Pages

Sabtu, 18 Mei 2013

Catatan Malam Minggu: Keripik Gayam dan Sanggar Alang-Alang

Malam minggu. Mendung. Lama tidak menikmati udara luar sejak mas Ayik sakit dan sempat opname empat hari di RSI. Maka malam ini kami niatkan untuk jalan-jalan.

Tujuan kami adalah mencari keripik gayam di Istana Buah Jalan Mayjen Sungkono. Keripik yang satu ini memang kegemaran kami. Termasuk keripik yang langka, setidaknya tidak semudah keripik pisang atau keripik singkong untuk mendapatkannya. 

Saya sendiri mengenal keripik gayam sejak kecil. Pohon gayam banyak saya temukan di rumah tetangga, kebetulan rumah kami tidak memiliki pohon gayam. Pohonnya yang rimbun sekali dengan daun-daunnya yang rapat sampai seolah lengket antara satu daun dengan lainnya, membuat pohon itu dijuluki pohon gendruwo. Konon, gendruwo suka bertengger di pohon gayam karena rimbun dan gelap. Hiii....

Buah gayam, biasa dikonsumsi begitu saja setelah direbus dengan dibubuhi garam. Rasanya gurih dan kenyal. Katanya, bagus untuk perut. Saya percaya itu, karena setahu saya, orang yang habis makan gayam, perutnya bolak-balik mengeluarkan gas...dut dut dut...hehe.

Keripik gayam berhasil kami dapatkan di Istana Buah. Hanya ada empat bungkus, kami beli semua. Empat bungkus itu saja tidak akan bertahan lama. Saya dan Mas Ayik penyakitnya sama. Kalau sudah makan keripik gayam, berhentinya susah kalau keripik itu belum habis. Rasa gurihnya yang sangat gurih seperti mengundang untuk terus ngemil dan ngemil. 

Dari Istana Buah, kami menuju Golden City (Goci) Mall. Ada pertunjukan musik jazz di sana, dalam rangka ulang tahun Goci. Ada Gilang Ramadhan dan Doni Suhendra. Selain itu, ada beberapa kebutuhan sehari-hari yang saya harus beli. Peralatan kamar mandi, kosmetik, dan lain-lain. Selain itu juga, yang penting bisa jalan-jalan, menghabiskan malam minggu.

Musik jazz langsung menyambut kami begitu mobil kami memasuki halaman Goci. Panggung pertunjukan cukup megah dan meriah. Di depannya ada banyak stand yang menjual makanan, pakaian, dan berbagai pernak-pernik. Ada kursi-kursi di setiap stand itu, sehingga kita bisa menikmati live jazz music sambil makan dan minum. 

Sambil mendengarkan musik, kami jalan-jalan. Naik ke lantai atas. Makan bebek tengil dan nasi uduk. Mas Ayik memilih hanya nasi uduk dan tempe saja. Diet. Tapi tidak tahan juga melihat saya menikmati bebek goreng yang empuk dan gurih. Dia 'nyuwil' sebagian, saya pun sebenarnya juga butuh bantuan untuk menghabiskannya. 

Nah, ketika sudah mulai lelah jalan-jalan dan lihat-lihat, kami tertarik dengan sebuah stand di sudut. Banyak barang kerajinan dijual di sana. Bunga-bunga dari kertas, kain-kain jumputan, batik tulis dan batik sablon, dan banyak lagi. 

Bukan barang-barang itu yang menarik minat kami, namun para penunggunya. Sosok bapak sepuh berambut panjang, berkaca mata. Perawakannya tinggi. Di dekatnya ada seorang perempuan setengah baya, berjilbab, manis meski sudah sudah tidak muda. Beberapa bocah remaja yang sedang mengemasi barang-barang itu, menutupinya dengan kain-kain, siap menutup stand.

Sosok bapak tua itu, adalah Didit Hape. Tentu kita semua pernah mendengar, atau bahkan kenal baik dengan beliau. Pria yang dulunya reporter senior TVRI dan asli Lumajang itu nama lengkapnya adalah H. Didit Hari Purnomo. 

Profesinya saat itu menuntutnya untuk banyak terjun ke lapangan dan bergumul dengan para pengamen, pengemis, gelandangan. Nuraninya tergugah untuk bisa memberikan perhatian pada anak negeri itu, dan dia bersama istri tercintanya, Budha Ersa, mendirikan Sanggar Alang-Alang pada 16 April 1999.

Didit mendidik anak-anak dengan metode belajar, berkarya dan berdoa. Selain mengajarkan pendidikan umum, lewat kesenian, beliau mengenalkan etika (budi pekerti), estetika (gaya hidup sehat), norma dan agama.

Alang-alang sendiri merupakan sejenis rumput liar yang dapat dijumpai di mana-mana, mulai dari puncak gunung sampai pinggir pantai, di desa maupun di kota. Tanaman ini mudah tumbuh namun juga mudah terbakar, bergantung bagaimana manusia memperlakukannya. 

Alang-alang seakan tidak ada manfaatnya kecuali menjadi tanaman pengganggu tanaman lain serta merusak keindahan. Itulah sebabnya, alang-alang di mana-mana lebih sering dibabat, ditebas, disingkirkan dan dibakar.

Padahal, Allah menciptakan makhluk, tentu bukanlah tanpa maksud. Alang-alang ternyata banyak memberikan manfaat bila kita tahu bagaimana memanfaatkannya. Setidaknya, alang-alang di pedesaan sering dimanfaatkan untuk atap gubug tempat berteduh para petani sehabis bekerja di sawah. Di kota, alang-alang sering menjadi pelengkap yang sangat dekoratif untuk cafe, restoran, hotel, dan juga di rumah-rumah. Akar alang-alang bahkan bisa dimanfaatkan untuk jamu atau obat meredakan stress.

Filosofi inilah yang diambil Didit Hape untuk membangun sanggarnya. Lewat Sanggar Alang-Alang ini, beliau ingin anak-anak yang termarginalkan itu bisa tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya dan mampu mandiri serta bermanfaat dalam kehidupannya.

Saat ini, kami, saya dan mas Ayik, bertemu dengan sosok sederhana namun luar biasa itu. Meski garis-garis usia menggurat jelas di wajahnya, namun tubuh tingginya masih cukup kekar. Suaranya tegas namun lembut, santun, rendah hati. Mama, sebutan untuk Ibu Budha Ersa, tak kalah ramah dan lembutnya. Kami mengobrol tentang aktivitas ratusan anak yang saat ini ada dalam bimbingannya, sambil melihat-lihat hasil kerajinan yang dipajang di stand itu.

Entahlah, hati saya seperti meleleh. Saya tiba-tiba merasa menjadi orang yang begitu tipis rasa kepedulian saya. Dedikasi Didit Hape dan Budha Ersa pada nasib anak jalanan mengusik kesadaran saya yang terdalam. Jauh. Saya masih harus menempuh jalan panjang dan jauh untuk bisa mencapai tingkat kerelaan dan pengorbanan sebagaimana yang sudah mereka lakukan. 

Saya mengambil beberapa barang kerajinan hanya untuk alasan supaya saya bisa melepaskan beberapa lembar dari dompet saya untuk saya titipkan pada mereka. Tidak ada satu pun dari barang kerajinan itu yang saya butuhkan. Saya hanya ingin sedikit menetralisir rasa gelisah di hati saya karena dipenuhi oleh rasa bersalah. 

Entah karena membaca perasaan saya, ketika kami pamit, Mama mencium pipi saya dan memeluk saya sesaat. Anak-anak perempuan yang ada di situ juga menyorongkan pipinya saat kami berpamitan. Didit Hape sendiri memegang erat tangan mas Ayik dan berkali-kali beliau ucapkan terimakasih. Katanya, menjelang stand tutup, Allah mengirimkan kami berdua sehingga dagangan mereka ada yang membeli...

Besok malam, saya dan mas Ayik bermaksud ke Goci Mall lagi. Bukan untuk berjalan-jalan. Tapi untuk menemui Didit Hape dan Budha Ersa lagi, serta anak-anak didiknya. Mendulang pelajaran hidup yang pasti sangat kami butuhkan.... 

Golden City Mall, 18 Mei 2013


Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...