Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 31 Oktober 2012

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VII

Sore yang gerah di Yogyakarta, meski cuaca mendung. Akhir-akhir ini memang cuaca terasa sangat panas di mana-mana. Di Surabaya, Talaud, Samarinda, Kupang, Sumba Timur, dan di Yogya, panas semua. 

Kami sedang di halaman kraton, dalam acara welcome party Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VII. Ada ratusan orang delegasi dari perguruan tinggi kependidikan di seluruh Indonesia. Para rektor, para dekan, para ketua lembaga dan UPT, para guru besar, dan dosen-dosen pemakalah maupun peserta konvensi. 

Rombongan Unesa sebanyak 35 orang terdiri dari Rektor, PR 3, Dekan dan PD 1, dan beberapa pejabat Unesa yang lain. Saya sendiri hadir di acara ini bukan sebagai pejabat, tapi karena undangan sebagai pemakalah pendamping. Dari Unesa, hanya ada 3 makalah yang lolos sebagai makalah pendamping, meski yang mengirimkan makalah cukup banyak, ada belasan. 

Konvensi akan digelar mulai tanggal 31 Oktober sampai 3 November. Tema konvensi adalah 'Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045'. Keynote speaker-nya terdiri dari Prof. Dr. B.J Habibie, Prof. Dr. HAR Tilaar, M. Sc. Ed, Prof. Dr. Komarudin Hidayat, dan Prof. Dr. Alma Haris. Di sesi pleno juga ada pembicara Gubernur DIY dan Dr. (HC) Ary Ginajar Agustian. Di samping sesi pleno, juga ada beberapa makalah utama dan makalah pendamping yang ditampilkan pada sesi pararel. 

Pada sesi pararel, akan dipresentasikan makalah-makalah terpilih, yang terbagi dalam 5 subtema. Subtema tersebut adalah: (1) Sosok Ideal Manusia Indonesia Generasi 2045, (2) Pendidikan Karakter untuk Menyiapkan Generasi 2045, (3) Sosok Ideal Pendidik yang Kompeten untuk Menyiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045, (4) Sistem Pendidikan yang Memungkinkan Dihasilkannya Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang Kompeten untuk Mempersiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045, dan (5) Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Saya sendiri, jumat sore besok akan presentasi di kelompok subtema 4. Tidak seperti pemakalah lain yang sebagian besar menulis tentang hal-hal yang sangat futuristik (karena disesuaikan dengan tema), saya menulis yang sederhana saja. Judulnya 'Pendidikan Profesi Guru, Problematika, dan Alternatif Solusinya'. Tidak seperti para penulis lain yang banyak menggunakan bahan referensi, saya lebih banyak mengandalkan pikiran-pikiran saya sendiri dan beberapa produk kebijakan dalam bidang pendidikan, khususnya yang menyangkut PPG. Sebagian besar tulisan saya tersebut bahkan sudah pernah saya post ke milis dan ada di website saya. Ibarat sayur lodeh, sudah 'mblendrang' karena bolak-balik di'nget'.
  
Acara pembukaan sudah dilaksanakan pukul 15.00 tadi di Hotel Ambarukmo. Yang membuka acara adalah wamendikbud. Kami ber-13, termasuk rektor dan PR 3, ketinggalan acara pembukaan, karena kami baru tiba di Ambarukmo setelah maghrib. Tugas mengajar dan tugas yang lain harus kami tunaikan dulu sebelum berangkat tadi.  Sedangkan teman-teman yang lain sudah berangkat dengan pesawat pukul 11 siang tadi. Maka tanpa check in, apalagi mandi, kami yang baru datang ini pun langsung diangkut dengan bus bersama-sama menuju Kraton Yogyakarta.

Acara welcome party berlangsung dengan cukup meriah. Acara dibuka dengan doa bersama yang dipimpin oleh pembawa acara yang lemah gemulai (kurang ekspresif), dilanjutkan dengan tari pembuka, orkestra, dan makan malam. Setelah makan malam dilanjutkan dengan sambutan Rektor UNY sebagai tuan rumah, dan sambutan Gubernur DIY. Selebihnya adalah hiburan. Saya paling suka orkestranya, terutama ketika membawakan lagu 'Yogyakarta' dari KLA Project. 

Menjelang acara selesai, hujan deras tiba-tiba turun, disertai angin yang cukup kencang. Untung tidak terlalu lama. 

Kami lantas diantar ke penginapan kami masing-masing. Ada belasan bus besar, bus kecil, dan mobil yang siap mengantar. Saya dan sebagian besar teman-teman Unesa menginap di hotel UNY. Maka diantarlah kami ke sana. Kami masuk kamar hotel sekitar pukul 22.00. 

Hotel UNY sudah berubah, berbeda dengan waktu kedatangan saya akhir 2011 yang lalu. Saya memang beberapa kali menginap di hotel UNY, dalam rangka tugas menguji disertasi atau tugas-tugas yang lain. Dibanding dengan kedatangan terakhir saya yang lalu, sekarang hotel ini sudah jauh lebih luas, dengan tambahan banyak kamar yang nyaman senyaman hotel berbintang. 

Saya memimpikan, kapan ya Unesa punya hotel? 

Yogyakarta, 31 Oktober 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 24 Oktober 2012

Doa Terindah



Bintang-bintang terindah
Adalah bintang-bintang di langit Muzdalifah
Ketika jutaan manusia berkumpul di padang itu
Memunguti kerikil dan menghitung-hitungnya
Bekal esok hari untuk melempar jumrah

Langit terindah adalah langit di atas Mina
Yang menaungi jutaan tenda
Di sanalah umat manusia dari segala penjuru dunia
Merasakan kehangatan dan aroma wangi sorga
Bagai jabang bayi dalam rahim ibunda

Padang terindah adalah Padang Arafah
Di mana disungkurkan tubuh-tubuh yang lelah
Dan dihamburkan doa-doa terindah
Di langit, malaikat bermunajah
Semoga semua doa ijabah
Amin Ya Rabbal Alamin

(24 Oktober 2012)



Wassalam,
LN

Buku untuk Bapak-Ibu

Akhir bulan ini insyaallah akan terbit buku saya, buku yang saya tulis sebagai hadiah pernikahan emas untuk bapak dan ibu. Inilah pengantar untuk buku sederhana itu.


'Catatan Perjalanan
Jejak-jejak Penuh Kesan'

Buku ini saya tulis nyaris tanpa persiapan. Sebagai sebuah buku yang ingin saya hadiahkan kepada Bapak dan Ibu pada peringatan 50 tahun pernikahan beliau, saya tidak menulisnya secara khusus. Suatu hari, saya masih ingat tanggalnya, di suatu sore pada 19 September 2012, tiba-tiba saja keinginan itu muncul. Keinginan untuk memberikan sesuatu kepada Bapak dan Ibu untuk menandai peringatan pernikahan emas beliau.

Spontan, saya mengutarakan keinginan itu pada mas Rohman, sahabat saya. Kenapa pada dia? Ya, karena selama ini, mas Rohman merupakan salah satu kawan yang gigih mendorong saya untuk membuat blog, dan menyediakan diri untuk 'ngopeni' blog saya. Tidak hanya itu. Mas Rohman juga yang membantu saya membuat buku tentang Makanan Khas Jawa Timur, mulai dari konsep awal sampai jadi. Dia yang alumni Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Surabaya itu, dan sudah bertahun-tahun menjadi redaksi sebuah tabloid kuliner, tentu saja punya segudang pengalaman, sehingga tanpa saya minta dia menjadi penyunting, fotografer, dan bahkan mengurus layout buku dan lain-lainnya.

Saya sendiri sebenarnya telah memiliki blog sejak tahun 2007, namun blog itu tidak 'kopen'. Alhasil, saya hanya sempat mengunggah beberapa tulisan saya pada saat awal-awal saja. Seterusnya, bahkan password pun saya lupa. 

Cerita dulu tentang blog. Suatu ketika, saya mengirimkan tulisan ke milis keluarga unesa, sebuah mailing-list yang anggotanya adalah siapa pun keluarga Unesa/IKIP Surabaya, bisa dosen, mahasiswa, karyawan, dan alumni. Sebuah tulisan tentang Rizki Sugiarto, seorang sarjana pendidikan peserta SM-3T yang ditugaskan di daerah sangat terpencil, di pelosok Sumba Timur. Tulisan itu, menurut banyak teman, sangat menyentuh (tulisan tersebut ada di dalam buku ini juga). Maka teman-teman yang awalnya memang sudah mendorong saya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan saya yang berceceran di milis tersebut, semakin kuat dorongannya. Salah satunya adalah mbak Sirikit Syah, dialah penulis, mantan wartawan, dosen, dan perempuan dengan seabreg prestasi itu. Dia bahkan menyediakan dirinya untuk menjadi penyunting bagi tulisan-tulisan saya jika dibukukan. Juga sahabat saya yang lain, mas Satria Darma, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Pusat, yang juga sering 'merongrong' saya supaya saya membukukan tulisan-tulisan saya. Satu lagi sahabat saya yang akhirnya 'sukses' memaksa saya, adalah mas Mohammad Ihsan, sekjen IGI. Dengan jurusnya yang ampuh, maka berhasillah dia 'merayu' saya. Sms-nya masih saya simpan sampai saat ini. Bunyinya begini:  'Mbak Ella, tulisan sampeyan sangat luar biasa. Sayang kalau tidak dihimpun. Bagaimana kalau saya siapkan domain khusus untuk sampeyan? Tidak bayar. Boloan wae.....'. 

Maka muncullah domain dengan nama www.luthfiyah.com. Mas Ihsan menghadiahkan domain itu untuk saya, dan mas Rohman yang 'ngopeni'. Dengan setia mas Rohman mengunggah tulisan-tulisan saya yang saya post di milis, atau yang langsung saya kirim ke dia via email. Tak ada serupiah pun yang saya keluarkan untuk itu, karena mas Rohman tidak berkenan menerima. Bahkan ketika saya katakan, saya 'nitip duit es' untuk anak-anak yang diminta membantunya, dia bilang, anak-anak tidak ada yang minum es. He he... Saya benar-benar terharu dengan persahatan kami yang sederhana tapi sangat berarti ini.

Maka website itu pun jadi lumayan hidup, tidak seperti blog saya yang mati suri dan tidak bangun-bangun. Meski saya tidak terlalu rajin menulis (bukan karena sibuk, semata-mata karena saya tidak terlalu rajin menulis). Mas Rohman secara konsisten mengunggah tulisan saya yang tidak banyak itu, memberi gambar-gambar dan foto-foto, membuat website tersebut cukup menarik banyak orang untuk membaca. Beberapa teman sudah memberikan apresiasinya untuk tulisan-tulisan di web tersebut.

Lantas suatu hari, entah ketika sedang ngobrol apa, saya keceplosan bilang ke bu Kisyani, sahabat saya yang saat ini menjabat PR1 Unesa, tentang rencana pernikahan emas bapak ibu. Bu Kis bercerita tentang hadiah sebuah buku yang ditulisnya sendiri sebagai hadiah pernikahan emas bapak dan ibunya. Beliau bahkan mengirimkannya ke saya contoh buku itu, dengan catatan, contoh buku itu harus saya kembalikan, karena itu tinggal satu-satunya. Buku itu sangat manis, baik isi maupun penampilannya. Tapi saya merasa 'menyerah', merasa tidak sanggup menulis buku sebagus itu. Semata-mata karena waktu. Saat-saat itu bersamaan dengan kegiatan rekrutmen peserta program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T), dan saya ditugasi sebagai koordinatornya. Waktu saya begitu banyak tersita untuk persiapan dan pelaksanaan tes administrasi, tes online, tes wawancara, prakondisi, dengan semua ikutannya. Saat ini pun, adalah hari keenam masa prakondisi, dan masih seminggu lagi kegiatan ini selesai. Setiap hari kami tim panitia harus datang pagi-pagi sekali dan pulang malam, seringkali pulang larut malam, bahkan beberapa dari kami harus menginap di Kodikmar, tempat para peserta dikarantina. Selama berminggu-minggu kami tidak memiliki hari Minggu, yang ada adalah hari Senin semua. Setelah prakondisi selesai, mereka akan diberangkatkan ke empat kabupaten 3T, yaitu ke Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, dan Maluku Barat Daya. Tentu saja begitu banyak persiapan yang harus kami lakukan, termasuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. 
Maka saya pun memendam dalam-dalam keinginan saya untuk membuat buku khusus sebagai hadiah bapak ibu. Sampai suatu ketika di sore hari (seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini), tiba-tiba saya ingat saya punya website, dan di situlah terhimpun tulisan-tulisan saya. Tulisan-tulisan yang berisi laporan perjalanan ketika saya dalam tugas atau ketika bersama keluarga dan teman-teman, juga catatan-catan kecil semacam buku harian, juga pikiran-pikiran saya tentang berbagai hal, khususnya dalam bidang pendidikan. 

Ketika saya kemukakan kepada mas Rohman keinginan saya untuk membuat buku yang ingin saya hadiahkan kepada bapak ibu di ulang tahun pernikahan emas beliau itu, jawaban mas Rohman membesarkan hati saya. 'Bisa, bu, kenapa tidak? Tentu saja kita pilih tulisan-tulisan yang bernuansa keluarga, juga tulisan-tulisan lain yang bernuansa humanis...'

Dan jadilah buku ini. Sebuah buku yang amat sederhana. Dari tulisan-tulisan yang juga sederhana. Dari keinginan hati yang sederhana. Sekedar sebagai tanda bahwa saya sekeluarga selalu mengingat bapak dan ibu. Dengan segala kelebihan dan kekurangan bapak ibu. Dengan segala keterbatasan kami. Dengan segala kenaifan kami. Dengan segala keikhlasan kami. 

Teriring cinta yang tulus, jiwa yang penuh kasih, hati yang selalu bersyukur, buku sederhana ini kami persembahkan kepada Bapak Ibu. Berharap engkau berdua senantiasa berbahagia dalam mengarungi sisa hidup. Tetap teguh dalam ikatan kasih yang terjalin kuat dan tak lekang oleh waktu. Tegar senantiasa meniti hari-harimu dengan penuh rasa syukur yang tak pernah putus sedetik pun. Juga dengan sepenuh doa restumu yang terus mengiringi langkah-langkah kecil kami.

Karena engkau, kami ada. Karena engkau, kami memiliki arti. Dan karena engkau, kami 'menjadi'. 

Selamat ulang tahun, Bapak Ibu......
Ridho Allah SWT selalu menyertaimu....

Kami yang mencintai,

Luthfiyah Baskoro Adjie dan Keluarga

Senin, 22 Oktober 2012

Pelepasan Peserta SM-3T Angkatan I

Pagi ini dilaksanakan upacara pelepasan peserta SM-3T Unesa angkatan 2011. Sebanyak 238 peserta dilepas oleh Bupati Sumba Timur, didampingi oleh Kepala Dinas PPO. Dihadiri oleh seluruh camat se-kabupaten Sumba Timur dan kepala sekolah.

Acara berlangsung lancar, penuh dengan kegembiraan sekaligus keharuan. Sambutan-sambutan diselingi dengan lagu-lagu, mulai dari lagu Indonesia Raya, Mars Unesa, Mars SM-3T, dan theme song SM-3T Unesa 'Kami Peduli'. Juga ada lagu-lagu 'rek ayo rek' yang dinyanyikan oleh siswa SMP Tabundung, dilanjut dengan lagu 'Rinduku Padamu', juga oleh siswa yang sama. Lagu yang terakhir itu membuat hampir semua yang hadir menangis, karena anak itu melantunkan lagu tentang persahabatan dan perpisahan itu sambil terisak. 

Ada juga pembacaan puisi 'Sebuah Tempat Bernama Sekolah' karya Luthfiyah Nurlaela, dan juga 'Beri Daku Sumba' karya Taufik Ismail. Kedua puisi itu sangat bagus dibawakan oleh para peserta SM-3T, mengiris-ngiris hati, dan tak ayal, banyak mata pun menjadi basah karenanya.

Dua buah lagu, 'Mimpi' dan 'Gita Cinta', yang merupakan hasil karya peserta SM-3T juga dibawakan dengan penuh perasaan. Hendro, pencipta lagu itu, membawakannya sendiri, bersama Wisnu. Lagi-lagi, di ujung lagu, Hendro tak kuat menahan perasaannya, sehingga semua yang hadir pun diliputi keharuan.

Tari khas Sumba dan tari-tarian lain juga dibawakan, baik oleh siswa-siswa maupun para peserta. Tari-tarian yang rancak maupun yang agak lembut gemulai. Ada juga tari 'kabokang', tari khas Sumba yang dibawakan untuk menghormati tamu-tamu.

Sayang sekali Rektor Unesa tidak bisa hadir. Penerbangan yang sangat terbatas dari Kupang ke Waingapu menyebabkan beliau tidak bisa datang ke Sumba Timur, karena rombongan harus berangkat tanggal 20 Oktober dan pulang tanggal 23 Oktober. Sementara tanggal 20 dan 21 Oktober yang lalu, pak Rektor harus menghadiri Wisuda.

Yang ditugasi untuk mewakili pak Rektor adalah Ketua LPPM, yaitu Dr. Ir. I Wayan Susila, M.T. Namun sayang, pesawat transnusa yang akan menerbangkan beliau dari Kupang ke Waingapu, ternyata juga ditunda keberangkatannya. Pukul 10.40 beliau dan pak Heru baru bisa terbang ke Waingapu. Padahal acara pelepasan dimulai pukul 08.30 WITA. 

Maka jadilah pak Sulaiman, sekretaris Program SM-3T memberikan sambutan mewakili saya sebagai koordinator program. Saya, sebagai Ketua Program PPG Unesa memberikan sambutan penerimaan peserta, mewakli Rektor. Ya, tidak ada rotan, akar pun jadi.

Dalam sambutannya, Bupati menyampaikan rasa terimakasihnya yang tak terhingga kepada Unesa. Beliau juga berharap Sumba Timur bisa terus menjadi tempat kegiatan program SM-3T. Namun beliau juga menyayangkan, mengapa tahun ini Unesa hanya mengirimkan sebanyak 78 peserta. Jumlah yang sangat jauh berkurang dibandingkan tahun sebelumnya yang 238 peserta.

Memang untuk tahun ini, Unesa hanya mengirimkan sebanyak 78 peserta ke Sumba Timur. Selebihnya adalah ke Talaud, Maluku Barat Daya, dan Aceh Singkil. Kabupaten-kabupaten tersebut juga menjadi tugas Unesa untuk membantu mengatasi masalah kekurangan guru di sana. Akibatnya, banyak sekolah di Sumba Timur yang tahun lalu mendapatkan guru SM-3T, tahun ini tidak lagi, atau setidaknya jumlahnya dikurangi. 

Apa boleh buat. Maka dalam sambutan saya, saya menyampaikan permohonan maaf kepada bupati, kepala dinas PPO, camat, kepala sekolah, dan seluruh masyarakat Sumba Timur, karena tidak bisa memenuhi permintaan mereka menyangkut kebutuhan guru. Saya sendiri sebenarnya juga sangat kecewa tidak bisa memenuhi harapan mereka. Harapan kami selanjutnya adalah tahun depan kami bisa menambahkan jumlah guru-guru SM-3T yang ditugaskan di Sumba Timur.

Di akhir sambutan, saya membacakan puisi yang baru saja saya buat pagi tadi, di perjalanan dari hotel menuju Gedung Nasional. Sebuah puisi untuk Sumba Timur. 

"Puisi untuk Sumba Timur"

Pernahkah kau bayangkan sebuah tempat
Dimana sejauh mata memandang 
adalah padang sabana yang indah tak terkatakan
Bukit bertumpuk-tumpuk tinggi menjulang 
Lembah dan ngarai luruh menghampar
Dan pantai yang panjang rebah membentang

Tengoklah di sana
Serombongan kuda berlari berkejaran
Memainkan kecipak air laut yang membuih
Dan matahari jingga di cakrawala
Menyapa hangat alam semesta 

Hangat sekali
Sehangat senyum anak-anak bertelanjang kaki 
Sehangat sorot mata ibu-ibu yang menenangkan hati  
Sehangat sapa bapak-bapak yang menyemangati diri

Datanglah ke Sumba Timur
Akan kusambut kau dengan tangan terulur
Sejumput sirih pinang yang lezatnya tak terukur
Mari kita nikmati
Bersama semilir angin yang menerpa pohon-pohon nyiur 
Ditingkahi deru ombak yang berdebur

Datanglah ke Sumba Timur
Ini kami punya parang
Silahkan ambil sapi dan ayam-ayam
Mari sudah bersama-sama kita makan
Semua berkah tanda persaudaraan

Di Sumba Timur
Di sini, di tempat ini
Tiba-tiba kusadari
Sepenuhnya, 
Ternyata telah kutambatkan hati....

Waingapu, 22 Oktober 2012


Wassalam,
LN

Minggu, 21 Oktober 2012

Talaud dalam Bidikan Lensa

Penggalan-penggalan keindahan tak seutuhnya dapat digambarkan dengan kata dan kalimat. Ada yang perlu langsung disajikan dalam wujud aslinya, dan itu hanya bisa dihadirkan lewat bidikan lensa kamera. Meski hanya melalui kamera smartphone --yang pasti hasilnya tak sesuai harapan--, namun setidaknya itu mampu mewakili mata ini untuk memindahkannya kepada siapa saja yang ingin turut menikmati keindahan sesungguhnya panorama kondisi alam Talaud. Mulai alam yang masih cukup asli hingga teknologi sederhana yang harus dipergunakan semaksimalnya adalah hal yang harus dihadapi di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal di bagian wilayah Indonesia.

Prof Warsono (PR1 Unesa) dan Bu Susan.

Suasana sekolah minggu.

Transportasi khas, becak motor.

Lalampa dan Nasi Jaha.

Buah Kenari.

Mengisi BBM menggunakan timba.


Menikmati Kelapa Muda di tengah teriknya cuaca Talaud.

Menyebarangi sungai untuk menuju lokasi ditempatkannya peserta SM-3T di Talaud.
Sampai seberang sungai. Kendaraan dan manusia diusung menggunakan rakit.

Pantai dengan pasir hitam  lembut dan deburan ombak dapat dinikmati sembari berkendara motor.

Menikmati deburan ombak dan angin pantai yang sejuk.

Bekendara motor menyusuri keindahan pantai.

Jumat, 19 Oktober 2012

Talaud (6): Siapa Bilang Talaud Tertinggal?

Menu Ikan Woku-Woku khas Talaud.
Pagi pukul 05.00. Kami semua sudah bangun. Bersiap melanjutkan perjalanan. Kalau kemarin kami menyusur sisi barat, hari ini sisi timur pulau adalah tujuan kami. 

Setelah melewati jalan berbelok-belok naik turun dan jembatan yang belum jadi, kami mencapai desa Tuabatu, kecamatan Tampan Amma. Sebuah desa yang asri sekali, dengan belasan pohon jeruk limau yang sedang berbuah lebat di setiap halaman rumah  penduduk yang sederhana dan beratap seng. Di SDK Sion Tuabatu, ada dua anak kami di sana, Yuni dan Teta. Kedua anak ini dari jurusan pendidikan ekonomi dan pendidikan geografi. Mereka berdua ditugaskan mengajar di SD kelas rendah, yang pembelajarannya dengan pendekatan tematik. Karena mereka sama sekali tidak mengenal pendekatan tematik, maka saya dan pak Yoyok memberi kursus singkat pagi itu. Untung kami selalu membawa laptop ke mana pun, sehingga bisa memberikan bahan-bahan  pada mereka, termasuk contoh-contoh perangkat pembelajaran dan medianya. 
Selain Yuni dan Teta, ada juga Venta, dari penjaskes, yang mengajar di SMP 3 Rainis di Tuabatu. Ketiga anak ini tinggal di rumah bapak kepala sekolah yang sangat baik hati, bapak Nohrey.

Berbeda dengan di Sumba Timur, di mana para peserta SM-3T tinggal di mess-mess sekolah atau di perpustakaan, dengan kondisi yang serba terbatas: di Talaud, para guru pengabdi ini ditampung di rumah kepala sekolah, atau di rumah komite, atau di rumah salah satu guru. Mereka dianggap anak sendiri, dan kondisi tempat tinggal mereka cukup memadai. Air dan listrik juga hampir selalu tersedia. Begitu juga makanan. Mereka seperti memiliki orang tua asuh. Ya, kondisi yang tidak memungkinkan di Sumba Timur. Dengan kondisi rumah-rumah mereka sebagian besar kurang layak, dan sumber bahan makanan yang tidak mudah diperoleh; jangankan menampung dan memberi makan anak-anak SM-3T, mencukupi kebutuhan konsumsi keluarga sendiri saja tidak mudah. Di sini, hampir di setiap rumah yang kami kunjungi, kami disuguh kue, makanan lengkap, atau sekedar dipetikkan buah kelapa muda yang dilengkapi dengan gula merah yang lunak.

Di Talaud, hanya ada satu kecamatan, yaitu kecamatan Tampan Amma, yang listriknya baru menyala ketika malam. Wilayah ini memang merupakan wilayah yang cukup sulit untuk dicapai. Di beberapa desa di mana anak-anak kami ditugaskan, kami harus mencapainya dengan bersepeda motor. Guru-guru membonceng kami mencapai satu titik ke titik yang lain. Jalan-jalan berbatu dengan jembatan-jembatan kecil dari pohon kelapa (glugu) atau papan-papan kayu harus kami lintasi dengan penuh risiko. Bahkan di salah satu jembatan itu, saya dan pak Yon yang membonceng saya, jatuh terjun bebas masuk ke sungai bersama sepeda motor suzuki thunder yang kami kendarai. Syukur alhamdulilah sungai itu tidak curam dan berbatu-batu. Syukur juga kami tidak tetimpa sepeda motor tersebut. Namun  baju basah kuyup yang seharian terpaksa saya kenakan, sempat membuat saya 'nggreges' dan masuk angin. 

Berkendara dari Tuabatu, Rainis, Binalang, Dapalan, Riung, dan Ammat, meskipun merupakan perjalanan yang berisiko, tapi juga perjalanan yang sangat menyenangkan. Beberapa kilometer harus kami lalui dengan melintasi pantai. Benar-benar pantai, sehingga buih-buih air laut hanya berjarak beberapa meter di bawah kaki kami. Sebagian kami lalui di atas jalan setapak yang berkelok-kelok, naik turun, dan pantai begitu dekat ada di sebelah kanan kami. Pohon-pohon kelapa berbaris rapi dan padat di sepanjang jalan. Risiko lain selain jembatan-jembatan kecil semi permanen yang harus kami lintasi, juga risiko kejatuhan buah kelapa. Untungnya angin pantai tidak bertiup terlalu kencang, sehingga kami agak tenang berkendara di bawah rerimbunan pohon kelapa tersebut.  

Kami juga harus menaiki rakit untuk menuju sebuah lokasi di Ammat. Rakit itu maksimal hanya bisa memuat dua sepeda motor dan tiga orang sekali jalan. Jangan bayangkan seperti rakit-rakit di Surabaya yang bisa menampung banyak sepeda motor dan belasan orang. Rakit di Talaud ini hanya berupa papan-papan kayu tebal yang dijalin kuat, berukuran kurang dari 2 x 4 meter. Untuk mencapainya, kita harus meniti sebuah papan yang dipasang oleh tukang rakit, papan yang menghubungkan bagian pinggir rakit itu dengan bibir sungai. Keluar dari rakit bukanlah tanah padat yang kita tapaki, melainkan tanah berlumpur, diselingi dengan batu-batu karang tajam dan licin, sehingga kita perlu ekstra hati-hati agar tidak terpeleset. Saya sempat terjebak di dalam lumpur karena pak Yoyok salah memberi instruksi. Begitu kedua kaki saya tenggelam dalam lumpur yang licin itu, pak Yoyok dan kawan-kawan malah tertawa kegirangan.

Yang menyenangkan, di sekitar tempat penyeberangan dengan rakit itu, adalah pohon-pohon kenari. Kami sempat makan kacang kenari segar yang diberi oleh tukang rakit dan seorang bocah yang baru saja 'luru'. Buah berbentuk oval berwarna hitam itu dipukul-pukul dengan batu oleh bu Susan. Dia mengajari kami bagaimana membukanya, mengupas kulit arinya, kemudian memakannya. Gurih, dengan sedikit citarasa 'langu', enak sekali. Bu Susan, perempuan cantik yang smart itu, menceritakan, membuka buah kenari adalah pekerjaannya sewaktu kecil. Ayahnya suka minum kopi ditemani buah kenari sepulang dari melaut.

Talaud seperti 'kota santri' di hari Minggu ini. Semua gereja ramai. Anak-anak mulai dari balita sampai usia sekolah SD memenuhi sekolah-sekolah Minggu. Ibadah ada di mana-mana. Di sepanjang jalan di mana pun di desa-desa yang kami kunjungi, orang-orang segala usia, laki dan perempuan, berpakaian rapi sambil membawa alkitab. Disejajarkan dengan Jawa Timur, mungkin inilah 'Jombang'nya Talaud. Nuansa religius begitu kentalnya.

Pada siang hari, sepulang mereka dari gereja, mereka berkumpul dengan keluarga di rumah. Ada kebiasaan di mana anggota keluarga tidak boleh bekerja di hari minggu. Mereka tidak ke ladang, kebun atau ke laut. Mereka berkumpul di depan rumah bersama keluarga atau teman-teman, bermain kartu dan makan-makan. Saya melihat betapa menyenangkannya kebiasaan ini. Hari Minggu adalah hari keluarga, dan aktivitas keluarga yang mereka lakukan itu sangat berarti untuk membangun kedekatan antaranggota keluarga mereka. Sesuatu yang sudah sangat langka ditemukan di kota-kota. Sayang memang, kadang-kadang acara kumpul-kumpul itu ditemani minuman keras. Pada satu tempat yang kami kunjungi, kami bertemu dengan para pensiunan kepala sekolah yang sedang bermain kartu, dan--tentu saja--ditemani beberapa botol minuman keras.

Kami meninggalkan Riung setelah dijamu makan siang yang mewah oleh ibu kepala sekolah. Kupat dan ubi sebagai sumber karbohidrat. Ayam goreng dan ikan woku-woku sebagai sumber lemak dan protein. Sayur--saya lupa namanya--khas Talaud, dari daun belinjo, bunga pepaya dan labu kuning yang dimasak santan, sebagai sumber vitamin dan mineral. Ada juga makanan penutup berupa sate pisang yang dibakar dan ditaburi keju. Juga es segar yang terbuat dari potongan kelapa muda, nangka, dan kacang goreng. Benar-benar santapan makan siang yang lengkap. Siapa bilang Talaud tetinggal?

    
Kepulauan Talaud, Minggu, 14 Oktober 2012

Wassalam,
LN

Sabtu, 13 Oktober 2012

Talaud (5): Kepulauan yang Indah

Pagi masih gelap. Deburan ombak adalah suara alam yang pertama kali saya dengar begitu bangun tidur. Penginapan kami, namanya hotel Helena, hanya berjarak kurang dari 50 meter saja dari bibir pantai. Hotel itu sebenarnya terlalu sederhana untuk disebut hotel, hanya terdiri dari dua belas kamar, masing-masing berukuran 3 x 4 meter. Kamar-kamar berbaris membentuk huruf U, dan di tengahnya adalah bangunan terbuka untuk berbagai keperluan, misalnya untuk pertemuan atau makan. Juga untuk bermain musik. Semalam kami bersama ibu Susan, kepala seksi SD dan SMP, dan kawan-kawan dari UM, bernyanyi bergantian setelah dijamu makan malam oleh Kepala Dinas. Yang memainkan electone adalah pak Yoyok, dosen PGSD. Sekali-sekali diganti oleh petugas hotel. Tapi petugas hotel khusus electone itu tidak sebagus pak Yoyok memainkannya, setidaknya perbendaharaan lagu-lagunya tidak selengkap pak Yoyok. Maka menyanyilah kami diiringi pak Yoyok, mulai dari lagu-lagu nostalgia Indonesia dan Barat, ndangdut, dan campursari. Pak Yoyok sampai-sampai 'terkapar' di kursinya karena kecapekan mengiringi kami semua.      

Pagi ini sarapan kami adalah nasi putih, ikan goreng, telur ceplok, dan sambal dabu-dabu. Ikan, merupakan salah satu komoditas yang menonjol di Talaud. Sore kemarin, pak Yoyok juga sudah belanja ikan yang dibumbu woku-woku, yang dimakan dengan umbi bentul. Bentulnya hanya dikukus begitu saja, dipotong-potong sekepalan tangan, fungsinya sebagai pengganti nasi. Pak Yoyok membelinya di pasar dekat hotel ketika kami semua sedang beristirahat seusai upacara serah terima dengan Pemda Talaud. Orang itu memang seperti tidak punya capek. Dia bahkan telah bermain di pantai dengan anak-anak kampung, dan memotret mereka dalam berbagai pose.

Dua mobil sudah menunggu kami. Satu panther dan satu xenia. Saya, Prof. Warsono, dan pak Heru di mobil Xenia, sementara pak Yoyok, Andra dan bu Susan di mobil panther. Pagi ini kami bermaksud menyusuri sisi barat pulau ini. Tentu saja dalam rangka meninjau tempat para guru SM-3T ditugaskan.

Dari Melongwane, yang merupakan titik start, kami menuju Beo. Jalan lumayan  mulus, sedikit naik turun dan berkelok. Namun ternyata jalan mulus itu tak terlalu lama. Hanya sekitar 30 menit saja, selanjutnya adalah jalan yang berlubang-lubang besar, sehingga Rayu, driver kami harus hati-hati memilih jalan. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 60 menit, kami sampai di Beo. Kami mengunjungi SD Inpres Bantik. Ada dua guru SM-3T di situ, satu dari UM, dan satu dari Unesa. Ketika kami datang, aroma durian tercium. Ternyata bapak kepala sekolah sudah menyiapkan durian untuk kami. Maka tanpa basa-basi, kami semua menyerbu durian itu ramai-ramai. Setelah makan durian, kami masuk ke beberapa kelas, bercengkerama dengan siswa, dan bermain pingpong. 

Sekolah itu menurut penilaian kami bukanlah sekolah tertinggal. Bangunannya lumayan bagus, ada halaman sekolah yang bisa dimanfaatkan untuk bermain voli, juga ada satu ruangan yang digunakan untuk main pingpong. Kepala sekolah dan guru-guru juga memiliki ruangan yang agak memadai. Sekolah itu memiliki 7 guru PNS, dengan 6 rombel, dan 119 siswa. 

Kami berkendara dari satu desa ke desa lain dalam tiga kecamatan, Beo, Essang, dan Gemeh. Hujan turun di sepanjang jalan. Jalan selepas Beo menuju Gemeh adalah jalan tanah yang diuruk sirtu (pasir dan batu). Terjal dan sedikit berkelok-kelok, naik-turun. Di sebelah kiri kami adalah pantai dengan lautnya yang sangat menakjubkan, dengan pepohonan yang rapat, yang seringkali menghalangi pandangan kami. Putih, hijau kekuningan, hijau muda dan biru tua, adalah warna-warna laut, bergradasi, begitu indah, seperti lukisan di atas kanvas raksasa. Kami tidak henti-hentinya mengabadikan pemandangan yang sungguh memukau itu dengan kamera kami.

Talaud adalah wilayah yang tidak bisa dibilang miskin. Sepanjang perjalanan dari Melongwane sampai Gemeh, kecamatan paling ujung, yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar 4-5 jam, pohon kelapa berbaris rapat di sepanjang jalan. Nyaris tanpa putus. Juga pohon cengkeh, pala yang sedang berbuah, dan pohon-pohon produktif yang lain. Menurut bu Susan, kelapa yang diolah menjadi kopra merupakan salah satu andalan penduduk sebagai sumber mata pencaharian, di samping cengkeh dan pala. Hasil laut yang berlimpah juga menjadi andalan yang lain.

Masyarakat Talaud juga cukup rajin bercocok tanam. Di tengah perjalanan, ketika kami sejenak beristirahat, kami sempat mengobrol dengan seorang bapak tua. Namanya Andreas Palangkareng, 70 tahun, berpakaian kerja lengkap. Parang di pinggang, dayung di pundak, dan keranjang besar (di Talaud disebut 'bika')  di punggung, serta gayung untuk membuang air di sampan. Dia mau pergi ke ladang, dan harus menyeberang sungai. Penampilan seperti bapak Andreas itu banyak ditemukan di sepanjang perjalanan, tua muda, laki-laki maupun perempuan. Mereka pergi ke ladang, kebun, atau pergi mencari ikan di laut. Meskipun PNS, sebagian besar dari mereka tetap melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. 

Hampir setiap jengkal tanah di pekarangan dimanfaatkan untuk berbagai tanaman, mulai dari umbi-umbian, tanaman buah, sayur, pisang, rempah-rempah, atau sekedar tanaman bunga. Di depan rumah di sepanjang jalan yang kami lalui, banyak tanaman jambu, nangka, mangga, kedondong, dan buah-buahan lain yang sedang berbuah. Jeruk limau juga sangat lazim ditemukan sebagai tanaman pekarangan. Masyarakat Talaud hampir selalu menggunakan jeruk limau untuk mengolah makanan dari ikan. Mereka juga memelihara ayam dan babi, baik untuk konsumsi sendiri maupun dijual. 

Saya teringat salah satu program pemerintah terkait dengan percepatan ketahanan pangan, salah satunya adalah program pemanfaatan pekarangan. Ya,  ketersediaan berbagai tanaman di pekarangan itu bisa menjadi penyangga ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Apalagi mereka tidak hanya mengandalkan pada beras sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga pada umbi-umbian. Saya berharap mudah-mudahan pola makan yang memanfaatkan umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat itu tetap lestari, dan tidak semakin tergeser oleh beras, sebagaimana yang terjadi di banyak wilayah Indonesia yang lain. 

Di sisi lain, biaya hidup di Talaud cukup tinggi. Premium yang dijual di pangkalan seharga 8 ribu-12 ribu rupiah seliter. Beras bisa mencapai 20 ribu-25 ribu rupiah sekilo. Air mineral ukuran tanggung yang di Jawa hanya seharga 1500-2000 rupiah, di sini harganya 4.000 rupiah. Hotel kami, dengan luas kamar sekitar 12 meter persegi dengan fasilitas kamar yang sangat standar, yang di kota kecil di Jawa tarifnya hanya 100 ribuan, di sini 350 ribu rupiah semalam. Sewa mobil sehari dengan rute ke Gemeh yang hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 4-5 jam, biayanya 2 juta rupiah satu mobil. Saya berharap mudah-mudahan para peserta SM-3T dapat mengelola insentifnya yang hanya 2,5 juta perbulan itu dengan sebaik-baiknya, sehingga mereka bisa tercukupi kebutuhan sehari-harinya secara layak.

Kalau Talaud dikatakan sebagai wilayah terluar, memang benar. Tapi sama sekali bukan tertinggal. Sumber daya alamnya luar biasa berlimpah, dan sudah dikelola dengan cukup baik. Pohon kelapa, cengkeh, dan pala menjadi tanaman utama yang nyaris tidak ada putusnya memenuhi bibir pantai dan perkebunan sepanjang jalan mulai Melongwane sampai Gemeh. Kampung-kampung yang kami kunjungi adalah kampung yang indah. Meski rumah-rumahnya sederhana, beratap seng, namun pekarangan mereka penuh tanaman, termasuk tanaman bunga. Asri sekali. 

Di antara barisan rumah-rumah sederhana itu, selalu ada satu bangunan yang menonjol. Itulah gereja. Sekitar 95 persen penduduk Talaud beragama Kristen Protestan, selebihnya adalah Kristen Katolik, muslim, dan sekte-sekte lain. Mereka rajin melakukan kebaktian, ibadah, dan sekolah minggu serta berbagai kegiatan keagamaan. 
Ironisnya, mereka juga biasa minum-minuman keras sampai mabuk. Minuman keras dengan berbagai merk dijual bebas, dan botol-botol bekas minuman lazim ditemukan di rumah-rumah. Melihat orang tertawa-tawa sendiri atau berjalan limbung di jalanan sambil 'ngoceh' sendiri karena mabuk, adalah hal yang biasa. Minuman beralkohol yang banyak ditemukan merupakan hasil penyulingan fermentasi air nira. Minuman tersebut mudah diperoleh di warung atau toko di mana saja. Ada tiga yang terkenal, merknya King, Casssanova, dan Cap Tikus. Yang paling keras cak Tikus, tapi yang paling disukai yang Cassanova. Diminumnya biasanya ketika malam hari, saat kumpul-kumpul untuk bersantai, atau pada acara-acara pernikahan, perayaaan ulang tahun, juga pada acara kematian. Menurut Rayu, driver kami, bila ada orang meninggal, malam pertama dia meninggal disebut malam penghiburan. Besoknya setelah penguburan, adalah malam kedua, ketiga, sampai malam keempat puluh. Dalam malam-malam itu, sanak saudara dan tetangga-tetangga melakukan ibadah, bernyanyi-nyanyi, main kartu, dan tentu saja dilengkapi dengan minuman beralkohol tersebut.  

Kendala utama pembangunan di Talaud salah satunya adalah infrastruktur. Jalan utama yang menghubungkan satu kecamatan dengan kecamatan lain sebagian besar masih berupa tanah berbatu. Jalan itu sebenarnya hanya melingkar saja menghubungkan sisi barat dan sisi timur pulau. Belasan kali jalan melintas di atas sungai, namun sebagian besar jembatan yang kerangkanya dari baja itu masih belum dicor, tetapi menggunakan papan-papan kayu. Papan-papan itu hampir selalu bergeser setelah sebuah mobil melintas di atasnya. Maka bila ingin melintas dengan lebih aman, kita harus menata ulang papan-papan kayu itu. Sungguh perjalanan yang cukup berisiko. Bahkan di Gemeh, ada sepenggal jalan yang terputus karena belum ada jembatannya. Hujan deras menyebabkan laut pasang dan air sungai naik, sehingga kami gagal mencapai ujung Gemeh, di mana ada dua anak kami yang bertugas di sana. 

Kondisi infrastruktur yang masih sangat memprihatinkan itulah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Talaud. Meskipun secara umum kondisinya masih jauh lebih baik daripada Sumba Timur, namun keterbatasan guru menjadi kendala utama. Beberapa guru yang ditugaskan di sekolah-sekolah di Talaud meminta dimutasikan ke wilayah lain dengan berbagai alasan. Menurut salah satu kepala sekolah di sana, sebenarnya alasannya adalah karena mereka tidak kerasan. 
  
Setelah mengunjungi beberapa tempat di mana anak-anak kami bertugas, kami mengarah ke SMP 3 Essang di Mamahan kecamatan Gemeh. Kepala sekolahnya bernama Yanis Alimbalo. Rumah kepala sekolah ada di kompleks SDK Lembong Rintulu, Mamahan, Gemeh. Istri bapak kepala sekolah juga kepala TK. Kami mampir ke sana karena ada dua anak kami yang bertugas di SMP 3 Essang. Selain itu, waktu makan siang sudah lewat dari tadi, dan kami perlu memasak mie instan dan minuman hangat. Kami mengkhawatirkan kondisi diri kami semua yang berkendara jauh dan juga kehujanan. Makanan akan menjaga fisik kami supaya tetap prima. Perjalanan masih jauh.

Mie tetap kami masak. Tapi ibu Maria, ibu kepala sekolah TK yang baik itu, memasak ikan untuk kami. Ikan itu ditangkap sendiri oleh suaminya di laut di belakang rumahnya. Di belakang rumah itu juga, tumbuh subur berbagai tanaman produktif, umbi bentul, ketela pohon, terong,  pepaya, kacang panjang, dan coklat. Berbagai rempah dan bumbu dapur juga ada. 
Ibu Maria dan kerabatnya memasak semuanya dengan mendadak, karena bu Susan memang tidak memberi tahu lebih dulu kalau kami akan mampir. 

Sangat mirip dengan orang Jawa, masyarakat Talaud juga 'suguh gupuh' bila kedatangan tamu. Mereka segera bergotong royong membersihkan ikan, menyiapkan bumbu, memasak nasi, dan membuat minuman hangat. Bumbu daun-daunan yaitu daun kemangi, daun pandan, daun kunyit, dan batang sereh, diambilnya di pekarangan. Begitu juga lengkuas, kunyit, cabe, dan jeruk limau. Jeruk limau digunakan untuk mencencam ikan setelah dibersihkan dan dipotong-potong. Ditambah bawang merah dan bawang putih, semua bumbu itu ditumbuk. Saya ikut menumbuk bumbu-bumbu itu, dan Andra yang membuat minuman hangatnya. Begitu ikan masak, kami menikmatinya beramai-ramai. Benar-benar nikmat. Ikan itu dagingnya tebal, bumbu woku-wokunya berasa sangat gurih, pedas, asin, asam dan segar. Saya menghabiskan 3 potong pada bagian kepala. Prof. Warsono dan teman-teman yang lain saya lihat juga beberapa kali 'nambah' nasi sekaligus ikannya. 

Ketika pamit pulang, ibu Maria membawakan sisa ikan dan nasi untuk kami santap sebagai makan malam. Di tengah gerimis yang rapat, kami pamit untuk meneruskan perjalanan. Tujuan kami adalah SMP 2 Gemeh dan SMP 3 Gemeh di Banak kec Gemeh, tempat yang paling ujung. Sayang hujan deras telah menyebabkan air sungai meluap, sehingga kami harus 'balik kucing'.

Senja sudah mulai turun dan kami memutuskan kembali ke arah Beo. Malam ini kami semua menginap di sana. Besok selepas shubuh, kami akan mulai lagi perjalanan menyusuri sisi timur pulau.


Kepulauan Talaud, 13 Oktober 2012

Wassalam,
LN

Jumat, 12 Oktober 2012

Talaud (4): Upacara Serah Terima

Pukul 12.00, Wings Air yang kami tumpangi mendarat di Melongwane. Tidak terlalu mulus tentu saja, karena pesawat berbaling-baling itu terlalu kecil untuk menyembunyikan derit rodanya ketika menyentuh tanah. 

Turun dari pesawat, pemandangan yang kami lihat di luar dugaan. Sebelumnya saya dan Andra membayangkan, setidaknya bandara Melongwane mirip bandara Umbu Mehang Kunda di Sumba Timur. Dari kejauhan, memang ada dua bangunan. Satu tempat pemberangkatan dan satu tempat kedatangan. Tapi kedua bangunan itu sungguh sederhana, jauh lebih bagus yang di Sumba Timur. Cat putihnya yang berbingkai coklat sudah nampak agak kusam. Saya bahkan melihatnya bukan seperti gedung di bandara, tapi seperti rumah tinggal saja, rumah tinggal yang sederhana. Kotak persegi empat. 

Di pintu masuk kedatangan, kepala disdikpora, bapak Jonkers Papia, sudah menyambut kami. Ditemani oleh ibu Susan, kasi SD-SMP. Perempuan itu mungkin usianya lebih dari 40 tahun, tapi wajahnya yang cantik, dengan mata bulat dan hidung mancung, tubuh langsing dan proporsional, membuatnya tetap menarik. Dengan make up yang menurut ukuranku cukup tebal dan lengkap, dialah mungkin perempuan paling cantik di Talaud. 

Kami masuk ke ruang kedatangan yang sempit dan pengap itu. Langsung menuju pintu keluar. Kami semakin takjub. Ada belasan bentor berbaris di pinggir jalan yang beraspal kasar itu. Itukah yang menjemput kami? Luar biasa. Inilah taksi khas Talaud. Becak motor. 

Para peserta berjubel di dalam ruang. Sebagian besar dari mereka kita minta keluar dan berteduh di sebuah pohon. Ternyata itu adalah pohon kedondong yang lagi berbuah lebat sekali, sampai-sampai daun-daunnya tertutup buah yang bergerombol-gerombol dan bergelantungan. Tak ayal, sementara yang lain masih menunggu bagasi, kami meminta izin petugas bandara untuk mengambil kedondong. Seorang tukang bentor bahkan menaiki pohon itu dan memetik buah-buahnya, dilemparkannya ke bawah, ke arah para peserta yang menunggu. Persahabatan yang alami seketika terjalin. Antara penduduk setempat dan para peserta yang lagi kelaparan. 

Sejenak kami baru tahu kalau ternyata tidak semua bagasi kami terangkut. Ada 7 koli bagasi peserta SM-3T Unesa yang tidak terangkut, sementara milik UM bahkan hanya ada 5 koli yang terangkut. Sisanya, 25 koli akan dikirim dengan kapal, dan dijadwalkan sampai di tempat tujuan besok pada pukul 12 atau 13 siang. Haduh. Tidak pakai pemanasan, ketahanmalangan langsung dimulai. Setidaknya sampai besok mereka tidak bisa berganti pakaian.

Tidak hanya itu. Ternyata tidak hanya bagasi yang tertinggal, atau memang sengaja ditinggal. Tapi juga dua orang peserta dari UM. Seat penuh. Entah bagaimana hal ini bisa terjadi, sehingga dua dari mereka harus tetap tinggal di Menado dan baru bisa diterbangkan besok. 

Bagasi para peserta dinaikkan ke mobil pickup. Bertumpuk-tumpuk membentuk gunung. Mobil itu bergerak meninggalkan bandara. Para peserta naik bentor, satu bentor berdua, mengekor di belakang mobil pickup itu. Berbaris rapi. Ya, mereka memang harus berbaris rapi, karena jalanan sempit dan beraspal kasar tidak memungkinkan mereka untuk saling menyalip. Jalan tersebut seperti jalan-jalan kecil masuk kampung di kota-kota. Bedanya, lebih kasar dan terjal.

Kami semua menuju kantor disdikpora, yang ternyata tidak jauh dari bandara, hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit. Di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, sudah menunggu puluhan kepala sekolah. Merekalah yang akan menjadi mama dan papa para peserta. Sengaja didatangkan oleh kepala dinas untuk menjemput guru-guru yang akan mengabdi di sekolah mereka. 

Para kepala sekolah itu berdiri berjajar di barisan paling belakang. Sementara para peserta duduk di kursi-kursi plastik di depan mereka. Teman-teman panitia membaur di kursi-kursi itu juga. Kami duduk di depan berhadapan dengan mereka. Kepala Dinas, Asisten 3, Prof. Warsono, saya, dan Pak Oni dari UM. 

Kedatangan kami disambut dengan suka cita. Nampak sekali dari raut muka mereka. Sorot mata penuh harap itu begitu mengharukan. Kadis pernah menyampaikan, hampir semua sekolah meminta supaya dikirimkan guru SM-3T, meski pun hanya satu orang. Tapi mana mungkin. Dengan jumlah TK 91, SD 114, SMP 40, SMA/SMK 16, sedangkan kami hanya berenam puluh, 30 dari Unesa, 30 dari UM. Jumlah yang mungkin jauh dari harapan mereka, namun setidaknya kehadiran 60 orang guru muda ini telah sedikit mengobati kerinduan mereka. 

Keharuan semakin menyeruak ketika bapak Asisten 3 memberi sambutan. Tak disangka, beliau sampai setengah menangis ketika meluapkan rasa terima kasihnya. Membuat kami semua terdiam. Membuat tenggorokan saya terasa sakit. Mereka ibarat musafir yang mengharapkan setetes air di padang pasir yang gersang. Air itu sekarang telah hadir. Meski hanya setetes, namun kejernihannya mampu menumbuhkan benih-benih harapan di setiap hati yang telah lama didera rasa haus. Haus akan perhatian. Haus akan bukti bahwa mereka dianggap ada, dan dianggap sebagai bagian yang penting dari NKRI.

Kami menyerahkan 60 peserta itu kepada mereka semua. Bu Susan memanggil kepala sekolah satu per satu dan menyerahkan peserta yang ditugaskan di sekolah di mana kepala sekolah itu bertugas. Mereka seperti orang tua yang menemukan anaknya yang telah lama hilang. Disambutnya anak-anak itu dengan penuh kegembiraan. Si anak, guru-guru SM-3T itu, juga seperti itik yang menemukan induk semangnya. Betapa pun mereka telah dipersiapkan seoptimal mungkin untuk terjun di wilayah seberat apa pun, namun mengetahui bahwa ada tangan-tangan hangat yang menyambut kehadiran mereka di pelosok negeri yang asing, tentulah menenangkan dan membesarkan hati mereka.    

Acara ditutup dengan lagu 'Kami Peduli', lagu gubahan pak Yoyok. Lagu yang menjadi lagu wajib selama masa prakondisi, selain -- tentu saja -- Mars Unesa dan Mars SM-3T. Tentu saja lengkap dengan yel-yel. Kemudian pak Yoyok meminta mereka semua berdiri di depan, diajarinya mereka menyanyikan lagu yang mereka semua sudah kenal, hanya sedikit diubah liriknya. 'Dari Sabang sampai Merauke....dari Timur sampai ke Talaud.... Indonesia tanah airku..... SM-3T pengabdianku....' 

Kami melepas peserta dengan jabat tangan dan pelukan. Mereka akan menuju tempat pengabdiannya. Beberapa harus ada yang menyeberang laut karena tugas mereka ada di pulau-pulau. Beberapa harus menempuh perjalanan yang masih panjang, sekitar 5-6 jam. Tapi wajah dan sorot mata mereka yang penuh  semangat dan optimisme, tanpa bias keraguan sedikit pun, membanggakan hati kami. 'Selamat berjuang, Kawan. Anak-anak bangsa menunggu kalian. Berikan yang terbaik yang kalian bisa. Torehkan warna-warna emas dalam jiwa-jiwa mereka. Bangkitkan mimpi-mimpi mereka menuju masa depan yang lebih indah....' 


Talaud, 12 Oktober 2012

Wassalam,
LN