Pages

Kamis, 25 Oktober 2018

Immersion 1: Hotel Bintang Lima, Makan Kaki Lima.

Minggu, 14 Oktober 2018. Udara cerah cenderung panas meski masih pagi. Kami memulai perjalanan menuju Singapura dari Juanda International Airport Terminal 2. Kami bertiga, Prof. Muchlas Samani, Rooselyna Ekawati, Ph.D (ketua program studi pendidikan matematika), dan saya. Di Singapura, bersama dengan sebelas LPTK yang lain, kami akan mengikuti program immersion. Nama programnya adalah “The Professional Learning Program: Enhancing Indonesian Teacher Education”. Program ini digagas oleh The Head Foundation (THF) yang bekerja sama dengan World Bank dan Pemerintah Australia. Program dirancang untuk memberi dukungan pada Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa), Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, dalam rangka mencari model terbaik dalam penyelenggaraan program PPG prajabatan (preservice). Oya, LPTK yang bergabung dalam kegiatan ini adalah: UPI, Unesa, UNY, UNM, Unnes, Unimed, Uninus, Unimuda, UIN Malang, UIN Yogyakarta, UIN Jakarta, dan USD.

Pukul 16.45 waktu Singapura, Garuda yang kami tumpangi mendarat. Changi International Airport basah karena gerimis. Mendung menggantung dan udara sejuk. Bersama rombongan dari LPTK lain, yang bergabung sejak transit di Jakarta tadi, dengan tertib kami melakukan proses checking bagasi dan menaiki skytrain menuju counter imigrasi. Bandara Changi tidak terlalu ramai. Antrian tidak terlalu panjang. Para petugas sangat friendly. Termasuk mengatur setiap penumpang atau rombongan penumpang di pintu keluar untuk menaiki taksi atau mobil jemputan. Tidak ada orang-orang yang berjubel. Semuanya tertib, antri sesuai urutan dan jalurnya.  

Hari ini kami belum ada acara karena kegiatan akan dimulai besok pagi. Lumayan, ada waktu longgar untuk beristirahat dan kenal medan. Jadi setelah membereskan proses administrasi di front office hotel, kami memasuki kamar masing-masing dan mencoba beristirahat.

Kami bertiga menginap di Grand Park City Hall. Oya, berempat dengan Ibu Petra Bodrogini, perwakilan dari World Bank. Hotel ini ada di kawasan Coleman Road. Tidak terlalu jauh dari Hongkong Street dan China Town. Tidak terlalu jauh juga dengan Mustafa dan Bugis, tempat belanja yang terkenal itu. Kalau mau ke Universal Studio dan Sentosa juga hanya perlu beberapa menit naik taksi. Pendek kata, mau ke mana-mana dekat. Ya, karena pada dasarnya Singapura adalah negara kecil. Bahkan merupakan negara termungil di Asia Tenggara. THF, yang menjadi tempat kegiatan kami, juga hanya beberapa meter dari hotel dan perlu waktu sekitar 5 menit untuk menuju ke sana.

Saya dan Kak Roos, begitu saya menyapa, ditugasi oleh Rekto dan Wakil Rektor Bidang Akademik, untuk mengikuti kegiatan immersion ini. Saya sebagai Ketua Pusat PPG, dan Kak Roos sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Matematika. Kenapa Pendidikan Matematika? Ya, karena apa yang akan kami pelajari mulai besok sampai 19 Oktober terkait dengan penyiapan guru bidang sains dan matematika. Singapura meyakini, melalui sains dan matematika, atau lebih lengkapnya adalah STEMs (science, technology, engineering, mathematics), pendidikan di Singapura akan maju dengan pesat. Oleh sebab itu pemerintah Singapura menggarap dengan serius bidang ini, termasuk menyiapkan guru-gurunya.

Sore selepas maghrib, sekitar pukul 20.00, kami bertiga dengan Prof. Muchlas, keluar hotel untuk mencari tempat makan. Di sebelah kiri hotel merupakan pusat pertokoan dan pusat jajanan, namun sepertinya tidak terlalu mudah untuk memperoleh menu sesuai selera kami. Kami berjalan sedikit agak jauh, menuju Mc Donald. Prof. Muchlas bilang, makan yang jelas-jelas saja. Entah apa maksudnya jelas-jelas ini. Tapi di dinding depan Mc D, kami menemukan sertifikat halal di sana dan juga logo halal yang dipasang cukup mencolok dan mudah dilihat oleh siapa pun.

Berkegiatan dengan penyelenggaranya adalah negara lain seperti Amerika, Australia, dan juga Singapura, berbeda dengan ketika kami berkegiatan dengan penyelenggaranya Kementerian Pendidikan Nasional atau Kementerian Ristek Dikti, khususnya dalam hal jam kerja. Bekerja dengan kemdikbud atau ristekdikti, jam kerja mulai pukul 08.00-22.00, dengan break dan ishoma di antaranya. Bekerja dengan USAID, misalnya, atau World Bank, tidak pernah lebih dari delapan jam sehari. Bila kegiatan dimulai pagi hari, maka sore sudah selesai. Bila kami menginap di hotel, makan pagi bisa di hotel, makan siang pada saat berkegiatan, dan makan malam harus mencari sendiri. Jadilah malam ini, dan beberapa malam setelah ini sampai akhir kegiatan, kami akan tidur di hotel bintang lima tetapi makan malam di kaki lima.

Harga makanan di Singapura relatif lebih mahal dibanding di Jakarta atau Surabaya. Untuk selembar prata tanpa isi, yang di Surabaya mungkin lebih mirip dengan roti maryam, harganya sekitar $D1,2, setara dengan Rp.13.800,- rupiah.  Tidak terlalu mahal mungkin, hanya sekitar dua kali lipat di Indonesia. Teh tarik, harganya $D 1,4, setara dengan Rp.16.100,-.  Ini kelas makanan kaki lima, bukan kelas restoran. Kalau harga Mc.D mungkin standar, sekantung french fries dengan sepotong ayam goreng sekitar Rp.75.000,-. Repotnya, karena saya suka penasaran, pinginnya mencoba makanan ini itu, mencoba beli ini itu, mencoba pergi ke sana ke situ, mencoba melihat apa ini apa itu…. Hehe, harus pinter-pinter berhemat tapi tidak perlu terlalu risaukan rupiah. Pengalaman memang mahal. (Bersambung) 

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...