Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Oktober 2018

Literasi di Era Disrupsi


Sekitar sebulan yang lalu, saya diundang Universitas Negeri Makassar untuk memberikan kuliah umum tentang tantangan Jurusan PKK dalam menghadapi Era Industri 4.0. Beberapa minggu yang lalu, kami, Pusat Pendidikan Profesi Guru (PPG) Unesa, melaksanakan orientasi akademik untuk para calon guru dan para guru yang menjadi mahasiswa program PPG prajabatan (preservice training) dan dalam jabatan (inservice training). Di antara para mahasiswa PPG itu, ratusan berasal dari daerah tertinggal seperti NTT, Papua, papua Barat, Maluku, dan sebagainya. Pada acara orientasi akademik tersebut, saya menjadi salah satu narasumber untuk topik “menjadi guru yang profesional”.  Sebelumnya, sejak beberapa bulan terakhir ini, saya juga diminta menjadi narasumber di STKIP Al Hikmah Surabaya, SMKN 1 Dlanggu-Mojokerto, SMKN 1 Buduran-Sidoarjo, SMKN 2 Bondowoso, SMKN 3 Probolinggo, SMKN 8 Makassar, SMKN 3 Magelang, dan M.Ts Alhidayah-Tuban. Luar biasa. Semuanya ingin berdiskusi tentang bagaimana menyiapkan guru dan pendidikan pada era yang akan datang. Tentang innovative learning, higher order thiking skills (HOTS), penyelarasan kurikulum dengan tuntutan masyarakat, kompetensi abad 21, dan seterusnya. Benar-benar sebuah topik yang “HOT”, dan betapa kita semua menyadari bahwa ada tantangan yang sangat besar di hadapan kita, baik sebagai orang tua, guru, anggota masyarakat, pemerintah, dan juga sebagai pribadi.
Kita menghadapi tantangan berat dengan segala kondisi dan potensi kita sebagai bangsa yang besar yang memiliki disparitas yang sangat luar biasa. Kita punya semuanya, sumber daya alam yang potensinya melimpah, sumber daya manusia yang jumlahnya luar biasa, namun tidak mudah untuk mengelolanya. Bandingkan dengan Singapura dan Finlandia. Negara kecil yang sungguh sangat menyadari keterbatasan kekayaan alam dan potensi mereka, namun justeru karena kesadaran itulah,  maka mereka berusaha menghadapinya dengan menggarap sektor pendidikan sebaik-baiknya untuk menggenjot kualitas SDM. Pendidikan bagi negara-negara tersebut adalah satu-satunya sumber daya, dan oleh sebab itu harus diurus dengan baik untuk mendongkrak kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan peradaban.
Saat saya berbicara di hadapan para guru dan calon guru yang berasal dari berbagai wilayah Tanah Air, saya sedang berhadapan dengan orang-orang yang sebagian dari mereka, bahkan belum mengalami era revolusi industri kedua. Di tempat mereka, tidak ada listrik, tidak ada sinyal telepon. Bahkan untuk memperoleh air bersih pun tidak mudah. Sebagian dari keluarga mereka masih mencari makan dengan cara meramu (food gathering), keluar masuk hutan untuk mendapatkan ubi-ubian, buah, dan juga berburu. Atau hidup di sekitar sungai dan danau untuk mendekati sumber kehidupan mereka, yaitu air dan hasil alam. Kondisi seperti ini dialami oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kita masih memiliki 122 kabupaten tertinggal dari 416 kabupaten di Indonesia. Jumlah penduduk miskin mencapai 28,5 juta jiwa,  dan 17,9 juta jiwa di antaranya adalah masyarakat yang tinggal di desa.
Kenapa kita selama ini terus menerus memperoleh skor rendah dalam tes-tes internasional seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS? Salah satu kendala terbesar adalah karena disparitas Indonesia yang sangat luar biasa. Kondisi geografis, kualitas guru, sarana prasarana pendidikan, suku dan budaya, hanyalah sebagian kecil tantangan. Prof. Berinderjeet Kaur, guru besar dari NIE-NTU Singapore—yang saat menulis ini saya sedang mengikuti program immersion di Singapore dengan salah satu narasumbernya adalah beliau—mengatakan bahwa untuk urusan sampling saja, Indonesia adalah negara dengan masalah yang sangat besar. Hanya untuk urusan sampling. Oleh sebab itu, bisa dipahami bila mengelola pendidikan dan sektor lainnya adalah tidak mudah. Perlu energi berlipat-lipat, komitmen, fokus, kerja keras, kesatuan cara pandang.
Di sisi lain, kita tidak mungkin menghindari tantangan era industri 4.0 yang disebut orang sebagai era disrupsi ini. Era digitalisasi. Era internet of things (IoT).  Indonesia harus berbenah dengan cepat, fokus, dan bersatu. Literasi menjadi salah satu harapannya. Masyarakat yang literat adalah masyarakat yang melek teknologi, berpikiran kritis, peka terhadap lingkungan sekitar.
Pendidikan adalah jalan kita untuk itu. Untuk membangun generasi yang literat. Bicara tentang pendidikan, maka guru adalah garda terdepan. Bagaimana pun bagusnya kurikulum, fasilitas pendidikan, dan sebagainya, tanpa kehadiran guru yang mengabdi dengan jiwa kesepenuh-hatian, pendidikan tidak akan maju dengan cepat.
Bila kita tengok Kurikulum 2013, muatan kompetensi era disrupsi sebenarnya sudah sangat kental. Di sana ada yang disebut 4Cs: critical thinking and problem solving, creativity, collaboration, and communication. Strategi pembelajaran yang juga menggunakan pendekatan saintifik, mendorong guru dan peserta didik untuk kritis, kreatif, dan bekerja secara kolaboratif, serta mendorong keterampilan berkomunikasi. Tinggal bagaimana guru melengkapi diri sendiri dengan amunisi kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Kalau saat ini soal-soal UNAS dan UNBK sudah mengarah pada HOTS, maka kita tidak cukup hanya dengan men-drill peserta didik mengerjakan soal-soal HOTS, tanpa ada upaya mengembangkan keterampilan berpikirnya dalam pembelajaran. Soal-soal HOTS adalah soal-soal yang mengembangkan berpikir kritis dan pemecahan masalah, dua kemampuan penting untuk memasuki kehidupan yang penuh tantangan. Bukan sekadar untuk melewati UNBK dan lulus dengan nilai baik. Untuk dapat membelajarkan peserta didik dengan baik,maka guru harus lebih dulu menjadi pebelajar yang baik. Guru yang mencintai ilmu pengetahuan, mencintai profesinya, menjadi model sebagai pribadi yang matang, bijaksana, dan memiliki kepedulian pada sesama dan alam sekitar. Guru yang literat. Yang akan menghasilkan generasi yang literat.

Luthfiyah Nurlaela
Singapura, 18 Oktober 2018

Kamis, 18 Desember 2014

Bu Arini Dan Prof. Budi Dharma

Saya baru saja menutup kuliah di Prodi S2 PTK saat sebuah SMS masuk. "Ass.wrwb,yth ibu Luthfi,sy pengin telp ibu terkait dg literasi,ibu berkenan jam brp?maturnuwun(bu Arini Perpust Kota Sby)"

Saya langsung membalas: "Monggo, Bu...."

Begitu keluar dari kelas, ponsel berdering. Pasti dari Bu Arini. Saya sepintas membaca nomor telepon dengan kode wilayah 031. Bu Arini menelepon dengan pesawat telepon kantor Badan Perpustakaan Kota Surabaya. Beliau adalah kepala kantor itu.

"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam..." Suara di seberang. "Prof. Luthfi, saya Arini...maaf, mengganggu, Prof..."

Kami terlibat obrolan yang lumayan panjang. Bu Arini merasa sangat berkesan dan bahagia sekali diundang untuk menjadi narasumber dalam Talkshow Literasi tanggal 13 Desember, di PPPG Unesa beberapa hari yang lalu. Kata beliau: "Saya senang sekali, Bu, dan saya semakin berani untuk melangkah mengembangkan Surabaya sebagai kota literasi. Teman saya banyak ternyata. Saya juga sudah melapor ke Ibu Wali, dan beliau merespon dengan sangat baik. Tapi beliau memberi tugas tambahan lagi ke kami, Bu. Beliau minta, kami tidak hanya menyasar SD, tapi juga madrasah dan pondok pesantren. Haduh, Bu....padahal madrasah dan pondok pesantren itu jumlahnya sekitar 350, SD 1500, lha kan 2000, Bu...." Begitu curhat Bu Arini.

"Bagus sekali itu, Bu..." Tukas saya.

"Iya, Bu. Saya bilang ke Bu Wali, Ya Bu, semoga berhasil... Tapi Bu Wali njawabnya begini, Bu: "Jangan semoga berhasil... Harus berhasil."

Saya spontan tertawa. Bu Walikota Tri Rismaharini ini memang luar biasa. Beliau tidak hanya lihai menyulap Surabaya menjadi penuh taman, dan menutup Dolly dengan gagah perkasa, tapi juga demen mengembangkan literasi. Suerr. Perempuan sederhana yang tak takut pada apa pun demi kebenaran itu, sepak terjangnya begitu mengagumkan. Keren abis.

Waktu Bu Arini bilang kepada Bu Risma, bahwa menembus madrasah dan ponpes itu sulit sekali, dengan tegas Bu Risma menjawab: "Biar saya nanti yang nembus madrasah dan ponpes."

Menurut Bu Arini, beliau sudah pernah bersurat pada Rektor Unesa, Prof. Warsono, beberapa bulan yang lalu. Isi suratnya adalah tawaran kerjasama dalam program literasi. Tapi sampai saat ini, bu Arini belum menerima balasan surat itu, dan malah mendapat kabar, kalau Prof. Warsono belum pernah menerima surat tersebut. Bisa jadi, surat itu ketlisut, entah di mana....

"Saya ingin mengundang ibu untuk diskusi bagaimana sebaiknya membumikan program literasi ini ke sekolah-sekolah, Bu. Supaya kami bisa melibatkan para mahasiswa dalam program ini. Nanti kita diskusikan bersama Pak Satria Darma juga. Apa Ibu berkenan nggih, Bu?"

Saya spontan menjawab: "Tentu saja, Bu Arini, saya sangat bersedia. Kami senang kalau kami bisa berkontribusi dalam program literasi. Bukankah itu menjadi bagian tugas perguruan tinggi juga? Kalau ada sinergi dengan program Ibu, tentu saja itu akan lebih baik."

Bu Arini juga bilang, "Saya sudah membaca buku Bu Luthfi. Buku yang menceritakan kunjungan Ibu ke pelosok-pelosok itu..."

Saya tertawa. "Itu hanya buku sederhana, Bu Arini....catatan-catatan ringan saja. Bacaan sebelum tidur..."

"Saya juga sudah baca tulisan Ibu, lho..." Tukas saya. "Luar biasa, Ibu ternyata pandai menulis juga. Bagus tulisannya." Saya mengomentari tulisan Bu Arini di buku "Menuju Wujud Surabaya sebagai Kota Literasi". Buku yang berisi 46 kisah para pegiat perpustakaan kota Surabaya. Ada tulisan Ketua IGI, Satria Darma juga.

"Itu kalau nggak didorong-dorong sama Bu Wali gitu....saya nggak pede, Bu.."

Kami menutup pembicaraan yang manis itu. Saya menuju ruang dosen, karena ada kencan dengan beberapa mahasiswa yang akan berkonsultasi. Siang yang mendung justeru membuat hati saya berbunga-bunga. Kesan tentang sosok Arini Pakistyaningsih yang 'sulit disentuh' karena sewaktu mengundang untuk menjadi narasumber musti melalui beberapa lapis birokrasi, hilang sudah. Dia perempuan cantik yang ramah dan rendah hati. Mungkin Arini yang tempo hari itu bukan Arini yang saat ini. Sudah bermetamorfosis setelah bertemu dengan para pegiat literasi dan bagawan sastra Unesa yang begitu hebat kiprahnya namun tetap rendah hati dan ramah sikapnya. Siapa lagi kalau bukan Budi Darma.

Budi Darma. Dada saya terasa 'mak deg' begitu membuka pintu ruang dosen pasca. Ada Prof. Budi Darma di situ. Betapa tidak. Saya belum selesai membayangkan sosok legendaris itu dalam benak saya, dan tiba-tiba saat ini saya sudah berada di depannya. Senyum ramahnya langsung mengembang. Dia berdiri, mengulurkan tangan, menyambut saya, meninggalkan dua mahasiswa yang baru saja berkonsultasi.

"Apa kabar, Mbak Ella?"
Saya tersipu-sipu. Mbak Ella. Bahkan beliau memanggil saya dengan nama kecil saya itu.

"Alhamdulilah, Bapak. Sehat. Bapak juga nggih?"

Beliau menyilakan saya duduk di sofa, bersebelahan dengan beliau. Lantas beliau bercerita, sewaktu talkshow literasi tempo hari, beliau sebenarnya sedang agak 'nggliyeng'. Jam 02.00 dini baru datang dari Tiongkok, dan pagi langsung ke PPPG. Lantas beliau memuji saya, yang blusukan ke mana-mana, dan membuat catatan perjalanan di setiap tempat. Juga memuji karena saya masih sempat menulis cerpen.

"Cerpen menopo, Bapak?"
"Itu...cerpen tentang...Mbak Ella ada di suatu tempat yang dingin....kemudian ada seseorang yang menyatakan...."

Saya semakin tersipu. "Itu cerpen jelek, Bapak....malu saya.."

"Tidak...itu luar biasa....Mbak Ella masih sempat nulis cerpen. Juga cerpen yang tentang laut itu...ya, saya sudah membacanya juga..."

Haduh, saya gobyos. Mungkin muka saya merah padam, entah karena senang, entah karena malu. Ternyata yang beliau maksud adalah cerpen saya di antologi cerpen 'Ndoro, Saya Ingin Bicara" itu.

"Waduh, Bapak, itu cerpen sekadar mengisi waktu luang saja... Saya menulisnya di sini ini lho, Bapak...." Saya menunjukkan BB jelek saya..."Malu saya Bapak membaca cerpen jelek saya itu..."

Dan Prof. Budi cerita tentang betapa bangganya beliau pada teman-teman para pegiat literasi. Beberapa nama beliau sebut. Satria Darma, Sirikit Syah, Much. Khoiri....

"Inggih, Bapak, alhamdulilah, saya berada di antara mereka. Saya jadi ketularan. Tapi saya masih belajar...."

Hari ini agenda saya begitu padat. Dari jam ke jam. Mengajar dari pagi sampai siang, terus ke Gedung I6 untuk menghadiri acara Presentasi Ekspedisi New Zealand Himapala, dan lanjut ke Gedung Gema menghadiri acara Dzikir Bersama Anak Yatim dalam Rangka Dies Natalis Unesa. Semua acara begitu menyenangkan. Namun yang lebih menyenangkan, adalah selingan peristiwa di antara acara-acara itu, ngobrol dengan Bu Arini dan Prof. Budi Darma.

Surabaya, 18 Desember 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 26 Juni 2014

PPPG Sebagai Penggerak Literasi

Ada Sirikit Syah, Satria Darma, Much. Khoiri dan Ahmad Wahju, mereka adalah dedengkot literasi. Pemilik Sirikit School of Writing, Eurika Academia, Jalindo, dan Indonesia Menulis.

Ada Anwar Djaelani, dialah motor Bina Qalam, yang selalu mengatakan, menulis itu jihad yang menyenangkan. Pegiat literasi yang lain, Eko Prasetyo, Suhartoko, Abdur Rohman, Eko Pamuji, hadir membaur di antara kerumunan para peserta PPG.

Buka mata, buka telinga, buka hati, buka akal pikiran, begitu kata Sirikit, supaya kita bisa menulis. Lihat orang-orang di sekitar kita. everyone has their own story. Gunakan waktu untuk mengamati, menemukan hal-hal yang menarik, dan tuliskan. Daripada main game dan FB-an.

Menulis itu gampang, kata Arswendo. Menulis itu sulit, kata Budi Darma. Bergantung apa yang kita tulis, kata Khoiri. Kalau kita menulis tentang perasaan kita, tentang kisah-kisah hidup kita, itu gampang. Lebih banyak pakai otak kanan. Tapi kalau kita menulis sesuatu yang harus dibatasi dengan aturan-aturan penulisan ini-itu, itu yang sulit. Lebih mengandalkan otak kiri. Menulis yang baik adalah menggunakan kedua belahan otak kita, kanan dan kiri. Dan itu, tentu saja, tiidak mudah. Perlu ketekunan, perlu keuletan, seringkali perlu pengeraman, untuk menghasilkan tulisan yang memuaskan.

Tulisan mampu menorehkan sejarah. Apa yang diperjuangkan dengan otot, seperti Negara Sparta, akan hilang dengan cepat. Apa yang diperjuangkan dengan tulisan, akan 'abadi', seperti tulisan para filsuf. Plato, Socrates, siapa yang tidak kenal? Mereka berjuang dengan tulisan. Dan mereka 'abadi'.

Iqra'. Bacalah. Maka ke mana-mana, bawalah buku, kata Satria Darma. Membaca itu perintah, bukan anjuran. Perintah Tuhan. Perintah yang jauh lebih tinggi daripada perintah Direktur PPG, lebih tinggi daripada perintah Rektor, lebih tinggi daripada perintah Mendiknas, bahkan Presiden sekali pun.

Urusan literasi bukan urusan seseorang, sebuah lembaga, atau urusan sektor tertentu. Urusan literasi menjadi urusan semua. Itulah pentingnya membangun jaringan dengan semua pihak. Indonesia Menulis tidak hanya mengurus Jawa Timur, tapi di seluruh wilayah Indonesia. Di Papua, di NTT, di Sulawesi, mari kita membangun 'Indonesia Menulis'. Begitu kata Ahmad Wahju, yang telah menjalin sinergi dengan banyak pihak, lintas sektor, lintas daerah.

Ketika kita ceramah, berapa banyak orang yang akan mendengarkan? Tanya Sirikit. Berapa banyak orang yang akan memahami? Berapa banyak orang yang akan tetap mengingat? Dengan menulis, sekali kita menulis, tulisan itu akan dibaca orang berlipa-lipat kali lebih banyak, tulisan bisa disimpan, bisa diabadikan bertahun-tahun bahkan berabad-abad setelahnya. Jadi, mulailah menulis.

Ada banyak cerita selama mengikuti Program PPG. Ada cerita sedih, ada cerita suka. Air macet, menu makanan yang membosankan, workshop yang menjemukan, hanyalah sebagian cerita sedih. Dosen yang bersahabat, teman-teman yang baik, pengelola yang peduli, main musik, main futsal, adalah sedikit cerita yang menyenangkan. Kata Fafi Inayatillah--editor buku 'Pelangi di Panggung PPG'-- yang cantik itu, bagaimana pun, buku ini lebih banyak berisi cerita suka daripada cerita duka. Tulisan yang sangat beragam, menarik, meski harus diotak-otik agar lebih cantik.

Lain lagi dengan cerita tentang peserta SM-3T di Sumba Timur. Meski sudah ada 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' dan 'Jangan Tinggalkan Kami', cerita tentang Sumba Timur seperti tak pernah habis. Betapa sulitnya mendapatkan air, sehingga seorang peserta harus mandi dan membersihkan diri dengan tisu basah. Betapa suka duka mengajar anak-anak yang tertinggal...betapa inginnya mewujudkan mimpi-mimpi mereka....semuanya terangkum dalam buku yang disunting Rukin Firda: 'Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita.'

Hari ini adalah hari yang luar biasa. Ada lagu 'Kami Peduli', tari Bali, tari saman, dan tari Timor. Ada belasan pegiat literasi bertemu dalam sebuah dialog yang mencerahkan, menginspirasi, penuh semangat, dengan ratusan anak muda yang begitu antusias bertanya.

Mereka, anak-anak muda itu, akan menjadi tumpuan harapan pengembangan budaya literasi di PPG. Mereka calon guru yang akan menjadi guru-guru profesional yang cinta literasi. Mereka akan menularkan kecintaan itu pada anak didik. Mereka akan membuat setiap anak suka membaca dan menulis. Mereka akan mengubah statistik membaca yang menyebabkan Indonesia mengalamai tragedi nol buku.

Dan para pegiat literasi, yang telah membubuhkan tanda tangan di pigura pencanangan PPPG sebagai Penggerak Literasi, akan membantu mewujudkan mimpi itu. Mimpi ada panggung besar di PPG. Panggung yang tak pernah sepi menampilkan pertunjukan membaca, menulis, membedah, meluncurkan buku-buku. Panggung yang mampu menyedot penonton yang tidak hanya ingin menjadi penonton. Bersama-sama memainkan peran sebagai pejuang, membangun peradaban.

Para pegiat itu, merekalah ahlinya literasi. Terima kasih sudah sudi hadir, membagi inspirasi, menyemangati, membangkitkan mimpi.

Gedung Wiyata Mandala, PPPG, 26 Juni 2014

Wassalam,

LN