Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 17 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (7): Umbu Landu Paranggi, Penyair itu...

Siang ini kami semua telat makan. Medan sulit yang membuat kami terkocok-kocok di dalam mobil menyebabkan perut kami seperti penuh. Biskuit sudah habis kami bagi-bagikan ke anak-anak sekolah tadi. Hanya ada sedikit kripik pisang, stick keju, dan minuman. Tapi perut kami memang tidak terasa lapar.

Tapi demi menjaga kondisi, kami meminta Oscar mencari tempat yang nyaman untuk makan. Lagi pula nasi kotak yang kami bawa dari Waingapu juga harus segera disantap. Antara nasi dan lauk-pauknya sudah bercampur-aduk gara-gara terkocok-kocok sepanjang perjalanan.

Tepat pukul 15.00, Oscar menepi, menghentikan mobil di sebuah jembatan. Jalan agak lebar, kelihatannya memang biasa digunakan pengendara untuk tempat singgah. Di bawah jembatan adalah sungai yang airnya jernih sekali, berbatu-batu. Kami membuka bekal dan menikmatinya, duduk di sepanjang jembatan itu. Sekedar menggugurkan kewajiban. Perut saya yang 'mbesesek' membuat saya tidak mampu menghabiskan separo lebih dari makanan itu. Selesai makan, para bapak 'tengak-tengok' mencari tempat buang hajat. Tapi Oscar bilang, sebentar lagi kami bisa singgah di suatu tempat untuk buang hajat. Maka kami semua masuk ke mobil, melanjutkan perjalanan lagi, dengan menahan 'hajat'
kami masing-masing.

Hanya sekitar 15 menit kemudian, Oscar membelokkan mobilnya ke sebuah rumah berhalaman cukup luas, yang di depannya ada kuburan berbentuk rumah kecil. Di Sumba Timur, adalah hal yang biasa menjumpai kuburan di depan rumah. Meskipun ada kuburan umum, tidak sedikit masyarakat yang memilih mengubur anggota keluarganya yang meninggal, di depan rumahnya. Awalnya saya mengira batu-batu granit berbentuk segi empat yang disangga dengan empat tiang itu adalah tempat untuk kongkow-kongkow. Tidak tahunya, ternyata di bawah batu itulah anggota keluarga mereka ditanam. Bisa lebih dari satu orang yang ditanam di bawah batu itu. Untuk keluarga raja-raja, batu granitnya besar-besar. Bahkan ada yang harus diangkat dengan traktor ketika memasangnya. Tapi untuk keluarga biasa, batunya tidak terlalu besar, bahkan seringkali bukan batu yang digunakan, tapi lempengan cor-coran.

Oscar mengetuk pintu rumah untuk memintakan izin kami semua menggunakan toilet yang ada di samping rumah. Ternyata keluarga itu masih saudara Oscar. Pemiliknya adalah kepala desa. Namun kepala desa sedang tidak ada di tempat, ada di Waingapu untuk suatu keperluan.

'Ibu tahu Umbu Landu Paranggi?' Tanya Oscar kepada saya setelah keluar dari kamar mandi. 'Ya, penyair?' Jawab saya. 'Ya, betul. Ini rumahnya. Kuburan di depan itu kuburan bapaknya....'.

Saya terkejut campur takjub. Saya sedang berada di rumah Umbu Landu Paranggi, penyair itu. Tak menyangka. Sontak saya amati semua sudut di sekitar rumah itu. Bangunannya yang sederhana namun nampak menonjol karena tak bertetangga (seperti halnya rumah-rumah di pelosok Sumba Timur yang jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain sangat berjauhan, seringkali sampai puluhan kilometer), penuh tanaman pekarangan, dan bernuansa teduh. Di sinikah penyair itu berasal?

Nama Umbu sudah lama saya kenal, hanya karena saya agak suka baca-baca karya sastra (koleksi majalah Horison-ku masih setumpuk, dan tetap kusimpan dengan baik, sesekali kubaca-baca). Tapi nama itu juga sudah lama saya lupakan, karena tergerus oleh kesibukan dan urusan-urusan lain. Dia disebut sebagai raja Malioboro pada masanya (tahun 60-an atau 70-an ), berambut gondrong, dengan
garis wajah keras seperti kuda sumba. Dialah yang menumbuhkan sastrawan-sastrawan terkenal seperti Emha Ainun Najib, Linus Suryadi, Korie Layun Rampan, dan Yudistira Adi Nugraha. Konon, musisi Ebiet G Ade juga lahir karena sentuhan tangan dinginnya.

Inilah tanah kelahiran Umbu. Desa Kananggar, Kecamatan Peberiwai. Sekitar 4 jam dari Waingapu, ibu kota Sumba Timur. Dari desa sangat terpencil ini, seorang penyair Indonesia telah dilahirkan. Dia yang disebut sebagai Presiden Malioboro ini, telah membuahkan sastrawan kelas atas. Orang-orang menyebutnya sebagai 'pohon rindang' tapi dia sendiri menyebut dirinya sebagai 'pupuk' saja. Umbu memang sosok penyair yang langka dan unik. Kecintaannya pada dunia puisi seakan melebihi segalanya. 'Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan, karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan' (cuplikan dari puisi 'Melodia' oleh Umbu Wulang Landu Paranggi).

Sabtu, 10 Desember 2011
Wassalam,
LN

Jumat, 16 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (6): Padang Sabana itu....

Pukul 08.00 kami sudah siap beraktivitas lagi. Kali ini tidak hanya berdua dengan bu Luci, tapi pasukannya tambah 3: bu Nanik, pak Nursalim, dan pak Suwarno.

Kami memulai aktivitas dengan makan pagi di warung jawa. Sementara teman-teman sarapan, saya dan bu Luci ke warnet di sebelah warung. Mas Amin, sekretaris rektor, tadi malam sms saya kalau MoU sudah diemail. Kami harus mencetaknya untuk dimintakan paraf ke sekda, asisten administrasi, kabag hukum, dan pak kadis, sebelum ditandatangani oleh bupati dan rektor pada acara serah terima nanti. Selesai mencetak MoU, saya dan bu Luci menyusul teman-teman sarapan.

Tujuan pertama kami pagi ini ke RSUD, bertemu dengan dokter Kris, direktur RSUD. Kami bertiga, saya, pak Nursalim, dan pak Warno, akan menghadap dokter Kris. Sedangkan bu Luci dan bu Nanik akan ke penginapan Cendana untuk menjemput peserta yang sakit, dibawa sekalian ke RSUD.

Kami menunggu sebentar saja di ruang tunggu RSUD, lantas disilakan masuk di ruang direktur. Dokter Kris, tinggi besar, ramah. Dokter asal Yogyakarta itu telah 16 tahun bertugas di Waingapu. Dia membagi pengalaman dan pemahamannya tentang kultur masyarakat Sumba, khususnya Sumba Timur. Banyak pengalaman heroic yang diceritakannya. Penyebaran penduduk Sumba Timur yang sangat luas, seringkali memaksanya untuk terjun ke lokasi-lokasi sangat terpencil yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer.

Sumba Timur menurut para tokoh dahulunya adalah masyarakat yang sering mengalami perang antar suku. Mereka banyak yang memilih hidup di tempat-tempat terpencil supaya tidak terjangkau ole musuh-musuhnya. Oleh sebab itu, sampai saat ini, mereka hidup mengelompok-mengelompok di tempat-tempat yang sangat terpencil, seringkali sangat susah dijangkau. Hanya ada 3 wilayah terpencil di Sumba Timur, Waingapu, Kambera, dan Pandawai. Selebihnya adalah wilayah yang sangat terpencil.

Menurut dokter Kris, potensi alam di Sumba Timur sebenarnya sangat luar biasa. Namun masyarakatnya sangat malas. Bila beras habis, mereka akan masuk hutan untuk mencari umbi-umbian. Padahal bila mereka mau, pekarangan bisa dimanfaatkan untuk menanam umbi-umbian itu, juga berbagai macam sayur-sayuran, sehingga mereka tidak perlu masuk-keluar hutan untuk mencari bahan makanan. Sangat beda dengan etos kerja orang Jawa atau Bali. Di Gunung Kidul, bahkan tanah keras berbatu-batu pun akan ditanami dan dimanfaatkan secara optimal. Di Sumba Timur, banyak tanah yang subur tapi dibiarkan tidak tergarap, namun mereka sering teriak kekurangan bahan pangan.

Pada prinsipnya, dokter Kris membuka diri untuk melakukan kerjasama dalam bidang jaminan kesehatan peserta SM-3T, tinggal kami yang mengajukan konsep MoU-nya seperti apa. Karena kami belum pernah melakukan MoU dalam bidang jaminan kesehatan semacam ini, dokter Kris menjanjikan akan memberikan contoh MoU-nya pada hari Senin, kalau petugas yang menanganinya sudah datang dari tugas luar kota.

Keluar dari rumah sakit, kami diantar pak Minggus kembali ke hotel. Siang ini kami akan ke kecamatan Karera, lokasi sasaran penugasan SM-3T yang terjauh. Mobil yang akan membawa kami ke Karera sudah kami pesan sejak kemarin, panther touring. Mobil kijang dinas PPO tidak laik untuk perjalanan ke Karera. Sampai di hotel, mobil beserta drivernya, namanya Oscar, pemuda asli Sumba, sudah menunggu kami.

Dan berangkatlah kami menuju Karera tepat pukul 12.00. Bekal yang kami bawa cukup meyakinkan: air mineral, nasi kotak (bu Sekdis mengingatkan kami untuk membawa bekal nasi bungkus karena sepanjang perjalanan ke Karera tidak akan menemui rumah makan), dan kletikan termasuk biskuit.

Pengalaman saya melakukan perjalanan dari Waingapu ke Waikabubak (Sumba Barat)sekitar sebulan yang lalu), ternyata tidak ada apa-apanya dibanding dengan perjalanan ke Karera. Jalan panjang yang sempit, naik turun, berkelok-kelok tajam, penuh dengan lubang-lubang besar, kubangan-kubangan yang cukup dalam, dan tanjakan-tanjakan membahayakan. Di sebelah kanan kiri jalan adalah jurang menganga, dan di seberangnya merupakan bukit-bukit yang seolah ditumpuk-tumpuk. Berselang-seling dengan lembah hijau dan padang sabana yang luas sekali. Sejauh mata memandang, adalah hamparan padang sabana itu, berlatar-belakang bukit-bukit dan pegunungan yang hijau. Sekelompok kuda sumba yang tengah merumput, tidak menghiraukan kedatangan kami yang sibuk mengambil gambar. Tetap merumput dengan begitu tenangnya. Jauh, jauh di sana, hijau menghampar, dan kuda-kuda itu, sungguh, begitu indahnya dalam kesatuan pemandangan alam yang luar biasa ini. Andai saya seorang penyair, mungkin akan saya tulis puluhan puisi untuk melukiskan keindahannya.

Saya baru kali ini mengalami perjalanan darat yang begitu menantang sekaligus mengasyikkan karena keindahan alamnya. Pengalaman melakukan survei rawan pangan di sebagian besar wilayah terpencil di Jawa Timur, Pacitan, Ngawi, Ponorogo, Banyuwangi, Madura, Probolinggo, dan lain-lain, tidak ada yang semenantang dan seindah ini. Perjalanan dari Balikpapan ke Sangata dan sebaliknya dengan melalui Kutei Kertanegara dan Tenggarong, masih jauh tantangan dan keindahan alamnya. Mungkin keindahannya bisa disejajarkan dengan perjalanan dari Medan ke Danau Toba, atau dari Padang ke Bukittinggi, namun kondisi alam Waingapu ke Karera, jauh lebih indah dan lebih menantang.

Di tengah perjalanan, kami menjumpai anak-anak sekolah yang sedang pulang menuju rumahnya. Berseragam lusuh, sebagian besar tanpa alas kaki, menenteng sebuah buku tulis dan pensil. Ada juga yang buku-bukunya dimasukkan di kantung plastik. Kami berhenti menyapa mereka, membagi biskuit (yang kami yakin pasti menjadi makanan mewah bagi mereka), dan berfoto-foto. Mereka menyambut kami dengan suka cita. Nama-nama mereka antara lain adalah: Alberto, Yohanes, Berti, Alfonso, Melki.... Wajah-wajah polos mereka begitu saya suka, namun kemiskinan yang tergambar dari penampilannya sangat menyentuh perasaan saya. Mereka berangkat sekolah pada pukul 06.00 dan sampai sekolah pukul 09.00; lantas pulang sekolah jam 12.30 dan sampai rumah sekitar pukul 15.00. Menyusuri jalan panjang, menahan lapar dan haus, dengan kaki-kaki kecil mereka yang telanjang. Saya membayangkan
bagaimana mereka belajar di sekolah dengan baik dengan tubuh letihnya, belajar di rumahnya yang kecil dan kurang penerangan. Seperti apa pula guru-gurunya? Bagaimana kondisi sekolahnya? Fasilitas dan sarana-prasarananya? Bagaimana pula anak-anak itu dipaksa harus menghadapi ujian nasional yang standarnya sama persis dengan teman-temannya di kota? Standar Nasional Pendidikan? Bahkan mereka
mau rutin datang ke sekolah saja sudah sangat bagus....

Galau hati saya memikirkan itu semua. Kondisi alam yang sangat menantang. Kemiskinan yang kental. Fasilitas yang sangat terbatas. Di tempat-tempat inilah anak-anak kami, peserta SM-3T, akan ditugaskan. Mampukah mereka? Sanggupkah mereka bertahan dalam keserbakekurangan? Kalau mereka semua bisa melaluinya dengan baik, dan berhasil menjadi agen perubahan di tempat tugas mereka, maka saya berani menjamin, merekalah guru-guru berprestasi itu, guru-guru hebat yang telah teruji oleh alam, guru-guru unggul yang harus diprioritaskan untuk menjadi motor penggerak pembangunan pendidikan di manapun di seluruh wilayah negeri ini.

Sabtu, 10 Desember 2011
Wassalam,
LN

Kamis, 15 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (5): Pelatihan Ketahanmalangan yang Gagal?

Agenda hari ini sangat padat. Saya tinggal berdua dengan bu Luci, pak Wasis sudah pulang kemarin, ketika kami sedang rapat koordinasi dengan camat dan kepala sekolah di aula dinas PPO. Dia benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik, benar-benar menjadi pengantar yang baik, benar-benar hanya mengantarkan kami, terus pulang...(Piiis, pak Wasis....).

Pagi pukul 08.30, pak Minggus, driver dinas PPO yang setia mengantar kami ke mana pun, sudah menjemput kami. Tujuan pertama adalah rumah makan. Kami tidak mau pengalaman kemarin terulang lagi, kelaparan sampai kepala pusing. Gara-gara hanya mengandalkan setangkep roti dan secangkir teh yang disediakan hotel. Sepanjang rapat di ruangan yang penuh asap rokok, dengan suguhan kue-kue berasa manis yg tdk terlalu cocok di lidah, membuat saya lebih memilih menahan lapar. Akibatnya, kepala pusing sekali, hingga sore setelah makan pun pusingnya nggak kunjung hilang.

Usai makan, kami langsung menuju kantor dinas PPO. Beberapa peserta SM-3T yang dua hari lalu beserta kami dari Surabaya, sudah menunggu di halaman kantor. Memang kami jadwalkan ada pertemuan dengan mereka, untuk menyampaikan beberapa pengumuman, terutama terkait dengan tempat tugas mereka. Selain itu juga utk mempersiapkan mereka dalam acara serah terima ke bupati tanggal 12 Desember nanti.

Pertemuan dengan peserta berjalan lancar. Mereka anak-anak yang manis. Kadang-kadang lucu dan kolokan. Tapi bagaimana pun mereka, hampir semuanya siap dan tidak protes ditugaskan di mana pun. Dua orang yang merayu saya untuk bisa dipindahkan ke kecamatan yang lain, dengan berbagai alasan, akhirnya juga menerima dengan sangat manis setelah saya katakan, mereka harus bersyukur karena
ditugaskan di Sumba Timur, tanah kelahiran mereka. Saya katakan, 'di mana pun di Sumba Timur, itu adalah wilayahmu. Bandingkan dengan teman-temanmu yang lain, yang berasal dari segala penjuru, namun harus bertugas di sini, di Sumba Timur, dan mereka tidak boleh memilih, kecuali menerima saja di mana pun mereka ditugaskan di Sumba Timur ini.'

Selesai pertemuan dengan peserta, saya dan bu Luci masuk ke ruang ibu sekdis, ditemani ibu Rambu, Kabag Umum dan Kepegawaian. Bu Lusia sedang mengikuti acara peringatan ulang tahun darma wanita di gedung nasional. Sambil menyelesaikan konsep bahan untuk pidato bupati pada acara serah terima nanti, kami menunggu bu Lusia yang kabarnya sedang menuju ke kantor dinas PPO karena acara di gedung nasional sudah selesai. Tak berapa lama, bu Lusia, sekdis itu, datang. Beliau berbusana warna blewah, warna khas seragam darma wanita. Di mata saya, bu Lusia adalah tipikal perempuan Sumba yang cantik, trengginas, dan cerdas, namun tetap sederhana.

Seharian ini kami habiskan waktu bersama bu Lusia dan pak Minggus. Kami didampingi menuju dinas kesehatan untuk menjajagi kemungkinan kerjasama dalam hal urusan asuransi kesehatan bagi peserta SM-3T. Ternyata kerjasama tersebut bisa langsung dengan RSUD. Maka dibantu sekretaris dinas kesehatan, kami bisa mendapatkan kontak direktur RSUD dan merencanakan pertemuan besok pagi jam 09.00 di RSUD.

Keluar dari Dinas Kesehatan, kami menuju kantor bupati. Bertemu dengan bagian protokoler. Memastilkan susunan acara, konsumsi, petugas, spanduk, kursi-kursi. Bu Luci mengeluarkan sejumlah dana untuk memenuhi semua keperluan tersebut.

Usai dari kantor bupati, kami meluncur ke penginapan cendana, penginapan yang akan ditempati peserta SM-3T yang bukan dari Sumba Timur, penampungan sementara bagi mereka sebelum serah terima dari rektor ke bupati. Hari ini akan datang 99 orang peserta dengan penerbangan batavia, dan kami harus memastikan, kamar-kamar mereka, atau setidaknya tempat bernaung mereka, sudah siap, begitu juga konsumsinya.

Penginapan cendana letaknya di jalan Sabu, 5 km dari kota Waingapu. Penginapan yang masih setengah jadi. Kamar-kamar di lantai satu baru sebagian yang siap, hanya cukup menampung sekitar 70-80 orang, itu pun satu kamar diisi 5-7 orang. Di lantai 2, ada hall yang cukup besar, dan sebanyak 21 kasur dibeber di dalamnya (mengingatkan saya pada tempat pengungsian korban merapi di Maguwoharjo, bedanya, yang dibeber di sini adalah spring bed); untuk menampung sekitar 70-80 orang juga. Padahal jumlah peserta yang akan kami inapkan seluruhnya adalah 200 orang, lantas diinapkan ke mana yang 40-60 orang lagi? Ternyata pemilik penginapan sudah menyiapkan lantai 2 rumahnya yang besar, untuk menerima mereka yang tidak tertampung di penginapan cendana. Masalah terpecahkan.

Yang menarik di penginapan cendana ini adalah, dia berada di atas ketinggian. Dengan view yang luar biasa indah. Lembah dan padang rumput yang menghampar luas. Perbukitan hijau yang dihiasi jalan setapak panjang yang terlihat meliuk-liuk dari kejauhan. Saya menikmati keasriannnya meski hanya sekejap. Mengagumi keindahan dua kuda sumba yang sedang merumput di padang sabana nun jauh di bawah sana (jadi ingat puisi mbak sirikit). Benar-benar indah. Benar-benar mendamaikan.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Perut sudah mulai lapar. Maka kami mengajak bu Lusia dan pak Minggus untuk mampir di rumah makan jawa. Saya makan mie goreng dan telur ceplok. Bu Luci dan pak Minggus makan ikan baronang bakar besar. Bu Lusia makan nasi pecel dan bakwan jagung. Beliau mengurangi makan daging, selain karena tidak terlalu suka, juga karena dia memiliki masalah kolesterol.

Setelah menyelesaikan makan siang, kami menuju bandara. Bila tepat waktu, pesawat akan mendarat pada pukul 14.00. Tapi di perjalanan menuju bandara, pak Suwarno, salah satu teman dosen pendamping, menelpon saya bahwa sebentar lagi pesawat akan lepas landas dari Kupang menuju Waingapu. Wah, berarti masih 40 menit lagi. Tidak masalah. Kami bisa menunggu mereka di bandara.

Di bandara Waingapu, tempat tunggu para penjemput berada di teras yang tidak terlalu luas (mungkin lebih tepat disebut emperan). Disediakan kursi-kursi kayu panjang. Pada pukul 14-an, matahari tepat di depan kita bila kita duduk di kursi-kursi itu. Sangat panas dan menyilaukan. Suhu di Sumba Timur lebih panas daripada di Surabaya. Karena tidak tahan dengan panasnya yang luar biasa dan menyilaukan, saya mengajak bu Luci, bu Lusia, dan pak Minggus, masuk ke kafe Jawa, letaknya di samping bandara. Kafe yang lebih tepat disebut warung itu. Yang harga makanannya mahal sampai menurutku tidak rasional itu. Tidak ada pilihan. Saya tidak mungkin membiarkan kami semua tersiksa di luar.

Kami menunggu beberapa saat di kafe. Minum es jeruk dan makan kletikan. Ketemu pak Erwin (kabid TK/SD) dan pak Alfons Moy (kabag Pemuda dan Olahraga). Semua dengan tujuan yang sama, menjemput peserta SM-3T. Komitmen semua komponen dinas PPO ini memang luar biasa. Tidak peduli sekdis, kabag, kabid, apalagi tingkat pelaksana, semuanya turun gunung untuk memastikan program berjalan lancar.

Dan tibalah waktu yang kami tunggu-tunggu itu. Batavia mendarat. Kami keluar dari kafe, bergerak ke arah pagar pembatas lapangan terbang. Kami ingin melihat mereka semua ketika keluar dari pintu pesawat. Dan benar, pemandangan yang saya lihat seperti bayangan saya. Batavia berkapasitas 140-an orang itu penuh dengan mereka yang berkostum hitam. Jaket SM-3T. Pak Suwarno, pak Nursalim, dan bu Nanik, kami lihat keluar lebih dulu. Diikuti dengan para peserta, yang tidak langsung berjalan menuju gedung terminal, tetapi berfoto-foto dulu. Dasar anak-anak. Tangan mereka melambai-lambai ke kami yang ada di luar pagar.

Panas begitu menyengat. Peserta satu per satu keluar dari terminal dengan bagasi mereka. Luar biasa. Bagasinya....'nggegilani'. Benar-benar nggegilani. Tidak cukup hanya koper-koper besar, tapi juga karung-karung plastik yang diselotip penuh. Subhanallah. Apa saja yang mereka bawa? Apa tidak melebihi timbangan?

Saya bertanya pada seorang peserta perempuan, apa saja yang ada dalam karung plastik besar yang dibawanya. Rice cooker, kompor, sprei, dan bahan makanan. Dia harus nambah 300 rb untuk kelebihan muatannya. Saya tanya, 'apa 'bekakas' yang ada di karungmu itu nilainya ada 300 rb?' Jawabnya, 'tidak, bu, tapi nggak papa, bu, kan untuk setahun....'

Anak-anak itu sepertinya takut tidak bisa makan di Sumba Timur. Seperti tidak siap lapar, apa pun dibawa, sambal pecel, kering tempe, sambal bajak, abon, kecap, garam, gula, teh, kopi, rambutan, bahkan ada juga yang membawa boneka besarnya. Oh Tuhan. Saya ngeres melihat pemandangan itu. Pelatihan ketahanmalangan tidak berhasilkah?

Sore itu kami semua jadi manol di bandara. Bergotong-royong memindahkan bagasi peserta dari depan pintu terminal menuju ke dua buah bus yang akan mereka tumpangi menuju penginapan. Dan benar saja, dua bus itu tidak cukup. Bagasi mereka saja melebihi satu bus. Ditumpuk-tumpuk di atas atap bus pemda pun masih tidak cukup. Bus harus 'ngunjal' separo dari mereka dulu ke penginapan, balik lagi untuk mengambil separonya. Saya dan bu Luci menunggui mereka di halaman bandara sampai mereka dijemput bus. Sekitar satu jam kemudian baru kelar.

Kami bersama pak Minggus menuju penginapan Cendana. Lega karena semua peserta dan bagasinya telah terangkut. Tapi pikiran saya bercabang-cabang. Anak-anak manja tadi terus menyita pikiran saya. Siapkah mereka hidup di tengah-tengah belantara masyarakat Sumba Timur yang mungkin tantangannya tak pernah mereka bayangkan? Saya ingin meyakinkan diri saya sendiri mereka akan sanggup menjalaninya. Mereka akan tertempa oleh alam, oleh keadaan, oleh tuntutan dan tantangan.

Jumat, 9 Desember 2011
Wassalam,
LN

Ke Sumba Lagi (4): Pertemuan yang Bermakna

Pagi jam 08.30 kami bertiga, saya, pak Wasis dan Bu Luci, sudah berada di kantor Dinas PPO. Kami diantar masuk ke ruang ibu sekdis. Perempuan itu menyapa kami dengan pertanyaan apakah kami nyenyak tidur semalam. Kami jawab, begitu kami masuk kamar semalam, kami langsung 'hilang', lelap sampai pagi.

Bersama ibu sekdis, kami memasuki ruang bapak kadis. Bertemulah kembali saya dengan laki-laki tinggi besar yang ramah itu. Di dalam ruangannya yang ber-AC, tapi penuh dengan asap rokok. Saya melaporkan bahwa kemarin kami membawa 46 peserta SM-3T yang berasal dari Sumba Timur, pulang dari Surabaya, setelah mengikuti tahap prakondisi. Saya juga menyampaikan salam pak Rektor, dan keinginan beliau utk suatu saat bisa melakukan kunjungan ke daerah sasaran yang terluar. Kami juga meminta supaya pengawas dilibatkan utk bisa memastikan para peserta melaksanakan tugas pengabdiannya dengan sebaik-baiknya, di bawah bimbingan dan arahan para pengawas.

Pukul 09.00 kami keluar dari ruang pak Kadis, menuju ke aula. Di sana sudah menunggu 21 camat dan 103 kepala sekolah, mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, dan SMK. Pagi ini kami akan rapat koordinasi dengan semua camat dan kepala sekolah yang menjadi sasaran kegiatan SM-3T Unesa. Rapat dipimpin langsung oleh Asisten Administrasi Pemkab Sumba Timur.

Konsumsi pertemuan adalah berbagai macam kue yang semuanya berasa manis: bolu kukus yang ujungnya berwarna hijau sekali, kue cuncum yang vlanya berwarna pink, dan kue karamel yang coklat tua. Kue-kue itu diletakkan di piring-piring, dua piring dibiarkan di meja depan di tempat pak kadis, pak asisten, saya, dan bu sekdis. Piring-piring yang lain disorongkan dari satu orang ke orang lain, untuk mereka ambil salah satunya. Tidak ada snack box dengan macam-macam kue yang legit, gurih, harum, dan berkesan mahal seperti yang biasa kita temui pada rapat-rapat di Surabaya. Hemat, simpel.

Saya diminta pak Asisten utk menjelaskan apa itu SM-3T kepada peserta rapat. Sebagian besar mereka mungkin sdh pernah mendengar tentang SM-3T. Namun apa sebenarnya SM-3T, mungkin mereka belum memahami secara utuh. Tugas saya adalah menjelaskan kepada mereka terkait dengan program Dikti itu, tujuannya, ruang lingkupnya, dan tindak lanjut setelah program. Secara tulus saya sampaikan ucapan terimakasih kepada Bupati dan Kepala Dinas PPO Sumba Timur beserta jajarannya, camat, kepala desa dan seluruh masyarakat Sumba Timur. Mereka semua telah menyambut program ini dengan sangat proaktif, mulai dari tahap sosialisasi sampai saat ini. Komitmen mereka utk mensukseskan program ini begitu luar biasa.

Saya juga menyampaikan bahwa kami menitipkan seluruh peserta SM-3T Unesa di bawah bimbingan dan arahan beliau-beliau. Mereka menyambutnya dengan sangat baik. Bisa saya lihat dari sorot mata dan pancaran wajah mereka. Ketulusan dan keterbukaan. Juga dari kalimat-kalimat yang terlontar dalam sesi tanya jawab. Penuh dengan rasa syukur dan ucapan terima kasih, karena program ini bagi mereka adalah bukti nyata kepedulian pemerintah pusat pada pemerintah daerah, khususnya di daerah 3T, dan khususnya lagi pada bidang pendidikan.

Pak Asisten juga sempat menceritakan bahwa pada beberapa waktu yang lalu, salah satu pulau terluar di Sumba Timur, yaitu Pulau Selura, melakukan gerakan melepaskan diri dari NKRI. Mereka merasa tidak ada untungnya menjadi bagian dari NKRI, karena tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah pusat atas nasib mereka. Saat ini, di Pulau Selura yang hanya memiliki 1 SD, akan didirikan SMP satu atap sebagai respon pemerintah atas teriakan mereka. Ketika pak Asisten menjelaskan hal tersebut, pak camat Selura manggut-manggut tanda setuju. Pulau Selura bisa dicapai dengan waktu sekitar 5-6 jam dari Waingapu dengan mobil, dan sekitar setengah jam menyeberang laut. Namun bila musim barat seperti ini, bahkan bapak kabid pun tidak sanggup untuk mengantar sampai ke sana. Pak Rektor mungkin berminat utk mengunjungi pulau ini dalam kegiatan supervisi nanti.

Rapat koordinasi siang itu menjadi rapat yang benar-benar bermakna. Selain mencerahkan bagi para camat dan kepala sekolah tentang apa itu SM-3T, juga menjadi ajang curhat bagi para camat. Curhat yang penuh dengan harapan agar pertemuan seperti ini lebih sering diadakan, dan agar pemda serta dinas PPO lebih memahami berbagai kendala yang mereka hadapi di lapangan. Bagi kami, tim SM-3T Unesa, pertemuan ini sangat membantu kami dalam mendekatkan program pada masyarakat, khususnya perangkat kecamatan dan kepala sekolah, sehingga mereka merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab atas suksesnya program. Sayangnya, seperti pada pertemuan-pertemuan yang lain, pertemuan ini pun dipenuhi dengan asap rokok. Mengepul-ngepul memenuhi ruangan yang panas. Mulek, membuat dada ampek.....

Kamis, 8 Des 2011
Wassalam,
LN

Rabu, 14 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (3): Jumpa Waingapu Lagi

Akhirnya mendaratlah kami di Umbu Mehang Kunda Airport. Pukul 16.30 waktu Waingapu. Begitu memasuki ruang pengambilan bagasi, kami langsung disambut oleh perempuan hitam tinggi besar, rambut ikal yang diikat ke belakang, mata tajam dan berkaca mata. Khas perempuan Sumba. 'Selamat datang, bu Prof', sambutnya, menyalami saya, dan kami berpelukan akrab. Dialah ibu Lusia M. Kitu, sekretaris Dinas PPO Sumba Timur. Beliau yang tempo hari menjadi narasumber di tahap prakondisi, untuk materi kondisi pendidikan di Sumba Timur. Perempuan paling cerdas yang saya temui di Sumba Timur.

Saya kenalkan bu Luci dan pak Wasis kepada bu Lusia. Peserta SM-3T juga menyalami beliau. Berbondong-bondong dengan muka cerah. Di luar, sanak saudara mereka telah menunggu. Seperti orang yang habis pulang umroh, mereka seperti tidak sabar utk segera bertemu.

Udara panas sekali dan pengap di ruang pengambilan bagasi yang sempit. Ada 2 kipas angin, satu tidak berfungsi. Keadaan yang sama ini saya alami ketika saya pertama kali datang ke sini sekitar sebulan yg lalu. Panas, pengap, penuh asap rokok.

Tiba-tiba seseorang menyapa saya. Aryanto, driver yang pernah mengantar kami, saya dan pak Pramukantoro, mengambil data dewan pendidikan ke Waikabubak dulu. Dengan penampilan yang sama. Kaus putih, kalung salib, dan gelang monel besar melingkari tangannya.

Setelah bagasi keluar dan berada di tangan kami masing-masing, pak Wasis mengambil tempat tepat di depan pintu keluar. Setiap peserta yang keluar diminta boarding pass-nya. Tidak boleh kelewatan, atau kami akan kesulitan meng-spj-kan transpor mereka.

Bu Lusia ternyata dengan pak Dominggus, driver dinas PPO yang juga menjemput kami ketika pertama kali datang ke Waingapu dulu. Dan, seperti juga yang lalu, kami mampir di rumah makan Mr Cafe. Perut lapar kami membuat kami mampu melahap sup buntut sampai nyaris habis tandas.

Kami diantar ke hotel Merlin. Hotel yang cukup terkenal (tidak berarti paling bagus) di Sumba Timur. Dibanding dengan hotel Alvin tempat kami dulu menginap, hotel Merlin memang lebih ramai. Di depannya ada tanah lapang, yang setiap sore orang duduk-duduk bersantai sambil makan jagung bakar dan aneka jajanan yang lain. Di seberang kanannya, ada pasar tradisional yang menjual berbagai macam
kebutuhan, bahan kering, bahan basah, kain-kain khas Sumba, dan juga souveneer yang lain.

Ketika mengantar kami masuk kamar, seseorang menyapa bu Lusia. 'Mama, kenapa mama antar sendiri tamu ke hotel?'. Jawab bu Lusia: 'Ya, karena ketika saya ke Surabaya, bu Prof juga antar saya ke hotel.' O o....saya baru menyadari, sebulan yang lalu, ketika tiba di bandara Waingapu, saya hanya dijemput driver, tanpa siapa-siapa. Tapi ketika bu Lusia ke Surabaya, saya dan bu Asri, bendahara SM-3T, menjemput bu Lusia dari bandara, menemaninya makan malam, dan mengantarnya sampai ke lobi hotel. Tentu saja dengan diantar driver dan mobil kampus. Hal itu ternyata menjadi catatan khusus baginya, sehingga sore ini beliau merasa harus menjemput sendiri kami dari bandara.

Kami rasan-rasan dengan pak Wasis dan bu Luci: ya....beliau pejabat, layak kita jemput. Lha kita ini? ....dijemput driver pun sudah bagus.....

Rabu, 7 Desember 2011
Wassalam,
LN

Selasa, 13 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (2): Terdampar di Maumere

Kami menikmati penerbangan dengan cukup nyaman. Meskipun udara di dalam pesawat agak panas. AC-nya rupanya lagi tidak beres. Dari Juanda menuju Ngurah Rai, ditemani sepotong roti dan segelas air mineral. Di depanku, Umbu Lara Lunggi, bercanda kocak dengan teman-teman di sebelah kanan-kirinya, Apriani Rambu Dai Duka dan Magdalena Lika Ndewa. Anak periang itu menggoda Magda yang ketakutan
naik pesawat. Setiap ada guncangan sedikit saja, Umbu teriak-teriak histeris sehingga membuat Magda pucat-pasi. Apalagi ketika landing di Ngurah Rai, Umbu teriak keras bersamaan dengan mendaratnya roda pesawat di landasan. Teriakannya memancing yang lain juga teriak-teriak kaget, namun segera berganti menjadi sumpah-serapah ketika tahu anak bengal itu sengaja membuat teman-temannya histeris.

Saya dan bu Luci tertawa-tawa saja melihat kelakuan mereka. Seringkali mereka melontarkan ucapan-ucapan dengan bahasa Jawa yang medok. 'Lho lho lho lho.....sik, sik, sik.....'. Kami awalnya tidak paham kalau mereka sedang menirukan ucapan khas teman kami, bu Trisakti. Karena kalimat itu sering dilontarkan, yang kemudian mengundang gelak tawa mereka, kami akhirnya juga tertawa geli setelah tahu maksudnya. Bu Trisakti, salah satu tim inti kami yang mungkin paling sering berinteraksi dengan mereka. Mulai dari tahap rekrutmen sampai prakondisi. Selama masa itu, dia yang sering menegur peserta yang lupa tidak mengenakan ID-card, atau mengenakan T-shirt, atau masuk ruangan tidak
bersepatu, atau yang lupa tidak mengisi daftar hadir, dengan kalimat 'lho lho lho lho....sik, sik, sik....'. Setelah upacara pelepasan di auditorium, dia juga yang intens memberikan instruksi ke peserta tentang berbagai hal terkait dengan apa yang harus dilakukan menjelang pemberangkatan, membagi pengelompokkan peserta utk memudahkan koordinasinya, menekankan jam berapa mereka harus dating di Juanda, di mana berkumpulnya, dan lain-lain. Pengalamannya membawa rombongan
besar melakukan perjalanan di dalam maupun ke luar negeri, sangat membantu kami dalam mengkoordinir peserta. Dan di sela-sela instruksinya, bila ada peserta yang mis-communication, dia akan menjawabnya dengan kalimat pembuka 'lho lho lho lho....sik, sik, sik....'.

Ngurah Rai kami tinggalkan. Udara di dalam pesawat tetap panas. Kami sedang menuju Kupang. Akan transit sebentar dan melanjutkan perjalanan ke Waingapu. Ditemani dengan roti yang jenisnya sama persis, dan juga segelas air mineral yang sama persis. Beberapa saat kemudian, pramugari mengumumkan kalau pesawat akan segera mendarat di Bandara El Tari, Kupang. Mendung tebal dan gelap ada di bawah kami. Rupanya cuaca tidak terlalu bagus. Dan benar, setelah beberapa saat
menunggu, pesawat tidak kunjung mendarat, pramugari malah mengumumkan bahwa pesawat batal mendarat di Kupang karena cuaca buruk. Pesawat langsung menuju Maumere, akan mendarat di sana, yang selanjutnya menunggu sampai cuaca memungkinkan utk terbang kembali ke Kupang. Begitu pramugari menyelesaikan pengumumannya, saya langsung teriak 'SM-3T!'. Para peserta menyambutnya dengan yel-yel: 'Maju bersama mencerdaskan Indonesia!' Diakhiri dengan tepuk-tangan riuh-rendah.

Maka turunlah kami semua di Frans Seda Airport. Untuk memanfaatkan waktu, kami berfoto-foto di depan papan nama. Lantas lapor ke bagian transit. Masuk ke ruang tunggu. Perut lapar membuat mata kami liar ke sana-kemari mencari mangsa. Dan bertemulah kami dengan counter makanan yang menjual mie instan. Kami memesan sejumlah pop mie, utk kami bertiga, dan untuk para peserta. Juga minuman botol yang dingin. Udara panas di pesawat membuat kami ingin minum yang segar-segar.

Beberapa peserta sudah mulai menyantap makanannya. Giliran kami bertiga. Pop mie sudah di tangan. Belum sempat kami makan, ada pengumuman kalau pesawat kami akan segera terbang menuju Kupang, dan kami semua diminta utk segera memasuki pesawat. Pak Wasis agak gugup, melahap mie-nya yang masih setengah matang dengan terburu-buru. Saya tenang saja, meminta kantung plastik ke penjual, memasukkan pop mie ke kantung, menentengnya. Begitu juga bu Luci. 'Mana boleh bawa mie masuk pesawat', protes pak Wasis. Saya jawab, 'salah sendiri, siapa suruh singgah di Maumere, perut lapar lagi'. Pak Wasis pun ikut-ikutan minta kantung plastik, dan menenteng mie instannya masuk pesawat.

Tentu saja, tidak pernah kami bayangkan suatu ketika kami akan menyantap mie instan di dalam pesawat. Saya sendiri sudah beberapa hari ngidam pingin makan mie instan, sejak instruktur pelatihan outdoor menginstrusikan peserta utk belanja perbekalan mereka, termasuk mie instan, menjelang berangkat ke Dlundung. Sudah sempat juga makan mie instan di Dlundung, tapi masih belum puas.
Tidak disangka-sangka, keinginan itu kesampaian lagi justru ketika kami sedang terdampar di Maumere, dan menyantap mie instan kami di dalam pesawat yang sedang terbang. Ternyata, menikmati mie instan di udara, sensasinya luar biasa...(Ini ceritaku....apa ceritamu?).

Wassalam,
LN

Senin, 12 Desember 2011

Ke sumba lagi (1): Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia

Pagi pukul 05.30, saya sudah berada di Wisma PU. Diantar mas Ayik. Dua bus Unesa sudah parkir di halaman PU. Menunggu para penumpangnya, peserta SM-3T dari Sumba Timur, yang akan kembali ke Sumba Timur untuk menunaikan tugas. Selama 9 hari mereka, bersama-sama peserta yang lain, lulusan dari berbagai perguruan tinggi, telah dikarantina di Wisma PU untuk kegiatan prakondisi. Tiga hari yang lain mereka habiskan di bumi perkemahan Dlundung, Trawas, Mojokerto, utk menerima pelatihan ketahanmalangan dan berbagai aktivitas outdoor.

Saya sendirian sebagai pendamping di PU pagi ini. Dua teman saya, pak Wasis dan bu Luci, langsung ke Juanda dari rumah masing-masing. Pak Nardi yang mengurusi tiket, bahkan sudah sms saya jam 05.00 tadi, dia sedang men-check in-kan kami semua, 46 peserta dan 3 pendamping.

Daftar peserta sudah ada di tangan saya. Beberapa peserta sudah ada yang keluar dari kamar mereka, menuju bus yang menunggu, lengkap dengan bagasi mereka yang....bo-abooh....ngalah-ngalahi orang mau pergi haji. Dandanan mereka necis-necis. Beberapa malah dengan penampilan yang beda banget dengan ketika pertama kali mereka masuk ke wisma PU. Dengan baju dan celana panjang ketat, berkaca-mata hitam, dan sandal atau sepatu modis, serta rambut yang sudah di-rebounding (gara-gara rebounding ini panitia sampai harus menunggui mereka hingga pukul 22.00 malam!). Kemarin setelah upacara pelepasan di auditorium (dilepas oleh pak Rektor), dua bus Unesa memang kami sediakan khusus bagi mereka, untuk mengantar mereka berwisata kemana pun mereka inginkan, lapindo, jembatan suramadu, ITC, plaza...beberapa di antaranya menyempatkan diri ke salon (emaknya saja nggak sempat-sempat mau ke salon!).

Saya mulai memanggil satu per satu nama peserta, memastikan mereka masuk ke bus. Eryxon, ketua kelompok Sumba Timur, saya minta membagikan nasi dus, konsumsi sarapan pagi ini. Beberapa yang lain saya minta 'ngoprak-ngoprak' teman-temannya yang masih belum muncul. 'Sebentar, Ibu, Yuvent masih pasang sepatu...', itu salah satu laporan salah seorang dari mereka, setelah menengok temannya yang masih belum keluar kamar.

Kami berangkat tepat pukul 06.00 menuju Juanda. Dua bus penuh sesak. Di kursi belakang penuh bagasi. Kebek mencep. Peserta menyantap makan paginya. Sebelum sampai bandara, kuminta mereka sudah menyelesaikan sarapannya, dan memasukkan kotak-kotak nasi itu ke kantung plastik besar, sebelum mencapai Juanda.

Hari ini kami memberangkatkan 46 peserta SM-3T, yang semuanya berasal dari Sumba Timur. Mereka kami berangkatkan lebih dulu karena kalau tidak, kami harus terus menampungnya di wisma PU termasuk menanggung kebutuhan makannya selama di penginapan itu. Mereka tidak punya sanak saudara di sini, tidak seperti peserta yang lain, yang bisa pulang ke rumah masing-masing atau pulang ke kampong halamannya, selepas masa prakondisi. Sebanyak 99 peserta yang lain akan kami berangkatkan tanggal 9 Desember, sedangkan 92 yang lain kami berangkatkan tanggal 11 Desember. Sesuai jadwal penerbangan yang ada, yang memang tidak setiap hari tersedia.

Bu Luci dan pak Nardi menyambut kami di drop-zone begitu bus berhenti di keberangkatan domestik. Pak Nardi langsung bertindak cepat. Memanggil ketua-ketua kelompok, memastikan kesepuluh anggota mereka sudah pegang bagasi masing-masing, dan meminta ketua kelompok membagikan boarding pass. Ya, kami semua langsung menerima boarding pass, tiket sudah diamankan pak Nardi. Lantas, seperti iring-iringan kuda sumba, mereka mengekor di belakang saya, dan bu Luci di barisan paling belakang sebagai penyapu.

Kami melewati pintu masuk dengan tertib. Berbaris rapi di depan counter check-in yang ramai. Menimbang bagasi kami satu per satu. Salah seorang peserta tiba-tiba lapor ke kami, satu tas besar akan dibawanya masuk ke pesawat, karena timbangannya melebihi batas. Saya mencoba mengangkat tas itu. Buwerat banget. Saya perkirakan lebih dari 15 kg. Entah apa yang dibawanya. Di saat itu, muncullah pak Wasis. Maka tanpa pikir panjang, saya minta pak Wasis utk mengambil alih bagasi itu, menimbangnya sebagai bagasi dia. Dari awal memang sudah kami kondisikan, bagasi jangan sampai melebihi 20 kg/orang. Meskipun sebenarnya bisa ditimbang sebagai bagasi group, tapi kami tidak ingin peserta
'jor-joran' bagasi. Repot sendiri nanti panitianya.

Kami lantas menuju ruang tunggu di lantai 2. Beberapa peserta masih menenteng tas dan kantung-kantung plastik. Ada yang berisi roti boy, dunkin donut, ada yang berisi apel manalagi, ada juga yang isinya mainan anak-anak. Oleh-oleh untuk sanak saudara mereka. Seorang peserta, namanya Arifuddin, lulusan STKIP Bima, semalam sms saya, 'Ibu, saya ingin membawakan oleh-oleh utk ibu saya, apa yang sebaiknya saya beli?' Saya jawab, 'belikan saja baju, ibu biasanya suka sekali kalau dibelikan baju'. Maka pagi itu ketika saya tanya apa yang dia beli untuk ibunya, dia jawab, 'saya beli baju seperti saran ibu'. Sebagian besar dari mereka keranjingan shopping setelah siang hari sebelumnya menerima beasiswa
bulan pertama mereka, 2 juta rupiah dan bantuan biaya hidup 500 ribu.

Menunggu boarding ternyata mengasyikkan juga. Melihat tingkah polah mereka. Melihat gaya mereka yang tiba-tiba saja menjadi remaja-remaja metropolis. Seperti di sinetron-sinetron. Juga kepolosan mereka yang mengagumi begitu besar dan megahnya bandara Juanda. Dan keceriaan mereka, kekonyolan mereka, serta kebahagiaan karena akan segera bertemu dengan sanak saudara.

Akhirnya masuklah kami ke dalam Batavia Air. Kami akan terbang menuju Waingapu, ibukota Sumba Timur. Di hampir seluruh pelosoknya, kami akan saling bahu-membahu menabur benih-benih ketulusan, menanamkan cinta kasih dan kepedulian bagi sesama, bagi anak-anak bangsa di titik-titik terpencil di negeri ini. Seperti yel-yel yang selalu kami dengung-dengungkan: Maju Bersama Mencerdaskan
Indonesia!

Rabu, 7 Desember 2011
Wassalam,
LN

Minggu, 04 Desember 2011

Ultah di Dlundung

Pukul 08.30. Cuaca agak mendung. Tapi kami berangkat menuju Dlundung, menengok kegiatan pelatihan ketahanmalangan peserta SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal, Terluar). Sebetulnya saya disediakan mobil Unesa, tapi karena kami masih ada tamu, dan mas Ayik menginginkan untuk mengantarkan saya, maka teman-teman panitia saya minta berangkat lebih dulu bersama driver kampus.

Dlundung mendung ketika kami datang pada pukul 10.30-an. Sejak dari pintu masuk camping ground, para peserta SM-3T sdh terlihat, dengan kaus abu-abu dan scarf oranye-nya. Bergerombol-gerombol. Di antara mereka ada sejumlah orang berkaus hitam kombinasi kuning, yang di punggungnya bertuliskan 'instruktur'. Merekalah para pelatih dan pendamping. Tim yang terdiri dari dosen FIK, dokter, anggota TNI, anggota Menwa, dan anggota Pramuka, serta belasan mahasiswa senior.

Kami turun dari mobil dan disambut dgn teriakan pak Tutur Jatmiko serta bu Nanik Indahwati. 'Selamat datang, Prof (Prof, panggilan yg tdk terlalu saya sukai). Mereka adalah dua orang dosen FIK, yang di mata saya, begitu luar biasa. Bu Nanik (sebentar lagi doktor, tinggal menunggu ujian terbuka), adalah coordinator prakondisi peserta SM-3T. Sedangkan pak Tutur adalah koordinator kegiatan outdoor, termasuk pelatihan ketahanmalangan. Pengalamannya dalam menangani kegiatan outbond begitu terlihat dari caranya mengemas kegiatan prakondisi ini menjadi begitu bermakna: penuh tantangan, kedisiplinan, kerjasama, tanggung jawab, kemandirian, sekaligus kegembiraan. Saya seperti menemukan kekuatan baru dengan adanya bu Nanik dan pak Tutur, dua di antara tim inti program SM-3T yang sangat bisa diandalkan.

Ternyata saya dan mas Ayik datang bersamaan dengan bu Trisakti (doktor Seni Rupa), yang juga tim inti program SM-3T. Dia adalah koordinator rekrutmen. Komitmennya sangat mengagumkan. Dia orang yang super cermat, pekerja keras, dan sangat menyenangkan karena begitu humoris. Kalau pekerjaannya tidak kunjung selesai sementara deadline semakin mengejar, atau bila ada salah satu teman melakukan kesalahan prosedur, maka yang dilakukannya adalah melempar joke segar sehingga suasana kerja tetap menyenangkan meski di bawah tekanan, sepanjang hari. Kegemarannya memotret  membuatnya cepat terpisah dari kami, menyelinap di antara tenda-tenda peserta, bergerak dari satu titik ke titik yang lain, memotret ke sana kemari. Seperti halnya bu Nanik dan pak Tutur, bagi saya, bu Trisakti bagai tiang utama dalam bangunan SM-3T. Kinerjanya sudah sangat teruji.

Kami berempat, saya, pak Tutur, bu Nanik, dan bu Trisakti, membaur dengan peserta. Mereka baru saja melakukan berbagai aktivitas outdoor, dan sekarang sedang bersiap utk makan siang. Konsumsi makan sehari-hari harus mereka adakan sendiri, dengan sejumlah uang belanja yang disediakan panitia, dan jenis serta jumlah bahan pangan yang juga ditentukan panitia. Beberapa bahan pangan yang harus mereka bawa adalah nasi jagung, sagu, ikan asin, dan mie instan. Bahan segar bisa belanja di tempat perkemahan. Jadi siang itu kami menikmati bubur sagu yang dimasak peserta, di salah satu tenda. Bubur kental berwarna coklat tua dengan kuah santan. Gurih dan manis. Di tenda lain, peserta menyiapkan nasi jagung, ikan asin, dan sambal terasi utk makan siang mereka. Ada juga yang makan nasi putih dengan osen-oseng tahu tempe saja. Apa pun menunya, mereka semua makan dengan lahap. Ada yang menggunakan piring plastik, kertas lilin, kom nasi, kom sayur, dan yang membuat kami terpingkal-pingkal, ada juga yang menggunakan tutup dandang sabluk sebagai piring makan. Wah....wah....

Saya dan mas Ayik menyempatkan diri bergabung di tenda panitia, bersantap makan siang dengan menu utama rawon. Mas Ayik bahkan mendapatkan bonus pijet dari pak Tutur, karena kemarin dia habis jatuh dan kaki kanannya agak njarem. Dasar tukang guyon, mijetnya sambil berkelakar dan penuh dengan saling lempar olok-olokan. Kami juga menikmati jagung bakar dan mie instan di sebuah warung tenda di dekat tenda panitia. Ada juga belasan butir durian yang, karena kami sudah kekenyangan, memilih tdk ikut pesta durian.

Siang itu adalah momen yang begitu menyenangkan. Menikmati kebersamaan bersama orang-orang hebat. Di alam bebas. Di bawah rintik-rintik gerimis. Di antara pepohonan hijau yang tinggi menjulang. Berbaur dengan anak-anak bangsa yang penuh cita-cita dan harapan.

Dan yang lebih membahagiakan hati saya adalah ketika mas Ayik berkomentar: ini adalah hadiah ulang tahun yang luar biasa....

Minggu, 4 Desember 2011
Wassalam,
LN

Jumat, 18 November 2011

Sumba (6): Oleh-Oleh Khas - the end

Selepas dari kantor dinas PPO, Aryanto mengantar kami membeli oleh2 dulu sebelum menuju bandara. Kami beli bagia. Sebenarnya mungkin bukan makanan khas Waingapu. Tetapi aku tdk melihat alternatif lain karena selebihnya adalah kacang, jagung, mente, bakpia....yang tidak terlalu menarik utk kubawa sebagai oleh-oleh. Bagia, setidaknya, di kemasannya yang lumayan bagus, ada tulisannya diproduksi di
Waingapu.

Kami juga diantar ke Kota Raja, Preliu. Suatu tempat yang di dalamnya terdapat kampung yang semua kerabatnya adalah pembuat kain tenun. Ada makam besar, makam raja mereka, yang dikelilingi oleh makam kerabat-kerabatnya. Ada pohon besar sekali, usianya sudah ratusan tahun, yang di dahan utamanya, terpasang kepala-kepala kerbau yang sudah mengering. Kerbau-kerbau yang disembelih untuk peristiwa-peristiwa khusus, kematian, perayaan kelahiran, pernikahan, dan sebagainya. Di dahan pohon itu, terjuntai dua lembar kain, selembar kain untuk perang (mereka punya tradisi perang antar suku setiap tahun, di bulan Februari atau Maret, bersenjata kayu, dan dalam perang itu akan jatuh korban luka dan bahkan meninggal, tapi hukum tidak berlaku, kecuali hukum adat); selembar lagi adalah kain yang menceritakan kehidupan raja, kesehariannya, sampai pada meninggalnya (ada gambar makam raja di ujung kain tersebut).

Saya membeli beberapa lembar kain utk lenan rumah tangga. Untuk oleh-oleh mas Ayik, penyuka barang-barang seni. Sebagian mungkin bisa utk saudara dan sahabat. Juga selembar sajadah (di komunitas Sumba yang mayoritas Kristen dan Protestan, kain tenun dgn motif sajadah sangat jarang). Beberapa lembar kubeli di satu penjual, beberapa lagi kubeli di penjual yang lain, supaya tdk hanya membagi rezeki di satu penjual. Begitu juga pak Pram, dia membeli beberapa lembar kain, juga dua buah kalung khas Sumba, untuk anak perempuannya. Kalung khas Sumba yang asli, kata mereka harganya bisa mencapai puluhan juta. Kalung itu akan diwariskan dari orang tua ke anak, dari adik ke kakak, dan seterusnya. Terbuat dari tanah liat, berwarna kuning oranye. Perempuan Sumba yang sudah menikah biasanya memakainya, sampai mereka sudah menjadi nenek-nenek. Juga gelang, dari bahan yang sama. Dua orang nenek-nenek yang sedang menenun, kulihat mengenakan gelang itu di tangannya.

Pukul 11.00, kami sampai di bandara. Karena belum makan dari pagi, kami bertiga makan di kafe jawa, di bandara itu. Yang jual perempuan dari Tulungagung. Sudah 7 tahun tinggal di Waingapu. Awalnya ke Waingapu untuk kulakan kulit kerbau, bahan kerupuk rambak. Dia punya usaha pembuatan kerupuk rambak di Tulungagung. Lantas ketemu jodoh di Waingapu, dan menetaplah dia di Waingapu. Dia menjual nasi campur: nasi putih, oseng-oseng  tahu tempe, mie, sambel goreng daun pepaya dan pare, ikan goreng dan ayam kare. Kalau makan di situ, jangan kaget, meskipun yang jual orang sesuku (Jawa), harganya terlalu mahal. Mungkin karena kafenya (sebenarnya itu warung biasa saja, sangat biasa), nempel di dinding bandara. Tapi tetap saja, menurutku, harganya tidak rasional.

Kami lantas diantar Aryanto masuk ke ruang check-in. Dia bebas saja masuk, semua petugas sepertinya sudah mengenalnya. Baru di pintu masuk saja, kami sdh ditanya KTP oleh petugas. Aryanto meminta tiket kami dan membatu men-check in-kan. Selesai, kami lantas dibawanya ke tempat ambil boarding pass, dan masuklah kami  ke ruang tunggu. Di situ, kami berpisah dengan Aryanto. Anak manis itu melepas kami dengan sangat simpatik.

Ternyata ruang tunggunya cukup nyaman dan sejuk. Toiletnya, yang tidak terpisah untuk laki-laki dan perempuan, juga lumayan bersih. Beda dengan toilet yang ada di ruang kedatangan.

Dan saat ini, kami ada di antara para penumpang yang menunggu boarding. Kuhitung tidak lebih dari 25 orang termasuk anak-anak. Hanya sekitar 8 orang di antaranya yang nampaknya bukan penduduk asli NTT, termasuk kami. Pesawat Transnusa yang akan membawa kami menuju Kupang belum nampak batang hidungnya. Menurut jadwal yang tertera di tiket, kami akan terbang pukul 12.50. Mestinya sebentar lagi boarding.

Tidak ada satu pun pesawat yang parkir. Sepi. Hanya ada kereta bagasi penuh barang, menunggu diangkut. Petugas mengumumkan pesawat akan landing pukul 12.50. Berarti hanya sebentar saja terlambatnya, sekitar 5-10 menit.

Begitu pesawat datang, bagasi dimasukkan, dan masuklah kami semua ke dalam pesawat. Tenang, lancar, tertib. Dan transnusa pun terbang membelah angkasa.

Sekitar 45 menit kemudian, kami mendarat di El Tari. Kembali ke 'peradaban'. Kembali ke kerumunan, hiruk pikuk, dan ketergesa2an. Saya mulai bertemu banyak orang berjilbab di bandara (berhari-lari di Sumba, sangat jarang ketemu orang berjilbab). Bertemu dengan orang-orang  'moderen', dengan penampilan yang sangat beda jauh dengan orang-orang yang baru saja kami tinggalkan di Waingapu atau yang bersama-sama kami di pesawat. Seperti saya, tampaknya mereka juga sedang bertolak kembali ke kota masing-masing seusai menunaikan tugas atau dinas.

Menunggu boarding. Sebentar lagi kami akan terbang dengan Batavia. Transit beberapa saat di Denpasar. Insyaallah pukul 18.00 landing di Juanda. Setumpuk pekerjaan sudah berderet di kepalaku. Besuk tes akademik utk SM-3T di kampus, ngajar di pasca, berangkat ke Tretes utk pelatihan karya tulis bagi mahasiswa bidik misi, menyiapkan materi utk hari Rabu di Jombang, email materi untuk hari Sabtu di Sidoarjo, rapat, masak, korah-korah, bersih-bersih rumah...
.
Begitu berwarnanya hidup.

Kamis, 17 November 2011
Wassalam,
LN

Sumba (5): Ketulusan dan Kepolosan

Pukul 08.00, aku dan pak Pram sdh tiba di kantor Dinas PPO Sumba Timur diantar Aryanto. Tujuan kami adalah mengambil data dari dewan pendidikan dan dinas pendidikan, serta mengambil surat dari dinas pendidikan dan bupati utk rektor. Surat utk rektor merupakan surat permohonan supaya tes dan  kegiatan prakondisi SM-3T untuk peserta dari Sumba Timur dan sekitarnya bisa dilaksanakan di Waingapu.

Kami langsung menuju ke ruang kasubag pendidikan dan Olah Raga. Ibu Rambu, kasubag umum dan kepegawaian (baru dua hari berdinas. Kasubag yang lama, ibu Naomy, dimutasi ke dinas pertambangan, bersamaan dengan kedatangan kami di Sumba Timur Senin lalu), menemui kami. Meskipun sebelumnya saya selalu kontak dengan bu Naomy (bahkan sampai kemarin bu Naomy masih terus membantu kami), bu Rambu langsung nyambung ketika kami tanyakan tentang persiapan tes dan prakondisi. Artinya bu Naomy pasti sudah mengkomunikasikan semuanya pada beliau.

Surat dan data sudah di tangan. Kami disilakan masuk ke ruang kepala dinas utk pamit. Laki-laki tegap dan ramah itu menyambut kami dengan senyumnya, juga, seperti biasa, dengan rokok yang tdk lepas dari tangannya. Ruangan yang seharusnya sejuk itu menjadi pengap karena asap. Kami berbincang-bincang  tentang teknis pelaksanaan tes, berapa banyak petugas yang akan kami kirim dari Unesa, di mana tempatnya, dan sebagainya. Beliau menyampaikan harapan supaya pemerintah tidak hanya setengah-setengah dalam memperhatikan masyarakat di wilayah 3T seperti Sumba Timur. Menurut beliau, program ini akan menjadi program yang seolah hanya menebar garam di laut. Perlu diketahui, peserta SM-3T akan ditugaskan di wilayah 3T utk mengabdi selama setahun, berbeasiswa 2 juta per bulan, dan selepas program mereka akan memiliki tiket utk langsung mengikuti Program Profesi Guru (PPG), sehingga mereka akan memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik, adalah menjadi tuntutan yang tidak bisa tidak bagi siapa pun guru. Program seperti ini dikatakan sebagai program yang menebar garam di laut?

Saya sampaikan ke bapak Kadis, bagaimana pun ini merupakan bukti komitmen dan kepedulian pemerintah untuk mengembangkan SDM di wilayah 3T, mempercepat pembangunan pendidikan di daerah terpencil, sekaligus utk menyiapkan guru-guru  yang profesional, serta memuliakan profesi guru. Di benakku, wajah-wajah polos para peserta SM-3T melintas-lintas, sosok-sosok yang merindukan perhatian dan kepedulian akan nasib mereka. Puluhan sms di ponsel saya terbayang-bayang (saya memang memberikan nomer ponsel saya ketika sosialisai tempo hari, supaya mereka bisa langsung menghubungi saya bila ingin bertanya apa pun tentang SM-3T). Sms yang berisi ungkapan harapan, keluhan, dan doa untuk saya: terimakasih ibu sudah datang, sudah memberikan penjelasan pada kami semua, sudah berbuat utk kami, kami berdoa semoga ibu diberikan kekuatan dan kesehatan oleh Tuhan. Dan puluhan sms yang lain. Hampir setiap sms mereka selalu diakhiri dengan kata-kata: semoga Tuhan memberkati.

Saya jatuh cinta pada kepolosan mereka, pada ketidakberdayaan mereka, pada kemiskinan mereka. Tadi malam beberapa dari mereka nyambangi saya di hotel, menunggu kami datang dari Waikabubak. Hujan deras tidak menghalangi mereka utk datang. Tidak sampai hati rasanya melukai harapan dan kerinduan mereka. Semoga ini tidak sekedar sebagai program yang menebar garam di laut. Saya janjikan pada bapak Kadis, saya akan sampaikan pada pemerintah (dalam hal ini Dikti), agar tindak lanjut program ini tidak hanya berhenti pada pendidikan profesi bagi mereka, namun juga pemberian prioritas bagi peserta utk bisa diangkat menjadi guru.

Kamis, 17 November 2011
Wassalam,
LN

Kamis, 17 November 2011

Sumba (4): Keadaan Sesungguhnya…

Rabu, 16 November 2011

Tidak semanis yang kami bayangkan. Koordinasi jauh-jauh hari, bahkan sampai tadi malam pun masih berkoordinasi dengan Kasubag Dinas PPO dan Ketua Dewan Pendidikan, pagi ini, sampai pukul 10.00, kami hanya dibuat menunggu di ruang kadis. Dua orang datang dari SMK 1 Loli, seorang waka dan seorang lagi orang tua siswa. Ketika saya tanya, mana yang lain, mereka malah balik bertanya, siapa
yang lain, bu? Guru, komite, dan wakil dari DU/DI, tanyaku. Ternyata mereka tidak diinformasikan kalau harus datang bersama mereka semua. Bahkan ditelepon saja juga baru tadi pagi, dan hanya diminta membawa ortu.

Hampir setengah jam kemudian, datanglah seorang lagi. Kepala Sekolah SMK Lamboya. Sama dengan yang tadi, beliau juga tidak tahu kalau harus dating bersama guru, komite, dan sebagainya. Beliau baru rapat di ruang bupati, ditelepon oleh petugas dari dinas, diminta datang ke kantor dinas, karena ada
pengisian data dari direktorat. Hampir setengah jam kemudian, tiga orang datang. Dari SMK  Waikabubak. Seorang guru, seorang lagi wakil dari DU/DI, dan seorang lagi sekretaris komite sekolah.
Ya sudah. Kami harus puas. Ada kepala sekolah, ada komite sekolah, ada guru, ada orang tua. Semua terwakili. Maka kami bagikan instrumen utk mereka isi. Menjelaskan maksud pengisiannya, dan menyilakan mereka bertanya bila tdk memahami maksud pertanyaan/pernyataan dalam instrumen.

Tidak semudah yang kami bayangkan. Bahkan memahami butir-butir instrumen pun tidak mudah bagi mereka. Kami coba menjelaskan, mereka masih saja bertanya. Kalau kami memberikan pertanyaan, harus dijelaskan maksudnya berkali-kali. Itu pun kadang-kadang, meminjam istilah pak Pram, ditakoni ngalor jawabe ngidul.

Ruangan yang sejuk jadi terasa 'sumuk'. AC tidak ada. Kipas angin juga tadak ada. Orang-orang yang awalnya kuandalkan ternyata tidak memenuhi harapan. Overestimate. Capek juga rasanya. Sekaligus membuat kami prihatin. Seperti inikah kualitas SDM di sini? Daerah yang subur, namun tak nampak kaya-kaya penduduknya. Tanah subur yang seharusnya bisa digarap dan memberikan hasil bumi yang melimpah. Nyaris tidak ada industri yang bisa digunakan sebagai tempat praktik siswa, kecuali hotel-hotel kecil.

Utk bidang lain, harus pergi ke Bima, Denpasar, Mataram, dan Surabaya (untungnya dibiayai oleh Pemda). Fasilitas praktek sangat minim. Bahkan ada salah satu SMK, yaitu SMK 1 Lamboya, 27 km dari Waikabubak, listrik belum masuk ke sana. Mereka memiliki belasan unit komputer, tapi karena listrik pakai genset, kamputer hanya bisa dioperasikan maksimal 5, sehingga prakteknya gantian. Inilah 'SMK Sastra' itu. SMK dgn minim sarana prasarana praktek, dgn kemampuan SDM yang terbatas baik jumlah maupun mutunya, dan dengan lingkungan yang kurang mendukung.

Pengisian instrumen selesai pukul 14.00. Sesiang itu, hanya segelas teh dan dua-tiga potong pisang goreng yang masuk perut kami. Di sini tidak ada 'suguh-gupuh' seperti kebiasaan kita di Jawa. Tidak ada tawaran makan siang. Bahkan sekadar barbasa-basi pun, tidak ada.

Kami pamit pulang dan tidak jadi mampir ke sekolah2. Hujan turun cukup deras, dan ketua dewan pendidikan tidak merekomendasikan kami utk ke sekolah2 karena jalannya tidak cukup aman dalam kondisi hujan seperti ini. Maka kami langsung menuju Sumba Timur, setelah makan di warung Padang. Sepiring nasi, sayur daun ketela dan nangka muda, paru goreng, udang goreng, lengkap dengan sambal merah dan hijau....cukup utk cadangan energi menuju Waingapu.

Wassalam,
LN

Rabu, 16 November 2011

Sumba (3): Masyarakat dan Alam Sumba Barat

Pukul 14.30 waktu Waingapu. Siang ini kami bergerak menuju Sumba Barat. Ditemani Ariyanto, pemuda kelahiran Kupang, yang namanya sama sekali tdk berbau Kupang. Pemuda lajang 28 tahun, jangkung, kulit sawo matang, wajahnya seperti kebanyakan orang Sumba, dan rambutnya ikal. Dia berkalung berbahan monel, berbandul salib, dengan gelang-gelang  besar dari bahan yang sama. Waktu saya tanya kenapa masih melajang, bukankah gadis Sumba cantik-cantik, dia bilang, ya betul, ibu, cantik-cantik, tapi
mahal. Saya harus mengumpulkan uang dulu untuk beli kuda dan kerbau untuk menebusnya. O o..... Ariyanto kami sewa bersama mobilnya utk mengantar kami ke Sumba Barat. Tujuan ke Sumba Barat semata-mata utk mengumpulkan data komite sekolah.

Jalan menuju Sumba Barat berkelok-kelok, naik-turun, dengan perbukitan kapur di sisi kanan-kirinya, berseling dengan lembah dan ngarai, serta jurang-jurang yang curam. Pada beberapa bagian mengingatkanku pada rute antara Ponorogo dan Pacitan, beberapa bagian mengingatkanku pada pelosok Tuban, Bojonegoro, Lamongan, yang gersang dan kekurangan air. Sempat kami melihat serombongan perempuan dan anak-anak  bergerombol dengan menenteng jurigen-jurigen, mereka sedang mengantri untuk mendapatkan air.

Beberapa kilometer sebelum memasuki Lewa, sekitar 50 km dari Waingapu, ada serombongan anak dan remaja membawa kom plastik di tangannya, berisi dagangan yang dijajakan pada para pengendara. Jagung rebus dengan kulitnya, kacang rebus, telur rebus, dan juga-yang khas-adalah buah sirih. Yang terakhir ini biasa dikunyah-kunyah dengan kapur (di Jawa namanya 'nginang'), oleh para wanita maupun
pria, sehingga melihat mulut mereka, gigi dan bibir yang merah kecoklatan adalah pemandangan biasa.

Aku membeli jagung rebus 10 ribu, dapat 6, yang 3 dari seorang gadis kecil berusia 8 tahunan, dan 3 lagi dari seorang gadis belasan tahun. Wajah manis mereka penuh peluh dan nampak lelah. Sekantung kacang rebus yang sepertinya sudah tidak segar lagi, kubeli dari seorang bocah lelaki belasan tahun yang
nafasnya ngos-ngosan karena memburu mobil kami.

Beberapa kali kulihat segerombolan kuda yang sedang merumput (mungkin kuda-kuda itulah yang menghasilkan susu kuda liar), kerbau yang beriringan, dan puluhan sapi menyeberang jalan. Rumah-rumah panggung beratap tinggi menjulang, atau rumah-rumah khas Sumba yang beratap jerami. Anak-anak  belasan tahun yang kulitnya hitam legam,  sedang bekerja bermandi peluh ikut melakukan pekerjaan memperbaiki jalan.

Jarak satu rumah dengan rumah yang lain sangat jauh, kadangkala puluhan kilometer. Saya membayangkan, apa yang mereka makan, di mana mereka membeli kebutuhan sehari-hari, dan apa yang dilakukan anak-anak mengisi waktu senggangnya, di mana mereka bersekolah. Sejauh perjalanan yang sudah kami tempuh, sekitar 2 jam dari Waingapu, aku hanya melihat 1 sekolah. Tepat di jalan
yang berkelok tajam, dan sekolah itu ada di bawah sana.

Semakin menjauh dari Sumba Timur, keadaan alamnya semakin subur. Pemandangan hijau dan rimbun di mana-mana, air melimpah di sawah dan rawa-rawa, beberapa rumah sedikit lebih modern, dengan parabola bertengger di salah satu sudut di halamannya. Aku baru tahu kalau mereka harus punya parabola utk bisa melihat TV. Menurut Ariyanto, hanya rumah-ramah yang ada parabolanya itulah yang punya TV. Wah, kalau begitu TV pasti masih menjadi barang mewah bagi mereka, karena kalau beli TV juga harus beli antene parabola. Dan memang tidak banyak rumah yang memiliki parabola; sampai menjelang masuk kabupaten Waikabubak, kuhitung hanya belasan.
Dan tentu saja, kemiskinan tetap mendominasi. Seringkali kulihat para wanita menyunggi jurigen berisi air di kepalanya, atau anak-anak usia sekolah yang bekerja di pinggir-pinggir jalan, dengan wajah lelah dan pakaian lusuh mereka.  Jam di tanganku menunjuk angka 17.00. Masih sekitar dua jam lagi kami mencapai Waikabubak, ibukota Sumba Barat. Nicky Astria mendayu-dayu melantunkan lagu-lagu yang kukenal tapi lupa judulnya. Ariyanto, driver kami, memegang kemudi menyusuri jalan yang meliuk-liuk. Kuperhatikan, kecepatan rata-ratanya cuma sekitar 60 km/jam. Aku senang caranya pegang kemudi. Rileks, fokus. Membuat kami merasa nyaman utk tetap beraktivitas. Aku mebuka laptop, mengecek berkas-berkas dari peserta SM-3T karena hasilnya harus segera kukirim ke Surabaya, melalui sms tentu saja, karena internet tdk bisa. Pak Pram sibuk mengabadikan hampir setiap jengkal pemandangan yang ditemuinya.

Tiba di Waikabubak, kami langsung ke hotel Kuranto. Menurutku lebih tepat disebut penginapan. Bu Titin Gah, kasubag Umum dinas PPO Sumba Barat, sudah menunggu kami. Orangnya cantik, khas Sumba, matanya bulat tajam, terkesan cerdas. Beliau memastikan besuk pagi kami bisa bertemu dengan kepala sekolah, komite sekolah, guru, DU/DI, dan orang tua siswa di kantor dinas. Tak berapa lama, ketua dewan pendidikan datang. Pensiunan pejabat dinas, sudah berumur, tapi masih enerjik. Senang kami merasakan sambutan hangatnya.

Kami membicarakan teknis kegiatan besok. Pengisian instrumen dilakukan di kantor dinas. Semua responden sdh dihubungi. Setelah itu, saya akan mampir ke sekolah-sekolah sebelum bertolak ke Sumba Timur. Ketua dewan pendidikan nampaknya berharap betul saya bisa ke sekolah-sekolah.

Tapi ada yang menggelisahkan saya. Pak Pram asam uratnya kumat. Kakinya diseret ketika turun dari mobil, dengan wajah meringis menahan sakit. Semper. Walah. Ini pasti gara-gara makan mie goreng semalam. Mie dengan minyak yang klomoh, pakai kol. Meskipun sebenarnya pak Pram sudah menyisihkan kol-nya supaya tidak 'katut' termakan, tapi tentu saja tidak mungkin menyisihkan minyaknya. Wah wah wah....bisa diprotes aku sama istrinya....

Wassalam,
LN

Selasa, 15 November 2011

Sumba (2): Ketemu Bupati, Misi Sukses

Pukul 7.30. Kami sudah di lobi, menunggu pak Minggus menjemput kami. Tujuan pertama pagi ini adalah ke kantor kabupaten. Saya akan mengantarkan surat dari rektor Unesa, surat pemberitahuan tentang program SM-3T dan menjajagi kerja sama dalam bentuk penandatanganan MoU. Tapi tentu saja, saya tidak bermaksud sekadar
mengantarkan, saya akan meminta langsung bertemu dengan Bupati. Sudah kuniatkan untuk bisa bertemu, tanggung, jarak sudah kutempuh sejauh ini, terlalu banyak sumberdaya yang dikorbankan kalau hanya sekedar mengantar surat.

Kantor kabupaten Sumba Timur sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dibanding dengan kantor-kantor pemerintahan di daerah kabupaten di Pulau Jawa. Tidak ada kesan 'untouchable' seperti kantor-kantor kabupaten yang sering kulihat, dengan halaman luas dan berpagar, dengan satpam berjaga di pintu masuk.

Beberapa pegawai sedang berbincang-bincang di dekat pintu masuk kantor yang tampak dari luar masih sepi, namun ternyata di dalam ruangan sudah ramai. Kami melihat ada salah seorang pejabat yang mengenakan pakaian adat (katanya namanya malambung), kain khas Sumba yang dililitkan di bagian bawah sebagai pengganti celana
panjang, dengan ujung kain yang menjuntai ke bawah. Di pinggang mereka terselip golok. Kepala mengenakan kain yang sama, yang diikatkan, tidak menutup seluruh bagian kepala.

Setelah bertemu dengan sekretaris pribadi bapak bupati di lantai 2, kami dijanjikan bisa ketemu bupati pada sekitar pukul 11.00. Pagi ini, mulai pukul 09.00, akan ada acara pembukaan sidang DPR. Termasuk juga kepala dinas PPO, juga akan mengikuti acara. Maka meluncurlah kami ke kantor dinas PPO, supaya bisa bertemu dengan Kadis sebelum beliau mengikuti acara pembukaan sidang.

Beruntunglah kami. Pak Kadis sudah hadir, dan kami disilakan petugas untuk langsung menemui beliau. Masuklah kami ke ruangan kadis. Ruangan itu tidak terlalu luas, ber-AC, tapi penuh asap rokok. Aku langsung berasa pengap. Ruangan ber-AC yang penuh dengan asap rokok. Berapa banyak racun yang telah dihisap oleh sekretaris pak kadis yang cantik itu, dan beberapa staf di ruangan itu, mengingat mereka mungkin sudah bertahun-tahun di ruangan tersebut, dengan status sebagai perokok pasif.

Pak Kadis, posturnya tinggi besar, berkulit hitam, bermata tajam. Ramah. Beliau mengenakan busana adat juga, seperti yang kami lihat di kantor kabupaten tadi. Yang beliau ucapkan pertama kali adalah permohonan maaf karena kemarin tidak bisa menemui kami. Kemudian beliau meminta kami menjelaskan program SM-3T dan
bagaimana pelaksanaan seleksinya nanti. Saya kemukakan kronologis program tersebut, program dikti yang diluncurkan di penghujung tahun, dan betapa kami semua 'kepontal-pontal' untuk melaksanakannya. Saya kemukakan juga harapan peserta dari Sumba Timur yang ingin tes diadakan di Sumba Timur. Konsekuensi dari hal itu adalah Unesa harus mengirim petugas ke Sumba Timur. Dan itu berarti pemerintah kabupaten harus mengalokasikan sejumlah dana untuk transport, akomodasi, dan lumpsum.

Pembicaraan dengan pak Kadis terputus karena beliau harus segera ke kantor kabupaten untuk mengikuti acara pembukaan sidang DPR. Kami berjanji akan bertemu lagi jam 11 di ruang bapak bupati. Dinas tidak punya anggaran untuk memfasilitasi tes di Sumba Timur, dan akan mengajukan anggarannya ke bupati. Kebeneran, karena saya juga akan menyampaikan rencana MoU dengan bapak bupati.

Sejak pukul setengah sebelas, saya dan pak Pram sudah duduk di ruang tunggu kantor kabupaten di lantai 2. Sekitar pukul 12, pak bupati muncul. Lengkap dengan busana adatnya. Beliau menyapa kami, dan menyilakan kami untuk masuk ke ruangannya yang cukup luas. Lantas berbincanglah kami tentang program SM-3T. Saya katakan bahwa pimpinan Unesa memberikan prioritas untuk Sumba Timur. Oleh sebab itu, saya ditugaskan khusus ke Sumba Timur untuk keperluan mendiskusikan program tersebut.

Pak bupati bersedia mengupayakan dana untuk memfasilitasi tes bisa dilakukan di Sumba Timur. Beliau juga berkenan untuk menjalin kerja sama dengan Unesa dalam bentuk penandatanganan MoU. Alhamdulilah, misi berhasil.

Sebelum pamit, kami meminta izin untuk berfoto bersama. Bukan sekadar karena beliau adalah bupati dan kepala dinas PPO, orang-orang penting di Sumba Timur. Lebih dari itu, karena busana adat beliau yang unik. Sayang kalau dilewatkan. Jarang melihat orang berdasi dengan dasi menjuntai di bawah pusar....


Wassalam,
LN

Senin, 14 November 2011

Sumba (1): Inilah Waingapu

Inilah 0 km Kota Waingapu, Ibu Kota Sumba Timur.

Batavia, berangkat 8.30 dari Juanda. Cuaca cerah sekali. Semoga perjalanan lancar.

Landing di Ngurah Rai, pukul 10.15 waktu Denpasar. Cuaca tetap cerah. Menunggu 20 menit untuk terbang lagi menuju Kupang. Duduk manis di dalam pesawat yang sedang diisi bahan bakarnya.

Pukul 12.45. Landing di El Tari Kupang. Terlambat sekitar 10-15 menit, karena ketika mau take off di Ngurah Rai tadi, ngantre agak lama disebabkan lalu lintas padat. Langit agak mendung. Sejuk di dalam pesawat. Penumpang ada yang saling berbincang, tetap duduk di kursinya, atau memanfaatkan waktu untuk berdiri supaya tidak terlalu lama duduk. Anak-anak berpindah dari satu kursi ke kursi lain, karena penumpang yang naik dari Kupang belum masuk, jadi banyak kursi kosong. Dua puluh menit lagi terbang menuju Waingapu.

Pukul 13.50. Landing di Umbu Mehang Kunda airport. Inilah Waingapu, ibukota  Sumba Timur, kota tujuan pertama kami. Panas menyengat menyambut kami. Status di layar BB saya tertulis SOS. Tidak ada sinyal untuk Axis. Hanya Simpati dan AS. IM3 kadang bisa, kadang tidak, sering tidak bisa.

Kami, saya dan pak Pramukantoro, dosen dari Teknik Listrik, disambut oleh pak Minggus, driver dari Kantor Dinas PPO (Pendidikan, Pemuda dan Olahraga). Dia mengendarai mobil kijang biru plat merah, dan membawa kami keluar dari ruang pengambilan bagasi yang pengap dan penuh asap rokok, dengan satu-satunya toilet yang kurang layak untuk toilet bandara.

Saya minta pak Minggus untuk mampir ke rumah makan. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu lapar, tapi saya harus bertanggung jawab pada teman yang bersama saya. Istri pak Pram sudah wanti-wanti supaya saya take care betul suaminya. Harus dijaga makannya. Dia alergi hampir semua jenis makanan kecuali nasi putih dan garam. Tapi siang ini dia hampir saja pilih menu iga bakar, namun segera beralih minta soto ayam setelah memastikan kuahnya tidak kental, tanpa kol dan tauge, dan setelah kuingatkan kalau iga bakar galak utk asam urat.

Siang ini kami berbagi tugas. Saya akan berkoordinasi dengan dinas PPO utk program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal, Terluar (SM-3T). Dinas PPO telah mengundang sekitar 50 calon peserta yang sudah mendaftar dan lulus seleksi administrasi, pada pukul 17.00 waktu Waingapu. Mereka ingin mendengar penjelasan langsung dari saya sebagai koordinator SM-3T Unesa, mengenai apa itu SM-3T, seleksi akademiknya, kegiatan prokondisinya, penugasannya, dan tentu saja beasiswa serta tindak lanjutnya setelah program selesai. Saya juga akan menjajagi kemungkinan tes akademik bisa diselenggarakan di Sumba Timur, mengingat kondisi keuangan peserta yang sebagian besar memprihatinkan, serta sebaran lokasi mereka yang jauh dari kota (rata-rata 2-3 jam dari kota, bahkan
lebih). Saya juga akan menjajagi kerja sama dengan Bupati dalam bentuk MoU, serta mencari narasumber untuk pembekalan peserta nanti. Narasumber dari daerah ini akan memberikan pelatihan keterampilan sosial dan memberikan gambaran kondisi wilayah tempat peserta ditugaskan nanti.

Sementara tugas pak Pram adalah mengumpulkan data untuk penyusunan naskah akademik strategi peningkatan kemitraan antara komite sekolah, DU/DI dan SMK. Respondennya adalah kepala sekolah, komite, guru, DU/DI, orang tua, dewan pendidikan, dan dinas PPO. Ini merupakan pekerjaan lain (dari Direktorat Dikmen), yang kebetulan juga saya sebagai koordinatornya.

Mobil memasuki kantor dinas yang sepi. Di tempat pertemuan baru ada 3 orang. Seorang guru, dan 2 orang peserta SM-3T, yang datang dari jarak 120-an km jauhnya. Tidak ada seorang pun petugas dari dinas. Awalnya aku pesimis misi kami akan berjalan lancar. Namun tak berapa lama ternyata satu per satu mereka berdatangan. Juga kepala sekolah, guru, komite sekolah, DU/DI, yang akan menjadi
responden kami. Mereka sebenarnya sudah ada dari tadi, tetapi mengisi waktu dgn beristirahat di
sekitar kantor dinas.

Sambil menunggu calon peserta SM-3T lengkap, saya dan pak Pram mulai melakukan kegiatan pengumpulan data. Kesabaran mereka menunggu kami, ketekunan mereka mengisi instrumen, dan kesantunan mereka, membanggakan kami. Mereka datang dari Pahunga, sekitar 100-an km; dan datang dari Lewa, sekitar 60 km dari Waingapu. Serta dari berbagai pelosok lain di Sumba Barat.

Pengisian angket diteruskan dengan FGD. Pak Pram terpaksa memandu sendiri karena saya harus segera berpindah ke ruangan lain. Di ruang pertemuan itu sudah menunggu 50-an anak muda Sumba Timur. Kulit mereka kebanyakan sawo matang, alis tebal, bola mata hitam tajam. Manis-manis. Sebagian dari mereka telah menunggu kami dari pagi, karena harus menyesuaikan dengan jadwal angkutan umum, atau bus kayu (yaitu truk yang ditutup dengan seng), yang membawa mereka dari semua penjuru di Sumba Timur ke kota Waingapu.

Mereka adalah calon peserta program SM-3T. Pemuda-pemudi yang akan dikirimkan ke wilayah pelosok Sumba Timur dan Papua, membantu membangun percepatan pendidikan, menjadi agent of change. Tugas mereka yang utama adalah mengajar di sekolah-sekolah miskin, membantu memecahkan berbagai persoalan pendidikan dan juga sosial kemasyarakatan. Mereka akan dibekali dengan keterampilan mengajar di kelas rangkap, serta mengajar multi-bidang, karena bisa jadi, mereka akan bertugas di sekolah di mana gurunya sangat minim, atau bahkan merekalah satu-satunya guru di sekolah itu. Mereka juga akan dibekali dengan keterampilan ketahanmalangan (survival), serta kepramukaan. Selama 12 hari, pembekalan tersebut akan diberikan, termasuk juga pelatihan menyusun perangkat pembelajaran.

Namun semua pelatihan itu baru dapat mereka ikuti bila mereka lulus tes. Tes yang meliputi TPA, akademik, Bakat Minat Keguruan, baru akan dilaksanakan 18-19 November 20122. Problem yang muncul di lapangan adalah di manakah tes itu dilaksanakan? Mereka semua berharap tes bisa dilaksanakan di Sumba Timur. Kendala jarak, waktu, uang, adalah hal-hal yang mereka kemukakan. Melihat kondisi mereka, saya tidak tega membayangkan mereka harus berangkat tes ke Unesa, apalagi kalau harus pulang karena tidak lulus. Sedih rasanya.

Maka misi saya di sini adalah juga mengupayakan supaya tes dapat dilakukan di Waingapu. Saya sudah mengantongi surat tugas dari Rektor untuk berkoordinasi dengan Kadis dan Bupati. Besok pagi, saya pastikan akan menemui beliau berdua.

LN
Waingapu, 14 November 2011

Jumat, 02 September 2011

Ke Pantai

Pagi tadi, kami sekeluarga bersama keponakan-keponakan, kakak ipar dan adik perempuanku dengan suaminya, pergi ke pantai. Pantai itu letaknya sekitar 3 km dari rumah kami, berada beberapa puluh meter sebelah barat terminal  (rumah kami sekitar 9 km di sebelah barat kota). Pantainya bersih, pasirnya putih kecokelatan, lembut, dan banyak pohon cemara yang rendah dan rindang untuk kami berteduh.


Kami berangkat sekitar pukul 07.00. Mobil kami penuh. Di jok belakang, ada 5 anak 'kruntelan'. Di jok tengah, ada 2 anak kecil dan 3 orang dewasa. Di depan, aku dan suamiku. Bekal kami memenuhi bagasi. Serabi, nasi uduk, berbagai makanan kecil termasuk aneka biskuit dan pastry (dari bongkaran parcel-parcel untuk suami), dan tentu saja, permen dan minuman. Juga baju-baju untuk ganti setelah main di pantai.

Cerita tentang serabi dan nasi uduk dulu. Sehabis shubuh tadi, aku dan mas Ayik, suamiku, bersepeda ke Merakurak, 5 km dari tempat kami di desa Jenu. Niatnya berolah raga sambil berburu serabi dan nasi uduk. Pagi masih gelap. Kami bersepeda dengan lampu sepeda menyala, menyusuri jalan datar yang mulus, dengan hamparan sawah dan kebun jagung yang samar-samar bisa kami lihat di sepanjang kanan-kiri jalan. Udara dingin. Sejuk sekali. Lima km kami tempuh sekitar 20 menit. Penjual serabi masih siap-siap 'bukak dasar', tapi sudah ada yang ngantre 2 orang. Kami pesan 20 biji atau 10 'tangkep'. Dari bakul serabi bergeser beberapa meter ke bakul uduk. Wuih..., yang ngantre sudah hampir sepuluh orang, beberapa bahkan sudah ada yang 'ngandok' (ya, meskipun masih repet-rapet, mereka sudah sarapan). Kami pesan 20 bungkus.

Mas Ayik sabar menunggu di belakang bakul Serabeh.
Serabinya terbuat dari tepung beras, kelapa parut, dan garam, dimatangkan dengan cara dipanggang dengan wajan tanah liat  kecil, di atas 'pawonan' dari tanah liat, berbahan bakar kayu dan sekam. Rasanya khas, gurih, lembut, dengan kuah santannya yang juga gurih. Harganya seribu setangkep (2 biji). Sedang nasi uduknya, berkuah sayur lodeh kecambah dan kobis (ini memang khasnya),  mie, dan 2 buah tempe gimbal. Harganya dua ribu. Menu sesederhana itu, selalu kami cari setiap pulang kampung. Ngangeni. Makanan kami sejak kanak-kanak. Setelah dapat serabi dan nasi uduk, kami mengayuh sepeda kembali ke arah pulang. Seperti tadi, waktu tempuh sekitar 20 menit. Sampai di rumah, keponakan-keponakan sudah bangun dan bersiap-siap pergi ke pantai.

Nah, serabi dan nasi uduk itulah yang sebagian kami bawa utk bekal ke pantai. Sebagian kami tinggal di meja makan untuk persediaan ibu dan kakak-kakak yang di rumah.

Matahari bersinar hangat ketika kami tiba di pantai. Pengunjung sudah cukup banyak. Mas Ayik memarkir mobil agak menjauh dari keramaian, supaya kami lebih leluasa bermain di pantai. Kami menghambur keluar begitu pintu mobil dibuka. Anak-anak kecil  langsung berlarian ke arah laut. Kami yang tua-tua juga tak mau kalah. Menceburkan diri, sengaja berbasah-basah, menantang ombak yang datang bergulung-gulung kecil, bebas lepas.... 

Aku membuat acara lomba lari. Dari satu titik ke titik tertentu. Semua anak kecil ikut, aku juga, adikku yang jadi juri. Karena larinya di air, lari kami tidak bisa kencang, kecipak-kecipok.....apalagi kalau ombak datang, air 'muncrat-muncrat' sampai ke muka dan bahkan ada yang tertelan...wih, asin buwanget. Tiga empat kali putaran, aku nggak pernah menang, pura-pura, memberi peluang pada manusia-manusia mungil itu utk menjadi juara. 

Puas berlarian, kami main tanah. Bikin sumur-sumuran, rumah-rumahan, dan gunung-gunungan. Badan kami kotor semua. Bau kami amis kayak laut (ya lah, masak kayak duren, he he). Tapi kami bersuka ria. Pindah dari satu titik ke titik lain, membuat gunung-gunungan, sumur-sumuran, di beberapa tempat. Bertepuk tangan dan berteriak-teriak kalau ada ombak datang mengempasnya. Waahhh....senangnya, semua beban seolah terlepas, lupa pekerjaan, lupa hutang, juga lupa daratan (karena kami sedang ada di laut he he...).

Capek bermain, kami makan es krim (kok ya kebetulan ada penjual es krim yang lagi 'ider' di pantai). Makan nasi uduk, serabi, biskuit. Belum cukup, kami makan cilok (kok ya pas ada penjual cilok datang). Kayaknya perut nggak kenyang-kenyang juga, semua bekal yang kami bawa nyaris habis tandas.

Menjelang jam 9, kami mengakhiri wisata kami. Anak-anak berganti pakaian, tanpa mandi. Toh rumah kami dekat, sebentar lagi bisa mandi sepuasnya di rumah. Kami yang tua-tua, dengan pakaian 'kemel-kumel', membersihkan pasir-pasir yang nempel, biar tidak terlalu mengotori mobil. 

Dan pulanglah kami dengan bagasi penuh baju kotor, piring-piring dan sendok-sendok kotor, tapi hati riang gembira karena wisata pantai yang sangat berkesan.....

Nanti siang kami berencana berburu becek dan sate mentok sorwo yang direkomendasikan teman kami, mas Rohman, wartawan kuliner. Hmm, pasti sedap...

Wassalam,
LN