Pages

Sabtu, 13 Oktober 2012

Talaud (5): Kepulauan yang Indah

Pagi masih gelap. Deburan ombak adalah suara alam yang pertama kali saya dengar begitu bangun tidur. Penginapan kami, namanya hotel Helena, hanya berjarak kurang dari 50 meter saja dari bibir pantai. Hotel itu sebenarnya terlalu sederhana untuk disebut hotel, hanya terdiri dari dua belas kamar, masing-masing berukuran 3 x 4 meter. Kamar-kamar berbaris membentuk huruf U, dan di tengahnya adalah bangunan terbuka untuk berbagai keperluan, misalnya untuk pertemuan atau makan. Juga untuk bermain musik. Semalam kami bersama ibu Susan, kepala seksi SD dan SMP, dan kawan-kawan dari UM, bernyanyi bergantian setelah dijamu makan malam oleh Kepala Dinas. Yang memainkan electone adalah pak Yoyok, dosen PGSD. Sekali-sekali diganti oleh petugas hotel. Tapi petugas hotel khusus electone itu tidak sebagus pak Yoyok memainkannya, setidaknya perbendaharaan lagu-lagunya tidak selengkap pak Yoyok. Maka menyanyilah kami diiringi pak Yoyok, mulai dari lagu-lagu nostalgia Indonesia dan Barat, ndangdut, dan campursari. Pak Yoyok sampai-sampai 'terkapar' di kursinya karena kecapekan mengiringi kami semua.      

Pagi ini sarapan kami adalah nasi putih, ikan goreng, telur ceplok, dan sambal dabu-dabu. Ikan, merupakan salah satu komoditas yang menonjol di Talaud. Sore kemarin, pak Yoyok juga sudah belanja ikan yang dibumbu woku-woku, yang dimakan dengan umbi bentul. Bentulnya hanya dikukus begitu saja, dipotong-potong sekepalan tangan, fungsinya sebagai pengganti nasi. Pak Yoyok membelinya di pasar dekat hotel ketika kami semua sedang beristirahat seusai upacara serah terima dengan Pemda Talaud. Orang itu memang seperti tidak punya capek. Dia bahkan telah bermain di pantai dengan anak-anak kampung, dan memotret mereka dalam berbagai pose.

Dua mobil sudah menunggu kami. Satu panther dan satu xenia. Saya, Prof. Warsono, dan pak Heru di mobil Xenia, sementara pak Yoyok, Andra dan bu Susan di mobil panther. Pagi ini kami bermaksud menyusuri sisi barat pulau ini. Tentu saja dalam rangka meninjau tempat para guru SM-3T ditugaskan.

Dari Melongwane, yang merupakan titik start, kami menuju Beo. Jalan lumayan  mulus, sedikit naik turun dan berkelok. Namun ternyata jalan mulus itu tak terlalu lama. Hanya sekitar 30 menit saja, selanjutnya adalah jalan yang berlubang-lubang besar, sehingga Rayu, driver kami harus hati-hati memilih jalan. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 60 menit, kami sampai di Beo. Kami mengunjungi SD Inpres Bantik. Ada dua guru SM-3T di situ, satu dari UM, dan satu dari Unesa. Ketika kami datang, aroma durian tercium. Ternyata bapak kepala sekolah sudah menyiapkan durian untuk kami. Maka tanpa basa-basi, kami semua menyerbu durian itu ramai-ramai. Setelah makan durian, kami masuk ke beberapa kelas, bercengkerama dengan siswa, dan bermain pingpong. 

Sekolah itu menurut penilaian kami bukanlah sekolah tertinggal. Bangunannya lumayan bagus, ada halaman sekolah yang bisa dimanfaatkan untuk bermain voli, juga ada satu ruangan yang digunakan untuk main pingpong. Kepala sekolah dan guru-guru juga memiliki ruangan yang agak memadai. Sekolah itu memiliki 7 guru PNS, dengan 6 rombel, dan 119 siswa. 

Kami berkendara dari satu desa ke desa lain dalam tiga kecamatan, Beo, Essang, dan Gemeh. Hujan turun di sepanjang jalan. Jalan selepas Beo menuju Gemeh adalah jalan tanah yang diuruk sirtu (pasir dan batu). Terjal dan sedikit berkelok-kelok, naik-turun. Di sebelah kiri kami adalah pantai dengan lautnya yang sangat menakjubkan, dengan pepohonan yang rapat, yang seringkali menghalangi pandangan kami. Putih, hijau kekuningan, hijau muda dan biru tua, adalah warna-warna laut, bergradasi, begitu indah, seperti lukisan di atas kanvas raksasa. Kami tidak henti-hentinya mengabadikan pemandangan yang sungguh memukau itu dengan kamera kami.

Talaud adalah wilayah yang tidak bisa dibilang miskin. Sepanjang perjalanan dari Melongwane sampai Gemeh, kecamatan paling ujung, yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar 4-5 jam, pohon kelapa berbaris rapat di sepanjang jalan. Nyaris tanpa putus. Juga pohon cengkeh, pala yang sedang berbuah, dan pohon-pohon produktif yang lain. Menurut bu Susan, kelapa yang diolah menjadi kopra merupakan salah satu andalan penduduk sebagai sumber mata pencaharian, di samping cengkeh dan pala. Hasil laut yang berlimpah juga menjadi andalan yang lain.

Masyarakat Talaud juga cukup rajin bercocok tanam. Di tengah perjalanan, ketika kami sejenak beristirahat, kami sempat mengobrol dengan seorang bapak tua. Namanya Andreas Palangkareng, 70 tahun, berpakaian kerja lengkap. Parang di pinggang, dayung di pundak, dan keranjang besar (di Talaud disebut 'bika')  di punggung, serta gayung untuk membuang air di sampan. Dia mau pergi ke ladang, dan harus menyeberang sungai. Penampilan seperti bapak Andreas itu banyak ditemukan di sepanjang perjalanan, tua muda, laki-laki maupun perempuan. Mereka pergi ke ladang, kebun, atau pergi mencari ikan di laut. Meskipun PNS, sebagian besar dari mereka tetap melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. 

Hampir setiap jengkal tanah di pekarangan dimanfaatkan untuk berbagai tanaman, mulai dari umbi-umbian, tanaman buah, sayur, pisang, rempah-rempah, atau sekedar tanaman bunga. Di depan rumah di sepanjang jalan yang kami lalui, banyak tanaman jambu, nangka, mangga, kedondong, dan buah-buahan lain yang sedang berbuah. Jeruk limau juga sangat lazim ditemukan sebagai tanaman pekarangan. Masyarakat Talaud hampir selalu menggunakan jeruk limau untuk mengolah makanan dari ikan. Mereka juga memelihara ayam dan babi, baik untuk konsumsi sendiri maupun dijual. 

Saya teringat salah satu program pemerintah terkait dengan percepatan ketahanan pangan, salah satunya adalah program pemanfaatan pekarangan. Ya,  ketersediaan berbagai tanaman di pekarangan itu bisa menjadi penyangga ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Apalagi mereka tidak hanya mengandalkan pada beras sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga pada umbi-umbian. Saya berharap mudah-mudahan pola makan yang memanfaatkan umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat itu tetap lestari, dan tidak semakin tergeser oleh beras, sebagaimana yang terjadi di banyak wilayah Indonesia yang lain. 

Di sisi lain, biaya hidup di Talaud cukup tinggi. Premium yang dijual di pangkalan seharga 8 ribu-12 ribu rupiah seliter. Beras bisa mencapai 20 ribu-25 ribu rupiah sekilo. Air mineral ukuran tanggung yang di Jawa hanya seharga 1500-2000 rupiah, di sini harganya 4.000 rupiah. Hotel kami, dengan luas kamar sekitar 12 meter persegi dengan fasilitas kamar yang sangat standar, yang di kota kecil di Jawa tarifnya hanya 100 ribuan, di sini 350 ribu rupiah semalam. Sewa mobil sehari dengan rute ke Gemeh yang hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 4-5 jam, biayanya 2 juta rupiah satu mobil. Saya berharap mudah-mudahan para peserta SM-3T dapat mengelola insentifnya yang hanya 2,5 juta perbulan itu dengan sebaik-baiknya, sehingga mereka bisa tercukupi kebutuhan sehari-harinya secara layak.

Kalau Talaud dikatakan sebagai wilayah terluar, memang benar. Tapi sama sekali bukan tertinggal. Sumber daya alamnya luar biasa berlimpah, dan sudah dikelola dengan cukup baik. Pohon kelapa, cengkeh, dan pala menjadi tanaman utama yang nyaris tidak ada putusnya memenuhi bibir pantai dan perkebunan sepanjang jalan mulai Melongwane sampai Gemeh. Kampung-kampung yang kami kunjungi adalah kampung yang indah. Meski rumah-rumahnya sederhana, beratap seng, namun pekarangan mereka penuh tanaman, termasuk tanaman bunga. Asri sekali. 

Di antara barisan rumah-rumah sederhana itu, selalu ada satu bangunan yang menonjol. Itulah gereja. Sekitar 95 persen penduduk Talaud beragama Kristen Protestan, selebihnya adalah Kristen Katolik, muslim, dan sekte-sekte lain. Mereka rajin melakukan kebaktian, ibadah, dan sekolah minggu serta berbagai kegiatan keagamaan. 
Ironisnya, mereka juga biasa minum-minuman keras sampai mabuk. Minuman keras dengan berbagai merk dijual bebas, dan botol-botol bekas minuman lazim ditemukan di rumah-rumah. Melihat orang tertawa-tawa sendiri atau berjalan limbung di jalanan sambil 'ngoceh' sendiri karena mabuk, adalah hal yang biasa. Minuman beralkohol yang banyak ditemukan merupakan hasil penyulingan fermentasi air nira. Minuman tersebut mudah diperoleh di warung atau toko di mana saja. Ada tiga yang terkenal, merknya King, Casssanova, dan Cap Tikus. Yang paling keras cak Tikus, tapi yang paling disukai yang Cassanova. Diminumnya biasanya ketika malam hari, saat kumpul-kumpul untuk bersantai, atau pada acara-acara pernikahan, perayaaan ulang tahun, juga pada acara kematian. Menurut Rayu, driver kami, bila ada orang meninggal, malam pertama dia meninggal disebut malam penghiburan. Besoknya setelah penguburan, adalah malam kedua, ketiga, sampai malam keempat puluh. Dalam malam-malam itu, sanak saudara dan tetangga-tetangga melakukan ibadah, bernyanyi-nyanyi, main kartu, dan tentu saja dilengkapi dengan minuman beralkohol tersebut.  

Kendala utama pembangunan di Talaud salah satunya adalah infrastruktur. Jalan utama yang menghubungkan satu kecamatan dengan kecamatan lain sebagian besar masih berupa tanah berbatu. Jalan itu sebenarnya hanya melingkar saja menghubungkan sisi barat dan sisi timur pulau. Belasan kali jalan melintas di atas sungai, namun sebagian besar jembatan yang kerangkanya dari baja itu masih belum dicor, tetapi menggunakan papan-papan kayu. Papan-papan itu hampir selalu bergeser setelah sebuah mobil melintas di atasnya. Maka bila ingin melintas dengan lebih aman, kita harus menata ulang papan-papan kayu itu. Sungguh perjalanan yang cukup berisiko. Bahkan di Gemeh, ada sepenggal jalan yang terputus karena belum ada jembatannya. Hujan deras menyebabkan laut pasang dan air sungai naik, sehingga kami gagal mencapai ujung Gemeh, di mana ada dua anak kami yang bertugas di sana. 

Kondisi infrastruktur yang masih sangat memprihatinkan itulah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Talaud. Meskipun secara umum kondisinya masih jauh lebih baik daripada Sumba Timur, namun keterbatasan guru menjadi kendala utama. Beberapa guru yang ditugaskan di sekolah-sekolah di Talaud meminta dimutasikan ke wilayah lain dengan berbagai alasan. Menurut salah satu kepala sekolah di sana, sebenarnya alasannya adalah karena mereka tidak kerasan. 
  
Setelah mengunjungi beberapa tempat di mana anak-anak kami bertugas, kami mengarah ke SMP 3 Essang di Mamahan kecamatan Gemeh. Kepala sekolahnya bernama Yanis Alimbalo. Rumah kepala sekolah ada di kompleks SDK Lembong Rintulu, Mamahan, Gemeh. Istri bapak kepala sekolah juga kepala TK. Kami mampir ke sana karena ada dua anak kami yang bertugas di SMP 3 Essang. Selain itu, waktu makan siang sudah lewat dari tadi, dan kami perlu memasak mie instan dan minuman hangat. Kami mengkhawatirkan kondisi diri kami semua yang berkendara jauh dan juga kehujanan. Makanan akan menjaga fisik kami supaya tetap prima. Perjalanan masih jauh.

Mie tetap kami masak. Tapi ibu Maria, ibu kepala sekolah TK yang baik itu, memasak ikan untuk kami. Ikan itu ditangkap sendiri oleh suaminya di laut di belakang rumahnya. Di belakang rumah itu juga, tumbuh subur berbagai tanaman produktif, umbi bentul, ketela pohon, terong,  pepaya, kacang panjang, dan coklat. Berbagai rempah dan bumbu dapur juga ada. 
Ibu Maria dan kerabatnya memasak semuanya dengan mendadak, karena bu Susan memang tidak memberi tahu lebih dulu kalau kami akan mampir. 

Sangat mirip dengan orang Jawa, masyarakat Talaud juga 'suguh gupuh' bila kedatangan tamu. Mereka segera bergotong royong membersihkan ikan, menyiapkan bumbu, memasak nasi, dan membuat minuman hangat. Bumbu daun-daunan yaitu daun kemangi, daun pandan, daun kunyit, dan batang sereh, diambilnya di pekarangan. Begitu juga lengkuas, kunyit, cabe, dan jeruk limau. Jeruk limau digunakan untuk mencencam ikan setelah dibersihkan dan dipotong-potong. Ditambah bawang merah dan bawang putih, semua bumbu itu ditumbuk. Saya ikut menumbuk bumbu-bumbu itu, dan Andra yang membuat minuman hangatnya. Begitu ikan masak, kami menikmatinya beramai-ramai. Benar-benar nikmat. Ikan itu dagingnya tebal, bumbu woku-wokunya berasa sangat gurih, pedas, asin, asam dan segar. Saya menghabiskan 3 potong pada bagian kepala. Prof. Warsono dan teman-teman yang lain saya lihat juga beberapa kali 'nambah' nasi sekaligus ikannya. 

Ketika pamit pulang, ibu Maria membawakan sisa ikan dan nasi untuk kami santap sebagai makan malam. Di tengah gerimis yang rapat, kami pamit untuk meneruskan perjalanan. Tujuan kami adalah SMP 2 Gemeh dan SMP 3 Gemeh di Banak kec Gemeh, tempat yang paling ujung. Sayang hujan deras telah menyebabkan air sungai meluap, sehingga kami harus 'balik kucing'.

Senja sudah mulai turun dan kami memutuskan kembali ke arah Beo. Malam ini kami semua menginap di sana. Besok selepas shubuh, kami akan mulai lagi perjalanan menyusuri sisi timur pulau.


Kepulauan Talaud, 13 Oktober 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...