Pages

Jumat, 12 Oktober 2012

Talaud (4): Upacara Serah Terima

Pukul 12.00, Wings Air yang kami tumpangi mendarat di Melongwane. Tidak terlalu mulus tentu saja, karena pesawat berbaling-baling itu terlalu kecil untuk menyembunyikan derit rodanya ketika menyentuh tanah. 

Turun dari pesawat, pemandangan yang kami lihat di luar dugaan. Sebelumnya saya dan Andra membayangkan, setidaknya bandara Melongwane mirip bandara Umbu Mehang Kunda di Sumba Timur. Dari kejauhan, memang ada dua bangunan. Satu tempat pemberangkatan dan satu tempat kedatangan. Tapi kedua bangunan itu sungguh sederhana, jauh lebih bagus yang di Sumba Timur. Cat putihnya yang berbingkai coklat sudah nampak agak kusam. Saya bahkan melihatnya bukan seperti gedung di bandara, tapi seperti rumah tinggal saja, rumah tinggal yang sederhana. Kotak persegi empat. 

Di pintu masuk kedatangan, kepala disdikpora, bapak Jonkers Papia, sudah menyambut kami. Ditemani oleh ibu Susan, kasi SD-SMP. Perempuan itu mungkin usianya lebih dari 40 tahun, tapi wajahnya yang cantik, dengan mata bulat dan hidung mancung, tubuh langsing dan proporsional, membuatnya tetap menarik. Dengan make up yang menurut ukuranku cukup tebal dan lengkap, dialah mungkin perempuan paling cantik di Talaud. 

Kami masuk ke ruang kedatangan yang sempit dan pengap itu. Langsung menuju pintu keluar. Kami semakin takjub. Ada belasan bentor berbaris di pinggir jalan yang beraspal kasar itu. Itukah yang menjemput kami? Luar biasa. Inilah taksi khas Talaud. Becak motor. 

Para peserta berjubel di dalam ruang. Sebagian besar dari mereka kita minta keluar dan berteduh di sebuah pohon. Ternyata itu adalah pohon kedondong yang lagi berbuah lebat sekali, sampai-sampai daun-daunnya tertutup buah yang bergerombol-gerombol dan bergelantungan. Tak ayal, sementara yang lain masih menunggu bagasi, kami meminta izin petugas bandara untuk mengambil kedondong. Seorang tukang bentor bahkan menaiki pohon itu dan memetik buah-buahnya, dilemparkannya ke bawah, ke arah para peserta yang menunggu. Persahabatan yang alami seketika terjalin. Antara penduduk setempat dan para peserta yang lagi kelaparan. 

Sejenak kami baru tahu kalau ternyata tidak semua bagasi kami terangkut. Ada 7 koli bagasi peserta SM-3T Unesa yang tidak terangkut, sementara milik UM bahkan hanya ada 5 koli yang terangkut. Sisanya, 25 koli akan dikirim dengan kapal, dan dijadwalkan sampai di tempat tujuan besok pada pukul 12 atau 13 siang. Haduh. Tidak pakai pemanasan, ketahanmalangan langsung dimulai. Setidaknya sampai besok mereka tidak bisa berganti pakaian.

Tidak hanya itu. Ternyata tidak hanya bagasi yang tertinggal, atau memang sengaja ditinggal. Tapi juga dua orang peserta dari UM. Seat penuh. Entah bagaimana hal ini bisa terjadi, sehingga dua dari mereka harus tetap tinggal di Menado dan baru bisa diterbangkan besok. 

Bagasi para peserta dinaikkan ke mobil pickup. Bertumpuk-tumpuk membentuk gunung. Mobil itu bergerak meninggalkan bandara. Para peserta naik bentor, satu bentor berdua, mengekor di belakang mobil pickup itu. Berbaris rapi. Ya, mereka memang harus berbaris rapi, karena jalanan sempit dan beraspal kasar tidak memungkinkan mereka untuk saling menyalip. Jalan tersebut seperti jalan-jalan kecil masuk kampung di kota-kota. Bedanya, lebih kasar dan terjal.

Kami semua menuju kantor disdikpora, yang ternyata tidak jauh dari bandara, hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit. Di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, sudah menunggu puluhan kepala sekolah. Merekalah yang akan menjadi mama dan papa para peserta. Sengaja didatangkan oleh kepala dinas untuk menjemput guru-guru yang akan mengabdi di sekolah mereka. 

Para kepala sekolah itu berdiri berjajar di barisan paling belakang. Sementara para peserta duduk di kursi-kursi plastik di depan mereka. Teman-teman panitia membaur di kursi-kursi itu juga. Kami duduk di depan berhadapan dengan mereka. Kepala Dinas, Asisten 3, Prof. Warsono, saya, dan Pak Oni dari UM. 

Kedatangan kami disambut dengan suka cita. Nampak sekali dari raut muka mereka. Sorot mata penuh harap itu begitu mengharukan. Kadis pernah menyampaikan, hampir semua sekolah meminta supaya dikirimkan guru SM-3T, meski pun hanya satu orang. Tapi mana mungkin. Dengan jumlah TK 91, SD 114, SMP 40, SMA/SMK 16, sedangkan kami hanya berenam puluh, 30 dari Unesa, 30 dari UM. Jumlah yang mungkin jauh dari harapan mereka, namun setidaknya kehadiran 60 orang guru muda ini telah sedikit mengobati kerinduan mereka. 

Keharuan semakin menyeruak ketika bapak Asisten 3 memberi sambutan. Tak disangka, beliau sampai setengah menangis ketika meluapkan rasa terima kasihnya. Membuat kami semua terdiam. Membuat tenggorokan saya terasa sakit. Mereka ibarat musafir yang mengharapkan setetes air di padang pasir yang gersang. Air itu sekarang telah hadir. Meski hanya setetes, namun kejernihannya mampu menumbuhkan benih-benih harapan di setiap hati yang telah lama didera rasa haus. Haus akan perhatian. Haus akan bukti bahwa mereka dianggap ada, dan dianggap sebagai bagian yang penting dari NKRI.

Kami menyerahkan 60 peserta itu kepada mereka semua. Bu Susan memanggil kepala sekolah satu per satu dan menyerahkan peserta yang ditugaskan di sekolah di mana kepala sekolah itu bertugas. Mereka seperti orang tua yang menemukan anaknya yang telah lama hilang. Disambutnya anak-anak itu dengan penuh kegembiraan. Si anak, guru-guru SM-3T itu, juga seperti itik yang menemukan induk semangnya. Betapa pun mereka telah dipersiapkan seoptimal mungkin untuk terjun di wilayah seberat apa pun, namun mengetahui bahwa ada tangan-tangan hangat yang menyambut kehadiran mereka di pelosok negeri yang asing, tentulah menenangkan dan membesarkan hati mereka.    

Acara ditutup dengan lagu 'Kami Peduli', lagu gubahan pak Yoyok. Lagu yang menjadi lagu wajib selama masa prakondisi, selain -- tentu saja -- Mars Unesa dan Mars SM-3T. Tentu saja lengkap dengan yel-yel. Kemudian pak Yoyok meminta mereka semua berdiri di depan, diajarinya mereka menyanyikan lagu yang mereka semua sudah kenal, hanya sedikit diubah liriknya. 'Dari Sabang sampai Merauke....dari Timur sampai ke Talaud.... Indonesia tanah airku..... SM-3T pengabdianku....' 

Kami melepas peserta dengan jabat tangan dan pelukan. Mereka akan menuju tempat pengabdiannya. Beberapa harus ada yang menyeberang laut karena tugas mereka ada di pulau-pulau. Beberapa harus menempuh perjalanan yang masih panjang, sekitar 5-6 jam. Tapi wajah dan sorot mata mereka yang penuh  semangat dan optimisme, tanpa bias keraguan sedikit pun, membanggakan hati kami. 'Selamat berjuang, Kawan. Anak-anak bangsa menunggu kalian. Berikan yang terbaik yang kalian bisa. Torehkan warna-warna emas dalam jiwa-jiwa mereka. Bangkitkan mimpi-mimpi mereka menuju masa depan yang lebih indah....' 


Talaud, 12 Oktober 2012

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...