Sekitar sebulan yang lalu, saya diundang Universitas Negeri
Makassar untuk memberikan kuliah umum tentang tantangan Jurusan PKK dalam
menghadapi Era Industri 4.0. Beberapa minggu yang lalu, kami, Pusat Pendidikan
Profesi Guru (PPG) Unesa, melaksanakan orientasi akademik untuk para calon guru
dan para guru yang menjadi mahasiswa program PPG prajabatan (preservice training) dan dalam jabatan (inservice training). Di antara para
mahasiswa PPG itu, ratusan berasal dari daerah tertinggal seperti NTT, Papua,
papua Barat, Maluku, dan sebagainya. Pada acara orientasi akademik tersebut,
saya menjadi salah satu narasumber untuk topik “menjadi guru yang profesional”.
Sebelumnya, sejak beberapa bulan
terakhir ini, saya juga diminta menjadi narasumber di STKIP Al Hikmah Surabaya,
SMKN 1 Dlanggu-Mojokerto, SMKN 1 Buduran-Sidoarjo, SMKN 2 Bondowoso, SMKN 3
Probolinggo, SMKN 8 Makassar, SMKN 3 Magelang, dan M.Ts Alhidayah-Tuban. Luar
biasa. Semuanya ingin berdiskusi tentang bagaimana menyiapkan guru dan
pendidikan pada era yang akan datang. Tentang innovative learning, higher
order thiking skills (HOTS), penyelarasan kurikulum dengan tuntutan
masyarakat, kompetensi abad 21, dan seterusnya. Benar-benar sebuah topik yang “HOT”,
dan betapa kita semua menyadari bahwa ada tantangan yang sangat besar di
hadapan kita, baik sebagai orang tua, guru, anggota masyarakat, pemerintah, dan
juga sebagai pribadi.
Kita menghadapi tantangan berat dengan segala kondisi dan
potensi kita sebagai bangsa yang besar yang memiliki disparitas yang sangat
luar biasa. Kita punya semuanya, sumber daya alam yang potensinya melimpah,
sumber daya manusia yang jumlahnya luar biasa, namun tidak mudah untuk
mengelolanya. Bandingkan dengan Singapura dan Finlandia. Negara kecil yang
sungguh sangat menyadari keterbatasan kekayaan alam dan potensi mereka, namun
justeru karena kesadaran itulah, maka
mereka berusaha menghadapinya dengan menggarap sektor pendidikan sebaik-baiknya
untuk menggenjot kualitas SDM. Pendidikan bagi negara-negara tersebut adalah
satu-satunya sumber daya, dan oleh sebab itu harus diurus dengan baik untuk
mendongkrak kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan peradaban.
Saat saya berbicara di hadapan para guru dan calon guru yang
berasal dari berbagai wilayah Tanah Air, saya sedang berhadapan dengan
orang-orang yang sebagian dari mereka, bahkan belum mengalami era revolusi
industri kedua. Di tempat mereka, tidak ada listrik, tidak ada sinyal telepon.
Bahkan untuk memperoleh air bersih pun tidak mudah. Sebagian dari keluarga
mereka masih mencari makan dengan cara meramu (food gathering), keluar masuk hutan untuk mendapatkan ubi-ubian,
buah, dan juga berburu. Atau hidup di sekitar sungai dan danau untuk mendekati
sumber kehidupan mereka, yaitu air dan hasil alam. Kondisi seperti ini dialami
oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kita masih memiliki 122 kabupaten
tertinggal dari 416 kabupaten di Indonesia. Jumlah penduduk miskin mencapai
28,5 juta jiwa, dan 17,9 juta jiwa di antaranya
adalah masyarakat yang tinggal di desa.
Kenapa kita selama ini terus menerus memperoleh skor rendah
dalam tes-tes internasional seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS? Salah satu kendala
terbesar adalah karena disparitas Indonesia yang sangat luar biasa. Kondisi
geografis, kualitas guru, sarana prasarana pendidikan, suku dan budaya,
hanyalah sebagian kecil tantangan. Prof. Berinderjeet Kaur, guru besar dari
NIE-NTU Singapore—yang saat menulis ini saya sedang mengikuti program immersion di Singapore dengan salah satu
narasumbernya adalah beliau—mengatakan bahwa untuk urusan sampling saja, Indonesia adalah negara dengan masalah yang sangat
besar. Hanya untuk urusan sampling.
Oleh sebab itu, bisa dipahami bila mengelola pendidikan dan sektor lainnya
adalah tidak mudah. Perlu energi berlipat-lipat, komitmen, fokus, kerja keras,
kesatuan cara pandang.
Di sisi lain, kita tidak mungkin menghindari tantangan era
industri 4.0 yang disebut orang sebagai era disrupsi ini. Era digitalisasi. Era
internet of things (IoT). Indonesia
harus berbenah dengan cepat, fokus, dan bersatu. Literasi menjadi salah satu
harapannya. Masyarakat yang literat adalah masyarakat yang melek teknologi,
berpikiran kritis, peka terhadap lingkungan sekitar.
Pendidikan adalah jalan kita untuk itu. Untuk membangun
generasi yang literat. Bicara tentang pendidikan, maka guru adalah garda
terdepan. Bagaimana pun bagusnya kurikulum, fasilitas pendidikan, dan
sebagainya, tanpa kehadiran guru yang mengabdi dengan jiwa kesepenuh-hatian,
pendidikan tidak akan maju dengan cepat.
Bila kita tengok Kurikulum 2013, muatan kompetensi era
disrupsi sebenarnya sudah sangat kental. Di sana ada yang disebut 4Cs: critical thinking and problem solving,
creativity, collaboration, and communication. Strategi pembelajaran yang
juga menggunakan pendekatan saintifik, mendorong guru dan peserta didik untuk
kritis, kreatif, dan bekerja secara kolaboratif, serta mendorong keterampilan
berkomunikasi. Tinggal bagaimana guru melengkapi diri sendiri dengan amunisi
kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Kalau saat ini
soal-soal UNAS dan UNBK sudah mengarah pada HOTS, maka kita tidak cukup hanya dengan
men-drill peserta didik mengerjakan
soal-soal HOTS, tanpa ada upaya mengembangkan keterampilan berpikirnya dalam
pembelajaran. Soal-soal HOTS adalah soal-soal yang mengembangkan berpikir
kritis dan pemecahan masalah, dua kemampuan penting untuk memasuki kehidupan
yang penuh tantangan. Bukan sekadar untuk melewati UNBK dan lulus dengan nilai
baik. Untuk dapat membelajarkan peserta didik dengan baik,maka guru harus lebih
dulu menjadi pebelajar yang baik. Guru yang mencintai ilmu pengetahuan,
mencintai profesinya, menjadi model sebagai pribadi yang matang, bijaksana, dan
memiliki kepedulian pada sesama dan alam sekitar. Guru yang literat. Yang akan
menghasilkan generasi yang literat.
Luthfiyah Nurlaela
Singapura, 18 Oktober 2018