Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 06 April 2015

Kabar Duka Dari MBD (4): Dihormati sebagai Pahlawan

Pagi masih gelap ketika saya keluar dari kamar di lantai 7, turun ke lobby, dan meminta tolong resepsionis untuk memanggilkan taksi. Semalam, rapat dengan P2TK Dikdas, terkait dengan persiapan perekrutan calon pendidik yang akan ditugaskan di Sabah dan Mindanau, selesai, dan pagi ini kami bisa checkout dari Golden Boutique Hotel di kawasan Blok M Melawai ini.

Sampai di lounge Bandara Soekarno Hatta, sebuah telepon masuk. Dari Prof. Supriyadi Rustad, Direktur Direktorat Pendidik dan Tenaga Pendidikan. Sejak kemarin beliau telah beberapa kali menelepon saya untuk meminta update perkembangan upaya pencarian Moh. Isnaeni. Kami juga sudah dua kali bersurat kepada beliau untuk mengabarkan kondisi secara tertulis. Kondisi di lapangan saya mintakan ke Wahyu dan beberapa petugas di MBD, termasuk asisten bupati.

"Bu Luthfi, terima kasih untuk laporan tertulisnya yang sudah kami terima. Perkembangan terakhir bagaimana, Bu Luthfi?" Begitu tanya Pak Direktur.

"Inggih, Bapak. Kemarin sore Isnaeni sudah ditemukan, meninggal."

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un."

"Keluarga sudah diberitahu juga, Bapak. Juga sudah ikhlas jika jenazah Isnaeni tidak bisa dibawa ke Jawa karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan."

"O begitu. Baik. Terus rencana selanjutnya?"

"Kami sudah berkoordinasi dengan Pemda. Kalau perjalanan normal, kapal yang ditumpangi Tim Unesa dan keluarga Isnaeni baru tiba di Tiakur besok, Bapak. Tapi rencananya, sebelum sampai Tiakur, rombongan akan turun, untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tiakur dengan menumpang speedboat. Bila kondisi laut memungkinkan, maka sore atau malam nanti, rombongan bisa tiba di Tiakur. Sementara jenazah Isnaeni pagi ini akan dibawa dari Pulau Luang ke Tiakur. Sampai di Luang diperkirakan sore hari juga. Dengan demikian, pemakaman Isnaeni bisa dihadiri oleh Tim Unesa dan keluarga Isnaeni."

"Pagi tadi, Kepala Dinas Pendidikan dan Asisten Bupati sudah menelepon saya, bahwa jenazah akan dishalatkan di rumah Bapak Kepala Dinas, dipimpin oleh imam masjid Tiakur. Begitu juga dengan acara tahlilan, semuanya sudah disiapkan di rumah kepala dinas." Saya menambahkan.

"Baik, Bu Luthfi, terima kasih. Sekitar pukul 08.00 ini nanti, kami akan konferensi pers."

Sementara menunggu boarding, saya berkoordinasi dengan Bu Yanti, PD II PPPG, tentang rencana ke rumah keluarga Isnaeni di Jember. Sayang sekali hari-hari ini Tim PPPG sedang tersebar di berbagai wilayah untuk menjalankan tugas monev SM-3T dan Jatim Mengajar. Maka saya memutuskan, saya yang akan berangkat ke Jember, mungkin dengam Bu Ully, kasubag PPPG. 

Begitu turun di Terminal 2 Bandara Juanda, saya bersama Bu Ully, Anang dan Juliar, langsung meluncur menuju Jember. Sebenarnya tubuh saya lelah sekali, tapi keperluan ke Jember juga tidak baik kalau ditunda. Sore atau malam ini Isnaeni akan dikuburkan. Sementara ayah dan kakaknya masih berada di MBD untuk menghadiri pemakamannya, biarlah kami yang di sini menemani Ibunda Isnaeni yang pasti sedang dirundung duka mendalam karena kehilangan anak bungsu tercintanya, tanpa bisa menyaksikan pemakamannya.

Sekitar pukul 16.30, kami sudah tiba di rumah duka, di Desa Balung Kulon, Jember. Dipandu oleh tiga peserta SM-3T angkatan pertama, yang kebetulan mereka berasal dari Jember dan Banyuwangi. 

Rumah duka itu, menempel pada sebuah sekolah. Di sekolah itulah Bapak Ali Mashar, ayah Isnaeni, mengajar sebagai guru agama. Saat saya menelepon beberapa hari yang lalu, untuk mengabarkan tentang musibah yang menimpa Isnaeni, beliau juga sedang berada di kelas, dan suara anak-anak sekolah terdengar begitu jelas.

Puluhan pentakziyah memenuhi rumah duka. Begitu kami tiba, mereka berdiri menyalami kami. Di atas tikar yang digelar di ruang tamu yang tidak luas itu, duduk seorang perempuan setengah baya, bergamis dan berhijab. Matanya sayu, kelopak matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, namun masih tersisa kepasrahan dan ketegaran terpancar dari wajahnya yang berduka. Dia mengulurkan tangan saat saya mendekat, dan dengan sepenuh hati, saya memeluk tubuhnya. 
"Nderek belosungkowo, nggih, Bu..." Saya merasakan tubuhnya bergetar. "Ikhlas nggih, Bu, insyaallah Mas Isnaeni chusnul chotimah. Mas Is gugur sebagai syuhada."
"Inggih, Bu. Amin. Matur nuwun." Ucapnya lirih.

Kami duduk di atas tikar, menemani ibunda Isnaeni menyambut para pentakziah yang datang silih berganti. Beliau memperkenalkan saya pada tamu-tamunya sebagai dosennya Isnaeni. 

Sementara itu, update situasi di MBD terus saya terima, bergantian dari Pak Gayus dan Bu Maria. Beberapa waktu yang lalu, mereka semua bersama masyarakat Tiakur, sedang berada di pelabuhan, menunggu jenazah Isnaeni. Saat ini, jenazah sudah tiba, dan sedang disemayamkan di rumah Kadis, sambil menunggu rombongan keluarga datang. 

Saya sempat berkomunikasi dengan Wahyu, apakah di Tiakur banyak muslimnya. Wahyu bilang, tidak banyak, tetapi ada masjid dan ada imam masjid yang akan memimpin salat jenazah. Juga ada puluhan peserta SM-3T dari Unesa dan UNP yang sengaja datang ke Tiakur untuk bisa ikut menyalatkan jenazah Isnaeni dan memberikan penghormatan terakhir pada rekan seperjuangan mereka itu. 

Sejujurnya, sebagai wilayah yang masyarakatnya mayoritas pemeluk Nasrani, saya mengkhawatirkan nasib jenazah Isnaeni. Namun Wahyu memastikan, di Tiakur ada komunitas muslim, dan mereka sudah berpengalaman menangani pemakaman orang muslim.

Saat upacara pemakaman berlangsung, Pak Gayus sengaja menghubungi saya, dan membiarkan saya mendengar dan mengikuti prosesi tersebut beberapa saat. Dipimpin oleh Asisten Bupati (karena Bupati dan Kepala Dinas sedang ada di Ambon), dan dihadiri oleh semua pejabat MBD, aparat,  serta masyarakat luas, Isnaeni dihormati sebagai pahlawan. Bendera Merah Putih dihamparkan sebagai penutup peti jenazahnya, sekaligus sebagai penutup kuburnya. Mas Heru juga mengabarkan, di samping keihlasan dan kerelaan kehilangan putra tercintanya, ayah dan kakak Isnaeni juga merasa sangat lega dan berbangga, karena Isnaeni mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi dari Pemda MBD dan seluruh masyarakat. 

Maghrib menjelang, dan kami pamit pada Ibunda Isnaeni. Senja yang meredup mengantarkan perjalanan kami kembali menuju Surabaya. Ada kesedihan yang amat sangat di hati, namun bagaimana pun, Allah SWT telah memberikan petunjuk dan kemurahan-Nya. Meski Isnaeni ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa, Allah masih memperkenankan ayah dan saudaranya untuk melihatnya pada detik-detik terakhir dia dimakamkan. Juga menyaksikan betapa Pemda dan masyarakat MBD memberikan penghargaan dan memuliakannya sebagai sosok yang dicintai. Semoga Isnaeni mendapatkan kemuliaan dan kecintaan juga di sisi Sang Khalik, Pemilik Tunggal atas Semua Makhluk. Amin.

Surabaya, 27 Maret 2015

Kamis, 02 April 2015

Kabar Duka Dari MBD (3): Isnaeni Ditemukan

Sejak pagi saya terus memantau perkembangan upaya pencarian. Wahyu dan Bapak Gayus juga memberikan laporannya dari waktu ke waktu. Sementara itu, Bapak Agus Susilohadi, Kasubdit Program dan Evaluasi Direktorat Diktendik, meminta update informasi juga.

Maka siang hari, berdasarkan hasil koordinasi saya dengan Pak Heru dan Pemda MBD semalam, juga dengan Wahyu, saya menulis laporan ke Dikti. 

"Yang saya hormati, Bapak Direktur Dit. Diktendik. Berdasarkan informasi dari Wahyu Puspita Ningtyas, peserta SM-3T Unesa yang bertugas di Tiakur, kronologis peristiwa musibah tersebut adalah sebagai berikut: 
Senin, 23 Maret 2015, kapal perintis Sabuk Nusantara 43 dari Pulau Sermata dijadwalkan tiba di Pulau Luang sekitar pukul 23.00 WIT. Karena musim barat, kapal Sabuk 43 berlabuh di Pulau Kelapa yg berjarak sekitar 13 mil dari desa Luang Barat. Karena jarak yang lumayan jauh, perahu motor berukuran GT 6 yang dikemudikan oleh Fendi Hayer membawa 13 penumpang, termasuk Kepala Desa Luang Barat, 2 orang guru SM-3T yang bertugas di SMP Illimarna Luang Barat--mereka akan menuju ke ibukota kabupaten untuk sosialisasi UN--berangkat dari kampung pukul 21.00 WIT. Setelah sampai di Pulau Liakra sekitar pukul 22.00 WIT, perahu motor tersebut berencana menuju ke daratan karena jarak antara Pulau Liakra dan tempat kapal berlabuh masih cukup jauh dan ombak cukup besar. Belum sampai di daratan, ombak setinggi 3 meter menerjang perahu motor dari arah samping dan mengakibatkan perahu terbalik. Kejadian itu diketahui mengakibatkan 11 orang selamat, termasuk bapak Kades dan 1 guru SM-3T bernama Renzy Dea Anggraeni--sarjana Pendidikan Olah Raga. Sedangkan 3 orang hilang, termasuk 1 guru SM-3T bernama Mohammad Isnaeni, sarjana pendidikan Matematika, alumni Universitas Muhammadiyah Jember. Pada pagi hari pencarian dilakukan terhadap 3 korban yg hilang. Sekitar pukul 07.00 WIT,  1 korban perempuan ditemukan tersangkut di tali agar-agar dan diketahui bernama Elvi Selviana warga Jawa Barat yang bekerja di Luang Barat sebagai sales alat-alat therapi. Dan pada pukul 10.00 WIT ditemukan 1 korban lagi, laki-laki, warga Luang barat bernama Bapak Poly Palpialy, seorang pensiunan Dinas Penerangan di Tual. Sampai tanggal 24 Maret pencarian terus dilakukan terhadap Mohamad Isnaeni. Dan pada pukul 17.00 WIT ditemukan celana pendek yang dipakai korban saat kejadian, yang berjarak 200 meter dari tempat kejadian. Hingga sampai tanggal 25 Maret pagi ini, korban belum juga ditemukan dan pencarian terus dilakukan.

Tim dari Unesa, atas nama Drs. Heru Siswanto, M.Pd dan Febry Irsyiato W.U, S.Pd., M.Pd, pada hari Selasa, 24 Maret 2015, pukul 21.00 WIB, bertolak ke Ambon. Selanjutnya, Rabu, 25 Maret 2015, satu tim dari Unesa juga, Drs. Abdur Rahman Syam Tuasikal, M.Pd., bertolak ke Ambon, bersama keluarga Mohamad Isnaeni, yaitu Bapak Ali Mashar (ayah) dan Mohamad Nadir (kakak).  Selanjutnya pada hari itu juga, pukul 20.00 WIB, tim dan keluarga Isnaeni bertolak ke MBD dengan menumpang Kapal Feri Marsela. Kapal dijadwalkan tiba di Tiakur pada hari Sabtu, 28 Maret 2015. Dari Tiakur, perjalanan menuju Luang, lokasi kejadian musibah, masih memerlukan waktu sekitar 5 jam dengan menumpang speedboat, atau sekitar 9 jam dengan menumpang kapal.

Berdasarkan hasil koordinasi pengelola SM-3T Unesa dengan Pemda Kabupaten MBD, bila kemungkinan terburuk yang terjadi, yaitu Mohamad Isnaeni ditemukan dalam keadaan meninggal, Pemda MBD akan menunggu kedatangan tim Unesa dan keluarga korban di lokasi penemuan, dan selanjutnya akan memfasilitasi pengangkutan jenazah sampai kepada keluarga korban di Jember. 

Sampai tadi malam, dan siang ini, berdasarkan hasil komunikasi pengelola SM-3T Unesa dengan Kepala Dinas Kabupaten MBD dan Wahyu Puspita Ningtyas, upaya pencarian masih nihil. 

Demikian hal-hal yang bisa kami laporkan, bila ada perkembangan baru, akan segera kami laporkan secepatnya. 

Terima kasih atas perhatian dan dukungannya."

***

Sore pukul 16.30. Sebuah dering mengejutkan saya. Bukan dering teleponnya, tapi kabar yang saya terima. Wahyu di seberang sana kembali menangis hebat.
"Ibu, Mas Isnaeni sudah ditemukan. Ibu....Mas Isnaeni sudah meninggal......"

Saya kembali terduduk lemas di kursi di ruang rapat. Tangan saya kembali gemetaran memegang ponsel. Mata saya mendadak kabur karena air mata saya tumpah meski saya berusaha menahan kuat-kuat kesedihan saya.

"Wahyu, kamu tenang...." Saya menguatkan Wahyu sekaligus diri saya sendiri. "Kamu tenang dulu, baru kamu bercerita lagi."

"Ibu, Mas Isnaeni sudah ditemukan. Meninggal. Jasadnya sudah tidak memungkinkan untuk dibawa ke Jawa." Wahyu menjelaskan lagi setelah dia tenang.

"Baik, Wahyu."

Pikiran saya melayang pada rombongan yang sedang di atas kapal. Perkiraan normal, kapal akan tiba di Pulau Sermata pada hari Sabtu, artinya dua hari lagi. Dari Sermata, masih perlu waktu sekitar dua jam untuk menyeberang ke Pulau Luang dengan menumpang kapal kecil. 

Sementara jenazah tidak mungkin untuk menunggu. Bukan hanya karena kondisinya, namun juga memang seharusnya jenazah itu segera dikuburkan. Namun bagaimana kami bisa memutuskan, sementara keluarga Isnaeni masih di tengah samudra, dan tidak ada sinyal?

Seperti menjawab kegundahan saya, Wahyu menyampaikan, kalau staf dinas sudah berhasil berkomunikasi dengan Pak Heru via Ratelda dan alat komunikasi kapal. Wahyu mengabarkan kalau orang tua Isnaeni sudah diberi tahu tentang kabar Isnaeni meninggal, dan beliau sudah ikhlas kalau jasad Isnaeni tidak bisa dibawa ke Jawa.

Bapak Ali Mashar, ayahanda Isnaeni, adalah seorang guru agama. Saya belum pernah bertemu beliau, hanya mendengar suaranya dari percakapan via telepon. Namun saya membayangkan, beliau adalah seorang ayah yang ikhlas dan tegar, dan bisa menerima musibah ini sebagai bagian dari skenario Allah yang telah digariskan untuk putra bungsu tercintanya, Mohamad Isnaeni.

Saya sedikit lega. Lega karena keluarga Isnaeni sudah tahu kabar tersebut. Lega juga karena beliau mengikhlaskan Isnaeni dikuburkan di MBD. Sebuah tempat yang jauh di sana. Di tempat di mana dia mengabdikan diri sampai akhir hayatnya. Dekat dengan anak-anak sekolah dan masyarakat yang mencintainya. 


Jakarta, 26 Maret 2015.

Salam,
LN

Rabu, 01 April 2015

Kabar Duka Dari MBD (2): Tim Menuju MBD

Pagi ini saya terbang ke Jakarta untuk memenuhi undangan P2TK Dikdas, mengikuti rapat persiapan perekrutan guru ke Sabah dan Mindanau. Meski pikiran saya terus diliputi kekhawatiran, tapi saya tidak mungkin meninggalkan rapat penting tersebut. Rapat yang menyangkut peluang keterlibatan para lulusan PPG SM-3T untuk menjadi pengajar bagi anak-anak Indonesia di wilayah perkebunan dan pedalaman di dua negara tetangga itu. Mereka adalah anak para TKI yang memerlukan perhatian serius menyangkut layanan pendidikan mereka.

Sementara itu, kabar tentang tenggelamnya Isnaeni sudah menyebar ke seantero dunia, khususnya dunia SM-3T. Direktur Dit. Pendidik dan Tenaga Pendidikan, Dirjen Dikti, Prof. Dr. Supriadi Rustad,  sudah menelepon saya beberapa kali dan meminta kami terus meng-update informasi. Saya sendiri sudah membuat laporan secara tertulis kemarin, dan siang ini saya akan membuat laporan lagi, karena Direktur memerlukannya untuk bahan konferensi pers. Beberapa wartawan sudah menghubungi saya dan saya melayaninya dengan setengah hati. Bukan hanya karena kesedihan yang melingkupi saya. Kalau ada seseorang yang menelepon dan mengaku wartawan dari sebuah harian, siapa yang menjamin kalau dia benar-benar wartawan? 

"Assalamualaikum teman-teman, kami yg di MBD mohon doanya agar teman kita M. Isnaeni segera ditemukan. Amin. Tadi malam perahu motor yg ditumpangi teman kita, Renzy Dea dan M. Isnaeni, bersama 12 warga yg lain,  terkena ombak setinggi 3 meter, dan mengakibatkan perahu motor terbalik. Renzy dan Mas Isnaeni akan mengikuti sosialisasi UN di kabupaten. Mereka berangkat jam 21.00, tapi sekitar jam 22.00, perahu terbalik.
Ke-11 orang termasuk Renzy bisa selamat karena mereka bisa berenang, sedangkan 2 orang, 1 orang perempuan dari Jawa (sales kosmetik) dan 1 warga lagi ditemukan sudah meninggal. Sekarang tinggal mas Isnaeni yg belum ditemukan. Saya dan pemerintah di sini sudah berkoordinasi, bupati, Tim SAR dan saya masih terus standby mencari informasi dari Radio Telekomunikasi Daerah (satu-satunya alat telekomunikasi kita di sini). Kami minta doanya dari teman-teman semua, semoga mas Isnaeni cepat ditemukan, amin."

Begitulah bunyi status Wahyu di dinding akun FB-nya. Ratusan komentar bertebaran, yang semuanya bernada harapan dan doa untuk keselamatan Isnaeni. Puluhan SMS saya terima dari para koordinator SM-3T LPTK lain dan juga dari para peserta SM-3T mulai angkatan pertama sampai keempat. 

Malam ini, pukul 20.00, sementara saya rapat di Lantai 2 Hotel Golden Boutique, Pak Heru dan Pak Febry mendampingi keluarga Isnaeni menuju MBD, mengarungi Laut Banda, menumpang Kapal Feri Marsela. Pak Rahman standby di Ambon, menjaga kemungkinan Isnaeni segera ditemukan dan dibawa dengan kapal cepat ke Ambon esok harinya oleh Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan. Ya, siapa tahu? Berbagai kemungkinan memang bisa saja terjadi, dan kami harus bersiap mengantisipasinya.

Sementara simpati dari Pemerintah MBD terus mengalir di ponsel saya. Bapak John (Kepala Dinas Pendidikan), Ibu Maria (staf Dinas Pendidikan), Bapak Gayus (mantan Camat Mdona Hyera, pulau yang ditempati Isnaeni), dan dari beberapa kepala sekolah, guru, dan juga bapak pendeta, terus mengabarkan progres upaya pencarian. Tentu saja mereka sendiri sebenarnya tidak sedang berada di lokasi musibah, karena di sana tidak ada sinyal. Mereka memantau berita dari Ratelda, dan meneruskan berita itu kepada saya.

Sejak kemarin, Bupati sudah mengirimkan Tim SAR untuk menuju Luang. Puluhan kapal kecil milik masyarakat berpartisipasi melakukan pencarian. Mereka tidak hanya melihat dari permukaan, tapi juga menyelam. Meski tidak mudah melakukan upaya tersebut karena terhalang cuaca dan gelombang yang buruk, namun kesungguhan mereka bentul-betul menyentuh keharuan saya. Saya tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan, tapi saya bisa membayangkan dari laporan yang dikirimkan dari Wahyu, Pak John, Bu Maria, dan Pak Gayus. Mereka semua mencintai Isnaeni, mencintai guru yang telah mengabdikan diri di Negeri Kalwedo selama sekitar enam bulan itu. Mereka mencintai sosok rendah hati dan gigih itu sebagai pahlawan pendidikan mereka, dan terus berharap masih ada kesempatan untuk menemukannya dalam keadaan hidup.

Ya, sebuah harapan yang kecil kemungkinan akan terjadi. Namun Allah Maha Memberi Keajaiban. Dan tidak menutup kemungkinan, keajaiban itu akan mewujud.

Jakarta, 25 Maret 2015

Salam,
LN

Kabar Duka Dari MBD (1): Kapal Tenggelam

Kami berduka lagi. Setelah kehilangan mahasiswa PPG, Syahru Romadoan, pada 14 Maret 2015 yang lalu, pagi ini, saya dikejutkan oleh kabar duka yang disampaikan Pak Rahman melalui telepon. Waktu menunjukkan pukul 05.30, masih sepi, namun saya seperti mendengar petir di siang bolong begitu Pak Rahman menyampaikan, ada peserta SM-3T Unesa yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), tenggelam.

"Katanya kapalnya semalam tenggelam, Bu. Anak kita ada dua, Renzi dan Is. Renzi sudah ditemukan, dalam keadaan luka-luka. Is sampai hari ini belum ditemukan."

Saya nratap. Jantung saya berdebar-debar kencang. Tangan dan kaki saya terasa nggreweli. Saya masih sempat berharap, ini hanya kabar burung saja.

"Bapak dengar kabar dari siapa?"
"Dari Wahyu yang bertugas di Tiakur."

Saya baru saja bertelepon dengan Wahyu kemarin siang. Juga dengan kepala dinas pendidikan MBD. Wahyu Puspita Ningtyas, adalah satu-satunya peserta SM-3T yang bertugas di MBD yang di tempatnya ada sinyal. Selebihnya, sembilan belas peserta yang lain, berada di wilayah yang tidak ada sinyalnya.

Tak berpikir panjang, saya langsung menelepon Wahyu. Dan saya semakin syok mendengar suaranya yang sudah tidak jelas karena berbaur dengan tangisannya yang pecah berantakan. 

"Semalam, Ibu....sekitar jam sepuluh, Mas Is dan Renzi, naik kapal bodi, mau ke Kapal besar, tapi kapal bodinya tenggelam diterjang ombak. Renzi sudah ditemukan, tapi Mas Is sampai sekarang belum, Ibu... Ini saya di Ratelda, Ibu, saya standby di sini untuk memantau perkembangannya...." Suara Wahyu terputus-putus, sesenggukan, meraung-raung panik. Saya berusaha menenangkannya, meski air mata saya sendiri tumpah tak terbendung. 

Di sebagian besar pulau di MBD, kapal besar, yang sebagian besar adalah kapal perintis, juga kapal feri, tidak bisa merapat karena tidak ada pelabuhannya. Masyarakat yang akan mendekat ke kapal besar, harus naik kapal kecil, mereka menyebutnya kapal bodi, menuju ke arah tengah laut, di tempat kapal besar itu berhenti. Sekedar menitip sesuatu atau mengambil sesuatu dari kapal, atau mau menumpang kapal ke tujuan tertentu, laut harus diarungi dulu.

Saya berusaha menelepon kepala dinas, tak berhasil. Lantas saya menelepon Pak Sulaiman dan Bu Yanti, mengabarkan musibah tersebut. Menghubungi semua tim ahli dan staf PPPG. Meminta mereka semua menyiapkan berbagai hal yang mungkin diperlukan. Alamat Mohamad Isnaeni-- nama peserta yang tenggelam itu--data asal LPTK-nya,  nomor kontak keluarga, dan juga bersiap untuk kemungkinan terburuk. 

***

Pagi ini tiba-tiba saja dunia saya terasa penuh kabut. Kesedihan seperti tak tertahankan. Saya menangis sepuasnya demi mengurangi beban yang menyesak. Sungguh, dalam kondisi seperti ini, saya benar-benar 'hanya seorang ibu'. Meski sudah memperhitungkan kemungkinan seperti ini bisa terjadi, sebagaimana musibah yang dialami oleh dua peserta SM-3T dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang tenggelam di Aceh sekitar dua tahun yang lalu, namun saya tak membayangkan musibah ini akan menimpa kami juga. Sambil manahan tangis, saya menelepon Wahyu lagi.
"Wahyu, apakah Isnaeni tidak mengenakan pelampung?"
Di sela-sela tangisnya yang masih belum reda, Wahyu menjawab. "Tidak, Ibu.....teman-teman sering tidak pakai pelampung sekarang ini, Ibu...."
"Baik, terima kasih." Saya tidak berkata-kata lagi. Hari ini adalah hari naasnya Isnaeni. Bahwa kebetulan dia tidak mengenakan pelampung saat menumpang kapal kecil itu, ini hanyalah sebuah kebetulan. Saya tidak ingin menyesali, kenapa dia tidak memakai pelampung, meskipun sebenarnya, pelampung sudah kami sediakan.

Namun sejurus kemudian, saya menelepon Wahyu lagi. "Wahyu, tolong sampaikan ke teman-teman, selalu pakai pelampung. Memang betul semua sudah takdir kalau sudah saatnya. Tapi setidaknya, ada upaya kita untuk masalah safety. Tolong, Wahyu. Bilang ke teman-teman, jangan merasa sudah cukup beradaptasi, jangan merasa malu pakai pelampung, tolong ya?"

Pagi ini saya ingin berbagi tugas dengan Pak Sulaiman. Saya meminta dia untuk menelepon keluarga Isnaeni. Nomor ponsel Bapak Ali Mashar, ayahnya Isnaeni, sudah saya peroleh. Apa pun yang terjadi, kami harus segera memberi tahu beliau. Tapi saya tidak sanggup untuk melakukannya.

Pak Sulaiman menyanggupi, namun sekitar pukul 09.00, seusai dia ngajar. Itu pun, dia meminta saya ada di dekatnya, supaya bila ayah Isnaeni bertanya-tanya, saya bisa membantu menjawabnya.

Sekitar pukul 08.30, akhirnya saya putuskan, saya yang menghubungi Pak Ali Mashar. Saat ini, informasi apa pun begitu cepat beredar, dan saya khawatir, Pak Ali Mashar akan mendengan dari orang lain sebelum saya memberi tahunya.

Maka dengan tangan gemetar, saya mengangkat telepon, mengirim SMS, "apakah betul ini nomor Bapak Ali Mashar?"

Tak berapa lama, ponsel saya berdering. "Sopo iki?" Suara di seberang.
"Ini Pak Ali Mashar?" Saya balik bertanya.
"Iya, siapa ini?"
"Bapak, saya Luthfiyah, koordinator SM-3T Unesa." Suara saya bergetar, tangan saya gemetaran memegang ponsel. "Bapak, saya ingin mengabarkan, Isnaeni semalam naik kapal, dan kapalnya tenggelam. Sampai saat ini, Isnaeni belum ditemukan." Suara saya tercekat di tenggorokan. Saya berusaha membuat suara saya setegar mungkin. Tapi laki-laki di seberang sana itu tak merespon kata-kata saya. Saya sedang membayangkan, beliau kaget, sedih, tak percaya,' kamitenggengen', sampai tak mampu bersuara.

"Bapak, saya harus segera mengabarkan ini pada Bapak, supaya kita semua di sini bisa bersama-sama berdoa, agar Isnaeni segera ditemukan dan dalam keadaan selamat."
"Iya, iya, amin." Akhirnya beliau menjawab.

"Begitu nggih, Bapak, sementara kabar dari saya, kalau ada kabar baru lagi, saya segera matur pada Bapak."

Pembicaraan saya tutup dengan salam. Saya terduduk lemas di kursi. Dalam kondisi limbung, saya menelepon Mas Nardi, petugas tiket. Saya minta dia cek jadwal pesawat ke Ambon hari ini. Dapat. Ada penerbangan pukul 21.00 menuju Ambon transit Ujungpandang, dan tiba di Ambon besok pagi pukul 06.00 waktu Ambon. Saya memesan dua tiket atas nama Heru Siswanto dan Febry Irsiyanto, dua teman tim PPPG yang sebelumnya sudah saya pastikan dulu kesanggupannya untuk berangkat ke Ambon.

Sore hari, saya menelepon Bapak Ali Mashar.
"Bapak, kalau Bapak ngersakke ke MBD, bisa kami dampingi."
"O begitu? Saya runding dulu dengan keluarga, Bu."

Akhirnya malam itu diputuskan, Pak Ali Mashar akan berangkat bersama Mohamad Nadir, Kakak Isnaeni. Beliau berdua menumpang travel dari Jember pukul 20.00, dan langsung menuju Bandara Juanda. Besok pagi, Pak Rahman Syam Tuasikal, akan mendamping beliau berdua terbang ke Ambon.


Surabaya, 24 Maret 2015

Salam,
LN

Minggu, 15 Maret 2015

Hotel Sampang

Sebetulnya namanya bukan Hotel Sampang. Tapi untuk lebih mudahnya, juga untuk menyembunyikan identitas hotel tersebut, saya menyebutnya Hotel Sampang saja.

Malam ini kami bertiga tiba di Sampang. Saya, Pak Sulaiman (Pembantu Direktur I PPPG), dan Anang (driver). Masuk kota sekitar pukul 20.00. Besok pagi, kami akan berangkat ke MI Nurul Hidayah Bluru'an Gedinglaok. Monev Program Jatim Mengajar. Malam ini, kami hanya menginap saja di Sampang, dan melanjutkan perjalanan besok pagi.

Mencari hotel di Sampang tidaklah terlalu sulit. Kami bertanya kepada penjual nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan, dan ditunjukkanlah arah menuju sebuah hotel. Hanya beberapa menit setelahnya, hotel itu sudah kami temukan.

Kami pun melihat daftar kamar di resepsionis. Kami putuskan, kami mengambil dua kamar VIP, satu untuk saya, satu untuk Pak Sulaiman dan Anang. Meski VIP, tarifnya tidak terlalu mahal. Maklumlah, ini hotel di kota kecil.

"Baik, Bu. Ibu nanti di dalam sini kamarnya, bapak di luar."
"Lho, kenapa begitu, Mas?"
"Ya, begitu, Bu...."
"Mbok dicarikan yang berdekatan saja to, Mas."
"Maaf, Bu, tidak bisa, karena -ibu bukan suami istri. Maaf, Bu, di sini, meskipun ini hotel, tapi kamar untuk laki-laki dan perempuan tempatnya terpisah."
"Hah?" Saya spontan mendelik. Menatap tak percaya pada anak muda brewok di depan saya itu. "Jadi tempat kamar untuk laki-laki dan perempuan terpisah?"
"Ya, Bu."
Saya manggut-manggut. Unik. Saya berkali-kali menginap di Madura, tapi baru ini ketemu hotel yang memisahkan kamar untuk laki-laki dan perempuan. Bagus, bagus. Saya bergumam sendiri. Saya pikir ini bagus juga. Hotel ini peduli pada penyakit sosial. Peduli pada aturan agama. Peduli pada bahaya berkhalwat. 

"Mas, boleh saya melihat kamar-kamarnya?"
"Mari, Bu,"

Saya mengekor di belakang mas yang ramah itu. Masuk ke ruang tengah sebuah rumah yang besar. Interiornya penuh dengan ukir-ukiran khas Madura. Artistik dan mewah. Di dinding-dindingnya, banyak pigura. Foto-foto, mungkin foto-foto pemilik hotel dan keluarganya, terpajang di beberapa bagian. Di dalam ruang besar itu, ada dua kamar. Saya dibukakan salah satunya. Kamar yang bagus, bersih, dan cukup luas. Sebenarnya nyaman. Tapi....

"Mas, untuk kamar bapak-bapak dimana?"
"Di belakang, Bu. Lewat sini..."

Saya mengekor lagi di belakang mas brewok itu. Menuju halaman belakang. Di situlah berjajar belasan kamar yang deretannya membentuk huruf U. Saat dibukakan sebuah kamar, saya langsung nyeletuk.

"Sudah, Mas, saya di sini saja, teman saya tadi di kamar sebelah. Wong terpisah saja lho, Mas..."
"Maaf, Bu...tidak bisa. Prosedurnya sudah seperti itu."
"Tapi saya takut, Mas, tidur di kamar besar tadi."

Mas itu terdiam. Berpikir sebentar.
"Kalau begitu, gini aja, Bu. Ibu pakai kamar yang ini, nanti bapak pakai kamar yang di seberang sana."
"Walah, sama saja kalau gitu Mas, jauh."
"Ya, tapi Ibu kan di luar, ramai, temannya banyak, meskipun di seberang kamar Ibu."

Saya berpikir, menimbang-nimbang. Sebetulnya, kalau melihat kondisi ruang kamarnya, saya lebih suka yang di dalam tadi. Tapi pigura-pigura di dinding itu, ada banyak gambar, termasuk foto-foto orang tua, dan saya sorangan wae di ruang sebesar itu? Kok rada-rada merinding. Hehe, asli, kadang-kadang saya penakut. 
"Ya sudah, Mas, saya ambil yang di luar saja."

Maka saya pun masuk di salah satu kamar di antara deretan kamar di satu sisi di halaman belakang hotel. Kamar saya dekat dengan ruang resepsionis. Tapi semua kamar di deretan kamar saya ini, kosong. Sementara di seberang sana, nampaknya lumayan penuh, lumayan ramai. Ya, setidaknya ada temannya, meski berjauhan begitu.

Sebenarnya saya senang-senang saja ada hotel yang begitu ketat seperti ini. Bahkan hotel di Makkah dan Madinah pun tidak seketat ini. Sekamar, kalau sudah musim haji atau umroh, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim pun sudah lazim dalam satu kamar. Mungkin karena saking berjubelnya jamaah. Tapi bagaimana pun, situasi seperti itu membuat kami sedikit banyak merasa kurang nyaman. Kabarnya, sejak tahun ini, hal tersebut sudah mulai dibenahi, laki-laki dan perempuan kamarnya terpisah. Repotnya, yang suami isteri pun juga harus terpisah. Begitu kabar yang saya dengar dari teman-teman yang baru saja pulang haji.

Ya sudah. Semua ada plus minusnya. Yang penting, malam ini kami sudah dapat tempat untuk beristirahat, sebelum besok melanjutkan perjalanan ke pelosok Sampang.

Sampang, 13 Maret 2015

Wassalam,
LN
  

Sabtu, 07 Maret 2015

Barok

Sore ini begitu luar biasa. Barok marah hebat. Pasalnya, kamera dan lensa kesayangannya berubah posisi meski masih dalam kotaknya, kotor, lecet, dan....mungkin rusak. Dengan garang dia menghampiri bapaknya yang lagi di halaman depan.

"Bah, di mana rumah tukang goblok itu? Aku mau ke rumahnya, mau aku kaploki..."

Saya gemetaran. Barok kalau sudah marah, persis seperti warok murka. Meski tidak semua orang Ponorogo "ngedap-ngedapi' kalau marah, Barok termasuk jenis yang ngedap-ngedapi. Suaranya menggelegar sampai terdengar oleh orang sekampung. Wajahnya merah padam seperti kulit manggis. Tangannya mengepal-ngepal seperti petinju haus sasaran. Haduh, saya tak henti-hentinya baca istighfar dan memintanya untuk bersabar.

"Sabar Le, sabar Sayang..."
Dia tak peduli.
"Gak bisa lek koyok ngene suruh sabar, Bu. Ibu tahu, aku mengumpulkan semua barang itu dengan susah payah. Dihancurkan koyok ngene. Gak, gak iso. Tak parani wae wonge..."

Saya menangis.
"Le, lihat ibu, kamu nggak kasihan sama ibu? Barang itu nanti pasti ada gantinya kalau kamu ikhlas dan sabar. Gusti Allah sugih, Le...."

Barok tak peduli. Dia masih teriak-teriak. Dengan berteriak-teriak pula dia menelepon tukang itu. Sumpah serapah berhamburan dari mulutnya. Semua hewan dari kebun binatang disebutnya. Bahkan semua 'bekakas' lokalisasi pun diteriakkannya dengan fasih. Saya lemas. Duh Gusti, maafkan hamba-Mu ini. Entah dari mana anak itu mendapatkan kosakata seperti itu. Entah dari mana dia belajar kasar seperti itu. Duh Gusti, berikan hidayah-Mu. Lembutkan hatinya. Beri rasa takut pada ayah ibunya, pada Engkau. Lembutkan hatinya, Gusti....lembutkan. Engkau Yang Maha Memberi Kelembutan....

Saya terus menangis sambil gemetaran. Dada saya berdegup kencang, suara degupnya seperti terdengar di telinga saya, dan rasanya sakit sekali. Seperti dipukul-pukul. Istigfar dan shalawat terus saya lantunkan dalam hati.

Mas Ayik, suami saya, terus mencoba menenangkan Barok. Tapi semakin ditenangkan, anak itu semakin murka. Saya menghampirinya, terengah-engah menahan isak tangis.
"Le, lihat ibu, Le. Lihat Ibu. Kok kamu lebih sayang sama kamera dan lensa daripada sama Ibu se, Le?"

Barok merangkul saya. "Maaf, maaf, Bu. Maksudku nggak mau nyakitin Ibu." Sejenak saya tenang dalam pelukannya. Tapi itu hanya sekejap. Hanya sekejap. Sejurus kemudian, dia melepaskan pelukannya. 

"Tapi wong iki kurang ajar tenan." Suaranya kembali menggelegar. Kembali meledak-ledak.

Saya lemas, berjalan ke belakang, mengambil air wudhu dengan tubuh gemetaran, diikuti Mas Ayik.
"Ayo salat, Le." Ajak saya.
"Ibu salat duluan." Jawabnya tak peduli.
"Ayo jamaah."
"Nggak, aku mau salat sendiri."
"Wong biasane jamaah gitu lho, Le."
"Ya, tapi aku lagi pingin salat sendiri."

Kami pun membiarkan Barok dengan kemauannya. Kami berdua salat berjamaah di musala. Selesai salat maghrib, kami melengkapinya dengan salat sunnat ba'diyah. Lantas berlama-lama dzikir. Sambil menunggu Barok mengambil air wudhu. Ternyata dia wudhu di kamar mandi, dan salat di kamarnya, tidak di musala seperti biasa.

Saya mengambil Al-quran. Mengaji dengan suara pelan. Barok mondar-mandir berusaha memecahkan perhatian saya. Tapi melihat saya mengaji, dia akhirnya hanya duduk di depan saya.

Tiba-tiba anak itu terisak. Sambil terus menyesali kamera dan lensa-lensanya yang telah rusak. Saya merangkulnya. Mencium keningnya. Mengaduk-aduk rambut tebalnya. Memintanya bersabar. Dan menjajikan akan membantu dia mendapatkan kamera dan lensai-lensa itu kembali.

Sejujunya, saya bisa memahami kekecewaan dan kemarahan Barok, meski saya tidak setuju dengan caranya marah. Dia memperoleh kamera pertamanya sekitar tiga tahun yang lalu, saya dan bapaknya membelikannya. Dia suka fotografi dan menekuni hobinya itu tidak sekedar hobi, tetapi dia memanfaatkannya untuk belajar hidup mandiri. Dia bergabung dengan teman-temannya untuk memotret berbagai event, juga mengikuti berbagai event fotografi nasional dan internasional. Beberapa rupiah berhasil dikumpulkannya sedikit demi sedikit, sampai akhirnya dia bisa meng-upgrade kameranya dan membeli beberapa lensa. Dia berusaha sendiri, tidak meminta bapak ibunya untuk membelikannya. Memang pernah suatu ketika dia meminta kami membelikannya lensa, tapi kami janjikan setelah akhir semester, setelah dia bisa membuktikan pada kami kalau aktivitasnya di dunia foto itu tidak mengganggu kuliahnya. Rupanya Barok tidak sronto. Dan dengan usahanya sendiri, dari aktivitas fotografi dan bermusiknya, dia akhirnya mendapatkan kamera dan lensa-lensa yang diidam-idamkannya.

Dan sekarang kamera dan lensa-lensa itu berantakan. Debu-debu halus memenuhi sela-selanya. Kameranya bahkan lecet-lecet. Ya, kecewa betul dia. Sakit hati dia. Setelah mengumpulkan rupiah demi rupiah dari keringatnya sendiri...

Saya mulai mengajaknya bicara lagi. Menunjukkan contoh-contoh di sekitar, betapa kita seringkali tak berdaya dengan apa pun yang menimpa kita. Jangankan hanya kamera dan lensa, kalau Allah sudah berkehendak, dunia dan seisinya ini dapat dihancurkannya. Luluh lantak dalam waktu sekejap. Ingat tsunami, ingat gunung meletus, ingat kebakaran, ingat kecelakaan pesawat, ingat semua hal yang menyadarkan kita betapa kita tidak pernah berhak sepenuhnya dari apa pun yang kita miliki. Ada yang Maha Berhak dari yang paling berhak sekali pun. Maka, kata bapaknya: "ikhlas, nompo opo sing teko, nompo opo sing lungo."

Malam itu kami kembali salat berjamaah, menunaikan isya di musala. Setelah salat dan dzikir, kami tidak langsung beringsut dari musala. Barok bahkan menyelonjorkan kaki dan menghempaskan kepalanya di pangkuan saya yang masih bermukena. Saya mengusap-usap kepala dan keningnya dengan penuh kasih sayang. Anak ini sedang lelah lahir dan batinnya. Dan dia butuh tempat untuk menyandarkan lelahnya.

Kami mengobrol apa saja. Obrolan yang bisa menghibur hati Barok. Obrolan yang mampu menyentuh sanubarinya yang terdalam. Pada dasarnya, Barok berhati peka dan lembut, sekaligus sangat temperamental. Namun kami selalu yakin, sifat temperamentalnya akan berangsur reda, sejalan dengan kedewasaa dan kematangannya.

Kemudian, ketika saya membaca situasinya memungkinkan, saya berkata: "Dik, ada yang sebenarnya sangat memberati pikiran ibu..."
"Apa, Bu?"
"Kamu tadi....mengumpat-umpat pak tukang, kamu ngomong kasar sekali, tidak pantas lho...." Saya menunggu reaksinya sejenak, tapi Barok diam saja. "Seharusnya, kamu tidak hanya meminta maaf pada bapak ibu, tapi juga pada pak tukang..."
"Sudah kok bu..." Tukas Barok. "Aku tadi udah sms ke Pak Tukang, udah minta maaf dan udah kubilang dia tidak perlu ganti kamera dan lensa-lensaku..."

Alhamdulilah, Ya Allah. Saya nyaris menangis mendengar jawaban Barok. Perasaan lega memenuhi benak saya.

"Alhamdulilah, Sayang." Saya acak-acak lagi rambut tebalnya. "Alhamdulilah. Itu membuat ibu lega. Kamu tahu kan, Allah tidak akan memaafkan kita atas kesalahan yang kita buat pada sesama, kalau kita tidak saling memaafkan terlebih dahulu...."

"Ya, Bu...."

Malam ini begitu luar biasa. Baru tadi sore Barok marah hebat, dan saat ini dia sudah kembali menjadi anak kami yang begitu manis dan menentramkan. Ya Allah, berikan kesabaran dan hati yang ikhlas pada dirinya, berikan dia ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal, usia yang panjang barakah, serta kemuliaan di dunia dan akhirat. Amin.

Surabaya, Februari 2015

Wassalam,
LN

Kamis, 19 Februari 2015

Ketika Rumput Mulai Hijau

Musim kemarau beberapa waktu yang lalu menyebabkan rumput-rumput mengering dan pohon-pohon meranggas. Bukit-bukit menjadi gundul dan lembah ngarai menjadi merana. Sapi, kambing, kuda, nampak kurus kering karena padang tempat mereka merumput nyaris tak memberikan apa pun. Kondisi seperti itulah yang saya lihat di berbagai tempat, termasuk di daerah-daerah pedalaman di pelosok Indonesia, sekitar beberapa bulan yang lalu.

Di PPPG, kondisinya tidak berbeda jauh. Kalau saya berdiri di lantai dua, dan melihat ke seluruh penjuru halaman, rerumputan dan pepohonan hampir semuanya kering. Warnanya yang biasanya hijau menyejukkan, berubah menjadi kuning kocoklatan di mana-mana. Sampai saya berkali-kali memanggil mandor taman dan memastikan dia mengontrol anak buahnya saat menyirami tanaman, apakah disirami dengan benar atau tidak. Beberapa kali saya juga turun dan melihat bagaimana para tukang taman itu mengurus tanaman.

Tapi memang, kemarau yang begitu panas membuat kami tidak bisa berbuat banyak. Pagi dan sore tanaman disiram sebanyak apa pun, sinar matahari yang memancarkan panasnya dengan garang, membuat semua upaya seperti tak berarti. Rumput yang hijau hanya di seputaran pohon-pohon besar, radiusnya tak lebih dari semeter, sementara pohon-pohon besar itu pun daun-daunnya rontok di sekitarnya. Hamparan rerumputan, sejauh mata memandang, kuning dan coklat. Haduh, saya sampai pingin nangis rasanya melihat pepohonan dan rerumputan yang kami tanam dengan menghabiskan dana puluhan juta rupiah itu seperti 'hidup tidak, mati pun tak hendak'.

Begitu musim hujan turun, keadaan pun berubah seratus delapan puluh derajat. Hijau di mana-mana. Segar rasanya mata ini memandang. Meski genangan air di bagian-bagian tertentu juga cukup mengganggu, namun kesuburan tanaman yang memenuhi halaman gedung menjulang itu begitu menyegarkan. 

Pagi ini, begitu keluar dari mobil, saya tidak langsung memasuki gedung. Saya sengaja berjalan memutari pagar gedung yang baru kami tanam. Ratusan batang bambu yang tingginya lebih dari dua meter berbaris rapat mengelilingi halaman gedung PPPG. Di beberapa bagian, pagar seng yang semula menjadi batas area halaman, telah rebah rata dengan tanah. Beberapa pohon di depan pagar bambu nampak berdiri miring, terhempas angin dan hujan lebat semalam. Kayu-kayu yang menopangnya tidak  lagi cukup kuat. Harus ada seseorang yang membenahinya agar pohon-pohon itu kembali berdiri tegak.

Saya memutar mulai dari bagian samping kanan gedung sampai ke belakang dan ke samping kiri. Ada beberapa bagian pagar bambu yang terlalu lebar jaraknya, dan saya perkirakan masih bisa dipakai 'brobosan' oleh orang dewasa. Saya hitung, mungkin masih perlu menambah sekitar sepuluh batang bambu untuk membuat pagar hidup itu menjadi lebih rapat. 

Beberapa waktu yang lalu, saat saya menghadiri kegiatan Himapala di malam hari, saya sempat berkeliling melihat-lihat situasi halaman PPPG dari belakang. Kebetulan Sekretariat Himapala memang berada tepat di belakang Gedung PPPG, sekompleks dengan Sekretariat Menwa dan Pramuka. Saat itu, secara kebetulan, ada dua mahasiswa yang nekad 'mbrobos' dari halaman PPPG menuju asrama. Mereka bukan mahasiswa PPPG, karena saya tidak mengenal mereka dan mereka juga tidak mengenal saya. Saya perkirakan mereka mahasiswa di salah satu fakultas di Kampus Unesa Lidah Wetan ini. Mereka memanfaatkan pagar seng yang telah roboh untuk menjadi jembatan yang menghubungkan antara halaman PPPG dengan jalan. Di bawah seng itu adalah selokan. Saya heran, begitu efisiennya mereka, sampai-sampai harus mengambil risiko seperti itu. Bayangkan kalau jembatan seng itu tidak cukup kuat menopang tubuh mereka, dan mereka jatuh terperosok ke dalam selokan. Padahal hanya beberapa meter di sebelah kiri mereka adalah pintu keluar yang sebenarnya. Saya sampai geleng-geleng kepala melihat kenekadan itu. Sepertinya mereka adalah jenis mahasiswa yang tidak betah berada pada zona nyaman. Mereka termasuk jenis mahasiswa yang suka tantangan. Maka menyeberangi selokan dengan menggunakan pagar seng yang dirobohkan menjadi alternatif pemuas rasa haus akan tantangan itu.

Puas berkeliling, saya menuju ruang staf di lantai satu. Sepagi itu, semua staf PPPG sudah berada di posnya masing-masing. 

"Pak Budiman, Pak Somat, ayo ikut saya jalan-jalan." Saya memanggil dua teman staf yang tugasnya adalah mengurus taman dan perlengkapan. 

"Monggo, Bu," Kata mereka serempak.

Saya kembali ke tempat pohon yang berdiri miring tadi. Meminta kedua teman saya itu untuk membetulkan posisinya supaya tidak miring. Saya juga menunjukkan beberapa bagian pagar yang masih perlu dirapatkan dengan batang-batang bambu yang baru. Juga meminta supaya seng-seng yang sudah rebah rata dengan tanah itu diringkas, dan dilaporkan ke Bagian Perlengkapan Unesa, supaya diambil dan dibersihkan. 

"Sekalian Pak, minta tukang taman merapikan rumput-rumput ya?" Pinta saya. Ya, kalau beberapa waktu yang lalu saya sedih melihat rumput-rumput itu menguning dan mengering, sekarang saya sedih melihat rumput-rumput itu tumbuh terlalu subur tak beraturan sehingga perlu dirapikan.

"Inggih, Bu. Minggu ini tukang taman masih mengerjakan pemotongan rumput di FIP, minggu depan jadwalnya di PPPG." Kata Pak Budiman.

"O, baguslah kalau begitu."

Saya senang karena teman-teman di PPPG ini seperti seide dengan saya dalam masalah mengurus kebersihan gedung dan halaman. Seringkali mereka bahkan melakukan hal yang di luar bayangan saya. Beberapa dari mereka menanami halaman dengan lombok dan sayur-sayuran lain. Di balkon lantai dua yang luas, Anda bisa memetik kedondong, jeruk, sawo, belimbing dan jambu. Di halaman, beberapa tahun lagi, akan ada banyak buah mangga dan nangka hasil panen sendiri. Beberapa tahun lagi juga, akan ada banyak pohon peneduh yang tinggi menjulang mengimbangi tingginya gedung. Pagar hidup berupa bambu akan rapat melindungi gedung dan mengamankannya, namun tetap penuh kehangatan dan ramah lingkungan.

Tahun ini, kami terpaksa mengakhiri kerja sama dengan rekanan yang mengurusi kebersihan, karena dari hasil evaluasi kami, kerja rekanan tersebut tidak memuaskan. Bahan pembersih yang mereka gunakan tidak wangi, kabarnya karena terlalu banyak dioplos dengan bahan lain. Lantai hanya nampaknya saja bersih, tapi bersihnya tidak sempurna. Petugas kebersihan sering mengeluh karena bahan pembersih mereka dibatasi dan gaji mereka sering telat. Setidaknya yang saya ingat, dalam setahun kemarin, sempat tiga kali ada kejadian para petugas kebersihan yang jumlahnya sekitar 25 orang itu nyaris mogok kerja, karena gaji mereka belum dibayar. Dua kali mereka berbaris di depan ruang saya, dan setelah kami membantu untuk mengatasi masalah keuangan rekanan, mereka baru reda, tidak jadi mogok kerja. Tentu saja saya dan Bu Yanti sempat ngamuk ke rekanan dan mengancamnya tidak akan memperpanjang kerja sama lagi kalau mereka tidak becus mengurus tenaga kerjanya. Sudah ngurus gedung dan taman tidak beres, ngurus orang juga tidak beres. Payah kan?

Satu hal yang membuat saya dan teman-teman di PPG ini sangat kepikiran adalah ulah orang kampung di sekitar kampus Lidah ini. Beberapa bulan yang lalu, tepat pada hari ulang tahun saya, 18 Oktober 2014, ada 'kebakaran' di samping kanan gedung PPPG. Rumput ilalang yang tinggi dan rimbun itu kabarnya yang menjadi penyebab. Karena kemarau panjang, ilalang mengering, dan gesekan di antara mereka memercikkan api. Karena angin kencang, api itu membesar dan dengan cepat meluas, memangsa rumput dan pepohonan di sekitarnya, mendekat ke arah gedung PPPG. Saat itu bahkan kami sempat memanggil PMK dan dua mobil pemadam kebakaran datang menjinakkan api. Tapi apa mau dikata. Api yang memang sangat besar itu sudah sempat memangsa pipa air dan sebagian pipa jebol sudah.

Belakangan, saya mendengar, kejadian itu ternyata tidak hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali, dan bahkan sudah seperti langganan tiap tahun. Kabarnya, memang ada pihak-pihak yang sengaja membakar ilalang itu, untuk kemudian menanami tanah bekas tempat ilalang terbakar. Saya nyaris tidak percata dengan kabar itu,  sampai akhirnya saya melihat sendiri buktinya.

Suatu ketika, ada acara di lantai sembilan, dan kami melihat halaman PPPG yang berada di bawah sana, dan terkaget-kaget. Tanah yang beberapa waktu yang lalu terbakar, sekarang sudah ditumbuhi dengan tanaman jagung dan polowijo. Tumbuhnya rapi, subur, dan pasti sengaja ditanam oleh orang yang sudah berpengalaman. Ya, bisa jadi, kebakaran yang dulu itu memang dilakukan secara sengaja, agar tanah itu bisa dimanfaatkan saat musim hujan. 

Tentu saja kami semua prihatin dengan kenyataan itu. Ini masalah yang tidak boleh dianggap ringan. Tapi hal ini ternyata, kata banyak sumber, sudah terjadi bertahun-tahun dan berkali-kali. Bagaimana mungkin kita semua bisa membiarkan pihak-pihak luar mengacak-acak kedaulatan kita seperti ini?

Saya mengajak Pak Budiman dan Pak Somat berjalan mendekati tempat yang rawan kebakaran itu. Saya katakan, saya ingin bertemu dengan petani yang memanfaatkan tanah di seberang itu. Saya ingin mengajak mereka untuk bersama-sama menjaga lingkungan kampus. Kalau mereja ingin menanami tanah di dalam kampus dan untuk itu harus lebih dulu membakar ilalang, saya ingin mereka lebih berhati-hati dengan aksinya itu, supaya api yang dibuatnya tidak membesar dan membawa korban apa pun. Termasuk melalap pagar bambu yang kami tanam. Saya ingin Pak Somat dan Pak Budiman meminta orang untuk membuat parit di seputar gedung PPPG dan memastikan parit itu menampung air, sehingga bila ada kebakaran, api tidak sampai menyentuh pagar bambu. Kami harus melakukan itu, karena mungkin hanya itu yang masih  bisa kami lakukan dengan upaya PPPG sendiri. Sambil menunggu respon nyata dari Unesa untuk melakukan sesuatu demi menjaga kedaulatannya. Setidaknya, di beberapa kesempatan, baik dalam forum rapat resmi maupun secara informal, saya sudah menyampaikan kepada para petinggi Unesa bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya kebakaran buatan yang sudah terjadi berulang kali. Karena tidak memungkinkan bagi saya dan teman-teman PPPG untuk mengambil kebijakan menyangkut hal itu, maka kami memilih berdamai saja dengan pihak yang memicu munculnya masalah. Yang penting damai dululah, supaya rumput-rumput dan pohon-pohon tetap hijau.....

Surabaya, 8 Februari 2015

Wassalam,
LN