Pages

Minggu, 05 Mei 2013

Dzikir Kuliner

Waktu masih menunjukkan pukul 08.15 ketika saya tiba di Bandara Ahmad Yani Semarang. Cetak tiket, check in, boarding pass, beres. Langsung masuk ke ruang tunggu. Sriwijaya Air yang akan membawa saya ke Surabaya dijadwalkan terbang pukul 09.35. Masih banyak waktu untuk melakukan sesuatu sebelum boarding time.

Saya pun menggeser tas koper saya ke dekat mas Ali Sidik, staf Puskom Unesa yang sejak kemarin menemani saya mengikuti Rapat Koordinasi SM-3T di Hotel Patra Jasa. Memastikan dia menjaga barang  saya itu. Saya pamit jalan-jalan, 'nglemeske sikil.' 

Tentu saja saya hanya jalan-jalan dari satu konter ke konter lain yang berderet di sepanjang sisi kanan-kiri ruang tunggu. Tak bermaksud membeli sesuatu pun, sekedar window shopping. Tapi ketika masuk ke sebuah toko buku, saya menghabiskan waktu membaca-baca. Memilih-milih. Ada beberapa yang cukup menarik perhatian dan menarik hati saya untuk membelinya. Namun saya bertahan untuk sekedar membaca ringkasan di cover belakang buku-buku tersebut. Belasan buku yang saya beli beberapa waktu yang lalu masih terbungkus rapi dalam sampul plastiknya. Saya tidak mau menambah tumpukan buku-buku baru itu. Menumpuk buku baru yang belum dibaca seperti menumpuk hutang saja.

Tapi sebuah buku berjudul 'Dzikir Kuliner' tak mampu membuat hati saya menolak. Saya sudah bisa meraba seperti apa isinya dari membaca ringkasannya di cover belakang. Tapi saya belum puas. Lagi pula, semua yang berbau kuliner memang harus saya minati. Apalagi dengan embel-embel 'dzikir'. Ini pasti menarik. Sama menariknya dengan rahasia konsep Kurikulum 2013 yang muncul dari sebuah 'dzikir' saat Pak Nuh menunaikan umroh pada tahun 2006. Haha....

Makan adalah dzikir. Begitulah kata Tauhid Nur Azhar (TNA), penulis buku itu, dalam prakatanya. Pertanyaannya, bagaimana kita mengingat Allah SWT lewat proses makan? 

Menurut TNA, jawabannya memang bukan hanya pada gurihnya tengkleng di depan Pasar Klewer ataupun mak nyussnya coto makasar pelabuhan 45, tetapi justeru melekat pada proses makan dan makanannya. Setiap unsur sampai elemen subatomik dalam makanan semuanya bertasbih. Mereka berthawaf dan membentuk orbital atom, membangun medan elektromagnetik, mengadakan perjanjian perikatan van der Walls atau hidrogen. Mereka kaffah memerankan diri sebagai pemenuh kebutuhan yang harus memenuhi persyaratan. Acap kali tubuh meminta zat berpolaritas tertentu, acap kali pula ia meminta hanya ion-ion kecil untuk menjaga tekanan osmotik agar tetap kharismatik. 

Di balik semua kebutuhan serta pemenuhannya yang dapat berjalan dengan cantik, sungguh tersimpan tanda-tanda keajaiban-Nya yang begitu nyata. Jadi, rujak cingur, tahu campur, beberuk terung, pallu basa, kaledo, cakalang fufu sampai ayam bengawan solo adalah serangkaian komposisi sonata kerinduan makhluk terhadap Sang Komposer Agungnya! (hal. VIII).

Saya menahan diri untuk langsung membaca isi buku yang pasti sangat menarik ini. Saya ingin tahu siapa sebenarnya penulis buku yang dicetak pada Mei 2012 ini. TNA yang kelahiran Bandung pada 1970 ini ternyata lulusan S1 Kedokteran Undip dan S2 Kedokteran UI. Ia juga sempat terdampar di Fakulti Perubatan Universiti Kebangsaan Malaysia dan di Health Science Technology Harvard-MIT, AS. Dia juga aktif sebagai peneliti, penulis, sutradara, penulis naskah drama, menjadi konsultan tesis dan disertasi khususnya bidang biomedis dan biomolekuler. Karena kepakarannya, dia pun menjadi salah satu konsultan dan tim ahli PT Telkom, PT KAI, PT Angkasa Pura, PT Unilever dan banyak instansi yang lain. Dia telah menulis lebih dari dua puluh buku yang terbit sejak 2007. Dan banyak lagi pengalamannya, yang pasti akan terlalu panjang bila saya tuliskan semua di sini.

Pantas, tulisannya tentang makanan dan bagaimana makan itu sesungguhnya adalah suatu proses dzikir begitu memukau. Lengkap ditinjau dari berbagai sudut pandang. 

Dia berbicara tentang manajemen makan sebagai suatu seni (art) pengelolaan diri yang dinamis, sebagaimana seni pemenuhan kebutuhan primer manusia lainnya. 

Dia juga meninjau proses makan sebagai proses biologis.  Rasa lapar sebagai suatu sinyal melibatkan banyak unsur biologis di dalam sistem tubuh dengan mekanisme yang sangat rumit. Sinyal awal berasal dari impuls molekuler yang secara kumulatif akan memberikan pertanda atau gejala awal. Misalnya, menurunnya kadar gula di dalam darah atau hipoglekemi.
Dst dst...... Dikatakan bahwa fenomena biologis ini akan berintegrasi dengan fungsi luhur analitik dan bermanifestasi pada 'cara mendapatkan makanan'.

Pada titik ini, konsep 'makan-memakan' menjadi sangat krusial dan bergeser menuju ranah filosofis. Konsep halal dan haram berkembang bukan hanya terfokus pada substansi bahan makanannya, melainkan juga menambah kawasan 'bagaimana cara memperolehnya?' Dijelaskan di sini, bahwa makanan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak halal akan memberikan pengaruh pada pribadi anak setelah mereka dewasa, dan bahkan akan mempengaruhi kualitas sebuah keluarga, dunia sampai akhiratnya. 

Terkuaklah makna doa sebelum makan, yang memiliki arti tidak sekedar mengharapkan berkah dari makanan yang tersedia, tetapi juga permohonan agar terhindar dari azab neraka. Doa makan merupakan proses stelirilasi dan pengeliminasian unsur-unsur dosa (haram) dalam sebuah makanan.

Pada saat bahan makanan yang halal dan thayib telah didapatkan, berkembang pula suatu proses pelatihan diri yang tidak kalah menariknya. Pada tahap ini, kita dihadapkan pada permasalahan pengelolaan dan pengendalian hawa nafsu. Kita harus secara jernih dan mandiri mengukur tingkat kebutuhan dan kepatutan, baik dari aspek metabolisme maupun finansial.

Penjabaran sunnah Rasulullah SAW, 'berhentilah makan sebelum kenyang' mengharuskan kita untuk menemukan ambang batas yang tidak mengganggu kesetimbangan kecerdasan intgeratif. Kegiatan tersebut harus selalu direvitalisasi setiap hari, mengingat kita juga makan setiap hari. Proses revitalisasi itu juga harus mengakomodasi setiap perubahan yang secara dinamik pasti terjadi setiap waktu (sunnatullah di ranah waktu yang relatif). 

Seandainya konsep filosofis dari ritual makan-memakan ini bisa kita pahami, prosesi makan sesungguhnya merupakan bentuk ibadah ghairu mahdhah yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas keimanan.

Dalam buku ini, TNA menyajikan tulisannya dalam tema-tema: Cita Rasa Kuliner Laut, Cita Rasa Kuliner Darat, Kuliner dari berbagai Penjuru, dan Refleksi Kuliner. Dalam setiap tema itu dia mendeskripsikan tempat-tempat makan favorit di banyak tempat baik di dalam maupun di luar negeri, tidak hanya dari kelezatan makananya, kenyamanan tempatnya, eksotisme alamnya, namun juga historis, kandungan gizi, serta hikmah spiritual dan manajerial. Dia menulis dengan gaya feature yang alurnya enak mengalir namun sarat dengan muatan akademis-ilmiah, memukau sejak dari judul sampai pada akhir tulisan. Lihat saja beberapa judulnya: Karamba di Teluk Donggala, Suatu Siang di Bosphorus, Palling dari North Sea, Angkringan Pasar Kembang, Merpati tak Pernah Ingkar Janji, Apakah Warung Padang sudah Buka di Bulan, dan judul-judul lain yang sederhana tapi tetap menarik. 

Beberapa kalimat kunci dalam buku ini: Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu (QS al-Baqarah (2):57). Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan (QS al-An'am (6):142). 

Inti dari buku ini adalah: makan adalah ibadah, kelezatannya yang tercecap adalah dzikir.

Dalam penutupnya, TNA mengingatkan kita semua: Maka, Nikmat Tuhan Manakah yang Kau Dustakan?


Semarang, 5 Mei 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...