Pages

Minggu, 28 Oktober 2018

Literasi di Era Disrupsi


Sekitar sebulan yang lalu, saya diundang Universitas Negeri Makassar untuk memberikan kuliah umum tentang tantangan Jurusan PKK dalam menghadapi Era Industri 4.0. Beberapa minggu yang lalu, kami, Pusat Pendidikan Profesi Guru (PPG) Unesa, melaksanakan orientasi akademik untuk para calon guru dan para guru yang menjadi mahasiswa program PPG prajabatan (preservice training) dan dalam jabatan (inservice training). Di antara para mahasiswa PPG itu, ratusan berasal dari daerah tertinggal seperti NTT, Papua, papua Barat, Maluku, dan sebagainya. Pada acara orientasi akademik tersebut, saya menjadi salah satu narasumber untuk topik “menjadi guru yang profesional”.  Sebelumnya, sejak beberapa bulan terakhir ini, saya juga diminta menjadi narasumber di STKIP Al Hikmah Surabaya, SMKN 1 Dlanggu-Mojokerto, SMKN 1 Buduran-Sidoarjo, SMKN 2 Bondowoso, SMKN 3 Probolinggo, SMKN 8 Makassar, SMKN 3 Magelang, dan M.Ts Alhidayah-Tuban. Luar biasa. Semuanya ingin berdiskusi tentang bagaimana menyiapkan guru dan pendidikan pada era yang akan datang. Tentang innovative learning, higher order thiking skills (HOTS), penyelarasan kurikulum dengan tuntutan masyarakat, kompetensi abad 21, dan seterusnya. Benar-benar sebuah topik yang “HOT”, dan betapa kita semua menyadari bahwa ada tantangan yang sangat besar di hadapan kita, baik sebagai orang tua, guru, anggota masyarakat, pemerintah, dan juga sebagai pribadi.
Kita menghadapi tantangan berat dengan segala kondisi dan potensi kita sebagai bangsa yang besar yang memiliki disparitas yang sangat luar biasa. Kita punya semuanya, sumber daya alam yang potensinya melimpah, sumber daya manusia yang jumlahnya luar biasa, namun tidak mudah untuk mengelolanya. Bandingkan dengan Singapura dan Finlandia. Negara kecil yang sungguh sangat menyadari keterbatasan kekayaan alam dan potensi mereka, namun justeru karena kesadaran itulah,  maka mereka berusaha menghadapinya dengan menggarap sektor pendidikan sebaik-baiknya untuk menggenjot kualitas SDM. Pendidikan bagi negara-negara tersebut adalah satu-satunya sumber daya, dan oleh sebab itu harus diurus dengan baik untuk mendongkrak kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan peradaban.
Saat saya berbicara di hadapan para guru dan calon guru yang berasal dari berbagai wilayah Tanah Air, saya sedang berhadapan dengan orang-orang yang sebagian dari mereka, bahkan belum mengalami era revolusi industri kedua. Di tempat mereka, tidak ada listrik, tidak ada sinyal telepon. Bahkan untuk memperoleh air bersih pun tidak mudah. Sebagian dari keluarga mereka masih mencari makan dengan cara meramu (food gathering), keluar masuk hutan untuk mendapatkan ubi-ubian, buah, dan juga berburu. Atau hidup di sekitar sungai dan danau untuk mendekati sumber kehidupan mereka, yaitu air dan hasil alam. Kondisi seperti ini dialami oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kita masih memiliki 122 kabupaten tertinggal dari 416 kabupaten di Indonesia. Jumlah penduduk miskin mencapai 28,5 juta jiwa,  dan 17,9 juta jiwa di antaranya adalah masyarakat yang tinggal di desa.
Kenapa kita selama ini terus menerus memperoleh skor rendah dalam tes-tes internasional seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS? Salah satu kendala terbesar adalah karena disparitas Indonesia yang sangat luar biasa. Kondisi geografis, kualitas guru, sarana prasarana pendidikan, suku dan budaya, hanyalah sebagian kecil tantangan. Prof. Berinderjeet Kaur, guru besar dari NIE-NTU Singapore—yang saat menulis ini saya sedang mengikuti program immersion di Singapore dengan salah satu narasumbernya adalah beliau—mengatakan bahwa untuk urusan sampling saja, Indonesia adalah negara dengan masalah yang sangat besar. Hanya untuk urusan sampling. Oleh sebab itu, bisa dipahami bila mengelola pendidikan dan sektor lainnya adalah tidak mudah. Perlu energi berlipat-lipat, komitmen, fokus, kerja keras, kesatuan cara pandang.
Di sisi lain, kita tidak mungkin menghindari tantangan era industri 4.0 yang disebut orang sebagai era disrupsi ini. Era digitalisasi. Era internet of things (IoT).  Indonesia harus berbenah dengan cepat, fokus, dan bersatu. Literasi menjadi salah satu harapannya. Masyarakat yang literat adalah masyarakat yang melek teknologi, berpikiran kritis, peka terhadap lingkungan sekitar.
Pendidikan adalah jalan kita untuk itu. Untuk membangun generasi yang literat. Bicara tentang pendidikan, maka guru adalah garda terdepan. Bagaimana pun bagusnya kurikulum, fasilitas pendidikan, dan sebagainya, tanpa kehadiran guru yang mengabdi dengan jiwa kesepenuh-hatian, pendidikan tidak akan maju dengan cepat.
Bila kita tengok Kurikulum 2013, muatan kompetensi era disrupsi sebenarnya sudah sangat kental. Di sana ada yang disebut 4Cs: critical thinking and problem solving, creativity, collaboration, and communication. Strategi pembelajaran yang juga menggunakan pendekatan saintifik, mendorong guru dan peserta didik untuk kritis, kreatif, dan bekerja secara kolaboratif, serta mendorong keterampilan berkomunikasi. Tinggal bagaimana guru melengkapi diri sendiri dengan amunisi kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Kalau saat ini soal-soal UNAS dan UNBK sudah mengarah pada HOTS, maka kita tidak cukup hanya dengan men-drill peserta didik mengerjakan soal-soal HOTS, tanpa ada upaya mengembangkan keterampilan berpikirnya dalam pembelajaran. Soal-soal HOTS adalah soal-soal yang mengembangkan berpikir kritis dan pemecahan masalah, dua kemampuan penting untuk memasuki kehidupan yang penuh tantangan. Bukan sekadar untuk melewati UNBK dan lulus dengan nilai baik. Untuk dapat membelajarkan peserta didik dengan baik,maka guru harus lebih dulu menjadi pebelajar yang baik. Guru yang mencintai ilmu pengetahuan, mencintai profesinya, menjadi model sebagai pribadi yang matang, bijaksana, dan memiliki kepedulian pada sesama dan alam sekitar. Guru yang literat. Yang akan menghasilkan generasi yang literat.

Luthfiyah Nurlaela
Singapura, 18 Oktober 2018

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...