Sabtu, 17
Februari 2024, saya ke Garut. Sudah lama ingin ke Garut dan tak kunjung
kesampaian. Sabtu ini mumpung saya tidak di Surabaya, dan juga tidak ada
kegiatan penting lain, maka saya putuskan untuk ke Garut.
Seperti biasa,
Mang Atek, driver andalan, menjemput saya di apartemen, tepat pukul 07.00.
Bersama Mas Sabar dan Mas Ardi, dua teman staf yang kebetulan juga sedang tidak
ada acara.
Kami memasuki
Garut sekitar pukul 11.30. Sesuai perkiraan, empat jam perjalanan dari Jakarta.
Tapi karena tadi sempat mampir sarapan di rest area, waktu molor sekitar tiga
puluh menit.
Kunjungan
pertama kami adalah di rumah Mang Atek, di Desa Wanajaya, Kecamatan Wanaraja.
Ya, saya sudah lama berjanji pada Mang Atek, suatu saat saya ingin
bersilaturahim ke rumahnya di Garut. Inilah saat untuk membayar hutang janji
itu.
Mang Atek
mempunyai dua rumah. Satu rumah untuk rumah tinggal dan membuka warung
kebutuhan sehari-hari. Satu rumah lagi, masih baru sekitar setahun ini,
berlantai dua, ada di seberang jalan, persis di depan rumah lamanya. Rumah baru
ini masih belum tuntas finishing-nya, tapi sudah ada tempat tidur dan
perlengkapan makan. Kata Mang Atek, anak laki-lakinya, yang masih kelas dua
SMP, yang lebih banyak tinggal di rumah ini.
Mang Atek
memiliki empat anak. Juga sudah memiliki cucu dari anak pertamanya. Padahal
usia Mang Atek dan isterinya masih 43 tahun. Mereka dulu menikah di usia 16
tahun, menikah muda. Makanya di usia yang masih muda, Mang Atek sudah memiliki
cucu.
Selain bertemu
dengan keluarga Mang Atek, kami juga bertemu dengan beberapa pendamping desa.
Ngobrol di ruang tamu, lantas makan siang bersama. Menunya nasi liwet, masakan
isteri Mang Atek. Nasi liwet ditanak di sebuah panci khusus, kata Mang Atek
namanya kastrol. Ada ayam goreng, tahu dan tempe goreng, ikan asin, sambal dan
lalap. Sedap sekali tentu saja, apa lagi perut pas lapar, dan cuaca sejuk
sekali.
Setelah shalat
jama’ qashar dhuhur dan ashar, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat
yang namanya Talaga Bodas. Dari rumah Mang Atek, naik terus, dengan jalan yang
cukup terjal, sekitar lima belas menit. Kami didampingi Ibu Lurah dan suaminya
serta seorang perangkat desa.
Pemandangan di
sepanjang jalan sungguh mengagumkan. Hutan, kebun, bukit, gunung, lembah,
betapa indah. Ada banyak tanaman sayuran yang subur dan ranum. Juga tanaman
jagung. Gunung yang berkabut tipis dan mendung yang menggantung. Indah yang
begitu sempurna.
Dan Talaga
Bodas itu, wow, menghampar di depan sana dengan warna putihnya yang
berkilau-kilau. Aroma belerang langsung menyeruak memenuhi hidung. Sebuah
telaga yang mungkin mirip kawah putih di Bandung, namun telaga ini masih sangat
alami. Meskipun sudah dikomersilkan, namun kemurniannya masih sangat terjaga.
Kami tidak
berlama-lama menikmati telaga, karena hari sudah beranjak sore. Tapi Bu Lurah
sudah menyiapkan nasi liwet di sebuah warung makan di dekat telaga. Meskipun
sebenarnya perut kami masih terasa kenyang, tapi kami lahap juga nasi liwet dan
lauk pauknya. Ayam goreng, tahu dan tempe goreng, ikan asin goreng, sambal dan
lalapan, dan jengkol goreng. Jengkol, sampai saat ini merupakan salah satu
makanan yang saya belum bisa menikmatinya.
Kami berpisah
dengan Bu Lurah di tempat tersebut setelah mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya karena telah menjamu kami. Beberapa bungkus kopi khas Garut
dibawakannya untuk kami. Nama kopinya adalah Talagabodas.
Karena tidak
ada jalan lain menuju tempat kunjungan selanjutnya, kecuali tetap melewati
jalan yang sama, kami mampir lagi ke rumah Mang Atek, sekalian numpang ke
toilet. Ternyata isteri Mang Atek sudah menyiapkan segepok oleh-oleh untuk
kami. Kerupuk, keripik, pepes ikan, dan entah apa lagi.
Dari rumah Mang
Atek, temaram sudah mulai turun. Kami bersilaturahim di dua rumah lagi.
Jaraknya sekitar dua puluh menit dari rumah Mang Atek. Satunya rumah Mas Dendy,
staf di sekretariat BPSDM. Satunya lagi di rumah Ibunda Pak Jajang Abdullah.
Pak Jajang sebelumnya adalah sekretaris BPSDM, dan sekarang menjadi pejabat
swadaya masyarakat ahli utama.
Sekali lagi,
kami harus makan lagi, karena makan malam sudah disiapkan oleh orang tua Mas
Dendy. Seperti tadi, meskipun perut kenyang, kami tetap makan tetapi hanya
sedikit. Sudah benar-benar penuh rasanya perut ini.
Kami berniat
kembali ke Jakarta malam ini juga. Memang sudah diniati tidak menginap, karena
Minggu pagi kami sudah ada agenda lain.
Maka Mang Atek
pun melajukan mobil yang membawa para penumpang yang terkantuk-kantuk karena
kekenyangan. Sempat singgah di rest area untuk shalat maghrib-insya. Sekitar
pukul 22.30, kami sudah tiba kembali di Jakarta.
Tubuh memang
terasa agak lelah, namun betapa bahagianya bisa mengisi waktu dengan
bersilaturahim. Memperbanyak silaturahim adalah salah satu amalan yang sangat
dianjurkan oleh Nabi.
Manfaat
silaturahim tak hanya untuk memperluas rezeki dan terhindar dari api neraka,
namun juga untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Silaturahim merupakan
tanda-tanda seseorang beriman kepada Allah SWT dan menjadi makhluk mulia di
hadapan-Nya. Semoga.
Jakarta, 17
Februari 2024