Pages

Sabtu, 22 Februari 2020

Naik Kereta Api dan Ibu


Saya lumayan sering naik kereta api. Lebih dari sepuluh kalilah. Hehe. Itu termsuk sering tidak?

Kali ini saya naik kereta api dari Surabaya ke Banyuwangi. Untuk memenuhi undangan guru-guru MAN 2 Banyuwangi. Berbagi tentang bagaimana menjadi guru di era mileneal. Waw. Saatnya menjadi dosen mileneal juga ini. Acaranya besok pagi. Jadi masih cukup lama. Ups.

Setiap bepergian dengan menumpang kereta api, saya selalu menikmatinya. Sebetulnya tidak hanya saat menumpang kereta api saja sih. Pergi kemana pun saya selalu menikmatinya. Pakai kereta api, bus, truk, pesawat, mobil pribadi, angkot, motor, sepeda pancal, dokar, saya selalu menikmatinya. Setidaknya berusaha menikmatinya. Pada dasarnya saya suka kluyuran, dan berpetualang, namun untuk tujuan yang insyaallah baik: bersilaturahim, berbagi, dan tadabbur alam. Untuk tujuan itu, seringkali risiko yang berat harus saya tempuh. Tapi tentu tidak seberat tugas para abdi negara yang berada di garis-garis terluar dan terdepan NKRI. Mereka tuh, bener-bener 'toh nyowo'. Saya tidak ada apa-apanya tentu saja. Apa lagi kalau dibandingkan dengan perjuangan Nabi saat berdakwah dan membela Islam. Wew. Gak onok sak ipit-ipit a.

Sik. Iki mau ngomong kereta api ya?

Naik kereta api itu keren. Nyaman sekali. Bersih. Toiletnya juga. Tisu juga tersedia. Petugasnya ramah-ramah. Mau makan, ada banyak pilihan menu. Ada televisinya juga. Mau kerja pakai laptop atau nge-charge ponsel, sak wayah-wayah. Jalannya juga halus, nggak gronjal-gronjal. Bikin orang sliyat-sliyut. Pemandangan di kanan-kiri jalan menyejukkan. Banyak pohon-pohon, sawah-sawah, hutan-hutan, kebun-kebun, sak mblengere deh. Di kota jarang toh nemu pemandangan seperti itu?

Namun ada satu kenangan tersendiri saat saya berkereta api seperti ini.

Oktober 2018. Saya ada di Yogya. Menjelang shubuh, suami saya, menelepon. Ibu mertua yang memang sudah mengidap sakit beberapa bulan, kapundhut. Seketika saya menangis. Ibu mertua kami tinggal bersama kami. Saya  bingung. Suami menenangkan saya. Meminta saya segera pulang.

Saya pun menghubungi Pak Nardi, teman Unesa yang biasa membantu memesankan tiket. Minta dicarikan tiket pesawat apa pun pagi ini. Ternyata tidak ada. Kecuali saya mau via Jakarta.

Saya lari, eh, naik taksi, ke stasiun. Mengejar kereta. Sepanjang perjalanan dari hotel ke stasiun, saya menangis. Driver-nya baik hati, mengantar saya ke bagian reservasi sambil membawakan koper saya, dan melepas saya sampai pintu masuk stasiun.

Saya tenang sebentar karena sudah dapat kereta. Sekitar pukul 12.00 saya akan tiba di Surabaya. Saya tidak minta dijemput siapa-siapa karena semua pasti sibuk menyiapkan pemakaman ibu. Di kereta, saya mengaji, baca tahlil, berdoa untuk ibu, sambil air mata saya dleweran. Saya ingat pesan ibu, duluuuuu sekali. Saat itu habis makan sahur. Kami di rumah Ponorogo. Sambil menunggu subuh, saya mengaji. Lalu ibu ngendikan, "Fi, suk lek ibu arep kapundhut, wacakno yasin yo?" Saya ingat pesan itu dan menyesal sekali kenapa saya tidak berada di sisi ibu saat beliau menghadapi sakaratul maut.

Ibu telah meninggalkan kami lebih dari dua tahun yang lalu. Namun setiap kali menumpang kereta api seperti ini, saya selalu ingat ibu. Sebagai manusia biasa, ibu tentulah tidak sempurna. Namun ketika ibu sudah tiada, yang tertinggal hanyalah kebaikan, keikhlasan, kasih sayang, nasehat dan petuah, senyuman, kebersamaan bersamanya. Dan juga penyesalan yang mendalam, kenapa saya menyia-nyiakan waktu untuk membahagiakannya......

Setelah kepergian ibu, rumah tak lagi seperti dulu. Serasa tak lengkap lagi. Ada banyak hal yang membuat kami selalu terkenang pada ibu.

Kami berusaha membacakan al fatehah dan berdoa untuk ibu, dan tentu saja untuk bapak, setiap selesai shalat. Membacakan tahlil dan yasin setiap malam jumat. Itulah saat ini yang bisa kami lakukan. Berusaha menebus hari-hari yang tak mungkin kembali di mana saya telah lalai untuk membahagiakan Ibu.

Semoga Allah memberikan tempat terindah untuk Ibu, sebagaimana keindahan yang selalu beliau hadirkan dalam hidup kami, anak cucunya.

Amiin.

Kalibaru, 22 Februari 2020

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...