Pages

Kamis, 15 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (5): Pelatihan Ketahanmalangan yang Gagal?

Agenda hari ini sangat padat. Saya tinggal berdua dengan bu Luci, pak Wasis sudah pulang kemarin, ketika kami sedang rapat koordinasi dengan camat dan kepala sekolah di aula dinas PPO. Dia benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik, benar-benar menjadi pengantar yang baik, benar-benar hanya mengantarkan kami, terus pulang...(Piiis, pak Wasis....).

Pagi pukul 08.30, pak Minggus, driver dinas PPO yang setia mengantar kami ke mana pun, sudah menjemput kami. Tujuan pertama adalah rumah makan. Kami tidak mau pengalaman kemarin terulang lagi, kelaparan sampai kepala pusing. Gara-gara hanya mengandalkan setangkep roti dan secangkir teh yang disediakan hotel. Sepanjang rapat di ruangan yang penuh asap rokok, dengan suguhan kue-kue berasa manis yg tdk terlalu cocok di lidah, membuat saya lebih memilih menahan lapar. Akibatnya, kepala pusing sekali, hingga sore setelah makan pun pusingnya nggak kunjung hilang.

Usai makan, kami langsung menuju kantor dinas PPO. Beberapa peserta SM-3T yang dua hari lalu beserta kami dari Surabaya, sudah menunggu di halaman kantor. Memang kami jadwalkan ada pertemuan dengan mereka, untuk menyampaikan beberapa pengumuman, terutama terkait dengan tempat tugas mereka. Selain itu juga utk mempersiapkan mereka dalam acara serah terima ke bupati tanggal 12 Desember nanti.

Pertemuan dengan peserta berjalan lancar. Mereka anak-anak yang manis. Kadang-kadang lucu dan kolokan. Tapi bagaimana pun mereka, hampir semuanya siap dan tidak protes ditugaskan di mana pun. Dua orang yang merayu saya untuk bisa dipindahkan ke kecamatan yang lain, dengan berbagai alasan, akhirnya juga menerima dengan sangat manis setelah saya katakan, mereka harus bersyukur karena
ditugaskan di Sumba Timur, tanah kelahiran mereka. Saya katakan, 'di mana pun di Sumba Timur, itu adalah wilayahmu. Bandingkan dengan teman-temanmu yang lain, yang berasal dari segala penjuru, namun harus bertugas di sini, di Sumba Timur, dan mereka tidak boleh memilih, kecuali menerima saja di mana pun mereka ditugaskan di Sumba Timur ini.'

Selesai pertemuan dengan peserta, saya dan bu Luci masuk ke ruang ibu sekdis, ditemani ibu Rambu, Kabag Umum dan Kepegawaian. Bu Lusia sedang mengikuti acara peringatan ulang tahun darma wanita di gedung nasional. Sambil menyelesaikan konsep bahan untuk pidato bupati pada acara serah terima nanti, kami menunggu bu Lusia yang kabarnya sedang menuju ke kantor dinas PPO karena acara di gedung nasional sudah selesai. Tak berapa lama, bu Lusia, sekdis itu, datang. Beliau berbusana warna blewah, warna khas seragam darma wanita. Di mata saya, bu Lusia adalah tipikal perempuan Sumba yang cantik, trengginas, dan cerdas, namun tetap sederhana.

Seharian ini kami habiskan waktu bersama bu Lusia dan pak Minggus. Kami didampingi menuju dinas kesehatan untuk menjajagi kemungkinan kerjasama dalam hal urusan asuransi kesehatan bagi peserta SM-3T. Ternyata kerjasama tersebut bisa langsung dengan RSUD. Maka dibantu sekretaris dinas kesehatan, kami bisa mendapatkan kontak direktur RSUD dan merencanakan pertemuan besok pagi jam 09.00 di RSUD.

Keluar dari Dinas Kesehatan, kami menuju kantor bupati. Bertemu dengan bagian protokoler. Memastilkan susunan acara, konsumsi, petugas, spanduk, kursi-kursi. Bu Luci mengeluarkan sejumlah dana untuk memenuhi semua keperluan tersebut.

Usai dari kantor bupati, kami meluncur ke penginapan cendana, penginapan yang akan ditempati peserta SM-3T yang bukan dari Sumba Timur, penampungan sementara bagi mereka sebelum serah terima dari rektor ke bupati. Hari ini akan datang 99 orang peserta dengan penerbangan batavia, dan kami harus memastikan, kamar-kamar mereka, atau setidaknya tempat bernaung mereka, sudah siap, begitu juga konsumsinya.

Penginapan cendana letaknya di jalan Sabu, 5 km dari kota Waingapu. Penginapan yang masih setengah jadi. Kamar-kamar di lantai satu baru sebagian yang siap, hanya cukup menampung sekitar 70-80 orang, itu pun satu kamar diisi 5-7 orang. Di lantai 2, ada hall yang cukup besar, dan sebanyak 21 kasur dibeber di dalamnya (mengingatkan saya pada tempat pengungsian korban merapi di Maguwoharjo, bedanya, yang dibeber di sini adalah spring bed); untuk menampung sekitar 70-80 orang juga. Padahal jumlah peserta yang akan kami inapkan seluruhnya adalah 200 orang, lantas diinapkan ke mana yang 40-60 orang lagi? Ternyata pemilik penginapan sudah menyiapkan lantai 2 rumahnya yang besar, untuk menerima mereka yang tidak tertampung di penginapan cendana. Masalah terpecahkan.

Yang menarik di penginapan cendana ini adalah, dia berada di atas ketinggian. Dengan view yang luar biasa indah. Lembah dan padang rumput yang menghampar luas. Perbukitan hijau yang dihiasi jalan setapak panjang yang terlihat meliuk-liuk dari kejauhan. Saya menikmati keasriannnya meski hanya sekejap. Mengagumi keindahan dua kuda sumba yang sedang merumput di padang sabana nun jauh di bawah sana (jadi ingat puisi mbak sirikit). Benar-benar indah. Benar-benar mendamaikan.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Perut sudah mulai lapar. Maka kami mengajak bu Lusia dan pak Minggus untuk mampir di rumah makan jawa. Saya makan mie goreng dan telur ceplok. Bu Luci dan pak Minggus makan ikan baronang bakar besar. Bu Lusia makan nasi pecel dan bakwan jagung. Beliau mengurangi makan daging, selain karena tidak terlalu suka, juga karena dia memiliki masalah kolesterol.

Setelah menyelesaikan makan siang, kami menuju bandara. Bila tepat waktu, pesawat akan mendarat pada pukul 14.00. Tapi di perjalanan menuju bandara, pak Suwarno, salah satu teman dosen pendamping, menelpon saya bahwa sebentar lagi pesawat akan lepas landas dari Kupang menuju Waingapu. Wah, berarti masih 40 menit lagi. Tidak masalah. Kami bisa menunggu mereka di bandara.

Di bandara Waingapu, tempat tunggu para penjemput berada di teras yang tidak terlalu luas (mungkin lebih tepat disebut emperan). Disediakan kursi-kursi kayu panjang. Pada pukul 14-an, matahari tepat di depan kita bila kita duduk di kursi-kursi itu. Sangat panas dan menyilaukan. Suhu di Sumba Timur lebih panas daripada di Surabaya. Karena tidak tahan dengan panasnya yang luar biasa dan menyilaukan, saya mengajak bu Luci, bu Lusia, dan pak Minggus, masuk ke kafe Jawa, letaknya di samping bandara. Kafe yang lebih tepat disebut warung itu. Yang harga makanannya mahal sampai menurutku tidak rasional itu. Tidak ada pilihan. Saya tidak mungkin membiarkan kami semua tersiksa di luar.

Kami menunggu beberapa saat di kafe. Minum es jeruk dan makan kletikan. Ketemu pak Erwin (kabid TK/SD) dan pak Alfons Moy (kabag Pemuda dan Olahraga). Semua dengan tujuan yang sama, menjemput peserta SM-3T. Komitmen semua komponen dinas PPO ini memang luar biasa. Tidak peduli sekdis, kabag, kabid, apalagi tingkat pelaksana, semuanya turun gunung untuk memastikan program berjalan lancar.

Dan tibalah waktu yang kami tunggu-tunggu itu. Batavia mendarat. Kami keluar dari kafe, bergerak ke arah pagar pembatas lapangan terbang. Kami ingin melihat mereka semua ketika keluar dari pintu pesawat. Dan benar, pemandangan yang saya lihat seperti bayangan saya. Batavia berkapasitas 140-an orang itu penuh dengan mereka yang berkostum hitam. Jaket SM-3T. Pak Suwarno, pak Nursalim, dan bu Nanik, kami lihat keluar lebih dulu. Diikuti dengan para peserta, yang tidak langsung berjalan menuju gedung terminal, tetapi berfoto-foto dulu. Dasar anak-anak. Tangan mereka melambai-lambai ke kami yang ada di luar pagar.

Panas begitu menyengat. Peserta satu per satu keluar dari terminal dengan bagasi mereka. Luar biasa. Bagasinya....'nggegilani'. Benar-benar nggegilani. Tidak cukup hanya koper-koper besar, tapi juga karung-karung plastik yang diselotip penuh. Subhanallah. Apa saja yang mereka bawa? Apa tidak melebihi timbangan?

Saya bertanya pada seorang peserta perempuan, apa saja yang ada dalam karung plastik besar yang dibawanya. Rice cooker, kompor, sprei, dan bahan makanan. Dia harus nambah 300 rb untuk kelebihan muatannya. Saya tanya, 'apa 'bekakas' yang ada di karungmu itu nilainya ada 300 rb?' Jawabnya, 'tidak, bu, tapi nggak papa, bu, kan untuk setahun....'

Anak-anak itu sepertinya takut tidak bisa makan di Sumba Timur. Seperti tidak siap lapar, apa pun dibawa, sambal pecel, kering tempe, sambal bajak, abon, kecap, garam, gula, teh, kopi, rambutan, bahkan ada juga yang membawa boneka besarnya. Oh Tuhan. Saya ngeres melihat pemandangan itu. Pelatihan ketahanmalangan tidak berhasilkah?

Sore itu kami semua jadi manol di bandara. Bergotong-royong memindahkan bagasi peserta dari depan pintu terminal menuju ke dua buah bus yang akan mereka tumpangi menuju penginapan. Dan benar saja, dua bus itu tidak cukup. Bagasi mereka saja melebihi satu bus. Ditumpuk-tumpuk di atas atap bus pemda pun masih tidak cukup. Bus harus 'ngunjal' separo dari mereka dulu ke penginapan, balik lagi untuk mengambil separonya. Saya dan bu Luci menunggui mereka di halaman bandara sampai mereka dijemput bus. Sekitar satu jam kemudian baru kelar.

Kami bersama pak Minggus menuju penginapan Cendana. Lega karena semua peserta dan bagasinya telah terangkut. Tapi pikiran saya bercabang-cabang. Anak-anak manja tadi terus menyita pikiran saya. Siapkah mereka hidup di tengah-tengah belantara masyarakat Sumba Timur yang mungkin tantangannya tak pernah mereka bayangkan? Saya ingin meyakinkan diri saya sendiri mereka akan sanggup menjalaninya. Mereka akan tertempa oleh alam, oleh keadaan, oleh tuntutan dan tantangan.

Jumat, 9 Desember 2011
Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...