Pages

Jumat, 19 Oktober 2012

Talaud (6): Siapa Bilang Talaud Tertinggal?

Menu Ikan Woku-Woku khas Talaud.
Pagi pukul 05.00. Kami semua sudah bangun. Bersiap melanjutkan perjalanan. Kalau kemarin kami menyusur sisi barat, hari ini sisi timur pulau adalah tujuan kami. 

Setelah melewati jalan berbelok-belok naik turun dan jembatan yang belum jadi, kami mencapai desa Tuabatu, kecamatan Tampan Amma. Sebuah desa yang asri sekali, dengan belasan pohon jeruk limau yang sedang berbuah lebat di setiap halaman rumah  penduduk yang sederhana dan beratap seng. Di SDK Sion Tuabatu, ada dua anak kami di sana, Yuni dan Teta. Kedua anak ini dari jurusan pendidikan ekonomi dan pendidikan geografi. Mereka berdua ditugaskan mengajar di SD kelas rendah, yang pembelajarannya dengan pendekatan tematik. Karena mereka sama sekali tidak mengenal pendekatan tematik, maka saya dan pak Yoyok memberi kursus singkat pagi itu. Untung kami selalu membawa laptop ke mana pun, sehingga bisa memberikan bahan-bahan  pada mereka, termasuk contoh-contoh perangkat pembelajaran dan medianya. 
Selain Yuni dan Teta, ada juga Venta, dari penjaskes, yang mengajar di SMP 3 Rainis di Tuabatu. Ketiga anak ini tinggal di rumah bapak kepala sekolah yang sangat baik hati, bapak Nohrey.

Berbeda dengan di Sumba Timur, di mana para peserta SM-3T tinggal di mess-mess sekolah atau di perpustakaan, dengan kondisi yang serba terbatas: di Talaud, para guru pengabdi ini ditampung di rumah kepala sekolah, atau di rumah komite, atau di rumah salah satu guru. Mereka dianggap anak sendiri, dan kondisi tempat tinggal mereka cukup memadai. Air dan listrik juga hampir selalu tersedia. Begitu juga makanan. Mereka seperti memiliki orang tua asuh. Ya, kondisi yang tidak memungkinkan di Sumba Timur. Dengan kondisi rumah-rumah mereka sebagian besar kurang layak, dan sumber bahan makanan yang tidak mudah diperoleh; jangankan menampung dan memberi makan anak-anak SM-3T, mencukupi kebutuhan konsumsi keluarga sendiri saja tidak mudah. Di sini, hampir di setiap rumah yang kami kunjungi, kami disuguh kue, makanan lengkap, atau sekedar dipetikkan buah kelapa muda yang dilengkapi dengan gula merah yang lunak.

Di Talaud, hanya ada satu kecamatan, yaitu kecamatan Tampan Amma, yang listriknya baru menyala ketika malam. Wilayah ini memang merupakan wilayah yang cukup sulit untuk dicapai. Di beberapa desa di mana anak-anak kami ditugaskan, kami harus mencapainya dengan bersepeda motor. Guru-guru membonceng kami mencapai satu titik ke titik yang lain. Jalan-jalan berbatu dengan jembatan-jembatan kecil dari pohon kelapa (glugu) atau papan-papan kayu harus kami lintasi dengan penuh risiko. Bahkan di salah satu jembatan itu, saya dan pak Yon yang membonceng saya, jatuh terjun bebas masuk ke sungai bersama sepeda motor suzuki thunder yang kami kendarai. Syukur alhamdulilah sungai itu tidak curam dan berbatu-batu. Syukur juga kami tidak tetimpa sepeda motor tersebut. Namun  baju basah kuyup yang seharian terpaksa saya kenakan, sempat membuat saya 'nggreges' dan masuk angin. 

Berkendara dari Tuabatu, Rainis, Binalang, Dapalan, Riung, dan Ammat, meskipun merupakan perjalanan yang berisiko, tapi juga perjalanan yang sangat menyenangkan. Beberapa kilometer harus kami lalui dengan melintasi pantai. Benar-benar pantai, sehingga buih-buih air laut hanya berjarak beberapa meter di bawah kaki kami. Sebagian kami lalui di atas jalan setapak yang berkelok-kelok, naik turun, dan pantai begitu dekat ada di sebelah kanan kami. Pohon-pohon kelapa berbaris rapi dan padat di sepanjang jalan. Risiko lain selain jembatan-jembatan kecil semi permanen yang harus kami lintasi, juga risiko kejatuhan buah kelapa. Untungnya angin pantai tidak bertiup terlalu kencang, sehingga kami agak tenang berkendara di bawah rerimbunan pohon kelapa tersebut.  

Kami juga harus menaiki rakit untuk menuju sebuah lokasi di Ammat. Rakit itu maksimal hanya bisa memuat dua sepeda motor dan tiga orang sekali jalan. Jangan bayangkan seperti rakit-rakit di Surabaya yang bisa menampung banyak sepeda motor dan belasan orang. Rakit di Talaud ini hanya berupa papan-papan kayu tebal yang dijalin kuat, berukuran kurang dari 2 x 4 meter. Untuk mencapainya, kita harus meniti sebuah papan yang dipasang oleh tukang rakit, papan yang menghubungkan bagian pinggir rakit itu dengan bibir sungai. Keluar dari rakit bukanlah tanah padat yang kita tapaki, melainkan tanah berlumpur, diselingi dengan batu-batu karang tajam dan licin, sehingga kita perlu ekstra hati-hati agar tidak terpeleset. Saya sempat terjebak di dalam lumpur karena pak Yoyok salah memberi instruksi. Begitu kedua kaki saya tenggelam dalam lumpur yang licin itu, pak Yoyok dan kawan-kawan malah tertawa kegirangan.

Yang menyenangkan, di sekitar tempat penyeberangan dengan rakit itu, adalah pohon-pohon kenari. Kami sempat makan kacang kenari segar yang diberi oleh tukang rakit dan seorang bocah yang baru saja 'luru'. Buah berbentuk oval berwarna hitam itu dipukul-pukul dengan batu oleh bu Susan. Dia mengajari kami bagaimana membukanya, mengupas kulit arinya, kemudian memakannya. Gurih, dengan sedikit citarasa 'langu', enak sekali. Bu Susan, perempuan cantik yang smart itu, menceritakan, membuka buah kenari adalah pekerjaannya sewaktu kecil. Ayahnya suka minum kopi ditemani buah kenari sepulang dari melaut.

Talaud seperti 'kota santri' di hari Minggu ini. Semua gereja ramai. Anak-anak mulai dari balita sampai usia sekolah SD memenuhi sekolah-sekolah Minggu. Ibadah ada di mana-mana. Di sepanjang jalan di mana pun di desa-desa yang kami kunjungi, orang-orang segala usia, laki dan perempuan, berpakaian rapi sambil membawa alkitab. Disejajarkan dengan Jawa Timur, mungkin inilah 'Jombang'nya Talaud. Nuansa religius begitu kentalnya.

Pada siang hari, sepulang mereka dari gereja, mereka berkumpul dengan keluarga di rumah. Ada kebiasaan di mana anggota keluarga tidak boleh bekerja di hari minggu. Mereka tidak ke ladang, kebun atau ke laut. Mereka berkumpul di depan rumah bersama keluarga atau teman-teman, bermain kartu dan makan-makan. Saya melihat betapa menyenangkannya kebiasaan ini. Hari Minggu adalah hari keluarga, dan aktivitas keluarga yang mereka lakukan itu sangat berarti untuk membangun kedekatan antaranggota keluarga mereka. Sesuatu yang sudah sangat langka ditemukan di kota-kota. Sayang memang, kadang-kadang acara kumpul-kumpul itu ditemani minuman keras. Pada satu tempat yang kami kunjungi, kami bertemu dengan para pensiunan kepala sekolah yang sedang bermain kartu, dan--tentu saja--ditemani beberapa botol minuman keras.

Kami meninggalkan Riung setelah dijamu makan siang yang mewah oleh ibu kepala sekolah. Kupat dan ubi sebagai sumber karbohidrat. Ayam goreng dan ikan woku-woku sebagai sumber lemak dan protein. Sayur--saya lupa namanya--khas Talaud, dari daun belinjo, bunga pepaya dan labu kuning yang dimasak santan, sebagai sumber vitamin dan mineral. Ada juga makanan penutup berupa sate pisang yang dibakar dan ditaburi keju. Juga es segar yang terbuat dari potongan kelapa muda, nangka, dan kacang goreng. Benar-benar santapan makan siang yang lengkap. Siapa bilang Talaud tetinggal?

    
Kepulauan Talaud, Minggu, 14 Oktober 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...