Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 24 Januari 2015

Jatim Mengajar 4: Disangka Anggota ISIS

Saat ini saya dan Bu Lusi tengah berada di SD 2 Sarongan. Bercengkerama dengan anak-anak sekolah. Menanyai mereka apakah mereka kenal pak guru Eko Sumargo, apakah mereka senang diajar oleh pak guru itu, kenapa suka, apa saja yang sudah diajarkannya, dan lain-lain. Saya mendapatkan jawaban yang sangat membanggakan dari anak-anak polos itu.

"Suka sekali sama Pak Eko, orangnya sabar, tidak pernah marah, ramah, baik hati, sayang sama anak-anak, pinter ngaji, suka bermain sama anak-anak...."

Setelah cukup puas bercengkerama dengan anak-anak di halaman sekolah, kami masuk ke ruang guru. Pak Zamzuri, Pak Mukhid, Eko Sumargo, dan beberapa guru sudah menunggu. Juga dua guru dari Program Banyuwangi Mengajar. Kepala Sekolah tidak bisa hadir. Namun tadi pagi saat kami ada di hutan sinyal, beliau menelepon, meminta maaf karena ketidak hadirannya, dan memohon, supaya masa tugas Eko Sumargo ditambah. 

"Mohon Pak Eko tugasnya bisa diperpanjang setahuuuun saja, Bu..." Pintanya. Permintaan yang sama sejak kemarin kami bertelepon. Juga permintaan yang terucap dari Pak Zamsuri dan Pak Mukhid, berulang kali.

Jumlah guru di SD 2 Sarongan ada sepuluh orang, tiga orang di antaranya PNS. Mereka adalah Ismaini, S. Pd, kepala sekolah, alumnus Pendidikan Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang; Siti Nasiroh, S.Pd, kebetulan istri kasek, alumnus Pendidikan Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang; dan Zamzuri, S.Pd, alumnus BK, IKIP PGRI Jember. 

Selanjutnya Ahmad Mukhid, S.Pd (PDU, IKIP PGRI Jember) dan Katminayati, S.Pd (Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan), dua guru yang sudah sarjana. Guru yang lain, Yessi Wulandari, lulusan SMA, mengajar Bahasa Inggris; serta Sutriyono, lulusan PGAK, mengajar Olah Raga. Ada juga Wiwin Mardiana, lulusan SMA, kebetulan saat ini tidak bisa hadir karena rumahnya di seberang sungai, dan air sungai sedang meluap. 

Dua guru dari Program Banyuwangi Mengajar adalah Fika Rosita, S.Pd. (Lulusan PGSD) dan Tajudin, S.Pd.I, (lulusan PAI). Juga ditambah Eko Sumargo, S.Pd., lulusan Pendidikan Fisika, Unesa, peserta Jatim Mengajar.

Dilihat dari komposisinya, sekolah ini jelas kekurangan guru, baik dari segi jumlah maupun mutunya. Kehadiran Eko Sumargo memberi warna tersendiri, karena dialah satu-satunya guru yang berlatar belakang pendidikan IPA (Fisika). Maka tak pelak, semua mata pelajaran kelompok IPA, dialah yang menjadi motornya. 
Jumlah siswa SD 2 Sarongan ada 113 orang. Ada beberapa siswa yang sempat mutasi, karena mengikuti orang tua yang pindah ke tempat lain. Tapi beberapa kali terjadi, siswa yang mutasi tersebut kembali lagi, karena orang tua tidak berhasil berjuang mencari penghidupan di tempat baru. Sekarang bila ada anak meminta mutasi, sekolah tidak memberi surat keterangan resmi, karena bisa jadi anak tersebut akan kembali lagi dengan berbagai alasan.

Sebanyak empat orang guru digaji oleh perkebunan, dua di antaranya adalah Bu Katminayati dan Pak Mukhid. Setiap hari, empat guru tersebut mengisi daftar hadir di sekolah, format daftar hadir dari perkebunan. Per hari mereka digaji Rp.22.000,- untuk Senin-Kamis, dan Rp.16.000,- untuk Jumat-Sabtu. Kalau sekolah libur, gaji mereka juga libur. Pak Mukhid dan Bu Kat pernah menerima gaji hanya belasan ribu. Dari sekolah, mereka juga digaji dari dana BOS, sebesar sekitar Rp.200.000,-, sebelumnya malah hanya sekitar Rp.100.000,-. Guru-guru punya tegalan, tanahnya milik perkebunan, ada di bantaran sungai. Karena letaknya di bantaran sungai, maka ketika ada banjir seperti ini, wassalam sudah semuanya. 

Program Jatim Mengajar, menurut semua warga sekolah dan masyarakat merupakan program yang sangat positif. Ketika ditanya apa masukan untuk program ini, jawabannya seragam: supaya program ini diperpanjang, tidak hanya satu tahun, namun dua bahkan tiga tahun dan seterusnya. Eko Sumargo juga tugasnya supaya diperpanjang, minimal dua tahun.  

Tentang Eko Sumargo, pak Zam menjelaskan: "Pak Eko sangat membantu lembaga kita. Sistem pelaporan kami ke dinas kabupaten menjadi lebih cepat dan selalu tepat waktu, bahkan seringkali mendahului dari sekolah-sekolah lain." 

Pak Zam juga mengatakan, Eko membawa perubahan pada masalah pengenalan IT bagi guru-guru, karena Eko dengan senang hati mengajari mereka. Karena hal itu juga, lepas dari pro-kontra K-13, SD 2 Sarongan merupakan satu-satunya sekolah di Pesanggaran yang menggunakan rapor K-13.

Ketika saya tanya, apa pengaruh kehadiran Eko yang lain, guru-guru menyatakan bahwa kehadiran Eko memberi suntikan semangat kerja pada guru-guru dan semangat belajar pada anak-anak. Semuanya menjadi lebih disiplin, dan berbagai kegiatan menjadi lebih terarah. Eko menggalakkan majalah dinding (mading), juga membuat anak-anak gemar berkutat di perpustakaan. Buku perpustakaan yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten dan Provinsi itu awalnya belum begitu rapi pengaturannya, juga mekanisme sirkulasinya. Ada juga dua rak buku dari turis dan persatuan para guide. Eko fokus mendampingi Bu Yessi, guru yang diserahi tugas untuk mengurus perpustakaan, membangun perpustakaan menjadi lebih teratur dan nyaman.  

Ada cerita lucu tentang kegiatan mading. Anak-anak sering mengambil paku pines yang berwarna-warni untuk menempel kertas-kertas hasil karya anak-anak sekolah itu.

"Damel nopo paku pinese pak?" Tanya saya.
"Nggih disimpen damel benik-benikan ngoten, Bu, wong lare-lare niku mboten nate semerap paku pines."

Ada juga cerita lucu tapi agak menegangkan. Di awal kedatangan Eko Sumargo, ada sekelompok orang yang menolak. Termasuk salah satunya adalah perangkat dusun setempat. Mereka mengira Eko Sumargo adalah anggota kelompok Daulah Islam Irak dan Syam atau ISIS. Usut punya usut, ternyata mereka mencurigai istilah YDSF yang menempel pada Program Jatim Mengajar. Sebagaimana kita tahu, Jatim Mengajar adalah program kerjasama antara Unesa dengan Yayasan Dana Sosial Masyarakat (YDSF). Sekelompok orang itu menyangka, YDSF adalah semacam ISIS. Belakangan kecurigaan mereka bisa diredakan karena kebetulan kepala sekolah atau saudaranya merupakan donatur Al Falah. Peristiwa yang sempat membuat suasana tegang itu saat ini menjadi cerita yang amat menggelikan.

Semoga Program Jatim Mengajar bisa terus berkelanjutan. Semoga semakin banyak program semacam yang berpihak pada sekolah-sekolah di daerah-daerah tertinggal di Jawa Timur dan daerah-daerah lain di seluruh Tanah Air. Mengandalkan pada kemauan dan kekuatan pemerintah saja tidaklah cukup. Harus ada pihak-pihak yang peduli untuk mengulurkan tangan dan terjun langsung di ujung-ujung pelosok Jatim, untuk sedikit memberitan tetes-tetes kasih sayang pada anak-anak dan masyarakat yang haus akan sentuhan itu. 

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN
  

Jumat, 23 Januari 2015

Jatim Mengajar 3: Kemurnian Sukamade

Buah Naga di Taman Nasional Meru Betiri.
Sukamade. Orang mengenal tempat ini sebagai sebuah dusun dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Menurut data, TNMB memiliki luas mencapai 50.000 hektare. Nama Meru Betiri diambil dari nama gunung tertinggi, yaitu  Gunung (meru) Betiri. Tinggi gunung tersebut adalah 1.223 mdpl.

Sukamade juga terkenal karena pantainya yang lekat dengan berbagai jenis penyu, termasuk yang khas adalah penyu hijau. Meski telah dilestarikan dalam bentuk kawasan lindung sejak 1972, namun kabarnya hingga tahun 1979, telur penyu di Sukamade masih diburu oleh para pengumpul. Dan saat ini, pengumpulan, pemindahan anakan, dan penangkapan penyu dilarang keras, karena penyu hijau termasuk satwa yang dilindungi. 

Selain dapat melihat penyu, jika beruntung, kita juga bisa menyaksikan beberapa jenis binatang hutan, misalnya banteng, macan tutul, kijang, dan berbagai jenis monyet. Bahkan Eko Sumargo pernah melihat macan kumbang yang sedang menggaruk-garukkan kuku-kukunya di sebuah pohon. Burung merak, berbagai elang dan rangkong kabarnya juga masih sering terlihat. Flora seperti Rafflesia (bunga bangkai) juga ada. Saya sendiri sempat melihat Rafflesia yang sedang mekar dan menjelang layu, sehingga bau bangkainya tidak tercium, saat kami berjalan memasuki hutan-hutan menuju Teluk Hijau (Bay Green).  

Untuk mencapai Sukamade tidaklah mudah. Bagi Anda pemilik mobil jenis sedan atau jenis mobil keluarga yang lain, yang bukan tipe untuk offroad, sebaiknya tidak usah melakukan penjelajahan di rimba Meru Betiri hingga Pantai Sukamade. Setelah masuk pintu pos Meru Betiri, Anda akan berhadapan dengan jalan yang tak lagi beraspal. Bukan lagi jalan makadam, tapi jalan yang penuh bebatuan runcing. Bahkan, untuk sampai ke Pantai Sukamade, kita akan melewati lima anak sungai yang airnya setinggi lutut orang dewasa. Bila musim  hujan, anak sungai itu airnya meluap dan ketinggiannya bisa mencapai leher orang dewasa, bahkan bisa sampai setinggi mobil jeep. Itulah sebabnya kenapa hari ini kami tidak lagi bisa menumpang jeep untuk kembali pulang, melainkan harus naik sepeda motor dan rakit untuk menyeberangi sungai-sungai itu.

Dalam pandangan saya, keunikan Sukamade juga karena tempat ini merupakan sebuah perkampungan di tengah perkebunan yang sudah ada sejak puluhan bahan ratusan tahun silam. Rumah-rumah penduduk yang sederhana berbaris rapi di sepanjang kanan-kiri jalan tanah. Sebuah sekolah satu atap (satap) berdiri di antara rumah-rumah itu, berseberangan dengan masjid. Ada gereja tidak jauh dari mess perkebunan yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari sekolah dan masjid. Hamparan kebun buah naga melengkapi keindahan alamnya. Tanaman karet, mahoni, coklat, menjadi batas-batas kampung. Sungai kecil yang di sepanjang bantarannya dipenuhi dengan tanaman milik para penduduk kampung, menambah asri panorama.

Menurut cerita, perkebunan ini yang sudah ada sejak zaman Belanda, sejak tahun 1800-an. Menurut cerita juga, dusun ini dulu namanya Sukmailang, berubah menjadi Sukamati, dan akhirnya Sukamade. Kata Pak Mukhid, guru SDN Sarongan yang asli putra daerah Sukamade, pada zaman penjajahan dahulu, saat kerja rodi di tempat ini, banyak orang yang hilang, itulah makanya tempat ini dinamakan Sumailang dan Sukamati. Dikatakan juga, tempat ini sebagai kawasan paling angker dan tempatnya raja jin. Pernah terjadi satu kompi KKO hilang, dan ditemukan di Bandealit, daerah pesisir Jember Selatan, setelah 41 hari, dan semuanya dalam keadaan sehat walafiat. Penduduk percaya, mereka disembunyikan oleh para jin. Begitulah cerita itu beredar.  

Semalam, dalam guyuran gerimis, kami berjalan dari rumah Pak Kadis menuju mess perkebunan. Baru saja kami mendengar adzan isya dan lantunan suara anak-anak shalawatan, pada waktu yang hampir bersamaan, kami mendengar lantunan lagu-lagu rohani yang menggema dari arah gereja yang kami lintasi. Saya sempat mengintip dari pintu gereja yang dibiarkan terbuka, tidak lebih dari sepuluh orang di dalamnya, dengan seorang pendeta muda yang ada di mimbar.

Ada sekitar 300 KK di Sukamade, dan sekitar 1000 lebih jiwa. Mayoritas penduduk hidup dari berkebun dan bertani. Mereka tinggal di perkampungan di tengah perkebunan, dan semua kepala keluarga adalah pekerja perkebunan. Selain bekerja di perkebunan, mereka juga bertani di tegalan.

Tegalan mereka menghampar di sepanjang bibir sungai, mereka menyebutnya berem. Sebagai kawasan perkebunan, penduduk tidak diperkenankan memiliki tegalan itu, hanya bisa memanfaatkannya. Hak kepemilikan tanah tegalan tetap ada pada perkebunan.

Penduduk umumnya bekerja pagi sampai malam. Pada pagi hari sampai siang atau sore, mereka bekerja di perkebunan. Sebagian bekerja di sekolah, atau sekedar mengurus rumah. Bila malam tiba, khususnya bila musim tunggu tiba, mereka menunggu tegalan masing-masing. Kacang, kedelai, dan berbagai sayuran, semua disukai babi hutan. Selain babi hutan, monyet, rusa, banteng, semuanya berpotensi mengganggu tanaman. 

Setiap hari, Bu Katminayati misalnya, salah satu guru di SD Sarongan, hanya tidur sekitar dua jam. Pada pagi sampai siang dia mengajar di sekolah, lanjut mengurus rumah, dan malam hari dia menjaga kebun mulai selepas maghrib sampai shubuh. Seperti itulah kegiatan sehari-harinya.

Listrik, sumbernya dari genset yang dimiliki perorangan. Ada empat orang yang memiliki genset. Penduduk membayar kepada  pemilik. Tarifnya per bulan: untuk 1 televisi 14 inchi sebesar Rp.75.000,-, televisi 20 inchi Rp.90.000,-, 1 lampu 10 watt tarifnya Rp.65.000,-. Jadi kalau memakai lebih dari satu lampu, ya tinggal mengalikan saja.

Listrik menjadi barang mahal. Bu Katminayati membayar untuk listrik saja 122 ribu per bulan. Hanya untuk bisa menikmatinya sejak pukul 18.00-23.00 (5 jam), ditambah pagi hari mulai pukul 04.30-05.30 (1,5 jam). 

Suami bu Kat adalah petugas keamanan kebun. Sift kerjanya  per 24 jam. Gajian sebulan dua kali, tanggal 4 dan tanggal 19. Gajinya sebesar Rp.31.000,- per hari. Jadi per bulan sekitar Rp.500.000,-. Anaknya ada tiga, satu mahasiswa Universitas Negeri Jember, dan dua masih sekolah di SMP dan empat tahun. Ditambah dengan gaji Bu Kat sendiri sebagai guru yang dibayar oleh perkebunan dan dari dana BOS sebesar sekitar Rp.600.000,-, mereka memang harus berkebun dan bertani untuk bisa hidup lebih layak. 

Hidup di Sukamade adalah hidup yang tenang tanpa kebisingan. Tanpa polusi, tanpa macet. Tanpa sinyal, kecuali kalau kita mau ke hutan sinyal. Ada denyut kehidupan ekonomi dari perkebunan dan toko-toko kecil serta sesekali deru motor dan mobil offroad. Meski ada pabrik kecil pengolahan karet di kawasan itu, namun aktivitasnya nyaris tak mempengaruhi kemurnian lingkungan di sekelilingnya.

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN

Senin, 19 Januari 2015

Jogging Silaturahim

Meskipun kemarin Mas Ayik pingsan setelah jogging, pagi ini kami berdua sudah di jalanan lagi. Ya, apa lagi kalau tidak jogging. Tapi saya pastikan Mas Ayik jalan cepat saja, tidak boleh lari-lari. Pelipis kirinya yang diperban nampak bengkak, tapi dia ngeyel mau tetap keluar rumah untuk jogging. Dia merasa sehat, hanya pelipisnya saja yang bermasalah. Dari pada dia keluar rumah sendirian, maka saya temani saja. 

Semalam, lepas Maghrib, saya memboyong Mas Ayik ke Tanggulangin. Tidur di Tanggulangin. Bertiga dengan Arga, anak kami, menemani ibu. Mumpung malam Minggu. Tentu saja ibu panik melihat kondisi Mas Ayik. Tapi setelah kami jelaskan, dan Mas Ayik juga nampak tidak terlalu menderita, ibu tenang. 

Kami menghabiskan malam Minggu dengan mengobrol dan mendengarkan ibu bercerita. Juga menikmati acara televisi. Pokoknya bersantai sesantai-santainya. Tumpukan koreksian sengaja tidak saya bawa, karena saya tidak ingin terbebani dengan pekerjaan itu. Biar full time menikmati kebersamaan dengan keluarga, meski hanya ngobrol dan menghasidkan sup hangat dan ayam goreng bikinan ibu.

Sambil jogging, kami memutuskan untuk sekalian bersilaturahim, mengunjungi Yuni, istri almarhum sahabat kami, Rukin Firda. Sambil menyelam minum air. Dapat keringat, dapat pahala silatirahim. Sehat lahir dan batin. Hehe.

Semalam, Yuni menelepon. Seperti biasa, kami mengobrol saja. Kami memang sering bertelepon, sejak sebelum Mas Rukin pergi. Sekadar saling bertukar kabar. Juga tadi malam, kami mengobrol ringan tentang acara ulang tahun Himapala. Juga tentang pengalaman Yuni di Tanah Suci. Dia bersama ketiga anaknya memang baru pulang umroh beberapa hari yang lalu. Dia menceritakan perjalanan umrohnya, dan bilang kalau dia dan anak-anak ingin kembali lagi ke sana, insyaallah dua atau tiga tahun lagi. 

"Alhamdulilah, Mbak. salah satu amanah Mas Rukin sudah aku tunaikan...." Begitu kata Yuni. 

Jarak rumah kami di Perum TAS 2 tidak terlalu jauh dengan rumah Yuni di Kalitengah, mungkin sekitar dua kilometer. Karena kami sudah terbiasa jogging dengan jarak sekitar tiga sampai lima kilometer sehari, berjalan kaki ke rumah Yuni pulang pergi tidak masalah.

Yuni kaget ketika kami muncul di rumahnya. Seperti biasa, dia memeluk saya erat.
"Yun, aku kemringet, Yun, mari jalan-jalan, wis gak usah cipika-cipiki." Kata saya melepaskan pelukan Yuni. 

Kami mengobrol di ruang tamu. Chacha, anak pertama Yuni dan Mas Rukin, keluar kamar. Dia bersiap-siap mau berangkat kerja.

"Mau ke mana, Cha?" Tanya Mas Ayik.
"Ke car free day, Om."
"Main apa meliput?" Tambah saya.
"Meliput, Tante...."

Chacha mennyalami saya, Mas Ayik, dan mamanya. Pamit kerja. Sampai malam. Dia mewarisi bakat bapaknya, jadi reporter juga. Berangkat pagi pulang malam. Hampir setiap hari seperti itu.

"Ya...gimana lagi, Mbak...papanya dulu yo ngono iku..." Kata Yuni. 

Di ruang tamu itu, nyaris tidak ada yang berubah, tetap seperti saat Mas Rukin masih ada. Juga foto-foto di dinding. Mas Rukin berdua dengan Yuni, Mas Rukin sekeluarga, Mas Rukin berpose di depan mobil offroad.... Hati saya sempat perih melihat gambar-gambar itu. Kesedihan tiba-tiba menyeruak.

"Mas Rukin seneng, Mbak...sampai karo Mas Ayik ndolani aku ngene iki...." Yuni mulai melankolis. Bercerita apa saja saat Mas Rukin masih ada. Tentang sepeda motor, mobil, anak-anak, tugasnya di sekolah, yang semuanya berkaitan dengan Mas Rukin. Laptop Mas Rukin di meja, juga diceritakannya. Dia bilang, sampai sekarang dia belum bisa membuka laptop itu. Setiap mau mulai membuka, dia menangis, teringat betapa benda itu begitu lekat dengan Mas Rukin. Akhirnya sampai saat ini, Yuni belum juga merasa kuat untuk membuka laptop itu. 

"Ndelok foto-foto sampean nang FB, walah Mbak....biyen janjian kate camping nang Banyuwangi karo Mas Rukin gak iso-iso....cutine Mas Ayik karo Mas Rukin gak ketemu-ketemu...." Yuni mulai menangis. Saya menepuk-nepuk punggungnya.

"Hayo, mulai...."

Yuni selalu seperti itu. Menangis setiap kali bercerita tentang Mas Rukin. Selalu menangis saat mengobrol dengan saya, apakah itu di telepon, atau bertemu muka seperti ini. Saya pernah bilang ke dia, "Yun, kalau kamu nangis terus begitu, kamu nanti kurus lho." Dia lantas tertawa, meski tetap sambil nangis.

"Rasanya begitu cepat, Mbak...." Matanya semakin basah.
Saya merangkulnya."Yun, sabar. Kamu harus kuat. Harus tabah. Kamu dibutuhkan anak-anak..."
"Bacakan Fatihan setiap saat untuk Mas Rukin, Yun..." Tambah Mas Ayik.
"Sudah Mas....terus saya bacakan, Mas...."

Saat situasi memungkinkan, kami pamit, setelah menghabiskan air putih yang tadi sempat disiapkan Chacha. Air putih itu tidak hanya sangat segar, namun juga sangat penting untuk menjaga supaya tidak terjadi dehidrasi atau gangguan keseimbangan elektrolit lagi, seperti kemarin. Gangguan yang menyebabkan Mas Ayik pingsan. Mosok kate mbaleni semaput maning....

Yuni mengantar kami. Di depan pintu teras, kami berbincang sebentar dengan tetangga Yuni yang kebetulan sedang ada di depan rumah mereka. Yuni mengenalkan kami sebagai sahabat-sahabat baik Mas Rukin. Dua orang ibu, tetangga Yuni, menyalami dan menyapa kami. Mereka bilang, "Bu Rukin niku nangisan, Bu..."

Saya tertawa. Mengucek-ngucek kepala Yuni. "Inggih, Bu. Niki nangisan ancene. Titip nggih, Bu. Menawi nangis dineng-neng...."

Saya menjelaskan ke ibu-ibu itu, kalau kami bersahabat sejak lama. Yuni adalah adik angkatan saya di PKK dan di Himapala, Mas Rukin teman seangkatan saya di Himapala, dan Mas Ayik kakak angkatan kami di Himapala. Mulek. 

Saya memeluk Yuni erat. Dia nggak mau melepas-lepas. Punggung saya yang basah nggak dipedulikannya. Sebenarnya tidak hanya punggung saya yang basah, hati saya juga kuyup. Rasa kehilangan saya saja begitu dalam, apa lagi Yuni dan anak-anaknya.

Tapi saya yakin, Yuni dan anak-anak bisa menghadapi cobaan ini dengan tabah. Kalau sesekali dia menangis, itu sangat manusiawi. Rasa kehilangan yang sangat membuat air matanya meleleh begitu saja karena dihempas kesedihan. Dia hanya perlu waktu untuk menata kembali perasaannya supaya lebih kuat.

"Wahai Allah, berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang bisa menjauhkan dari perbuatan maksiat kepada-Mu, dan berilah kami rasa taat kepada-Mu yang dapat memasukkan kami ke dalam surga-Mu, dan berikanlah kami keyakinan yang bisa membantu kami menghadapi setiap cobaan-Mu. Amin."


Tanggulangin, 18 Januari 2015

Wassalam,
LN

Minggu, 18 Januari 2015

Jatim Mengajar 2: Terhalang Banjir

Pagi sekitar pukul 05.00. Saya menengok keluar dari jendela kamar tempat kami menginap. Udara bersih tercium dari balik jendela. Hamparan tanaman buah naga, pohon puring, dan aneka bunga-bunga, serta pohon-pohon tinggi yang menjadi latar belakangnya, semua dengan warna aslinya. Sepertinya sayang kalau pagi yang indah ini dilewatkan begitu saja.

Saya dan Mas Ayik bersiap. Mengambil sepatu kets. Kami bermaksud jogging. Bu Lusi masih bermalas-malasan di tempat tidur. Perutnya bermasalah sejak semalam, diare, tidak jelas apa penyebabnya. Mungkin rambutan, mungkin rawon, mungkin ayam pedas, mungkin karena tangannya yang kotor. Menunya dari kemarin sama persis dengan menu saya dan Mas Ayik, tapi alhamdulilah kami baik-baik saja. Sesuai amal dan perbuatannya kali. Hehe...

Eko Sumargo sudah menunggu di depan kamar. Anak muda itu begitu sopan, tidak banyak omong, tapi di balik ketenangannya itu, dia menyimpan keteguhan dan ketekunan yang mengagumkan bagi orang-orang di sekitarnya. Sejak dari Kandangan kemarin, saat berbincang dengan Pak Zam dan bertelepon dengan Pak Ismaini, belasan kali saya mendengar pujian dan kekaguman untuk Eko Sumargo. Ketekunan dan keteguhannya sangat menginspirasi. Dia membuat banyak hal biasa menjadi luar biasa. Menghidupkan masjid, membangunkan perpustakaan dan kecintaan membaca pada anak-anak sekolah, mengenalkan IT, mengajarkan permainana-permainan termasuk permainan-permainan tradisional, mencontohkan kedisiplinan dan tanggung jawab, sekaligus mengembangkan kerelaan untuk berkorban. 

Saat kami datang semalam, Eko sedang bersiap menuju masjid, bersarung, berbaju takwa, berkopiah, begitu bersih dan teduh wajahnya. Wajah bersih dan teduhnya itu spontan berhias senyum berseri saat melihat sosok saya dan Bu Lusi. Dia mendapatkan kejutan yang sangat menggembirakan.
"Bu Luthfi..." Teriaknya, meski saya masih di dalam mobil, dan sedang 'krengkel-krengkel' mencari jalan keluar. 
"Nggak nyangka Bu Luthfi datang ke sini..." Katanya.

Dalam balutan hujan yang tak kunjung henti, di rumah kepala sekolah, saya bertanya pada Eko Sumargo.

"Siapa yang sudah mengunjungimu di sini, Ko?"
"Bapak dan Ibu saya, Bu...."
"Oya?"

Saya membayangkan, bapak dan ibu Eko pasti sudah menangis di tengah perjalanan sebelum mencapai Sukamade. Medan yang begitu berat pasti akan membuat beliau merasa trenyuh dan prihatin dengan tempat tugas anaknya yang ternyata begitu jauh dan terpencil.

"Terus bagaimana komentar bapak ibu kamu, Ko?"
"Ya....kata bapak ibu, hidup itu perjuangan, Le...."

Saya tiba-tiba merasa sangat terharu. Saya menahan diri untuk tidak terbawa dalam keharuan karena merasakan perasaan sebagai orang tua. Seorang ibu yang sedang menghayati sebuah perjuangan anaknya untuk menggapai masa depan. Di sebuah tempat yang jauh dan terisolasi, di perkampungan kecil di tengah-tengah perkebunan yang sepi, tidak ada hiburan, tidak ada sinyal, listrik yang hanya menyala separo hari, dan segala kemudahan yang harus ditinggalkannya. Bergulat dengan anak-anak sekolah, mengajarinya membaca, menulis, dan mencintai kehidupan. Bergulat dengan orang-orang, mengajari mereka bagaimana seharusnya mengemban amanah dan tanggung jawab dengan penuh ketekunan dan keikhlasan.

"Kalau boleh tahu, bapak ibu kerja di mana, Ko?" Lanjut saya.
"Ibu saya jualan sayur di pasar, Bu. Bapak saya ngarit."

Saya semakin terharu. Saya semakin kagum dengan sosok muda itu. Dia benar-benar sedang berjuang. Tidak hanya untuk masa depan dia. Namun juga masa depan keluarganya. Dan juga masa depan anak-anak bangsa di negeri kecil bernama Sukamade ini. 

Hujan deras semalam, membuat jalan-jalan dari penginapan menuju perkampungan basah di mana-mana. Di sepanjang jalan, anak-anak dan orang tua menyapa Eko. Eko membalasnya dengan senyum dan sapaan juga. 

Uniknya, para orang tua di Sukamade ini menggunakan Bahasa Madura, namun anak-anak mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Bukan Bahasa Osing, karena mereka tidak berasal dari Suku Osing. Ada sejarah panjang mengapa para orang tua penduduk Sukamade ini berkomunikasi dengan Bahasa Madura. 

SDN 2 Sarongan, ada di tengah perkampungan kecil itu. Bukan sekolah yang jelek. Bangunannya bagus, cukup bagus. Kemarin Pak Zam bercerita kalau tahun yang lalu, dia bersama pak Ismaini, kepala sekolah, berjuang untuk mendapatkan bantuan rehab sekolah. Bupati dan kepala dinas pendidikan Kabupaten Banyuwangi sempat meninjau sekolah, sampai akhirnya bantuan itu diwujudkan. Pembangunan sekolah SD saat ini sudah selesai. Tinggal bangunan sekolah SMP yang masih belum direhab. Dua sekolah itu ada di satu kompleks, dan merupakan sekolah satu atap (satap).

"Pak Eko, mau ke mana?"
Tiba-tiba seseorang menyapa.

Dari sebuah rumah, seseorang mendekat. Diikuti seorang lagi di belakangnya, ternyata Pak Zam. 

"Ini Pak Mukhid, Bu, guru SD Sarongan juga". Kata Eko mengenalkan Pak Mukhid pada kami.

Pak Mukhid adalah pemuda asli Sukamade. Nenek moyangnya berasal dari daerah ini. Dialah sarjana pertama--dan sampai saat ini--satu-satunya sarjana yang dimiliki Sukamade. Sama dengan Pak Zam, dia alumnus Ponpes Blok Agung Darussalam dan IKIP PGRI Jember.  

Pak Mukhid dan Pak Zam mengajak kami menuju sungai, melewati jalan kecil di samping rumahnya. 

"Sungainya meluap, Bu. Banjir," kata Pak Mukhid, dengan logat Maduranya. 
"Lha terus? Kita gimana pulang nanti, Pak?" Tanya saya.
"Ya, kita lihat nanti, Bu."

Benar. Sungai di depan kami airnya penuh, mengalir deras melewati tanggul. Suaranya begemuruh. Sejauh mata memandang, yang ada adalah air dan air. Di depan sana, beberapa orang mencoba menyeberangi sungai yang kemarin kami lewati dengan mobil, dalamnya sekarang sudah mencapai leher orang dewasa. Mobil dan truk sudah tidak mungkin lagi menerobosnya.

Sekitar tiga puluh menit kami berada di sungai. Menyaksikan anak-anak kecil bertelanjang yang ceria bermain air. Mereka begitu tidak peduli. Ada kegundahan yang melingkupi bapak ibu mereka. Hamparan tanaman kebun di sepanjang sungai itu tenggelam. Tumpukan hasil kebun yang kemarin baru dipanen hanyut terbawa air. Bahkan seekor sapi yang diikat di sebuah pohon dekat sungai mati karena tenggelam.

"Kalau sudah seperti ini, sebagian anak sekolah tidak mungkin masuk, Bu. Rumah mereka ada di seberang sungai sana. Mereka nggak mungkin menyeberang. Terlalu berbahaya. Truk saja berhenti, tidak berani meneruskan perjalanan. Menunggu sampai banjir agak surut. Mungkin nanti siang, mungkin besok, mungkin lusa, atau bisa juga seminggu dua minggu lagi." Pak Zam menjelaskan.

Saya termangu-mangu, menyadari bahwa saya tidak sedang di Sumba Timur atau di Papua, namun masalah yang saya lihat hampir sama. Akses jalan yang sangat memprihatinkan, dan menyebabkan terjadinya berbagai masalah, termasuk ancaman kelaparan. Tahun kemarin, akses jalan menuju Sukamade sempat terputus lebih dari dua minggu sementara persediaan makanan menipis. Tanaman kebun habis tersapu banjir dan anak-anak nyaris kelaparan.

Dari sungai, kami kembali ke penginapan. Eko memisahkan diri dan mohon izin untuk bersiap-siap ke sekolah. Ditemani Pak Zam, kami naik mobil masuk ke perkebunan karet, mencari sinyal. Persediaan sinyal ada di bibir sungai, jaraknya sekitar satu kilometer dari penginapan. Beberapa orang sudah ada di sana, dengan tujuan yang sama. 

Di tempat itu, saya mengirim SMS pada Bu Yanti, sahabat saya di PPPG, juga pada Bu Suhartiningsih, Ketua Jurusan saya di PKK.      

"Bu Harti dan Bu Yanti, saat ini saya dan Bu Lusi sedang ada di Sukamade, di tempat yang ada sinyalnya. Jalan yang kemarin kami lewati sekarang terendam banjir. Mobil yang kemarin kami tumpangi tidak bisa lagi menerobos banjir. Kalau banjir agak surut, kami siang nanti pulang setelah dari sekolah, menumpang rakit dan naik sepeda motor. Semoga kondisi memungkinkan dan kami bisa kembali ke Surabaya dengan selamat. Mohon doanya....."  


Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN

Jogging Sampai Pingsan

Pagi ini, seperti biasa, saya jogging bersama Mas Ayik, suami saya. Kali ini, kami jogging di Masjid Agung Al-Akbar Surabaya (MAS). Biasanya kami akan memutari masjib besar itu tiga sampai lima kali, bergantung dari waktu yang tersedia dan semangat yang ada. Saya berjalan cepat, dan mas Ayik berlari-lari kecil.

Beberapa bulan ini, kami memang mengganti kegiatan bersepeda dengan lari-lari dan jalan cepat. Mas Ayik sedang gandrung lari-lari, dan saya mengimbanginya dengan berjalan cepat. Untuk perempuan empat puluh tahun ke atas seperti saya ini, lari-lari sudah tidak disarankan, begitu juga senam aerobik. Yang baik adalah olah raga jalan sehat dan senam yang tidak menggunakan hentakan-hentakan keras. Bersepeda dan renang juga baik.

Saya berhenti pada putaran ketiga. Mas Ayik juga berhenti, terus bertanya: 'wis muter ping piro?" 
"Tiga." Jawab saya sambil menunjukkan tiga jari saya. 
"Aku tak muter pisan maneh yo?"
"Yo. Tak tunggu ning kene yo."

Sementara Mas Ayik melanjutkan lari-lari kecilnya, saya membuka BB. Mulai menulis. Melanjutkan tulisan laporan perjalanan saya ke Banyuwangi, saat monev Jatim Mengajar tempo hari. Di kanan-kiri saya, beberapa perempuan juga sedang duduk-duduk membuka gadget-nya, mungkin menunggu pasangannya masing-masing, seperti saya. 

Di tengah keasyikan saya menulis, tiba-tiba Mas Ayik muncul. Nafasnya ngos-ngosan. Keringatnya bercucuran. 
"Lho, kok cepet muternya?" Tanya saya.
Mas Ayik tidak menjawab. Mengambil air minum.
"Mas, baju muslim untuk laki-laki itu apa namanya?" Tanya saya lagi.
"Gamis," kata Mas Ayik masih dengan nafas ngos-ngosan.
"Bukan, yang kemeja, Mas."
"Emm...takwa, baju takwa."
"Ya, betul."

Baru saja saya mau menulis lagi, tiba-tiba saya merasa ada yang aneh pada Mas Ayik. Dia bersandar di dinding, tapi 'ngedet-ngedet', wajahnya pucat, matanya kosong.

"Ada apa, Mas?" Tanya saya. Mas Ayik suka bercanda, suka ngusilin saya, saya kira itu juga bagian dari candanya dan keusilannya.

Belum sempat saya menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba, dengan begitu cepat, Mas Ayik ambruk, jatuh tertelungkup, terhempas ke aspal kasar. Saya langsung melempar BB saya, dan meraih Mas Ayik yang kejang-kejang. Merangkulnya dan menggerak-gerakkan tubuhnya yang dingin. 

"Astaghfirullah, astaghfirullah, Mas, Mas..... Astaghfirullah.." Saya panik, histeris, berteriak-teriak. "Pak, tolong saya, Pak... Tolong Pak... Bawa kami ke rumah sakit, Pak..." Suara saya meraung-raung. Saya membangunkan Mas Ayik, tubuhnya masih kejang-kejang, darah mengucur deras dari pelipisnya, masuk ke hidung, mengaliri bibirnya, lehernya. Seorang ibu mengulurkan kain dan menutup luka di pelipis Mas Ayik. Saya terus berteriak-teriak minta supaya kami dibawa ke rumah sakit. Dalam pikiran saya hanya satu. Mas Ayik harus segera dibawa ke rumah sakit, segera mendapatkan pertolongan, jangan sampai terlambat, jangan sampai terlambat."

"Tolong, Bapak, tolong kami Bapak..." Saya menghiba-hiba pada mobil yang lewat, keluar dari tempat parkir. Tiga mobil lewat, tak satu pun berhenti. Seorang ibu ikut mondar-mandir mencoba mencari pertolongan. Lantas datang seorang bapak-bapak, kemudian dia meminta petugas MAS untuk membantu. Di tengah kepanikan saya yang semakin memuncak, tiba-tiba saya mendengar suara Mas Ayik. 
"Sudah, Yang, aku nggak papa, sudah, jangan nangis, Yang..."
"Subhanallah, Allahu Akbar, Alhamdulilah..." Saya lega luar biasa mendengar suara Mas Ayik. Tapi saya terus berteriak minta bantuan. "Mas harus dibawa ke rumah sakit. Harus segera dibawa ke dokter." Saya terus mendekap kepala dan tubuhnya. 

Akhirnya datanglah mobil bak terbuka, milik MAS, bersama petugasnya. Supir dan salah satu petugas lagi, membantu Mas Ayik berdiri, menuntunnya masuk ke bak belakang. Saya duduk di sisi Mas Ayik. Terus mendekapnya, mencoba menghentikan pendarahan di pelipisnya. Seorang petugas duduk di depan saya, menenangkan saya. 
"Ke Rumah Sakit Cempaka saja yang Bu? Yang dekat. Biar bapak segera dapat pertolongan."
"Ya, Pak."

Di mobil, darah terus mengucur dari pelipis kiri Mas Ayik. Saya bertanya, "Apa yang sekarang Mas rasakan?"
"Tidak apa-apa."
"Mas tadi itu...." Saya menceritakan kejadian yang tiba-tiba tadi, sambil terus membersihkan darah di muka Mas Ayik.

Begitu sampai rumah sakit, dua petugas dari MAS tadi membantu kami turun. 
"Bu, kami langsung kembali ya, Bu. Nanti motornya di Masjid Agung bisa diambil sewaktu-waktu kalau sudah memungkinkan."
"Pak, lha untuk ongkos mobil ini...?"
"Sudah, tidak usah, tidak apa-apa, yang penting Bapak segera dapat pertolongan".
"Aduh, matur nuwun, nggih, Pak..."

Saya tidak mengulurkan serupiah pun untuk kedua petugas itu. Bukan hanya karena saya uang di kantung saya tidak banyak, namun saya juga sedang menikmati ketulusan kedua orang baik itu, petugas MAS. Saya salut dengan gerak cepat mereka, yang begitu sigap memberi pertolongan, dan tanpa pamrih. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, MAS.

Di rumah sakit, perawat bergerak cepat. Membersihkan luka di pelipis Mas Ayik. 
"Suster, boleh saya cuci saputangan ini di wastafel itu?" Tanya saya.
"Boleh, Bu, silahkan."
"Saya mencuci saputangan yang penuh dengan darah itu. Air cucian merah segar. Saya bilas berkali-kali. Sementara suster sibuk memberisihkan luka, mengukur tekanan darah dan detak jantung, saya sibuk membersihkan kotoran di tangan dan kaki Mas Ayik. Mencoba membuatnya senyaman mungkin. Menyeka keringat di sekujur tubuhnya. Melepas kausnya yang basah kuyup. Dan menelepon Mbak Iyah, penunggu rumah kami, untuk membawakan baju bersih dan sandal jepit. Juga mengambilkan dompet saya di tas di dalam kamar. 

Alhamdulilah, Ya Allah. Akhirnya dokter datang. Dokter yang masih muda dan tampan itu, begitu cekatan namun penuh kelembutan menangani Mas Ayik. Memeriksa luka, membubuhkan cairan merah tua, menyuntikkan obat bius, menjahitnya, dan menutup luka itu dengan perban. Tentu saja dibantu seorang suster yang juga cekatan tapi lembut. Saya menyaksikan semua proses itu dengan cermat. Meski agak ngeri juga melihat daging segar itu ditusuk-tusuk.
"Jahitannya nanti harus diangkatkah, Dok?" Tanya saya.
"Ya, Bu. Harus diangkat." Jawab dokter. "Bu, Bapak lukanya dalam sekali. Bapak perlu suntik antitetanus, agak mahal, tapi harus disuntik."
"Inggih, Dokter, tidak apa-apa." 

Selepas proses penjahitan, dokter duduk di sebelah Mas Ayik. Berbicara pada kami berdua. Menasehati supaya lebih hati-hati kalau jogging. 
"Untuk seusia Bapak, harus ingat, metabolisme tubuh sudah tidak sama lagi ketika Bapak masih muda. Jadi Bapak harus bisa mengatur pola olah raganya. Kalau jogging, sebelum, di antara, dan setelahnya, Bapak harus minum, meskipun tidak haus."

"Dok, yang menyebabkan Bapak kejang-kejang tadi itu apa nggih, Dok?" Saya menyela.

"Bisa karena gulanya drop, bisa karena dehidrasi, bisa karena keseimbangan elektrolit terganggu." Jawab dokter. "Untuk kasus Bapak, kemungkinan karena keseimbangan elektrolit, Bu." 

Sepulang dari rumah sakit, saat Mas Ayik sudah bersih, makan, dan minum obat, saya membuka google dan mencari artikel tentang bagaimana olah raga yang sehat dan tidak menyebabkan dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit. Betul kata dokter tadi. Sebaiknya 30 menit sebelum jogging, lari, dan olah raga di tempat terbuka dengan kelembaban tinggi, kita harus minum. Sekitar 30-45 menit setelah jogging, minum lagi, sambil beristirahat beberapa saat. Kalau mau jogging lagi, waktunya tidak perlu lama, cukup 15-17 menit.

Saya berkali-kali memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena musibah ini ternyata tidak seberat yang saya bayangkan. Mas Ayik kejang-kejang dan pingsan 'hanya' karena kelelahan akibat terjadinya gangguan keseimbangan elektrolit. Bukan karena yang lain. Lukanya insyaallah akan segera sembuh. Dokter tadi bilang, tiga hari lagi lukanya akan dikontrol, dan tiga atau empat hari lagi jahitannya akan diangkat, dan Mas Ayik akan segera pulih kembali.

Ya Allah, berikan kami sekeluarga kesehatan dalam keimanan, keimanan dalam keindahan akhlak, kemenangan yang disertai keberuntungan, rahmat dari sisi-Mu, keselamatan dan pengampunan, serta keridhaan dari sisi-Mu." 

Surabaya, Sabtu, 17 Januari 2015

Wassalam,
LN

Kamis, 15 Januari 2015

Jatim Mengajar 1: Menuju Sukamade, Lupakan Pulau Merah

Minggu pagi, pukul 05.30. Mobil yang kami kendarai menembus jalanan yang masih sepi dan agak berkabut. Suami saya, Mas Ayik, pegang kemudi. Saya di sebelahnya, dan Bu Lucia (Dra. Lucia Tri Pangesthi, M.Pd), duduk di jok tengah. Mas Ayik kebetulan sedang cuti, dan dengan senang hati dia bersedia menemani kami.

Tujuan kami adalah Banyuwangi. Sebenarnya tidak sampai Banyuwangi. Menurut informasi dari berbagai sumber, juga hasil browsing di internet, kami cukup sampai ke Jajag, sebuah kecamatan setelah Kalibaru, sebelum Banyuwangi. Dari sana, Desa Sarongan, tempat tugas Eko Sumargo, peserta Program Jatim Mengajar angkatan kedua, jaraknya jauh lebih dekat dibanding bila dari Kalibaru atau Banyuwangi.  

Eko Sumargo sendiri belum bisa saya hubungi sampai detik ini, sejak dia ditugaskan lima bulan yang lalu. Tidak ada sinyal di tempat tugasnya. Beberapa hari sebelum kami berangkat, saya berusaha untuk kontak dia, hampir setiap hari. Berharap saya mendapatkan keberuntungan, bisa menghubungi dia dan memberi tahu kalau kami akan datang mengunjunginya. Tapi tidak berhasil. Dia mungkin terdampar di kawasan dunia lain, hehe.

Sekitar pukul 12.30 kami memasuki Kecamatan Jajag. Dipandu oleh Mas Yanto, saudara Bu Yanti (Dr. Suryanti, M.Pd, PD 2 PPPG), kami menuju rumah Mas Yanto di Pesanggaran. Bu Yanti memang berasal dari Banyuwangi, sehingga saudaranya banyak tersebar di Kota Blambangan itu. 

Mas Yanto dan Mbak Rini, adalah suami istri yang ramah dan penuh perhatian. Sesuai dengan profesi mereka berdua, perawat dan bidan. Mereka terbiasa merawat dan membidani orang-orang dengan keramahan, kepedulian, termasuk pada tamu-tamu seperti kami ini. 

Kami mengobrol dan berdiskusi tentang rencana perjalanan kami ke SDN 2 Sarongan. Sarongan adalah nama desa. Sekolah itu sendiri ternyata ada di Dusun Sukamade, sekitar empat jam dari Pesanggaran, dengan kondisi medan yang berat. Sukamade, kalau Anda pernah mendengar, merupakan tempat di mana menghampar Kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Ya, yang terkenal dengan penangkaran penyu itu. Di sanalah sekolah yang akan kami tuju. Di tengah perkebunan yang konon sudah ada sejak zaman Belanda.

Mas Yanto bertanya ke sana kemari kepada orang-orang melalui telepon, berkoordinasi untuk mendapatkan informasi tentang rute ke Desa Sarongan, dan bagaimana supaya kami bisa mencapai tempat tersebut. Beliau berdua sudah pernah ke sana, dan tahu betul seperti apa rutenya. Oleh sebab itu Mas Yanto berusaha untuk memastikan perjalanan kami akan aman dan lancar. 

Mas Yanto juga menghubungi seorang guru yang mengajar di SD 2 Sarongan, Pak Zamzuri, kebetulan rumah beliau ada di Kandangan, sebuah dusun di Desa Sarongan. Pak Zamzuri diminta untuk memandu kami menuju Sukamade. Juga menghubungi pemilik Land Rover yang akan kami sewa. Terios kami tak layak untuk menuju ke kawasan yang untuk mencapainya harus melalui medan yang ekstrim itu. 

Akhirnya, setelah mempertimbangkan berbagai hal, menyangkut jarak tempuh, kondisi medan, kendaraan, dan cuaca, diputuskan kami berangkat siang ini juga. Sebenarnya yang kami rencanakan sebelumnya adalah, hari ini kami akan menginap di Pulau Merah, dan saat matahari mulai beranjak menuju peraduan, kami akan berlari-lari kecil di sepanjang pantai. Baru besok paginya menuju Sarongan. Ternyata itu bukan rencana yang tepat. Sama sekali tidak tepat. Jadi, "lupakan Pulau Merah", kata saya pada Bu Lusi dan Mas Ayik.  

Setelah menikmati makan siang dengan menu ayam pedas, salah satu makanan khas Banyuwangi, dan salat Dhuhur Ashar jama' takdim, kami bersiap. Dilepas oleh Mas Yanto dan Mbak Rini, berangkatlah kami pada sekitar pukul 14.30. Meninggalkan keramahan dan kehangatan di rumah besar itu.

Mobil pun melaju, menuju Desa Sarongan. Ternyata untuk menuju ke sana, kami harus memasuki kawasan Perhutani PTP XII. Kami mengisi buku tamu di pos satpam, berfoto-foto sebentar, dan membeli kopi bubuk, namanya Kopi Lanang, di kafe di seberang pos satpam. Hutan rimbun dan hijau, penuh dengan pepohonan: karet, sengon, coklat, kopi, dan tebu. Juga bunga-bunga berdaun merah di sepanjang tepi jalan, kontras dengan warna hijau pepohonan dan warna hitam jalanan. 

Hanya sebentar saja kami berkendara di jalan mulus. Setelahnya adalah jalan makadam. Beberapa kali berpapasan dengan mobii double gardan, mobil-mobil pribadi yang lain, bus wisata, dan sepeda motor. Kalau mereka menuju jalan pulang setelah berwisata di Teluk Hijau (Green Bay), kami baru memulai perjalanan 'wisata' kami.

Sekitar satu jam kemudian, sampailah kami di Dusun Kandangan, Desa Sarongan. Pak Zamzuri sudah menunggu di Balai Desa Kandangan. Sebuah mobil 'Land Rover' (dengan tanda petik), sudah menunggu. 'Land Rover' itu sebenarnya adalah Jeep yang dimodifikasi sedemikian rupa, dengan penampilan serupa Land Rover (jauh sih sebenarnya....hehe). Tapi bagaimana pun, mobil itu lebih cocok untuk mengarungi jalanan menuju Sukamade, dibanding Terios kami, meski Terios kami adalah tipe adventure.

Sekitar pukul 17.00, kami berangkat. Drivernya, Pak Imam. Mas Ayik duduk di sebelahnya. Saya dan bu Lusi di jok tengah, bersama bagasi-bagasi kami. Di belakang, di bak terbuka, pak Zamzuri dan Pak Tajudin. Pak Tajudin, pria berpostur kecil itu, adalah peserta Program Banyuwangi Mengajar, yang tugasnya juga di SD 2 Sarongan. Kebetulan dia baru pulang mudik dari Kalibaru, tempat tinggalnya, dan bisa bersama-sama kami menuju Sukamade.

Pak Zamzuri hampir 5 tahun menjadi guru PNS, sejak 2010. Penempatan pertama langsung di SDN 2 Sarongan. Lulusan dari Pondok Pesantren Blok Agung Darussalam, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi. Lanjut D2 PGSD Universitas Ibrahimi, Genteng. Lanjut lagi S1 BK di IKIP PGRI Jember. Beliau adalah guru kelas. Sudah sertifikasi. 

Perjalanan dari rumah Pak Zamzuri ke Sukamade adalah perjalanan yang penuh goncangan. Kami terlempar-lempar ke kanan-kiri, ke atas-bawah. Juga diwarnai gerimis dan hujan deras. Kami kedinginan. Air hujan masuk ke dalam mobil, tampias di mana-mana. Baju-baju kami sebagian basah. Sekitar dua jam kami mengarungi daratan yang naik turun berkelok-kelok dan berbatu-batu. Batu-batunya besar-besar, 'pating pringis' di sana-sini. Sungguh, ini perjalanan yang cukup menguras adrenalin. Lihatlah jurang-jurang menganga itu. Sedikit saja 'Land Rover' ini selip, bisa fatal akibatnya. Kami jadi ingat rute-rute di Sumba Timur dan daerah-daerah 3T yang lain. Benar apa yang diceritakan Mas Yanto tadi. Untuk mencapai Sukamade, medan yang harus ditempuh tidaklah ringan. Bahkan sangat berat. Saya sendiri tidak menyangka akan menempuh perjalanan dengan medan seberat ini. Ya, karena ini di Banyuwangi gitu lho. Masih di Pulau Jawa. Jawa Timur gitu lho. 

Tapi dalam kondisi apa pun, seperti biasanya, saya selalu mengandalkan pikiran positif. Driver yang memegang kemudi ini, meski perawakannya kecil, dia sudah sangat lihai dan hafal medan. Lagi pula, Allah akan selalu melindungi kami. Kami datang ke Sukamade dengan menempuh perjalanan penuh risiko ini dengan niat baik. Bersilaturahim, itu yang pertama. Melihat kondisi Eko Sumargo, itu yang kedua. Melihat kondisi pendidikan di Sukamade dan berbagai permasalahannya, serta mencoba membantu menyelesaikan permasalahan yang ada. Mempelajari adat dan tradisi masyarakat setempat, mengeratkan persaudaraan dan kecintaan serta kepedulian. Bismillah, insyaallah Tuhan Yang Maha Pengasih akan memudahkan semuanya.

"Pak Zam, kayaknya drivernya tidak terlalu berpengalaman nih." Seloroh saya pada Pak Zam. "Coba lihat. Milih jalan saja nggak becus. Masak dari tadi lewat jalan nggronjal-nggronjal terus."

Pak Imam, driver yang ramah dan sopan itu tertawa. "Mboten wonten dalan alus, Bu...", katanya.

Tiba di Desa Sukamade saat adzan maghrib berkumandang. Eko Sumargo, menyambut kami dengan penuh suka cita dan sangat surprised. Dia tidak menyangka kami akan datang, ya, karena tidak ada kabar apa pun yang dia terima tentang rencana kedatangan kami. Begitu pula, kami juga tidak bisa memberikan kabar apa pun pada dia. Sukamade adalah tempat yang terisolir, tidak ada sinyal, kecuali di sebuah tempat di bibir sungai, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari mess guru, tempat tinggal Eko.

Hujan turun terus dengan deras, dan semakin deras. Kami singgah di rumah Kepala Sekolah. Kebetulan Pak Ismaini, kepala sekolah, dan istrinya, sedang ada di Genteng, menengok saudaranya yang sedang kritis di rumah sakit. Kami hanya bertelepon saat di Kandangan tadi. Kepala sekolah dan istrinya meminta maaf karena tidak bisa menemani kami ke Sukamade.

Kami mandi, salat Maghrib dan Isya' jama' takdim, dan menikmati makan malam. Nasi putih, mi instan, dan telor ceplok. Sementara hujan di luar tak kunjung reda, dan  kami sudah mulai berbincang tentang banjir yang sering membuat air sungai meluap, anak sekolah di seberang sungai tidak bisa ke sekolah, sembako krisis karena akses jalan terputus, dan hasil panen serta tanaman tegalan yang rusak. Kami hanya bisa berharap, semoga semuanya itu tidak terjadi lagi, juga tidak terjadi saat ini, di mana kami sedang berada di sini.

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 10 Januari 2015

Wassalam,
LN

Senin, 05 Januari 2015

Jawa Timur untuk Pendidikan Daerah Tertinggal

Siang itu, saya sedang berada di ruang kerja, di Kantor Program Pengembangan Profesi Guru (PPPG) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), saat ponsel saya berdering. Sebuah suara yang cukup saya kenal menyapa dari seberang. Saya langsung teringat pada laki-laki jangkung pemilik suara yang ramah itu. Saya mengenalnya lewat sahabat saya, Ibu Sirikit Syah. Waktu itu, kami, PPPG Unesa, membutuhkan satu narasumber untuk materi keterampilan berkomunikasi dan sosio-kultural. Kami biasanya menggandeng Mas Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos, yang sahabat saya dan Bu Sirikit juga, dan telah banyak mendampingi kami melakukan pengiriman, penjemputan, dan pendampingan para peserta Program Jatim Mengajar (JM) dan Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T). Namun karena pada awal Agustus 2014 yang lalu Mas Rukin berpulang akibat kecelakaan lalu lintas di kawasan Bungurasih, saya mencoba meminta bantuan Bu Sirikit untuk menggantikannya. Pengalaman dan wawasan Bu Sirikit sebagai mantan jurnalis, penulis, pelatih menulis, dosen, telah membawanya blusukan ke berbagai wilayah Tanah Air dan memberinya banyak kesempatan untuk berkunjung ke berbagai negara, ditambah dengan latar belakang pendidikannya yaitu Komunikasi, maka tepat sudah. Tetapi, meski pun Bu Sirikit sangat berminat dan ingin memenuhi permohonan kami, ternyata beliau sedang ada kegiatan lain yang tidak bisa beliau tinggalkan. 

Maka akhirnya jadilah kami diperkenalkan dengan sosok itu, Dr. Suparto Wijoyo. Bu Sirikit memastikan, beliau adalah orang yang sangat cocok untuk topik itu. Pak Parto orang yang sangat berpengalaman, kaya wawasan, atraktif, humble, pergaulannya luas dengan segala kalangan, dan senang berjejaring. 

Akhirnya kami mengundang Pak Parto untuk menjadi salah satu instruktur di kegiatan kami. Dan benar. Seperti itulah adanya. Semuanya cocok dengan yang dideskripsikan Bu Sirikit.      

Dan baru saja, orang itu menelepon. Meminta saya bergabung dengan para guru besar dan doktor dari perguruan tinggi lain serta para tokoh masyarakat dan budayawan, untuk membuat tulisan dengan tema "Jawa Timur Regional Champion, Berkompetisi dalam MEA 2015". Pada dasarnya, buku ini akan menjadi semacam antologi di mana salah satu penulisnya adalah Dr. H. Soekarwo, Gubernur Jawa Timur, yang lebih dikenal dengan nama Pakde Karwo itu.

Seketika saya heran, mengapa Pak Parto meminta saya untuk bergabung menulis dalam buku itu. Keheranan saya sangat beralasan. Saya tidak terlalu dekat dengan Pakde Karwo. Saya sekadar mengenalnya sebagai pejabat, sebagai Gubernur. Saya sekadar tahu bahwa beliau berkumis tebal dan kumis itu menambah kewibawaannya. Saya sekadar hafal wajahnya, bukan hanya karena beliau sering muncul di berbagai media, namun juga karena saya beberapa kali berkesempatan bersemuka dengan beliau. Seingat saya, saya pernah 'nggowes' bersama Pakde Karwo di Tuban saat reuni akbar SMA 2, almamater saya. Waktu itu saya berada dalam rombongan para petinggi panitia reuni dan berada dekat dengan Pakde Karwo dan rombongannya. Saya juga pernah cukup dekat--dalam arti jarak--dengan beliau saat Unesa mengadakan jalan sehat dalam rangka Dies Natalis. Saya, yang pasti, sangat mengenal wajah dan penampilan beliau, meski beliau--saya yakin--tidak mengenal saya sama sekali.

Alasan keheranan saya yang lain adalah, saya--maaf kalau harus saya katakan--tidak ada ketertarikan dengan dunia politik. Sekadar tahu informasi, cukuplah bagi saya. Sesekali berdebat dengan kawan dan nyambung, itu sudah. Saya selalu mengambil posisi menghindar bersentuhan dengan apa pun yang berbau politik, kecuali saat pemilu, saya tetap berusaha untuk menjadi warga negara yang baik dengan ikut voting. Meski beberapa kali ada saja orang yang mencoba menyeret saya dalam pusaran politik, saya tak bergeming. Saya tidak muak dengan politik, tapi saya merasa biarlah orang lain yang menggelutinya dan biarkan saya menggeluti urusan lain yang juga penting. Sesuai porsi masing-masing. 

Setidaknya dua alasan itulah yang menyebabkan keheranan saya ketika Pak Parto mengajak saya untuk menulis tentang Pakde Karwo. Dan seperti memahami pertanyaan saya, Pak Parto menjelaskan kenapa beliau mengajak saya bergabung. Pak Parto bilang, beliau sangat terkesan dengan buku saya "Berbagi di Ujung Negeri." Buku itu saya hadiahkan pada beliau sebagai salah satu tanda terima kasih kami saat Prakondisi SM-3T yang lalu, karena beliau telah membantu kegiatan kami. Sebuah buku yang mengisahkan perjalanan saya mengunjungi berbagai pelosok Tanah Air dalam rangka melakukan pendampingan Program SM-3T. Di buku itu, saya mengabarkan tentang betapa memprihatinkannya kondisi pendidikan di daerah Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, dan Mamberamo Raya. Betapa rendah etos kerja guru dan kepala sekolah, betapa minim daya dukung sekolah, orang tua dan masyarakat, dan betapa mereka sangat membutuhkan sentuhan pemerintah dan pihak-pihak yang mau peduli. Kondisi infrastruktur yang sangat mengenaskan, jalan yang tidak layak dan berbahaya, rumah-rumah dan sekolah yang berlantai tanah, air dan bahan makanan yang susah didapat, anak-anak ingusan yang lapar dan kurang gizi, akses layanan kesehatan yang nyaris mustahil, listrik dan sinyal yang tak jelas keberadaannya, dan kondisi lain yang sungguh membuat hati ini menangis dan bertanya-tanya: inikah Indonesiaku? 

Maka saya pun menerima tawaran Pak Parto dengan suka cita. Kenapa tidak? Menulis adalah hal yang menyenangkan bagi saya. Menulis sesuatu yang baru adalah tantangan. Apa lagi tentang seseorang yang menjadi public figure karena jabatan dan sepak terjangnya. Seseorang yang menjadi orang nomor wahid di Jawa Timur ini. Sebuah provinsi yang menjadi barometer nasional tentang kinerja pembangunan di segala bidang. 


Tulisan selanjutnya, nantikan di Buku Antologi bersama Pakde Karwo yak?

Surabaya, 5 Januari 2015
Wassalam,
LN

Minggu, 04 Januari 2015

Catatan Natal

Akhirnya, saya berada di sini. Di ruang besar ini, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG lantai 9. Dalam acara merayakan Natal bersama mahasiswa PPG dan PPGT Unesa.

Tentu saja saya tidak sendiri. Ada puluhan mahasiswa, yang hampir semuanya mengenakan busana bernuansa merah. Merekalah mahasiswa PPG dan PPGT Unesa. Juga ada Mas Yoyok dan Dik Ucik, dua teman tim ahli PPPG yang nonmuslim. Ada juga Mbak Ully, kasubag PPPG, yang datang bersama putrinya yang cantik. Mbak Ully dan putrinya Muslim, dan nampaknya hanya kami bertiga yang akan menjadi kelompok minoritas dalam ruangan ini.

Beberapa hari yang lalu, Mbak Ully bertanya ke saya. "Ibu, mohon ibu buat teks sambutan nggih, Bu, untuk acara Natal, biar nanti saya yang membacakan sambutan Ibu. Insyaallah saya bisa datang." 

Sebelum saya menjawab, tiba-tiba Dik Ucik muncul. 
"Dik Ucik natalan besok bisa datang?" Tanya saya.
"Bisa, Mbak. Saya usahakan bisa datang."
"Kalau begitu biar bu Ucik saja, Bu, yang membacakan sambutan Ibu." Tukas Mbak Ully.
"Dibuatkan ya, Mbak, sambutannya..." Tambah Dik Ucik.
"Oke." Saya mengangguk. "Insyaallah."

Setelah percakapan sore itu, saya termenung-menung. Kenapa Mbak Ully men-judge saya tidak akan datang pada acara natalan nanti? Padahal dia sebelumnya bertanya pun tidak. Biasanya dia akan memastikan dulu apakah saya akan hadir atau tidak pada suatu kegiatan mahasiswa atau pada acara apa saja, termasuk rapat. Baru kemudian dia akan mencatat apa-apa yang saya perlukan atau yang harus dipersiapkan untuk keperluan kegiatan atau rapat tersebut. Tapi ini, tiba-tiba saja dia meminta saya membuat konsep sambutan pada acara Natal supaya dia bisa membacakannya nanti bila harus mewakili saya memberi sambutan dan membuka acara.

Besoknya, Mbak Ully datang ke ruangan saya dan menanyakan konsep sambutan itu.  
"Saya belum memutuskan apakah saya bisa datang atau tidak, Mbak Ully." Kata saya.
"Oh iya, Ibu... Maaf. Baik, saya tunggu saja nggih kalau gitu kepastian dari Ibu."

Besoknya, Mbak Ully mengirim SMS. "Ibu, dresscode untuk acara natal besok, warna merah atau hijau."

Saya kembali termenung-menung. Merah atau hijau, itu warna khas Natal. Pohon cemara dengan pita-pita, lampu-lampu, topi, hiasan-hiasan, dan ornamen-ornamen khas yang lain. Dan saya mungkin akan berada di sana. Di antara lilin-lilin kecil. Juga lagu-lagu rohani yang mereka lantunkan. 

Tapi tentu saja saya tidak akan turut serta dalam ritual misa atau kebaktian mereka. Saya mungkin akan duduk di ruangan lain. Atau sekadar menjauh dari kelompok mereka. Menunggu sampai mereka selesai melakukan peribadatannya. Baru bergabung lagi di acara selanjutnya. Atau bahkan saya hanya akan sekadar memberi sambutan, menyampaikan ucapan selamat merayakan Natal, untuk kemudian pamit undur diri dan membiarkan mereka melakukan peribadatannya dengan khidmat.

Saya pun meminta pertimbangan pada Mas Ayik, suami saya. "Mas, apakah sebaiknya aku datang atau tidak?"
"Menurutmu bagaimana?" Mas Ayik balik bertanya.
"Menurutku, sepertinya aku harus datang."
"Ya. Kamu datang saja. Kamu mengayomi semua agama di PPPG itu. Muslim maupun nonmuslim. Sekadar mengucapkan selamat merayakan natal, insyaallah tidak akan merusak aqidah. Niatkan demi kerukunan dan saling menghormati."

Saya masih termenung-menung setelah pembicaraan dengan Mas Ayik itu. Memang benar. Mahasiswa PPG, apa lagi PPGT, sangat heterogen. Tidak sedikit dari mereka yang berasal dari wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. NTT, Papua, Sulawesi, Maluku, semua ada di PPPG ini. Dan di sini, saya adalah ibu mereka.  

Sejak kecil, saya didoktrin oleh keluarga, juga oleh lingkungan saya, bahwa mengucapkan selamat Natal hukumnya haram. Saya menerima saja waktu itu. Namun semakin ke sini, saya mulai membaca, berpikir, mempertimbangkan, mengamati, dan pada akhirnya, keputusan saya jatuh pada pernyataan, bahwa sekadar mengucapkan selamat  Natal, hanya sekadar demi kerukunan dan toleransi, tidak akan merusak aqidah. Sebagai orang yang ingin lebih memahami, saya juga membaca berbagai tulisan tentang pro-kontra hukum Muslim mengucapkan selamat Natal pada nonmuslim. Dalam proses itu, juga dari hasil diskusi, saya akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa "ucapan selamat Natal boleh dilakukan oleh para muslim, semata-mata dalam konteks sosial kemanusiaan dan pergaulan kemasyarakatan, bukan keagamaan".

Sebuah tulisan Gus Dur yang saya simpan, juga menguatkan keputusan saya. "Menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama."

Gus Dur juga menulis, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. 

Pada sebuah kesempatan,  Cendekiawan Muslim Salahuddin Wahid (Gus Sholah)juga mengatakan, umat Islam sah-sah saja mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Pasalnya, tidak ada dasar yang melarang Muslim mengucapkan selama Natal. "Mengucapkan selamat Natal adalah bentuk ungkapan saling menghormati antarpemeluk agama."

Menurut Gus Shollah lagi: "Ada yang mengatakan tidak boleh tapi banyak juga yang mengatakan boleh. Biarkan masing-masing mengikuti pendapatnya, intinya ada kebebasan menyikapi sesuatu dan enggak boleh dipaksa." Sebuah pernyataan yang menyejukkan dari seorang Gus Shollah, adik kandung Gus Dur itu. 

Tentu saja tuntunan saya adalah Al-Qur'an dan Hadist, dan panutan saya adalah Rasulullah SAW. Tentu saja, Gus Dur dan Gus Shollah, hanyalah sebagian dari panutan saya yang lain. Bagaimana pun, mereka berdua bukan orang sembarangan, meski sebagaimana manusia biasa, mereka tidaklah selalu sempurna. Namun dalam hal ini, saya sangat sepaham dengan sikap dan perkataan mereka tentang Natal. Sikap dan perkataan yang mustinya sudah mereka kaji secara mendalam dan mendasarkan diri pada tuntunan Al-Quran dan Hadist. Sikap dan perkataan yang memberikan kesejukan bagi kehidupan masyarakat  kita yang sangat plural ini. Sikap dan perkataan yang mengekspresikan kesantunan dan kelembutan hati Muslim yang taat pada ajaran agamanya, Islam, sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
  
Dan akhirnya, saya berada di sini. Di ruang besar ini, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG lantai 9. Dalam acara merayakan natal bersama mahasiswa PPG dan PPGT Unesa.

Saya pikir, hanya akan ada saya, Mbak Ully dan putrinya, di ruang ini. Saya pikir, tidak akan ada yang lain, khususnya mahasiswa PPG atau PPGT yang muslim, hadir di sini. Ternyata saya salah. Tak berapa lama, datang dua mahasiswa, Taman Walid Romadhon dan Suryadi. Saya agak surprised. Tamam, mahasiswa berjenggot itu, adalah seksi kerohanian di kepengurusan PPG angkatan kedua ini. Dia jebolan UKKI. Aktif sebagai takmir masjid. Sering 'kedapuk' jadi imam pada saat salat berjamaah, dan sering menjadi pemimpin doa dalam berbagai acara.

Dan saat ini, dia ada di sini. Menyalami teman-teman nonmuslimnya. Memberi sambutan, mewakili pengurus mahasiswa PPG, dan mengucapakan: "selamat merayakan Natal, semoga damai dan sejahtera selalu untuk kita semua." 

Dalam sambutan saya, saya berbagi cerita. Ketika suatu ketika, saya dan tim terdampar di pelosok Sumba Timur,  Maluku Barat Daya, dan Papua. Tidak bisa dihindari, saya tidur di rumah bapak camat yang nonmuslim, saya makan malam di rumah bapak pendeta, saya harus berdialog dengan para kepala suku yang entah beragama apa. Begitu banyak kendala di lapangan, transportasi, logistik, bahkan komunikasi, dan para pemuka adat dan gereja itu berada di baris terdepan membantu mengatasi semuanya. "Bagaimana mungkin kita bisa saling melukai, tidakkah kita bisa merasakan, betapa indah sebuah persaudaraan?" Begitu selalu yang saya pikirkan. Menghayati ketulusan mereka, kepedulian mereka, saya seringkali seperti tidak percaya, bagaimana kita bisa bersitegang bahkan saling menumpahkan darah di antara kita, hanya karena hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab? "Jadi, mari kita lebih merekatkan tali persaudaraan, dengan tetap memegang teguh setiap keyakinan dan agama kita masing-masing, namun senantiasa saling menghargai, saling menghormati. Agama apa pun mengajarkan kasih sayang, dan sudah seharusnya kita saling mengasihi dan menyayangi. Selamat merayakan Natal, damai dan sejahtera selalu untuk kita semua." Begitu kata-kata saya menutup sambutan.

Ketika mengucapkan hal itu, saya teringat Gus Ipul (Syaifullah Yusuf, Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur)yang mengucapkan hal yang sama di sebuah stasiun radio. Saya juga teringat pada laporan liputan natal di berbagai stasiun TV dan surat kabar, di mana para Banser NU (Barisan Ansor Serbaguna Nahdhatul Ulama) yang secara sukarela menjaga gereja-gereja untuk memastikan para pemeluk Nasrani aman dan tenang menjalankan ibadah mereka. Bahkan diberitakan, Banser NU adalah organisasi yang paling sibuk saat Natal tiba. Mereka bergerak merapatkan barisan untuk menjaga gereja-gereja dan tempat-tempat di mana pun para umat Kristiani itu melakukan misa. Di Bandung, Surakarta, Bali, NTT, di mana-mana di seluruh Indonesia. Bagi saya pribadi, betapa indahnya menghayati kebersamaan dan kepedulian itu, meski sejatinya ada perbedaan di antara kita. 

Sayang sekali, kami yang Muslim tidak bisa berlama-lama untuk berada di ruangan auditorium ini. Waktu salat maghrib tiba, oleh sebab itu kami harus mohon izin sebelum acara usai. Kami menyalami bapak pendeta, para dosen, dan para panitia, sambil meminta maaf karena tidak bisa bergabung dalam acara selanjutnya.

Begitu keluar dari pintu lift di lantai 1, saya dikejutkan oleh serombongan mahasiswa PPG yang semuanya berpenampilan rapi. Mereka, para muslimin dan muslimat itu, datang untuk menghadiri perayaan Natal bersama teman-temannya di lantai 9. Wajah mereka semua cerah, dan senyum manis tersungging di wajah-wajah itu.

"Kok baru datang?" Sapa saya.
"Ya, Ibu. Kami sekalian menunggu salat maghrib dulu. Supaya lebih leluasa waktu kami untuk bersama teman-teman merayakan Natal."

Subhanallah. Pengalaman hidup di antara kaum nonmuslim dan bahkan kaum tak beragama selama setahun di daerah penugasan saat mengikuti Program SM-3T, ditambah dengan pengalaman bergaul dengan teman-teman mereka dari berbagai suku dan agama di asrama PPG, menjadikan mereka semua lebih terbuka dalam menyikapi perbedaan. Meningkatkan kemampuan untuk menerima dan menghormati keberagaman. Mengembangkan kepedulian dan kesetiakawanan. 

Tidak salahlah apa yang dikatakan ketua panitia dan pembawa acara tadi. Bahwa meski pada saat Natal kali ini mereka jauh dari keluarga, namun mereka merasakan betapa Natal bagi mereka tidak kalah bermakna dan berkesannya. Karena mereka tetap bisa merayakannya bersama 'orang tua' mereka di sini, serta bersama 'saudara-saudara' mereka di sini pula. Dalam kebersamaan itu, mereka belajar untuk saling menghargai, saling menghormati, saling peduli.

Sungguh indah. Mata saya sampai berkaca-kaca menikmati keindahan ini. Dalam balutan senja dan alunan adzan maghrib, saya bertiga, bersama Tamam dan Suryadi, melangkah menuju musala yang terletak di sebuah sudut di lantai 1. Berjamaah menunaikan salat, tentu saja, dengan Tamam sebagai imamnya. Di atas kami, suara mereka riuh rendah, namun tak mampu mengacaukan kekhusukan kami di sini. 

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 16: 18).


Surabaya, 27 Desember 2014

Wassalam,
LN