Pages

Jumat, 16 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (6): Padang Sabana itu....

Pukul 08.00 kami sudah siap beraktivitas lagi. Kali ini tidak hanya berdua dengan bu Luci, tapi pasukannya tambah 3: bu Nanik, pak Nursalim, dan pak Suwarno.

Kami memulai aktivitas dengan makan pagi di warung jawa. Sementara teman-teman sarapan, saya dan bu Luci ke warnet di sebelah warung. Mas Amin, sekretaris rektor, tadi malam sms saya kalau MoU sudah diemail. Kami harus mencetaknya untuk dimintakan paraf ke sekda, asisten administrasi, kabag hukum, dan pak kadis, sebelum ditandatangani oleh bupati dan rektor pada acara serah terima nanti. Selesai mencetak MoU, saya dan bu Luci menyusul teman-teman sarapan.

Tujuan pertama kami pagi ini ke RSUD, bertemu dengan dokter Kris, direktur RSUD. Kami bertiga, saya, pak Nursalim, dan pak Warno, akan menghadap dokter Kris. Sedangkan bu Luci dan bu Nanik akan ke penginapan Cendana untuk menjemput peserta yang sakit, dibawa sekalian ke RSUD.

Kami menunggu sebentar saja di ruang tunggu RSUD, lantas disilakan masuk di ruang direktur. Dokter Kris, tinggi besar, ramah. Dokter asal Yogyakarta itu telah 16 tahun bertugas di Waingapu. Dia membagi pengalaman dan pemahamannya tentang kultur masyarakat Sumba, khususnya Sumba Timur. Banyak pengalaman heroic yang diceritakannya. Penyebaran penduduk Sumba Timur yang sangat luas, seringkali memaksanya untuk terjun ke lokasi-lokasi sangat terpencil yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer.

Sumba Timur menurut para tokoh dahulunya adalah masyarakat yang sering mengalami perang antar suku. Mereka banyak yang memilih hidup di tempat-tempat terpencil supaya tidak terjangkau ole musuh-musuhnya. Oleh sebab itu, sampai saat ini, mereka hidup mengelompok-mengelompok di tempat-tempat yang sangat terpencil, seringkali sangat susah dijangkau. Hanya ada 3 wilayah terpencil di Sumba Timur, Waingapu, Kambera, dan Pandawai. Selebihnya adalah wilayah yang sangat terpencil.

Menurut dokter Kris, potensi alam di Sumba Timur sebenarnya sangat luar biasa. Namun masyarakatnya sangat malas. Bila beras habis, mereka akan masuk hutan untuk mencari umbi-umbian. Padahal bila mereka mau, pekarangan bisa dimanfaatkan untuk menanam umbi-umbian itu, juga berbagai macam sayur-sayuran, sehingga mereka tidak perlu masuk-keluar hutan untuk mencari bahan makanan. Sangat beda dengan etos kerja orang Jawa atau Bali. Di Gunung Kidul, bahkan tanah keras berbatu-batu pun akan ditanami dan dimanfaatkan secara optimal. Di Sumba Timur, banyak tanah yang subur tapi dibiarkan tidak tergarap, namun mereka sering teriak kekurangan bahan pangan.

Pada prinsipnya, dokter Kris membuka diri untuk melakukan kerjasama dalam bidang jaminan kesehatan peserta SM-3T, tinggal kami yang mengajukan konsep MoU-nya seperti apa. Karena kami belum pernah melakukan MoU dalam bidang jaminan kesehatan semacam ini, dokter Kris menjanjikan akan memberikan contoh MoU-nya pada hari Senin, kalau petugas yang menanganinya sudah datang dari tugas luar kota.

Keluar dari rumah sakit, kami diantar pak Minggus kembali ke hotel. Siang ini kami akan ke kecamatan Karera, lokasi sasaran penugasan SM-3T yang terjauh. Mobil yang akan membawa kami ke Karera sudah kami pesan sejak kemarin, panther touring. Mobil kijang dinas PPO tidak laik untuk perjalanan ke Karera. Sampai di hotel, mobil beserta drivernya, namanya Oscar, pemuda asli Sumba, sudah menunggu kami.

Dan berangkatlah kami menuju Karera tepat pukul 12.00. Bekal yang kami bawa cukup meyakinkan: air mineral, nasi kotak (bu Sekdis mengingatkan kami untuk membawa bekal nasi bungkus karena sepanjang perjalanan ke Karera tidak akan menemui rumah makan), dan kletikan termasuk biskuit.

Pengalaman saya melakukan perjalanan dari Waingapu ke Waikabubak (Sumba Barat)sekitar sebulan yang lalu), ternyata tidak ada apa-apanya dibanding dengan perjalanan ke Karera. Jalan panjang yang sempit, naik turun, berkelok-kelok tajam, penuh dengan lubang-lubang besar, kubangan-kubangan yang cukup dalam, dan tanjakan-tanjakan membahayakan. Di sebelah kanan kiri jalan adalah jurang menganga, dan di seberangnya merupakan bukit-bukit yang seolah ditumpuk-tumpuk. Berselang-seling dengan lembah hijau dan padang sabana yang luas sekali. Sejauh mata memandang, adalah hamparan padang sabana itu, berlatar-belakang bukit-bukit dan pegunungan yang hijau. Sekelompok kuda sumba yang tengah merumput, tidak menghiraukan kedatangan kami yang sibuk mengambil gambar. Tetap merumput dengan begitu tenangnya. Jauh, jauh di sana, hijau menghampar, dan kuda-kuda itu, sungguh, begitu indahnya dalam kesatuan pemandangan alam yang luar biasa ini. Andai saya seorang penyair, mungkin akan saya tulis puluhan puisi untuk melukiskan keindahannya.

Saya baru kali ini mengalami perjalanan darat yang begitu menantang sekaligus mengasyikkan karena keindahan alamnya. Pengalaman melakukan survei rawan pangan di sebagian besar wilayah terpencil di Jawa Timur, Pacitan, Ngawi, Ponorogo, Banyuwangi, Madura, Probolinggo, dan lain-lain, tidak ada yang semenantang dan seindah ini. Perjalanan dari Balikpapan ke Sangata dan sebaliknya dengan melalui Kutei Kertanegara dan Tenggarong, masih jauh tantangan dan keindahan alamnya. Mungkin keindahannya bisa disejajarkan dengan perjalanan dari Medan ke Danau Toba, atau dari Padang ke Bukittinggi, namun kondisi alam Waingapu ke Karera, jauh lebih indah dan lebih menantang.

Di tengah perjalanan, kami menjumpai anak-anak sekolah yang sedang pulang menuju rumahnya. Berseragam lusuh, sebagian besar tanpa alas kaki, menenteng sebuah buku tulis dan pensil. Ada juga yang buku-bukunya dimasukkan di kantung plastik. Kami berhenti menyapa mereka, membagi biskuit (yang kami yakin pasti menjadi makanan mewah bagi mereka), dan berfoto-foto. Mereka menyambut kami dengan suka cita. Nama-nama mereka antara lain adalah: Alberto, Yohanes, Berti, Alfonso, Melki.... Wajah-wajah polos mereka begitu saya suka, namun kemiskinan yang tergambar dari penampilannya sangat menyentuh perasaan saya. Mereka berangkat sekolah pada pukul 06.00 dan sampai sekolah pukul 09.00; lantas pulang sekolah jam 12.30 dan sampai rumah sekitar pukul 15.00. Menyusuri jalan panjang, menahan lapar dan haus, dengan kaki-kaki kecil mereka yang telanjang. Saya membayangkan
bagaimana mereka belajar di sekolah dengan baik dengan tubuh letihnya, belajar di rumahnya yang kecil dan kurang penerangan. Seperti apa pula guru-gurunya? Bagaimana kondisi sekolahnya? Fasilitas dan sarana-prasarananya? Bagaimana pula anak-anak itu dipaksa harus menghadapi ujian nasional yang standarnya sama persis dengan teman-temannya di kota? Standar Nasional Pendidikan? Bahkan mereka
mau rutin datang ke sekolah saja sudah sangat bagus....

Galau hati saya memikirkan itu semua. Kondisi alam yang sangat menantang. Kemiskinan yang kental. Fasilitas yang sangat terbatas. Di tempat-tempat inilah anak-anak kami, peserta SM-3T, akan ditugaskan. Mampukah mereka? Sanggupkah mereka bertahan dalam keserbakekurangan? Kalau mereka semua bisa melaluinya dengan baik, dan berhasil menjadi agen perubahan di tempat tugas mereka, maka saya berani menjamin, merekalah guru-guru berprestasi itu, guru-guru hebat yang telah teruji oleh alam, guru-guru unggul yang harus diprioritaskan untuk menjadi motor penggerak pembangunan pendidikan di manapun di seluruh wilayah negeri ini.

Sabtu, 10 Desember 2011
Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...