dan memiliki kepedulian pada alam.

Semoga.

Oya, sepulang dari Bromo, kami mampir ke Pantai Bentar yang eksotis. Dari Pantai Bentar, kami makan siang di Probolinggo dan menunaikan shalat. Lantas kembali ke Surabaya. Prof. Wu dan kawan-kawan juga berkesempatan mampir ke rumah kami untuk sekadar minum teh. Sesuatu yang dikatannya tentang rumah kami adalah 'a beautiful house of wonderful family'.

Semoga.

15-16 Februari 2020.

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...