Pages

Selasa, 07 Mei 2013

JEJAK MASA LALU


Mendung tebal menggayut di langit. Angin berhembus kencang, suaranya mendesis-desis. Batang dan ranting pohon sonokembang bergoyang-goyang, sebagian daunnya berguguran. Sebentar saja halaman gedung rektorat telah basah. Suasana yang sejenak tadi sejuk, berubah menjadi agak menakutkan. Hujan di bulan Desember. Berangin, penuh dengan kilat dan petir. Menyambar-nyambar di langit yang gelap.
            Lula memarkir mobilnya dengan tergesa. Meraih tas laptopnya, payung, dan membuka pintu mobil, menghambur ke teras gedung. Uff. Payungnya tersenggol sesuatu—tepatnya—seseorang.  
            “Maaf.” Kata pertama yang spontan meluncur dari mulutnya. “Maaf, tidak sengaja.” Dia anggukkan kepala pada laki-laki di depannya, dan tersenyum. Tapi senyumnya begitu saja menggantung. Senyum laki-laki di depannya juga.
            “Dik Lula?” Sapa laki-laki itu.
            Desiran halus begitu saja mengalir di dada Lula. Sejenak. Karena dia harus cepat menguasai perasaan. Dia segera meraih tangan yang mengulur di depannya. Menyalaminya, masih dengan perasaan berkecamuk yang dia coba untuk menenangkan..  “Mas Gilang? Kok ada di sini, Mas?”
            “Ya. Ada rapat. Diundang Rektor.
“Oya? Rapat apa?”
“Pembentukan panitia Forum Ilmiah Ikatan Alumni”.
            “O, begitu.” Lula manggut-manggut. Mengusapkan tisu di mukanya yang sedikit basah karena air hujan. Laki-laki itu, Gilang Susanto, memandanginya dengan perasaan yang sama berkecamuk. Dua puluh tahun. Tak disangka bertemu lagi. Dan perempuan itu, Lula Amanda, tidak banyak berubah. Masih saja manis. Meski ada yang berbeda. Rambut hitam dan ikalnya yang dulu terurai, sekarang tertutup rapat dengan kerudung merah hati. Senada dengan busana kerja yang membungkus tubuhnya yang ramping. Masih seperti dulu.
            “Saya duluan ya, Mas. Ditunggu rapat di PR 3”.
            “O ya, ya.” Gilang terjaga. Tetap dengan pandangan yang belum lepas dari wajah Lula, yang bergegas pergi. Rasanya dia ingin menahan perempuan itu, mengajaknya ngobrol, sejenak saja, untuk melepaskan perasaan yang tiba-tiba menggumpal di benaknya. Tapi dia tidak mempunyai keberanian. Karena dia sendiri tidak memahami perasaan itu. Rasa yang begitu lama tidak pernah menghinggapinya, sejak dua puluh tahun. Saat ini, ketika usianya menjelang empat puluh lima tahun, mendadak rasa itu mengusiknya.
            Lula menaiki tangga. Ruang PR 3 ada di lantai dua. Dia sedang ditunggu untuk acara technical meeting Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa. Dia harus ikut memberikan pengarahan untuk acara yang dua hari lagi akan digelar itu. Setumpuk karya tulis sudah menunggu untuk dibacanya.
Tapi pertemuan satu dua menit tadi, lebih mendominasi pikirannya.
Gilang—meski hanya sebentar pernah mengisi hatinya, dulu—tak urung sempat membuat jantungnya berdesir halus. Tidak pernah dia bayangkan bisa bertemu lagi. Meski sebenarnya Gilang bekerja di kota yang sama, namun seolah laki-laki itu tenggelam ditelan waktu. Sesekali pernah terbersit Lula ingin bertemu, hanya untuk tahu keadaannya, atau sekedar bertegur sapa. Kalau dia mau, tentu tidak sulit melakukannya. Teman-temannya banyak yang mengajar di perguruan tinggi yang sama dengan Gilang. Sekedar untuk mengetahui nomer telepon genggam Gilang, bukanlah hal yang sulit. Tapi Lula merasa tidak pantas, merasa tidak perlu. Bukan karena takut membangkitkan perasaan yang pernah ada, namun lebih karena dia ingin menghormati suaminya. Dengan alasan itu jugalah dia menolak tawaran temannya untuk membantu mengajar di perguruan tinggi itu. Dia tidak ingin Anggoro, suaminya, merasa tidak nyaman karena dia bekerja di satu institusi dengan Gilang.
  Kabar terakhir yang didengarnya dari seorang teman, Gilang merupakan kandidat Guru Besar yang pertama di jurusannya. Hebat. Dari dulu, Gilang memang hebat. Gilang yang angkatannya setahun di atas Lula itu adalah fungsionaris mahasiswa yang aktif di dalam lingkungan institut maupun di luar institut. Agamis dan idealis. Juga cerdas. Penampilannya lugu, bicaranya lugas. Gilang sangat menonjol dalam forum-forum ilmiah mahasiswa. Dan sebagai pemimpin redaksi media mahasiswa, kecerdasannya juga nampak dari tulisan-tulisannya. Meskipun begitu lugu, Gilang bisa menjadi sangat mengagumkan karena kecerdasannya.
            “Selamat siang, Bu Lula.”
            “Oh, siang.” Lula agak terkejut, terjaga dari lamunannya. Pak Hardi, staf PR 3, menyapanya ramah. “Saya tidak terlambat kan, pak?”
            “Tidak, Bu. Silahkan makan siang dulu, sudah disiapkan.”
            Lula mengambil tempat duduk. Menyalami pak Fuad dan bu Merry yang sudah lebih dulu duduk. Meraih nasi kotak di depannya. Hm, ayam goreng lalap. Cocok untuk perutnya yang lagi lapar.
*
            Lula tertegun membaca surat Gilang, meski sebenarnya dia sudah menduga hal itu akan terjadi: Gilang menyatakan cintanya. Sikap Gilang yang belakangan agak lain, dapat ia rasakan bahwa Gilang memiliki perasaan khusus. Meski Gilang tidak pintar mengungkapkannya, Lula tahu laki-laki itu jatuh hati padanya.
            Dan Lula bertanya pada diri sendiri, cinta jugakah aku pada Gilang? Lula tidak tahu. Yang jelas, dia sangat mengagumi Gilang. Sebagai seorang gadis dua puluh tahun, dia sudah memiliki gambaran tentang laki-laki ideal untuk pendamping hidupnya kelak: agamis dan cerdas. Soal penampilan tidak terlalu penting, asal lebih tinggi dari dia yang tingginya 162 centi meter. Dan Gilang memenuhi semua kriteria pria idaman yang diangankannya. Oleh sebab itu, rasanya tidak akan sulit mencintai Gilang. Maka ketika Gilang meminta jawabannya, meski tidak yakin, Lula memberanikan diri mengatakan: “Okelah, mas Gilang, kita coba jalan. Saya tidak yakin dengan perasaan saya, tapi saya akan belajar mencintai.”
            Belakangan, jawaban itu menyelamatkan Lula ketika dia harus memutuskan meninggalkan Gilang, dan berpaling kepada Anggoro. Tiga bulan. Hanya tiga bulan Lula bertahan dengan usahanya untuk belajar mencintai Gilang. Usaha yang ternyata sia-sia. Anggoro sedikitpun tidak memberinya kesempatan untuk itu. Dengan segala daya upaya, Anggoro berusaha keras merebut hati Lula. Menyita hampir seluruh waktunya untuk membuat Lula tidak berpikir yang lain kecuali memikirkannya. Tidak peduli Gilang yang seolah berdiri di atas bara panas.  
            “Beri kesempatan aku untuk belajar mencintai mas Gilang, mas. Tolonglah. Jangan datang-datang lagi. Aku sudah berjanji, aku akan belajar mencintainya.” Pinta Lula pada Anggoro, di suatu sore, ketika untuk kesekian kalinya, Anggoro menyatakan cintanya.
            Tapi Anggoro hanya menggeleng, tak peduli. “Tidak. Aku tidak bisa.” Dia menggelengkan kepala lagi. “Aku terlanjur sangat, sangat mencintaimu.” Matanya menatap Lula tajam untuk meyakinkan.
            Dan Anggoro terus mengunjungi Lula. Melimpahinya dengan perhatian dan kelembutan. Memenuhi buku catatan kuliahnya dengan puisi-puisi cinta. Membawakannya sekantong melati yang harumnya semerbak menyebar di segala penjuru ruang kamarnya. Menemaninya di perpustakaan. Menghadiahinya dengan buku-buku Kahlil Gibran yang sangat dikagumi Lula.  
            Nama Gilang semakin terkikis dari hati Lula. Semakin ia ingin menjangkau, semakin jauh saja rasanya. Gilang yang idealis, meminta Lula untuk meninggalkan aktivitasnya di Mapala. Menuntutnya untuk tidak mendaki gunung, caving, rock climbing, dan segala aktivitas yang menurut Gilang tidak pantas dilakukan oleh seorang wanita. Memintanya untuk membatasi pergaulan dengan teman-teman yang di mata Gilang akan memberi pengaruh tidak baik. Mengharuskannya untuk mengerti bahwa dia tidak bisa setiap saat bersama Lula, karena dia punya banyak kesibukan di berbagai organisasi.
            Lula akhirnya harus memilih. Dan pilihan itu jatuh pada Anggoro. Orang yang tidak punya kelebihan apapun dibanding Gilang, kecuali bahwa Lula lebih mencintainya. Gilang yang cerdas dan idealis adalah sosok yang sangat dingin baginya. Sosok yang tidak mampu memberinya rasa aman ketika sedang berjalan bersama. Sosok yang tidak  pernah bisa membuat hati Lula tersentuh oleh kata-katanya, oleh perhatiannya. Sekeras apapun Lula berusaha mencintai, ternyata tidak berhasil. Baru disadarinya, sebagai perempuan, dia tidak hanya butuh laki-laki yang agamis dan cerdas. Lebih dari itu, dia membutuhkan perhatian, perlindungan, dan rasa aman. Dan semua itu ada pada Anggoro.
            Gilang pun terluka. Sangat. Lula sendiri sungguh tidak menduga Gilang akan seterluka itu. Sosoknya yang selalu tegar dan cenderung angkuh mendadak luruh hanya dengan beberapa kalimat Lula: “Maafkan aku, mas Gilang. Aku tidak bisa. Aku tidak berhasil belajar mencintai mas. Maafkan aku. Kita jalan sendiri-sendiri.”
            Gilang seperti tidak percaya, meski sebenarnya dia lamat-lamat bisa merasakan, Lula tak penah serius belajar mencintainya. Lula terlalu sibuk dengan perhatian orang lain, yaitu Anggoro. Setiap kali Gilang datang mengunjungi Lula di sela-sela kesibukannya, Anggoro hampir selalu ada bersama Lula. Meski Gilang tahu Anggoro adalah senior Lula di Mapala, tapi dia juga tahu mereka bertemu tidak untuk urusan organisasi. Maka bagai harimau yang terluka parah, Gilang bertanya:. “Apa karena ada orang ketiga?”
            Lula terkejut, tidak menyangka Gilang akan bertanya seperti itu. Dia menatap Gilang. Mata laki-laki itu berembun. Oh, batu karang itu menangis. Lula telah mencabik-cabik hatinya. Membuatnya jatuh tersungkur dari ketinggian yang tak pernah dibayangkannya. Terpuruk, sakitnya luar biasa.  Lula juga ingin menangis merasakan darah yang mengucur deras dari luka hati Gilang. Tapi dia harus berkata jujur. “Mas Anggorokah maksud mas?” Tanyanya. Dan dia menguatkan hati. “Ya.”
            Sejak itu, Gilang seperti terbawa angin. Hilang ditelan bumi. Pergi membawa cintanya ke tempat di mana dia bisa menyibukkan diri. Membunuh waktu untuk bisa melupakan Lula. Andai bisa, dia ingin mencuci otaknya. Agar kenangan tentang Lula terbuang sama sekali dari benaknya. Sampai suatu saat dia akan menemukan tambatan hati yang lain.
            Tiga tahun bersama, akhirnya Lula pun disunting Anggoro. Saat itu, Lula bahkan sama sekali tidak teringat Gilang. Cara Anggoro mencintainya tak membuka peluang sedikitpun bagi Lula untuk memikirkan orang lain. Anggoro telah merebut hatinya. Utuh-utuh. Dan menutupnya rapat-rapat untuk hadirnya cinta yang lain.    Sekarang, setelah hampir dua puluh tahun pernikahan itu, dengan seorang anak semata wayang hasil buah kasih, perhatian Anggoro nyaris tidak berubah. Sikapnya yang melindungi, penuh perhatian, semakin sarat sejalan dengan usianya yang semakin matang. Anggoro yang romantis selalu memenuhi hari-harinya dengan ungkapan sayang, penuh perhatian bahkan untuk hal-hal kecil, tak pernah lupa memberinya bingkisan dan kado—meski hanya sebuah puisi—untuk hari-hari istimewa. Membuat Lula merasa menjadi perempuan yang sangat dibutuhkan dan berarti.
            Meski begitu, pertemuan dengan Gilang tadi siang ternyata mampu mengusik hati Lula. Wajah Gilang yang lugas dan cerdas, dengan penampilan yang semakin matang, masih memenuhi benaknya. Mata tajamnya yang menatap Lula lekat-lekat masih terbayang jelas. Entah kenapa, Lula merasa senang dengan pertemuan tadi.            Rasanya, kekaguman ini belum sirna, pikir Lula. Meski bukan cinta, namun pertemuan dengan orang yang pernah dikaguminya itu, ternyata membuat perasaannya agak berbeda. Mungkin karena setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Dan bagaimana pun, Gilang pernah dekat, meski tidak sangat dekat.  
*
            Lula tertegun. Ada SMS berupa sebuah puisi. Dari Gilang. Dibacanya puisi itu: “Terkadang terang, terkadang gelap, semua dilalui. Ketika bertemu masa lalu, terasa menjadi muda kembali. Digapai-gapai kedamaian, diam didapat. Ketika hanya pandangan dilakukan, justru bergerak seluruh jiwa ini. Ah, bidadari itu terbang lagi ke singgasana. Apa yang terjadi nanti, bila raga hanya dapat bersandar di kursi? Akankah masa lalu itu, dan bayangan mendatang, disatukan dalam periuk jiwa muda? Ah. Bayang-bayang semakin lenyap bersama lenyapnya angan. Hanya senyum tersisa, mendengkur, menyongsong hidup baru esok hari.”
            Padahal jam telah menunjukkan hampir pukul dua belas tengah malam. Lula memang masih terjaga karena dia harus membaca karya ilmiah yang akan dinilainya lusa. Dan Gilang, apa yang dilakukannya pada malam selarut ini? Melamunkan dirinya? Begitukah? Tapi bila tidak, kenapa mengirim SMS seperti ini? Malam-malam lagi. Tidakkah dia terlalu berani mengambil risiko? Bagaimana kalau Anggoro tahu?
Lula membaca puisi itu lagi. Diresapinya setiap kata, satu per satu. Dan hatinya berdesir. Desiran halus seperti ketika bertemu Gilang tadi siang. Ada perasaan bahagia menyusupi relung hatinya. Sejenak Lula linglung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia ingin membalas, namun ditahannya. Tapi akhirnya jari-jarinya menekan telepon genggamnya. “Mas, tidur, dah malam. Jangan melamun, daripada ngelantur. Ok?” Akhirnya SMS itupun terkirim.
            Sejak itu, puisi-puisi Gilang dan kata-kata lembutnya mengalir deras lewat SMS. Lula selalu menyimpannya. Membacanya dengan cermat. Meresapinya diam-diam. Dan membiarkan hatinya berbunga-bunga. Dia tidak pernah mendapatkan satu puisi pun dari Gilang, dulu. Dia tidak pernah melihat sisi romantis Gilang, kecuali sosoknya yang dingin dan pengatur. Ketika sekarang, setelah dua puluh tahun berlalu, tiba-tiba dia menemukan sosok Gilang yang lain. Maka dia bertanya pada Gilang lewat SMS: “Setahuku, dulu mas Gilang tidak bisa membuat puisi. Dari mana mas belajar?”
            “Dari orang yang saat ini sedang membaca SMS-ku. Andai dari dulu aku tahu harus lakukan ini, mungkin aku tidak harus kehilangan.....”
            Hari-hari pun terus berlanjut. Puisi-puisi Gilang dan kata-kata lembutnya terus mengalir. Lula menikmatinya. Bahkan selalu menunggu-nunggu. Andai saja dari dulu Gilang selembut dan seromantis ini. Andai saja dia tidak terlalu dingin dan keras hati.... Lula mulai berandai-andai. Sosok Gilang yang cerdas selalu membuatnya kagum. Dan kekaguman itu semakin lengkap ketika dia temukan sisi lembutnya. Sisi yang tak pernah dirasakannya ketika itu.
             Tapi tiba-tiba Lula tersadar ketika Gilang bertanya: “Apakah dik Lula sekarang sudah berhasil belajar mencintai saya?”
            Oh, tidak. Aku tidak mau terjebak. Lula betul-betul seperti baru tersadar. Pintu selingkuh terbuka lebar di depan matanya. Ponsel memberinya kemudahan untuk itu. Anggoro yang mempercayainya membuat jalan menjadi serba aman. Aktivitasnya sebagai wanita bekerja di luar rumah memungkinkannya untuk bisa mengambil kesempatan. Mengendalikan waktu dengan leluasa untuk sekedar mencari selingan.
            Tapi Lula sudah memiliki Anggoro dan Raga yang mencintainya. Tak akan dia menukarnya dengan apapun untuk kedua belahan jiwanya itu. Tidak juga dengan kesenangan yang mungkin akan membuat hidupnya lebih berwarna. Lula merasa, semuanya harus diakhiri. Sebelum pintu itu semakin terbuka lebar, dan menjebaknya dalam hidup yang pasti tidak akan pernah sama lagi. Hidup yang sudah ternoda dengan pengkhianatan.
            “Aku rasa, sekarang sudah bukan waktunya lagi belajar untuk itu, mas Gilang.” Jawabnya. Lega. Karena dia telah mengambil keputusan yang paling tepat. Menghapus jejak masa lalunya yang tiba-tiba datang menawarkan manisnya madu sekaligus pahitnya racun kebahagiaan sesaat.
            Lama Lula menunggu balasan Gilang. Dua jam lebih. Dan dia sudah mulai tidak peduli ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. SMS dari Gilang.
            “Ya, sudah tidak waktunya. Sudah kadaluarsa.” Tulis Gilang. “Namun telah kupetik keindahannya....” *


Surabaya, akhir tahun 2006
Surabaya, 7 Mei 2013



0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...