Pages

Selasa, 13 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (2): Terdampar di Maumere

Kami menikmati penerbangan dengan cukup nyaman. Meskipun udara di dalam pesawat agak panas. AC-nya rupanya lagi tidak beres. Dari Juanda menuju Ngurah Rai, ditemani sepotong roti dan segelas air mineral. Di depanku, Umbu Lara Lunggi, bercanda kocak dengan teman-teman di sebelah kanan-kirinya, Apriani Rambu Dai Duka dan Magdalena Lika Ndewa. Anak periang itu menggoda Magda yang ketakutan
naik pesawat. Setiap ada guncangan sedikit saja, Umbu teriak-teriak histeris sehingga membuat Magda pucat-pasi. Apalagi ketika landing di Ngurah Rai, Umbu teriak keras bersamaan dengan mendaratnya roda pesawat di landasan. Teriakannya memancing yang lain juga teriak-teriak kaget, namun segera berganti menjadi sumpah-serapah ketika tahu anak bengal itu sengaja membuat teman-temannya histeris.

Saya dan bu Luci tertawa-tawa saja melihat kelakuan mereka. Seringkali mereka melontarkan ucapan-ucapan dengan bahasa Jawa yang medok. 'Lho lho lho lho.....sik, sik, sik.....'. Kami awalnya tidak paham kalau mereka sedang menirukan ucapan khas teman kami, bu Trisakti. Karena kalimat itu sering dilontarkan, yang kemudian mengundang gelak tawa mereka, kami akhirnya juga tertawa geli setelah tahu maksudnya. Bu Trisakti, salah satu tim inti kami yang mungkin paling sering berinteraksi dengan mereka. Mulai dari tahap rekrutmen sampai prakondisi. Selama masa itu, dia yang sering menegur peserta yang lupa tidak mengenakan ID-card, atau mengenakan T-shirt, atau masuk ruangan tidak
bersepatu, atau yang lupa tidak mengisi daftar hadir, dengan kalimat 'lho lho lho lho....sik, sik, sik....'. Setelah upacara pelepasan di auditorium, dia juga yang intens memberikan instruksi ke peserta tentang berbagai hal terkait dengan apa yang harus dilakukan menjelang pemberangkatan, membagi pengelompokkan peserta utk memudahkan koordinasinya, menekankan jam berapa mereka harus dating di Juanda, di mana berkumpulnya, dan lain-lain. Pengalamannya membawa rombongan
besar melakukan perjalanan di dalam maupun ke luar negeri, sangat membantu kami dalam mengkoordinir peserta. Dan di sela-sela instruksinya, bila ada peserta yang mis-communication, dia akan menjawabnya dengan kalimat pembuka 'lho lho lho lho....sik, sik, sik....'.

Ngurah Rai kami tinggalkan. Udara di dalam pesawat tetap panas. Kami sedang menuju Kupang. Akan transit sebentar dan melanjutkan perjalanan ke Waingapu. Ditemani dengan roti yang jenisnya sama persis, dan juga segelas air mineral yang sama persis. Beberapa saat kemudian, pramugari mengumumkan kalau pesawat akan segera mendarat di Bandara El Tari, Kupang. Mendung tebal dan gelap ada di bawah kami. Rupanya cuaca tidak terlalu bagus. Dan benar, setelah beberapa saat
menunggu, pesawat tidak kunjung mendarat, pramugari malah mengumumkan bahwa pesawat batal mendarat di Kupang karena cuaca buruk. Pesawat langsung menuju Maumere, akan mendarat di sana, yang selanjutnya menunggu sampai cuaca memungkinkan utk terbang kembali ke Kupang. Begitu pramugari menyelesaikan pengumumannya, saya langsung teriak 'SM-3T!'. Para peserta menyambutnya dengan yel-yel: 'Maju bersama mencerdaskan Indonesia!' Diakhiri dengan tepuk-tangan riuh-rendah.

Maka turunlah kami semua di Frans Seda Airport. Untuk memanfaatkan waktu, kami berfoto-foto di depan papan nama. Lantas lapor ke bagian transit. Masuk ke ruang tunggu. Perut lapar membuat mata kami liar ke sana-kemari mencari mangsa. Dan bertemulah kami dengan counter makanan yang menjual mie instan. Kami memesan sejumlah pop mie, utk kami bertiga, dan untuk para peserta. Juga minuman botol yang dingin. Udara panas di pesawat membuat kami ingin minum yang segar-segar.

Beberapa peserta sudah mulai menyantap makanannya. Giliran kami bertiga. Pop mie sudah di tangan. Belum sempat kami makan, ada pengumuman kalau pesawat kami akan segera terbang menuju Kupang, dan kami semua diminta utk segera memasuki pesawat. Pak Wasis agak gugup, melahap mie-nya yang masih setengah matang dengan terburu-buru. Saya tenang saja, meminta kantung plastik ke penjual, memasukkan pop mie ke kantung, menentengnya. Begitu juga bu Luci. 'Mana boleh bawa mie masuk pesawat', protes pak Wasis. Saya jawab, 'salah sendiri, siapa suruh singgah di Maumere, perut lapar lagi'. Pak Wasis pun ikut-ikutan minta kantung plastik, dan menenteng mie instannya masuk pesawat.

Tentu saja, tidak pernah kami bayangkan suatu ketika kami akan menyantap mie instan di dalam pesawat. Saya sendiri sudah beberapa hari ngidam pingin makan mie instan, sejak instruktur pelatihan outdoor menginstrusikan peserta utk belanja perbekalan mereka, termasuk mie instan, menjelang berangkat ke Dlundung. Sudah sempat juga makan mie instan di Dlundung, tapi masih belum puas.
Tidak disangka-sangka, keinginan itu kesampaian lagi justru ketika kami sedang terdampar di Maumere, dan menyantap mie instan kami di dalam pesawat yang sedang terbang. Ternyata, menikmati mie instan di udara, sensasinya luar biasa...(Ini ceritaku....apa ceritamu?).

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...