Selama WFH dan SFH ini, saya lebih punya banyak waktu
berolah raga. Ya, bersepeda tentu saja. Setiap hari sekitar pukul 05.00, saya
dan Mas Ayik Baskoro Adjie sudah menyiapkan sepeda, lantas mengayuhnya ke
Masjid Al Akbar. Hampir selalu, tujuan pertama adalah masjid besar itu.
Meskipun kadang-kadang kami hanya lewat saja, dan langsung memutar menuju Jalan
A Yani yang elok dan asri. Bisa lanjut sampai ke Royal, pulang lewat Ketintang.
Atau terus sampai ke Bonbin, pulang lewat Kodam dan Gunungsari.
Yang saya perhatikan, saat ini orang di segala usia
berolah raga. Minimal jalan-jalan. Bayi-bayi di gendongan bapak ibunya atau di
kereta dorongnya atau di kursi boncengan sepeda. Anak-anak belasan tahun dan
para remaja badminton, main bola, lari-lari, dan bersepeda. Ibu-ibu jogging,
badminton, dan senam. Semua mengenakan masker, meskipun masker tidak selalu
dipakai. Ya, karena saat berolah raga, misalnya badminton atau lari-lari,
masker akan menghalangi kita menghirup oksigen dengan leluasa. Padahal kita
memerlukan oksigen lebih banyak untuk mengimbangi 'ngos-ngosan' kita.
Para pedagang juga sudah memulai lagi aktivitas
usahanya. Namun jumlahnya memang sangat amat jauh berkurang. Puluhan rombong di
lapangan itu dibiarkan terbengkalai di tempatnya. Entah ke mana para
pemiliknya. Sedih juga membayangkan ratusan pedagang kecil itu sedang berjuang
demi hidup mereka, dengan jalan yang mungkin lebih memberi harapan.
Pagi ini saya mengobrol dengan seorang ibu sepuh.
Sepuh sekali, dengan tubuh ringkihnya dan mata kecilnya yang sudah tidak dapat
melihat dengan jelas. Duduk di sisi pinggir, di depan halamam masjid yang penuh
dengan kerumunan orang dan penjual. Meringkuk,
berpegang pada alat bantu berjalannya. Saya tidak bertanya siapa
namanya. Beliau berasal dari Jatisrono. Putranya dua. Sebelumnya, beliau adalah
penjual jamu gendong. Namun sejak jatuh di kamar mandi beberapa waktu yang
lalu, beliau tidak bisa berjalan. Maka setiap pagi, beliau naik becak dari
tempat kosnya, ke depan masjid ini, duduk, menunggu para dermawan. Sekitar
pukul 09.00, beliau akan diantar lagi sama abang becak langganannya, pulang ke
kos. Oya, saya ingat alamat kosnya: Bebekan Selatan nomor 1. Semoga betul. Saya
tidak mengambil gambar beliau. Tidak tega.
Saya 'ngeres' membayangkan hidup beliau. Bagaimana
beliau mencari makan, mandi, tidur. Bagaimana kalau beliau sakit, nggreges,
flu, capek.....
"Monggo, Mbah. Kalih kulo mawon. Kulo ramut
dateng nggriyo kulo mbah. Dikancani anak putu kulo."
"Mboten, Nak. Kulo ngeten mawon....."
Keluarga beliau di Jatisrono tidak tahu keadaan beliau
yang seperti ini. Mereka tahunya adalah bahwa si Mbah bekerja sebagai penjual
jamu. Mereka tidak tahu bahwa ibunya yang renta ini sudah semakin renta dan
bahkan berjalan saja tidak mampu.
Allah....
Menangis saya membayangkan betapa hidup ini begitu
sulit bagi beliau dan begitu naif bagi keluarganya.
Saya jadi ingat ibu saya. Baru beberapa menit yang
lalu, saya menerima video call beliau.
"Lagi nangdi kok nganggo helm?" Tanya Ibu.
"Sepedaan, Bu. Wonten Masjid Agung."
"O yo wis. Ibu cuma arep ngendikan, ora usah
mrene disik. Nunggu lek situasi wis aman."
Usia ibu saya alhamdulilah sudah delapan puluh
tahunan, dan kondisi beliau relatif sehat. Tinggal di rumah besar dengan kamar
besar yang nyaman. Ada anak cucu yang mengelilingi beliau. Secara ekonomi,
insyaallah beliau tidak pernah kekurangan karena rezeki Allah mengalir dari
banyak pintu. Mengaji, membaca, beribadah, bercanda dengan anak-cucu, adalah
aktivitas utama beliau sehari-hari. Ibu juga sangat mahir ber-wa dan bervideo
call.
Alhamdulilah. Ibu menikmati masa senjanya dalam
keadaan yang insyaallah membahagiakan. Kalau pun ada hal-hal yang kurang
berkenan dan tidak sesuai dengan harapan beliau, beliau selalu mengatakan,
semua itu sebagai bentuk kasih sayang Allah, dan supaya kita tidak takabur
dengan segala nikmat yang diberikan-Nya.
Saya kembali mengayuh sepeda saya memutari masjid.
Dari arah masjid, asma'ul husna menggema.
"Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim, ya Malik. Ya
Quddus, ya Salaam, ya Mu'min, ya Muhaimin...."
Bibir saya bergetar melantunkannya. Mata saya basah.
Hati saya basah.
Surabaya, 11 Juni 2020