Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label SM-3T Angkatan Ke-3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SM-3T Angkatan Ke-3. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 April 2014

Mamteng 6: Papua, Mari Maju Bersama (4)

Masyarakat Ilugwa adalah orang-orang yang ramah. Keramahan mereka membuat para guru SM-3T merasa betah dan nyaman. Kekhawatiran pada kondisi keamanan di Ilugwa, ternyata tidak beralasan. Mamteng bukan wilayah konflik. Konflik yang terjadi lebih banyak secara internal dalam wilayah Mamteng sendiri. Baku tarik politik yang tak kunjung selesai. Wajar, mengingat Mamteng adalah kabupaten yang baru. Baku tarik juga terjadi antara Mamteng dan Mamra (Mamberamo Raya), khususnya terkait dengan batas wilayah. Namun baku tarik ini hanya terjadi di dalam ruang rapat, dan tidak pernah memicu persoalan dan kekacauan di masyarakat. 

Dukungan masyarakat yang tulus tercermin pada cerita para guru SM-3T. "Bapak guru jangan takut-takut main ke rumah kami. Bapak guru kami lindungi." Begitu kata penduduk setempat untuk meyakinkan para guru SM-3T tentang kondisi keamanan.

Setiap sore, Faishol dan kawan-kawannya, bermain bola dengan anak-anak sekolah. Dasar anak-anak. Bola voli dialihfungsikan jadi bola kaki. Karuan saja, bola voli itu cepat rusak. 

Jumlah siswa SMP Illugwa sebanyak 51 orang. Siswa SMA ada 8 orang, 2 di antaranya sudah punya anak, tapi belum berkeluarga. Artinya, anak tersebut dihasilkan dari hubungan di luar nikah. Meski sudah ada seorang anak dari hubungan itu pun, mereka tetap tidak menikah. Mas kawin yang sangat mahal dan syarat-syarat lain membuat pernikahan menjadi hal yang rumit di Papua. 

Uniknya, sepasang 'suami isteri' itu, adalah siswa di SMA Ilugwa. Yang perempuan duduk di kelas X, dan yang laki-laki duduk di kelas XI. Anak mereka dirawat oleh orang tua pihak perempuan.  

Hal semacam itu bisa dikatakan lazim terjadi di wilayah-wilayah seperti Papua, dan, setahu saya, juga di Sumba Timur. Di Sumba Timur, saya menemukan ada seorang guru yang mempunyai dua anak, dari dua orang laki-laki, namun tidak punya suami. Hamil di luar nikah juga banyak terjadi. Sebenarnya hal seperti itu juga pasti ada di tempat lain, di wilayah perkotaan. Bedanya, di wilayah yang lebih maju, di Jawa misalnya, hal itu dianggap aib yang harus ditutupi karena melanggar aturan agama dan moral. Dianggap sebagai sesuatu yang sangat memalukan. Di Papua dan di beberapa wilayah pelosok, hal semacam itu lebih berterima. Itulah yang saya katakan, batasan moral, norma dan etika di daerah pelosok seringkali berbeda jauh dengan masyarakat di perkotaan pada umumnya. Termasuk budaya minum minuman beralkohol, yang juga lebih berterima di kelompok masyarakat tersebut.  

Guru di SMP Ilugwa jumlahnya ada 15 orang, 9 di antaranya PNS. Selebihnya adalah guru honorer, baik honorer provinsi maupun honorer kabupaten. Dari 9 guru PNS, yang hadir rutin sebanyak 2 orang. Yang lainnya, dalam satu bulan, hanya datang sekali dua kali. Sebagian besar keluarga para guru itu ada di Wamena, hal itulah yang dijadikan alasan untuk mangkir dari tugas, dan menyebabkan tingkat kehadiran guru sangat rendah. 

Tingkat kehadiran guru yang sangat rendah ini lazim terjadi di daerah 3T. Pada umumnya, kendala geografis dan medan berat yang menjadi alasan. Kepala sekolah yang hanya datang ke sekolah sebulan sekali, merupakan hal yang biasa. Guru-guru yang datang ke sekolah hanya untuk mengambil gaji, juga sangat lumrah. Kelas dibiarkan kosong tanpa rasa bersalah. Siswa yang terlambat, dipukul,  sudah menjadi budaya, meski pun guru-gurunya sendiri kerap datang seenaknya. 

Saya sempat mempertanyakan hal tersebut kepada staf Dinas Pendidikan yang mendampingi kami. Petugas itu membenarkan hal tersebut. Sudah berkali-kali guru-guru yang suka mangkir dari tugas itu diperingatkan, tetapi tidak mempan. Pernah diberi sanksi gaji tidak diberikan, malah mengancam dengan parang, meneror keluarga bendahara dinas, atau bahkan mengancam akan membakar rumah. Seperti itulah perilaku buruk itu berkembang dan terus-menerus berulang, sulit diperbaiki. Kondisi tersebut semakin rumit karena sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang masih terhitung kerabat dekat para petinggi. Ya, nepotisme yang begitu kental membuat situasi semakin tidak kondusif. 

Sebenarnya kalau pemda turun tangan langsung, mungkin hal seperti itu bisa dikurangi. Namun itulah, tidak terlalu mudah untuk mendapatkan komitmen Pemda dalam urusan mengendalikan perilaku guru. Apa lagi kalau sudah menjelang Pemilu dan Pilkada. Urusan yang lain jadi terabaikan, termasuk urusan pendidikan dengan segala ikutannya.

Prihatin. Itulah selalu yang saya rasakan setiap kali mendengar cerita tentang etos kerja guru di wilayah 3T. Tidak di Sumba Timur, Talaud, Maluku Barat Daya, Aceh Singkil, dan di Papua, etos kerja sebagian besar guru sangat mengenaskan. Entah bagaimana mengubah perilaku buruk itu. Guru-guru SM-3T pun tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya berusaha menampilkan kinerja terbaik, agar bisa menjadi motivasi dan contoh bagi guru-guru yang lain. Kalau pun itu tidak berhasil, setidaknya, kelas tidak sering kosong, anak-anak selalu ada yang mengajar, dan semangat belajar bisa dibangun. 

"Kami tidak peduli lagi, ibu, guru-guru itu mau datang atau tidak. Yang penting kami mengajar, melaksanakan tugas sebaik-baiknya." Begitu kata guru-guru muda itu. "Kasihan anak-anak yang sudah datang ke sekolah, padahal mereka dari segala penjuru, yang jaraknya tidak dekat. Medannya sulit lagi..."

Sering terpikir di benak saya, kapan daerah 3T bisa maju, kalau orang-orangnya sulit dan bahkan resisten untuk diajak berubah? Menurut data, pada tahun 2012, secara Nasional, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Barat berada di peringkat 29, dan IPM Provinsi Papua menempati urutan 33 dari 33 provinsi di Indonesia. Melihat permasalahan Papua sebagai provinsi dengan status otonomi khusus yang dimilikinya, harus ada program khusus juga untuk orang asli Papua agar memperoleh peluang dalam mencapai derajat yang sama dengan masyarakat di provinsi yang lain. Program khusus tersebut saat ini sudah bergulir, yang disebut sebagai Program Afirmasi. Tujuan program ini adalah  untuk mengurangi kesenjangan antara Jawa dan Papua. Nama program tersebut adalah Program Afirmasi Pendidkan Menengah (ADEM) dan Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Program-program semacam ini, tentu saja akan sangat membantu percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat, dan diharapkan akan terus berlanjut. Namun tetap saja, etos kerja para pelaku pendidikan di sanalah yang menjadi kuncinya. 

Kehadiran para guru SM-3T  hanyalah setahun, dan akan diperpanjang lagi dengan kehadiran para penggantinya bila program berlanjut. Ibarat sapuan kuas di atas kanvas, warna-warna yang mereka goreskan pada jiwa anak-anak didik, lama-lama akan pudar ditelan waktu, tanpa adanya penguatan dari guru-guru asli Papua. Transformasi kultur yang mereka sudah lakukan, akan hilang karena tidak mendapatkan dukungan. Sepulangnya mereka dari sana, anak didik akan kembali pada dunia yang sama sebelumnya. Dunia yang tidak memberi cukup keleluasaan bagi mereka untuk mengembangkan potensi, tidak memberikan ruang untuk berkreasi, dan bahkan tidak memberikan peluang bagi mereka untuk menjadi diri sendiri. Dunia yang penuh dengan tekanan, miskin figur panutan, dan kurang menghargai pendidikan.

Papua, mari maju bersama, demi generasi yang lebih berdaya....

Ilugwa, Mamteng, Papua, 2 April 2014

Jumat, 04 April 2014

Mamteng 4: Bendera-Bendera Partai, Wah Wah Wah.....(2)

Sepanjang perjalanan menuju Ilugwa, saya lebih banyak menikmati alam dan mengabadikannya dengan  tablet saya. Saya juga sibuk mengusili Lani yang kebetulan suka bercanda.
"Kakak, kenapa pilih jalan yang jelek begini? Pilih jalan yang baik to?"
Laki-laki 38 tahun itu tertawa. 
"Pilih jalan yang lurus-lurus saja, Kakak." Tambah saya.
"Yang lurus-lurus? Jadi ini lurus saja?" Dia menunjuk jalan berkelok-kelok di depannya. "Ini lurus saja?"
Kami seisi mobil tertawa sekaligus ngeri.
"Jangan Kak Lani, kasihan anak istri Kakak di Rumah." Kata Bu Lucia.
"Siapa tadi yang minta jalan lurus? Saya ikut saja to?"

Saya juga belajar sedikit-sedikit Bahasa Wamena. Satu, dua, tiga dan empat. Ambi, bere, bereambi, bereum bereo. Saat saya tanya apa untuk 'lima', Lani bilang "tidak ada lima, hanya sampai empat saja". Wah, jawaban ini jelas membuat saya penasaran. Lani mencoba menjelaskan, tapi terus-terang, entah karena lafal Lani yang kurang jelas, atau telinga saya yang tidak normal, saya tidak bisa memahami penjelasan Lani.

Tiba-tiba Lani menghentikan mobilnya. "Kenapa berhenti, Kakak?"
"Kita su sampai di perbatasan. Harus singgah dulu." Lani turun dari mobil. Kami semua mengikutinya.

Ternyata kami sudah tiba di perbatasan Jayawijaya-Mamteng. Di sebuah jalan yang agak lebar, yang di sisinya kita bisa parkir mobil dan duduk-duduk melepas penat setelah terkocok-kocok selama dua setengah jam lebih di dalam mobil. Namun alih-alih melepas penat dengan duduk-duduk, kami semua memilih memandangi suguhan alam yang begitu mempesona. Bukit-bukit yang indah, berpadu dengan langit Papua yang biru. Udara dingin dan sejuk melengkapi keindahannya. Kalau ada yang menganggu pemandangan indah itu, maaf, adalah bendera-bendera partai yang berbaris di salah satu sisi jalan.

Bendera-bendera partai memang menjadi pemandangan yang tak terpisahkan dari alam Papua sejak kami memulai perjalanan dari Wamena. Bendera-bendera itu, dengan warna-warninya yang beragam, berkibar-kibar ditiup angin, sekali lagi, maaf, menjadi sesuatu yang dalam pandangan saya, menodai keaslian alam. Barisan itu begitu asing di tengah-tengah kehijauan, kerimbunan, kemurnian, dan keaslian alam, masyarakat dan budayanya. Mungkin karena saya menyukai segala hal yang natural, melihat bendera-bendera bertebaran di mana-mana seperti itu, maaf lagi, sangat-sangat mengganggu kenikmatan saya dalam mengakrabi alam. Mereka sama sekali tidak menyatu dengan lingkungan.

Tapi tentu saja saya tidak bisa menyalahkan keadaan tersebut. Menjelang pesta demokrasi, semua partai sedang giat-giatnya melakukan sosialisasi, kampanye, dan berbagai upaya untuk menarik simpati masyarakat di mana pun. Pembelajaran politik sedang berlangsung. Meski, sejujurnya saya ragu, apakah masyarakat belajar sesuatu dari proses tersebut.

Bagi orang-orang pedalaman yang masih primitif ini, saya yakin, ini hanyalah saat di mana mereka bisa melihat hiburan berupa konvoi-konvoi dan yel-yel, panggung yang penuh pesta-pora, dan juga bagi-bagi hadiah berupa sembako dan bahkan rupiah, karena 'kebaikan hati' para aktor politik. Tidak hanya di pedalaman, bahkan di kota-kota besar pun, saya nyaris tidak bisa melihat ada sebuah proses pembelajaran politik, saat orang-orang baik itu tiba-tiba blusukan ke pasar-pasar membagikan sembako dan rupiah, menyapa para WTS di lokalisasi, bersalam pada para pasien di rumah sakit, bersurat pada masyarakat memohon doa restu, bersilaturahim ke para tokoh, menebar pesona di televisi, dan menyapa orang-orang dari lapisan mana pun dengan kata-kata manis penuh gula-gula. Saya justeru sedang menyaksikan sebuah sandiwara di panggung besar dengan para aktornya orang-orang besar dan melihat betapa besar hati, jiwa dan cita-cita mereka. Begitu besarnya sampai tak terbayangkan bagaimana mewujudkan semua itu.

Hanya selang beberapa menit kami berada di tempat itu, satu per satu tiba-tiba muncul para mama, papa, anak-anak, dari segala penjuru. Mereka bergerak pelan-pelan, beringsut mendekati kami, tersenyum malu-malu. Kami mengulurkan tangan, menjabat tangan-tangan mereka. Tangan-tangan itu, begitu kasar, kotor, dan di beberapa bagian ada luka. Baju mereka kotor, tubuh mereka kotor, sebagian dari mereka, hidungnya beringus. 

Dada saya sesak. Inikah orang-orang penghuni alam indah ini? Inikah pemilik kebun keladi, buah merah, sarang semut, dan segerombolan babi itu? Inikah mama-mama dan papa-papa yang merawat anak-anak ingusan itu setiap hari? Bagaimana mungkin mereka mengajarkan mengeja huruf A, B, C dan berhitung? Bagaimana mereka mengajarkan tentang hidup bersih dan sehat? Bagaimana mungkin?

Saya bersimpuh di sisi seorang anak berambut keriting yang menatap saya dengan takut-takut. Mata hitam dan bulunya yang lentik mengerjap-ngerjap. Saya lemparkan senyum termanis saya, dan mengulurkan sebuah gula-gula ke arahnya. Tangannya mengulur, sejenak setelah menyeka ingusnya. Diterimanya gula-gula itu. Pendar-pendar di matanya semakin indah. Jauh lebih indah dibanding lambaian bendera warna-warni di atas kepalanya. Begitu murni, begitu jujur, begitu bersahaja.

"Wah wah wah...."
Kata-kata itu meluncur dari para mama, papa, dan anak-anak itu saat kami membagikan wafer, gula-gula, dan sosis. "Wah" artinya terima kasih. Kalau kata-kata itu diulang-ulang, artinya terima kasih yang sangat dalam. Menurut Bu Perty, "wah" adalah bahasa asli daerah pegunungan, meliputi Wamena, Jayawijaya, Mamteng, Tolikara, Yalimo, Lani Jaya, Nduga, Yahokimo, Pegununan Bintang, Puncak, dan Pucak Jaya.

Sosis. Untuk jenis makanan yang terakhir ini, saya khawatir kami telah salah pilih. Kami telah menjadi korban iklan dan membelikan sosis yang tinggal makan itu untuk anak-anak pedalaman ini. Saya lupa jangan-jangan mereka tidak tahu ini makanan apa bukan, sementara mereka melihat televisi saja tidak pernah. Kalau gula-gula dan wafer, saya yakin, mereka tahu itu makanan enak. Tapi sosis? Itu selera anak-anak kota. Sangat kota. Jangan-jangan anak-anak ingusan ini malah tidak doyan sosis-sosis itu. Keladi dan ikan sungai pasti lebih nikmat dibanding gulungan-gulungan daging kenyal beraroma asap itu. 

Kami bersama orang-orang ramah itu beberapa saat. Lani dan Wakela memberikan rokok ke para papa. Saya dan teman-teman hanya sibuk melempar senyum saja pada mereka dan mengangguk-angguk ketika mereka mengatakan "wah, wah, wah." 

Ketika berpamit, kami kembali menyalami mereka. Menjabat erat tangan-tangan mereka meski tangan itu kotor, kasar dan penuh luka. Kami ingin, jabat erat tangan-tangan kami mampu mewakili kehangatan dan persaudaraan yang kami ingin tawarkan. Melalui sorot mata mereka, senyum mereka, saya tahu, mereka memahami maksud kami, menerima ketulusan kami. 

Kami memasuki mobil. Bersiap menuju Ilugwa. Mereka melepas kami dengan senyum manis. Menunjukkan gigi-gigi mereka yang sama sekali tidak putih. 

"Yogo....yogo..." Mereka melambai. Kami membalas lambaian mereka.
"Mereka bilang apa, Kak?" Tanya saya pada Lani.
"Yogo, artinya daah..."
Spontan saya melongokkan kepala ke arah orang-orang itu, melambaikan tangan dan berteriak. "Yogo, yogo...."

Sampai jumpa di Ilugwa....

Mamteng, 2 April 2014. 

Wassalam,
LN 

Kamis, 03 April 2014

Mamteng 3: Menyusuri Jayawijaya (2)

Tepat pukul 09.10 WIT, Trigana Air yang kami tumpangi mendarat mulus di Wamena. Meski cuaca buruk menemani hampir sepanjang perjalanan, udara sejuk Wamena menepis kecemasan. Wajah-wajah khas dengan aksesoris khas itu bertebaran di lapangan bandara, seperti menyambut kedatangan kami. Para lelaki dengan topi berhias bulu unggas yang memutari kepala, atau bertopi benang rajutan warna-warni. Para perempuan dengan noken-noken besar yang indah menggantung di kepala atau di leher menutupi tubuh bagian depannya. Sungguh artistik.

Bandara Wamena penuh oleh orang yang menjemput dan orang yang akan berangkat serta para pengantar. Mereka bergerombol di luar pagar dan di dalam bangunan yang sebagian masih semi permanen. Tidak terbayang di benak saya, Wamena yang merupakan salah satu tempat destinasi wisata favorit, baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara itu, memiliki bandara yang, maaf, seburuk itu. 

Ibu Perty, staf Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberamo Tengah, yang ada di antara kerumunan para penjemput, melambaikan tangannya, menyambut kami. Senyumnya merekah, ramah. Rambut ikalnya yang di-rebounding membuat penampilannya jauh berbeda dibanding saat beliau hadir ke Kodikmar Surabaya dalam rangka memberi materi pada kegiatan Prakondisi SM-3T angkatan ketiga, beberapa bulan yang lalu. Namun kehangatannya tak berubah, dengan sepenuh hati dia memeluk saya dan bu Lucia.

Bu Perty meminta Ibu Yapina, PJS Kepala Sekolah SMPN Ilugwa, yang turut menjemput kami, mengantarkan kami ke mobil. Sementara beliau dan mas Beni akan mengurus bagasi. 

Kami keluar dari bandara. Sederetan ibu penjual komoditi khas Papua menarik perhatian. Sebagai daerah pegunungan, Wamena kaya akan hasil bumi. Jeruk, markisa, terung Belanda, apokat, kelapa hutan, sarang semut, bunga plastik, dan tentu saja, buah pinang. Semua komoditi itu berjajar di luar pagar bandara. 

Kami membeli sedikit kelapa hutan, sekadar supaya tahu seperti apa rasanya. Buah yang mirip kayu kecil-kecil dan lonjong itu memiliki daging di bagian dalamnya yang rasanya perpaduan antara kelapa dan kenari. Gurih.

Bunga plastik, bukanlah bunga yang dibuat dari plastik. Itu jenis bunga, yang setahu saya sebangsa aster, dengan warna-warna cerahnya yang sangat beragam, dihimpun begitu saja dalam sebuah gulungan kertas. Dinamakan bunga plastik mungkin karena saking tahan lamanya bunga-bunga itu, tidak kunjung layu.  

Saya memilih membeli beberapa buah gelang khas Papua yang dibuat dari bahan kulit kayu. Biasa, memenuhi pesanan suami tercinta. Saya langsung mengenakannya di pergelangan tangan kanan. Jadilah kedua pergelangan tangan saya penuh dengan aksesoris. Sesampai di Surabaya nanti, gelang-gelang ini akan segera pindah ke tangan pemilik yang sebenarnya.

Ibu Yapina yang kecil mungil adalah tipikal orang Papua. Kulitnya hitam, rambutnya keriting, dan yang unik, meski perempuan, beliau memiliki cambang dengan rambut keriting halus di dagunya. Pembawaannya ramah, gerakannya cekatan, dan beliau akan menemani kami selama perjalanan menuju SMPN Ilugwa, tempatnya bertugas. Di sana ada lima guru SM-3T, anak-anak kami.

Mobil yang membawa kami adalah mobil Strada, double gardan. Supirnya, Lani, seorang laki-laki yang aslinya dari Distrik Bugi, Kabupaten Jayawijaya. Dia dari suku Walat, nama marganya Mongkar. Posturnya tinggi besar, kulitnya hitam legam, rambutnya yang panjang dijalin besar-besar menyerupai tambang. Lani mengenakan kaus dan sweater abu-abu, bercelana jeans yang sobek di kedua lututnya, berkaus tangan hitam. Meski penampilannya terkesan sangar, dia sangat ramah.

Rekan Lani, yang jadi kondekturnya, bernama Wakela. Rambutnya juga dijalin, tapi jalinannya kecil-kecil. Wajah hitamnya sangat manis. Tidak seperti Lani yang lebih terbuka, Wakela yang murah senyum itu terkesan pemalu. Usianya lebih muda dari Lani. Satu suku, tapi beda marga. Wakela dari marga Siyep. 

Saya menggoda Lani dan Wakela. "Bolehkah saya minta rambutnya satu-satu saja untuk saya bawa pulang ke Surabaya? Lani satu jalin, Wakela satu jalin? Mau saya pigura."
Mereka tertawa lebar. "Tuhan bisa marah nanti, ibu." Kata Lani.
"Mintalah izin pada Tuhan, boleh?"
Mereka tertawa saja dan saya yakin apa pun yang terjadi, mereka tidak akan memberikan satu jalin pun rambut mereka untuk saya.

Sebelum memulai perjalanan menuju Ilugwa, kami mampir ke rumah makan di dekat bandara, namanya rumah makan Banyumas. Seperti namanya, penjualnya adalah orang Banyumas. Menunya juga sangat Jawa. Sayur lodeh, oseng tahu tempe, mendoan, botok, ikan gurami, ikan kembung, oseng daun pepaya dan oseng bunga pepaya. Kedua makanan yang terakhir itu adalah menu khas di wilayah timur Indonesia seperti Papua dan Sumba.

Di mana-mana, penjual makanan dan barang-barang lain, hampir semua berasal dari luar Papua, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya. Tanah-tanah di kota juga dikuasai oleh para pendatang. Pemilik aslinya, yaitu orang-orang asli Papua, sudah menjualnya pada para pendatang itu. Mereka hanya berpikir pendek. Dapat uang banyak, lantas memilih hidup di dekat danau, pantai, gunung-gunung dan hutan. Tidak terpikirkan pada benak mereka, bahwa tanah yang mereka lepas, dalam waktu sekejap akan naik tiga empat-kali lipat harganya dibanding harga waktu mereka jual. Selanjutnya mereka lebih banyak sebagai penonton dan termarginalkan dari arus modernisasi. Mereka tetap menjadi komunitas yang bodoh, tidak berpendidikan, miskin, dan tak tersentuh oleh kemajuan zaman.

Perjalanan menuju Ilugwa adalah perjalanan yang sangat menakjubkan. Papua menyimpan keindahan yang luar biasa, tidak hanya dari alamnya, namun juga budaya masyarakatnya. Warna-warni etnik bertaburan: perempuan-perempuan bernoken, lelaki-lelaki bertopi khas, berkoteka, tubuh mereka penuh lukisan, anak-anak dan para remaja dengan rambut modisnya ala Papua. Berpadu dengan alam yang berlembah, berhutan, berbukit-bukit, bergunung-gunung. Juga rumah-rumah adat 'honai', yang menyerupai gundukan-gundukan jamur raksasa. Indah dan menawan. Saya berkali-kali mengucap tasbih dan takbir menyaksikan mahakarya Sang Khaliq yang begitu menakjubkan. Mata saya terasa berkabut diliputi keharuan. Betapa kecilnya kita, manusia, dan semua makhluk-Nya. Betapa tak berartinya kita di tengah alam yang maha luas ini.  

Distrik Ilugwa berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Wamena. Untuk mencapainya, kita harus menyusuri Jayawijaya sepanjang lebih dari dua setengah jam. Meski ada banyak jalan beraspal, tapi kondisi jalan menuju Ilugwa lebih banyak yang berbatu-batu, berlumpur, dengan kedalaman yang hanya mungkin ditembus oleh mobil double gardan, berkelok-kelok dan naik turun dengan sangat tajam. Di Sumba saja, mobil semacam Panther Touring masih bisa digunakan untuk menembus pelosoknya. Di sini, mobil-mobil semacam itu akan 'nyerah'. Tidak heran kalau di mana-mana terlihat mobil-mobil double gardan. Hanya mobil seperti itulah yang paling layak untuk mengakrabi alam Papua, khususnya untuk menyusuri Jayawijaya dan mencapai Mamberamo Tengah.

Di mobil, saya duduk di sebelah Lani yang memegang kemudi. Di belakang saya adalah Pak Prapto, Bu Lucia dan Pak Beni. Di belakang, di bak yang terbuka itu, duduk bu Perty dan bu Yapina. Kedua perempuan itu tidak mau duduk di jok tengah meski kami paksa. Nampaknya mereka sudah sangat terbiasa menempuh perjalanan jauh dengan menumpang mobil bak terbuka. Mereka justeru mengkhawatirkan keadaan kami semua dan memastikan kami duduk di dalam, terlindung dari panas dan hujan, agar tidak masuk angin.
  
Sepanjang perjalanan menyusuri Jayawijaya, selain pemandangan alam dan masyarakatnya yang kami nikmati, kami juga berkali-kali berpapasan dengan binatang yang khas, yang hampir selalu ada di wilayah timur Indonesia. Ya, babi dan anjing. Menurut Lani, bagi masyarakat Papua, babi hukumnya wajib. Persoalan apa pun diselesaikan dengan babi. Urusan apa pun dipastikan ada babi. Kata Lani,  "Kalau orang tidak punya babi, berarti dia bukan manusia." 

Alam Jayawijaya mirip sekali dengan Sumba Timur kalau dilihat dari bukit-bukit dan kondisi jalannya. Bedanya, Jayawijaya tidak memiliki padang sabana seluas Sumba Timur. Tidak ada kuda-kuda juga. Karena daerah pegunungan, Jayawijaya juga tidak memiliki pantai-pantai yang indah. Namun ada sungai yang cukup panjang dan cukup menawan, karena letaknya yang menghampar di bawah perbukitan dan pegunungan yang hijau dan biru. Bedanya lagi, kondisi jalannya jauh lebih ekstrim, namun naik-turun dan kelok-keloknya yang mengular menyerupai jalan-jalan di Sumba. 

Pohon buah merah, buah yang terkenal untuk mengobati segala macam penyakit itu, bertebaran di sepanjang jalan. Pohonnya mirip dengan pohon kelapa hutan, tapi lebih jangkung dan daunnya lebih panjang. Bunga-bunga di sepanjang jalan juga membuat suasana sejuk menjadi terasa hangat dan cerah.

Lani, supir kami, ternyata memiliki empat anak. Istrinya dua. Satu di kampung, satu di kota. Papa Lani adalah kepala suku, isterinya delapan belas. Mama Lani  merupakan istri kesebelas. Kata Lani, kepala suku istrinya tidak pernah sedikit. Di mana-mana ada istrinya. 
"Apa Kakak Lani juga akan punya banyak istri?" Tanya saya.
"Ya, kalau nanti mahkota papa  pindah ke saya, saya harus punya banyak istri. Seperti itu sudah...."

Saya mahfum. Inilah budaya. Babi menjadi binatang yang sangat berharga, bahkan seringkali lebih berharga dari nyawa manusia. Jumlah istri menjadi simbol kekuasaan bagi masyarakat khususnya para tetua adat dan kepala suku. Budaya seperti ini tentu saja tidak selalu berterima di tempat lain. Terutama pada masyarakat yang budayanya sudah lebih maju dan modern.

Kami terus melaju. Sebentar lagi kami akan mencapai perbatasan Jayawijaya-Mamteng. Di sana, kami bermaksud beristirahat sebentar, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Ilugwa. 

Jayawijaya, 2 April 2014. 13.30 WIT

Wassalam,
LN

Selasa, 01 April 2014

Mamteng 1: Menyapa Jayapura

Akhirnya, tepat pukul 13.40 WIT, pesawat Garuda yang kami tumpangi mendarat di Bandara Sentani. Panas menyengat langsung menyambut kami begitu kami keluar dari pesawat. Kami, adalah pak Suprapto (Ketua Tim Perencanaan dan Pengembangan/TPP), pak Beni Setiawan (Sekprodi Pendidikan Sain), bu Lucia Tri Pangesthi (tim ahli PPG, koordinator Program KKT), dan saya sendiri. Kami adalah tim monev SM-3T yang akan bertugas ke Mamberamo Tengah (Mamteng).

Berempat kami berangkat dari Bandara 2 Juanda pada pukul 05.10 WIB tadi pagi. Menumpang pesawat Garuda tipe Bombardier, turun di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar, transit sekitar satu jam. Sekitar pukul 08.50 kami bertolak ke Jayapura menumpang Garuda lagi. 

Begitu sampai di tempat pengambilan bagasi, saya langsung meminta mas Beni untuk menyewa porter. Bagasi kami cukup banyak, ada sembilan koli. Selain musti menghemat tenaga untuk empat lima hari ke depan dalam rangka menjelajahi pelosok Mamteng, menyewa porter kami niatkan sebagai cara berbagi rezeki juga pada para pekerja keras itu.

Sentani yang panas semakin panas dengan 'serangan' para supir taksi di teras bandara. Saya membiarkan mas Beni bernego dengan salah seorang supir taksi. Begitu keduanya saling bersepakat, porter mengangkat semua bagasi kami ke sebuah mobil Avanza putih. Supirnya berpostur tinggi jangkung, berkulit hitam, berambut keriting, berkalung dan bergelang monel. Matanya besar dan agak kecoklatan.

Saya duduk di depan, di sebelah supir, sedang mas Beni dan kawan-kawan duduk di jok tengah. Bagasi kami semuanya ada di jok belakang.

John, nama supir itu, berasal dari Ambon. Saya pikir dia asli Papua. Memang susah membedakan orang asli Papua dengan orang asli Ambon. 'Cetakan' keduanya sangat mirip.

"Wah, orang Ambon? Berarti pinter nyanyi dong..." Kata saya pada John. Dia tersenyum, tipis. Mahal banget senyumnya. Saya mencoba-coba mencari keramahan di wajahnya. Tidak menemukan. Tapi pandangan matanya menyiratkan kalau dia dapat dipercaya dan siap membantu.

Kami diantar John ke Hotel Ratna, setelah mencoba ke hotel lain, tapi tidak cocok karena bau rokok di kamar hotel itu membuat kami susah bernafas. Bagi saya dan mas Beni, ini adalah kedatangan kedua kami di hotel yang hanya berjarak beberapa kilometer dari bandara ini. Pertengahan September tahun lalu, kami juga menginap di hotel ini saat mengantar anak-anak kami, para peserta SM-3T, yang akan bertugas di Mamberamo Raya dan di Mamberamo Tengah. Saya sendiri seperti sedang 'napak tilas' jejak-jejak kami beberapa bulan yang lalu bersama teman-teman pendamping dan para peserta.

Siang sampai sore ini, kami hanya punya satu agenda: tidur. Bangun kami terlalu awal pagi tadi, karena sebelum pukul 04.00 kami harus sudah berada di Bandara Juanda untuk check in. Saya sendiri, seperti biasa, masih sempat menyiapkan menu makan pagi dan membuatkan jus jambu biji untuk anak bojo. Itulah kalau jadi ibu rumah tangga yang sok rajin. Rasanya ada yang aneh kalau pergi keluar rumah di pagi hari tanpa menyiapkan menu sarapan lebih dulu. Konsekuensinya, saya harus bangun 'mruput'.  

Kami beristirahat sampai sore di kamar hotel yang lumayan nyaman dan sejuk. Sekitar pukul 17.00, kami baru bangun. Tidur kami adalah tidur yang lelap dan menyehatkan.

***
Selepas magrib, kami berkendara menyusuri jalan menuju Jayapura. Mobil yang membawa kami adalah mobil yang sama, Avanza putih. Tapi supirnya bukan John, melainkan rekannya. Namanya sebenarnya Safrun, tapi dia lebih sukan dipanggil Juan. Juan adalah anak laki-lakinya yang saat ini berusia tiga tahun.

Kami hanya ingin melihat-lihat Jayapura saja. Meski malam sudah jatuh sempurna, kami masih bisa melihat bukit-bukit dan danau-danau. Juga menikmati makan malam yang lezat di sebuah pujasera di dekat GOR Jayapura.

Juan adalah supir yang ramah dan cukup lihai jadi pemandu. Dia menjelaskan hampir setiap tempat yang kami lewati. Dia juga bercerita tentang perseteruan antara 'orang pantai' dan 'orang gunung' yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Meski perseteruan itu sudah agak mereda setelah ada perjanjian yang ditandatangani oleh 'orang gunung', namun itu tidak berarti stabilitas keamanan di Jayapura dan sekitarnya selalu terjamin. 

Juan juga bercerita tentang keluarganya. Istrinya adalah perawat, berasal dari Timor, keturunan Timor-Jawa. Juan sendiri, keturunan Papua-Sulawesi. Juan beragama Islam seperti mamanya, sedangkan kakaknya beragama Kristen seperti papanya. Istrinya, namanya Maria Margareta, juga beragama Islam, meski papanya beragama Kristen. Juan sekeluarga merayakan natal sekaligus hari raya Idul Fitri setiap tahun bersama keluarga besarnya. Dari caranya bercerita, nampak sekali betapa Juan menikmati keragaman dalam keluarga besarnya itu dan menghayatinya sebagai sebuah berkah.

Masa SD dan SMP Juan dihabiskan di Kendari, daerah asalnya. Sejak SMA, dia mengikuti keluarganya yang hijrah ke Sentani untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ternyata benar. Papua lebih memberi harapan secara ekonomis dibanding Kendari. Menurut Juan, biaya hidup di Kendari murah, tapi cari uang susah. Di Jayapura, semuanya mahal, tapi cari uang gampang. Itulah sebabnya, orang tua Juan akhirnya memilih bermukim di  Jayapura sampai saat ini.

Dari Jayapura, kami kembali ke Sentani, sambil mendengarkan cerita Juan, dan melihat-lihat suasana jalanan di malam hari. Kami juga menyempatkan mampir di sebuah supermarket untuk membeli permen, biskuit, dan wafer, untuk kami bagikan pada anak-anak sekolah di pelosok Mamteng besok. 

Cukuplah menyapa Jayapura malam ini. Besok, sekitar pukul 06.00, kami akan bertolak dari Bandara Sentani menuju Wamena dengan menumpang Trigana Air. Dari Wamena, kami akan langsung menempuh perjalanan darat ke Distrik Illugwa. Besoknya, ke Distrik Eragayam dan Kelila. Perjalanan masih panjang, namun semoga tidak melelahkan.

Selamat malam, selamat beristirahat.

Sentani, 1 April 2014. 11.49 WIT.

Wassalam,
LN

Jumat, 20 September 2013

Mamberamo (9): Bersama Pilatus Membelah Angkasa

Pagi hari, pukul 07.30, kami meninggalkan rumah dinas Bapak Isak Torobi, Kepala Dinas Dikpora. Setelah menikmati makan pagi nasi putih dan mi instan rebus. Selama dua hari dua malam kami tinggal di rumah papan berukuran sekitar 7 x 13 meter itu. Rumah itu letaknya berhadapan dengan kantor dinas dikpora, hanya di seberang jalan saja.

Rumah dinas pak kadis itu memiliki satu ruang tamu, dua kamar, sebuah ruang makan, dapur dan kamar mandi. Tanpa televisi, tanpa lemari es, tanpa AC. Tidak ada mobil dinas atau mobil pribadi. Jangan bayangkan sofa besar di ruang tamu, atau meja makan besar di ruang makan. Juga jangan bayangkan kompor gas dan kitchen set di dapurnya. Itu semua tidak ada. Kecuali perabot dan peralatan yang sederhana. Tempat tidur pun berupa kasur busa yang langsung digelar di atas karpet plastik. Kendaraan satu-satunya adalah sebuah sepeda motor yang tidak lagi baru.

Itulah profil kepala dinas pendidikan di Mamberamo Raya. Tidak bergelimang harta dan barang-barang mewah. Kepala sekolah, guru, sama. Bahkan saat kami baru turun dari speedboat kemarin sore, para kepala sekolah ikut menjemput kami dengan sepeda motornya, dan membantu mengangkat barang-barang kami. Tak terfikir bahwa mereka adalah para kepala sekolah, saking sederhana dan 'mau soro'nya mereka.

Di rumah pak kadis, saya dan Ferry tidur di kamar belakang. Dua kasur busa dihamparkan di kedua sisinya. Sedangkan mas Rukin, mas Joko, pak Julianto, bergabung jadi satu dengan pak kadis di kamar depan. Semua tidur di bawah, ditemani sebuah kipas angin untuk menghalau panas dan nyamuk.
Anak-anak kami para peserta SM-3T, sementara ditampung di sebuah bangunan dalam kompleks kantor diknas, sebelum mereka dijemput kepala sekolah masing-masing untuk dibawa ke tempat tugas. Sebuah rumah dengan tiga kamar, ruang keluarga, dan teras. Tanpa perabot. Bahkan selembar tikar pun tidak ada. Latihan awal untuk hidup serba kekurangan, sebelum mereka mencapai tempat tugas yang mungkin kondisinya akan jauh lebih memprihatinkan.

Para peserta SM-3T nantinya ditugaskan di beberapa distrik. Dari sembilan distrik, hampir semua menjadi tempat tugas. Tempat tugas terdekat dari Kasonaweja adalah Burmeso, tempat yang kemarin kami kunjungi, termasuk distrik Maberamo Hilir. Hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 10 menit dengan speedboat. Tempat tugas yang lain, tersebar di distrik Rufaer, Benuki, Sawai, Iwaso, Mamberamo Hulu, dan Mamberamo Tengah Timur serta Waropen Atas. 

Tidak ada yang mudah untuk mencapai tempat-tempat itu. Hampir semua tempat mengandung risiko untuk mencapainya. Semua harus menumpang speedboat. Di beberapa tempat, speedboat harus melintasi jeram-jeram berbahaya dengan tingkat kemiringan 60 derajat. Saya sesungguhnya ketir-ketir dan ngeri dengan kondisi tersebut. Tapi bismillah, saya harus yakin Allah SWT akan melindungi perjalanan mereka dan memudahkan mereka dalam melaksankan tugas pengabdian mulia itu.
Mamberamo Raya terkenal dengan nyamuk malarianya yang ganas-ganas. Oleh sebab itu, selain obat malaria, para peserta juga kami bekali dengan kelambu. Selain itu, banjir juga menjadi langganan tahunan. Sekali hujan, seluruh negeri tergenang, begitulah kata pak kadis. Maka para peserta juga kami bekali dengan sepatu boot untuk mengantisipasi medan dan banjir.

Pak Kadis juga bilang, nyamuk di Mamberamo Raya adalah teman cerita yang setia. Saking setianya, waktu kita sedang menikmati makan pun, mereka maunya ikut menikmati, sehingga suatu ketika kita harus makan di dalam kelambu. 

Selain malaria, penyakit kaki gajah juga menjadi ancaman serius. Maka kemarin para peserta sudah ke puskesmas setempat untuk mendapatkan vaksin filaria. Gratis, tidak bayar. Keberadaan puskesmas pembantu di setiap distrik sangat menolong masyarakat dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit, termasuk malaria dan kaki gajah yang merupakan penyakit endemik. Sayang kesadaran mereka untuk memanfaatkan keberadaan puskesmas belum optimal. Ditambah lagi dengan kebiasaan hidup dan kebersihan lingkungan yang masih jauh dari standar kesehatan, membuat malaria dan kaki gajah, juga penyakit kulit, seperti menjadi penyakit langganan. 

Adat-istiadat di Mamberamo Raya masih sangat kuat. Adat kematian, disebut kon, merupakan tradisi penduduk asli, yaitu menanam mayat anggota keluarganya di para-para, di atas panggung rumah khusus. Mayat itu akan diletakkan di situ selama sekitar 4-6 bulan, sampai dagingnya hilang. Sementara itu, pihak keluarga akan mengumpulkan biaya untuk melaksanakan prosesi penguburannya. Setelah penguburan, pesta kematian (kon) akan diselenggarakan dengan acara pokok makan dan berdansa selama dua malam, dengan diiringi alat musik tifa dan suling.  

Adat yang lain adalah pesta adat perkawinan (henem). Pada pesta adat henem, keluarga perempuan mengantar makanan seperti sagu, babi dan makanan lain yang biasa dimakan. Makanan ini dinikmati dalam pesta lajang, dilengkapi dengan dansa, sebagai tanda perpisahan dengan teman-teman yang lajang. Saatnya untuk memenuhi kewajiban, berbakti pada keluarga.

Masih banyak adat istiadat yang lain, termasuk kawin tukar dan kawin masuk. Apa pun, setiap pendatang, termasuk para guru SM-3T, harus menyesuaikan diri. Tidak harus larut dalam tradisi yang menurut pandangan mereka kurang baik, namun pepatah 'di mana bumi dipijak, langit dijunjung', harus mereka maknai sebijaksana mungkin.

Air juga tidak tersedia dengan mudah. Tentu saja tidak ada air PAM. Mereka menampung air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Setiap hari, Papua nyaris tidak pernah tidak hujan. Air itulah yang mereka manfaatkan, selain air sungai yang dijernihkan. 

Ada ungkapan khas di Mamberamo Raya: 'hujan sungguh mati, panas sungguh mati'. Menandakan hujan yang tak pernah absen setiap hari dan bahkan hampir selalu mengakibatkan banjir tahunan. Sekaligus, karena Mamberamo Raya menghampar di atas batubara, maka panasnya luar biasa. Pagi sekitar pukul 07.00 sudah membuat orang berkeringat kepanasan.

Bank hanya ada di Kasonaweja, itu pun hanya Bank Papua. Jadi para peserta SM-3T mau tidak mau harus membawa sejumlah uang dalam bentuk tunai, karena di tempat mereka ditugaskan tidak ada bank atau ATM. 

Harapan kami, para guru muda itu mampu bertahan hidup dalam kondisi serba kekurangan. Seperti kata pak kadis sewaktu presentasi di Kodikmar: "nikmati apa yang ada dengan segenap hati. Kalau sudah sampai di medan, pasti kalian bisa. Bukankah kalian datang untuk mencerdaskan orang lain? Kalau kalian mau orang lain cerdas, kenapa kalian tidak bisa membahagiakan diri sendiri?" Beliau juga mengatakan: "sebagai seorang guru, keberhasilan siswa akan menjadi kebanggaan kita seumur hidup. Jadi jangan takut susah. Lagi pula, siapa suruh kalian jadi guru?"

Yang menghibur hati dari sekian banyak 'kemalangan' adalah, Mamberamo Raya bukanlah wilayah yang rawan konflik. Tidak seperti di Timika. Kehadiran guru di sana sangat dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan. Guru, mendapat tempat khusus di hati masyarakat, karena mereka datang untuk mencerdaskan anak-anak Papua sebagai anak-anak bangsa.

Baiklah, kembali ke rencana pulang hari ini. Siang terik, panas sekali. Pukul 11.30. Saat pesawat kecil itu terbang rendah siap mendarat. Akhirnya, setelah menunggu sejak pukul 07.30, ada pesawat yang akan menerbangkan kami menuju Jayapura.

Sebenarnya kami dijadwalkan  menumpang Suzie air. Namun kabar yang diterima oleh pihak penerbangan, pesawat itu masih ada di Wamena, bersiap terbang ke Sentani, baru kemudian lanjut ke Kasonawaja. Wow, berapa lama lagi kami harus menunggu? Sementara tiket Garuda Jayapura-Surabaya kami sudah ok, dijadwalkan terbang pukul 14.20.

Kami tadi sudah kebat-kebit kalau pesawat kecil mungil itu tidak kunjung datang. Mas Nardi, petugas tiket kami mengabarkan, tiket dari Jayapura ke Surabaya untuk semua penerbangan sudah full-booked hari ini. Artinya, kalau kami ketinggalan Garuda siang ini, maka kami terpaksa harus pulang besok pagi.
Alhamdulilah, pada detik-detik kritis, pesawat kecil itu mendarat. Pesawat yang bernama Pilatus itu. Warna putih kombinasi biru. Saya belum pernah melihat pesawat yang lebih kecil daripada pesawat yang sekarang ada di depan mata saya ini, kecuali pesawat-pesawatan. Hehe...

Pilatus berpenumpang sepuluh orang plus seorang pilot. Dia memerlukan waktu sekitar 80 menit untuk mencapai Jayapura. Benar-benar pas waktunya. Begitu turun dari Pilatus nanti, kami musti bekerjaran dengan waktu untuk check in supaya tidak ketinggalan Garuda menuju Surabaya.

Beberapa jam sebelumnya, kami dan semua bagasi ditimbang sebelum naik pesawat. Mungkin karena kami dikawal terus dari dinas pendidikan, maka dengan pesawat apa pun, kami dijadwalkan terbang pertama. Maka menggeser-geser penumpang dan barang adalah pekerjaan yang memerlukan waktu cukup lama. 

Setelah semua barang ditata di bagian belakang badan pesawat dan di sayap-sayapnya, kami dipanggil satu per satu. Tempat duduk kami diatur sedemikian rupa supaya tetap menjaga keseimbangan pesawat selama terbang. Siapa duduk di mana, tidak bisa memilih tempat duduk. Pak Julianto, betapa beruntung dia, karena berat badannya paling berat, dia mendapat kehormatan duduk di sebelah pilot.

Siang itu, akhirnya, Pilatus mengudara. Membawa kami berlima bersama lima orang Papua. Aroma sirih pinang berbaur dengan dinginnya AC dalam pesawat. Melengkapi keindahan hutan belantara Papua dan sungai Mamberamo yang mengular, yang bisa kami nikmati dari atas. Papua memang luar biasa. Sebuah mutiara indah di ujung timur Nusantara. Tidak bisa tidak, apa pun harus dilakukan untuk tetap bisa memilikinya. 

Dan Pilatus pun terus membubung tinggi, membelah angkasa, melintasi mega-mega, menuju Jayapura. Membawa kami semua kembali kepada 'peradaban', kembali kepada rutinitas, kembali kepada perjuangan yang lain.....

Selesai...
Jayapura, 19 September 2013
Wassalam,

LN

Mamberamo (8): Ibu Kota Di Tengah Hutan

Burmeso. Kota inilah ibukota Mamberamo Raya yang lain, selain Kasonaweja. Berjarak sekitar 10 menit naik speedboat dari Kasonaweja. Karena berada di dua tempat, ibukota Mamberamo Raya sering disebut Kasomeso (Kasonaweja-Burmeso). 

Hari ini, setelah serah terima para peserta SM-3T kepada Bupati, dilanjutkan dengan pendatanganan MoU, serta sosialisasi kurikulum 2013 di mana saya sebagai pembicaranya; kami bergerak dengan speedboat menuju Burmeso. Tujuannya adalah mengantarkan dua peserta SM-3T yang ditugaskan ke SMP I Burmeso. Kedua peserta itu adalah Brian dan Fariz. Brian dari prodi pendidikan geografi, dan Fariz dari pendidikan matematika.

Cerita tentang bupati dulu. Orang kelahiran Kabupaten Sarmi itu, tinggi besar. Tentu saja, kulitnya hitam, rambut ikal, khas Papua. Namanya Demianus Kyeuw Kyeuw. Beliau adalah kakaknya bapak Julius, orang yang mengundang kami makan malam dengan menu papeda waktu transit di Sarmi tempo hari.

Hari ini, rasa penasaran saya terjawab. Saya jadi faham, kenapa para pejabat di Mamberamo Raya ini begitu takzim pada beliau. Orang itu tidak hanya ukuran bodi dan penampilannya saja yang membuatnya punya kharisma. Ketika beliau bicara tentang kondisi dan potensi Mamberamo Raya, tentang visinya terkait pendidikan nasional khususnya untuk Papua, dan kesan serta harapannya atas program SM-3T, meski berbicara dalam waktu yang cukup lama, kalimatnya sangat runtut, dan isinya sangat bermutu. Pantas saja beliau sangat disegani oleh para pejabat pemda. Intelek, berwawasan. 

Acara serah terima itu, selain dihadiri oleh bupati, juga dihadiri oleh ketua dewan adat, wakapolres, sekda 1 dan 2, pimpinan SKPD, sekretaris DPRD, dan tentu saja para kepala sekolah dan para guru. Mereka mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian dan  keceriaan. Acara sesekali dipenuhi dengan applaus dan tepuk tangan, mencerminkan suka cita mereka.  

Ketua Dewan Adat, laki-laki tua itu, begitu emosional saat menyampaikan sambutannya. Sambil mengepal-ngepalkan tangannya, beliau berteriak, namun dengan air mata berlinang: "Mamberamo Raya harus maju pendidikannya, sama dengan wilayah lain di Tanah Air. Guru-guru yang datang akan membatu torang punya sekolah-sekolah. Terima kasih karena Tuhan boleh mengirimkan guru-guru untuk membantu torang"  

Di Tanah di mana keberadaan hukum adat seringkali lebih dominan daripada hukum negara dan pemerintahan ini, maka kedudukan ketua dewan adat begitu disegani. Apa lagi para tetua adat pada umumnya adalah mereka yang turut berjuang demi berdirinya Mamberamo Raya sebagai kabupaten.
    
Mamberamo Raya menjadi kabupaten yang berdiri sendiri sejak 13 September 2007. Enam tahun yang lalu.  Merupakan pemekaran dari Kabupaten Sarmi dan Waropen. Infrastrukturnya masih jauh dari layak. Belum ada jalan beraspal. Bangunan-bangunan perkantoran masih sangat sederhana dan banyak yang masih pada tahap pembangunan. Lapangan terbang berlandas pacu jalan tanah yang dikeraskan dan bertabur kerikil. Rumah sakit, namanya Rumah Sakit Bergerak, nampak kalau masih baru. Mushola berukuran kecil yang ada di dekat lapter, sangat sederhana. Begitu juga bangunan-bangunan gereja. Satu-satunya BTS hanya telkomsel, itu pun tidak sepanjang hari lancar sinyal. Sinyal hanya ada di Kasonaweja dan Burmeso, di pusat kota. Sedikit saja keluar dari pusat kota, sinyal hilang lenyap tak berjejak. Listrik juga hanya ada di malam hari, sejak pukul 17.00 sampai pukul 05.30. Lumayan, dua belas jam bertabur terang. Tapi jangan tanya di luar kedua kota itu. Gelap gulita.  

Untuk menempuh perjalanan ke Burmeso, kami menggunakan dua speedboat. Speedboat yang satu tertutup, yang satu terbuka. Speedboat itu milik pemda sendiri. Saya, pak kadis, mas Rukin, pak Julianto, beberapa pejabat, dan dua peserta SM-3T yang akan ditugaskan di Burmeso, naik di speedboat tertutup. Kru JTV dan yang lain, di speedboat terbuka, supaya kru JTV leluasa mengambil gambar. Entah mengapa, ada dua polisi juga di speedboat kami, satu di belakang, satu di depan. Lengkap dengan senjata laras panjangnya.  

Di Mamberamo Raya ini, semua kepala dinas memiliki kendaraan dinas berupa speedboat, kecuali kepala dinas pendidikan. Padahal untuk menunjang kinerjanya, speedboat itu sangat sangat penting. Selama ini, pak kadis dikpora memanfaatkan speedboat kepala dinas yang lain atau naik ojek (speedboat juga) untuk aktivitasnya. Transportasi air memang menjadi andalan di Mamberamo Raya. Hanya sungai satu-satunya sarana jalan untuk mencapai satu titik ke titik yang lain.

Titik terdekat dari Kasonaweja adalah Burmeso. Kompleks kabupaten dan perkantoran lain ada di tempat ini. Juga rumah dinas para pejabat eselon. Hanya dinas dikpora dan dinas kesehatan saja yang tetap tinggal di Kasonaweja. 

Burmeso. Tempat yang penuh dengan hutan belantara dan bukit-bukit. Jalan-jalan yang baru dirintis memanjang mengikuti kontur tanah. Meski ini adalah ibukota Mamberamo Raya, sebagaimana Kasonaweja, tidak ada jalan beraspal. Semua jalan walaupun cukup lebar, masih berupa tanah dan batu yang dikeraskan. 

Setelah upacara penyerahan Brian dan Faris di SMP 1 Burmeso yang sekolahnya belum jadi, kami diajak berkeliling melihat Burmeso. Mengendarai dua mobil double gardan, kami melanggar dua sungai besar, jalan yang menanjak menaiki perbukitan, menurun ke lereng-lerengnya. Hanya mobil jenis ini yang layak untuk medan seperti ini. Selain kami berlima dan pak Kadis, asisten 1, asisten 2, dan beberapa pejabat ikut dalam rombongan tersebut.

Semua bangunan, mulai dari kompleks rumah dinas pejabat eselon, kantor DPR, kantor bupati, adalah bangunan baru yang semuanya beratap biru. Ya, biru memang warna khas Mamberamo Raya. Semua genteng bangunan perkantoran, masjid, rumah sakit, dan rumah-rumah penduduk, hampir semua bergenteng biru. Seragam batik pegawai kantor juga biru.

Kantor bupati masih belum selesai dibangun. Saya diajak pak kadis memasuki bangunan berlantai tiga itu. Meski belum jadi, bangunan ini sudah nampak kemegahannya, dan pasti akan menjadi gedung yang megah. 

Dalam pandangan saya, gedung ini terlalu megah untuk Mamberamo Raya yang baru memulai segala sesuatunya. Pembangunan SDM melalui pendidikan, infrastruktur transportasi dan komunikasi, nampaknya akan jauh lebih bermakna dibanding dengan pembangunan fisik gedung untuk para petinggi kabupaten. Entahlah. Mungkin gedung-gedung ini akan menjadi simbol kemakmuran Mamberamo Raya. Semoga tidak sekadar menjadi simbol, namun benar-benar mencerminkan kemakmuran di segala lapisan masyarakatnya yang sebagian besar masih sangat primitif dan tradisional.

Satu hal lagi yang agak mengganggu saya, kemegahan gedung di tengan hutan belantara ini mengkhawatirkan saya atas keberadaan hutan-hutan itu sendiri. Berapa ratus bahkan ribu pohon yang harus ditebang demi membangun infrastruktur dan gedung-gedung itu. Berapa hektar tanah ulayat yang musti dikorbankan. Ya, kota memang harus berbenah, harus berkembang, harus punya kantor, harus memiliki jalan, fasilitas umum dan pusat-pusat perekonomian. Namun demi itu semua....begitu mahal harga yang harus dibayar. Saya hanya bisa berharap, semoga hutan tetap dipertahankan sebisa mungkin, sehingga Burmeso akan menjadi ibukota yang berada di tengah hutan belantara. Betapa indahnya. Apa lagi kalau bangunan-bangunannya, dibuat dengan konsep yang menyatu dengan alam sekitar. Bukan gedung-gedung tinggi yang pongah menyaingi menjulangnya hutan belantara di sekitarnya. 

Burmeso, Mamra, Papua, 18 September 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 18 September 2013

Mamberamo (7): Tempat Singgah Itu Bernama Warembori

Tempat singgah itu, adalah rumah kayu yang sederhana, berdiri di atas bibir sungai. Di muara Sungai Mamberamo.  Rumah yang sederhana, namun tetap kelihatan paling menonjol di antara rumah-rumah sederhana yang lain. 

Saat speedboat kami menghampiri rumah itu, ada dua speedboat yang sudah parkir. Di teras rumah, sejumlah orang, dewasa dan anak-anak, sedang duduk sambil menikmati makan. Di antara mereka, menurut pak kadis, adalah para pejabat kabupaten. Ada juga yang berseragam anggota TNI.
Makanan yang sedang mereka nikmati, saya sempat meliriknya, adalah nasi putih dan mi instan rebus. Ya. Itulah menu makan siang untuk menyambut para pejabat di rumah singgah hari ini.

Kami turun satu per satu dari speedboat. Bersapa pada mereka. Menyerbu kamar mandi di sebelah kanan teras. Cukup lumayan untuk kencing. Tak perlu saluran. Air kencing langsung terjun bebas tumpah ke laut di bawahnya.

Kami lantas menuju bagian belakang rumah. Melihat-lihat kampung Warembori. Kampung ini termasuk dalam Distrik Mamberamo Hilir. Kampung dengan rumah-rumah panggung. Sebuah SD Inpres yang tanpa papan nama dan tiang yang berdiri tegak tanpa bendera. Di dekatnya adalah lapangan rumput yang bisa untuk apa saja. Saat ini, di atas lapangan itu, sedang berlangsung pertemuan dewan adat. Untuk itulah banyak pejabat kabupaten yang datang ke Warembori.

Saya berbelok ke sebuah halaman rumah. Menyapa mama-mama yang sedang bersantai dan mengunyah sirih pinang. Bercanda dengan mereka. Rupanya mereka sedang berkumpul untuk memasak. Di dekat tempat mereka duduk-duduk, adalah bangunan kayu sangat sederhana yang berfungsi sebagai dapur umum. Ada dua tungku besar yang masing-masing di atasnya berdiri panci pengukus besar. Sebuah tungku lagi, sedang digunakan untuk menanak nasi dengan menggunakan panci lebar. Ya, hari ini mereka masak besar, karena ada pertemuan dewan adat. Menunya adalah nasi putih, kuah ikan, dan biak (kerang).

Di samping dapur itu terdapat perahu kayu yang penuh dengan biak. Ternyata itu adalah tempat penyimpanan biak. Bila disimpan dengan baik, di tempat yang lembab, ditutup dengan pelepah atau kayu, tidak kena panas, biak itu bisa tahan seminggu. 

Di mata saya, mama-mama Papua begitu cantik. Begitu juga anak-anak dan para remajanya. Para laki-lakinya juga cakep-cakep. Mata bulat penuh, bulu mata lentik, hidung mancung, dan rambut keriting, begitu serasi dengan kulit mereka yang hitam legam. Dengan keramahan khas orang Papua, orang akan  jatuh hati pada masyarakat di ujung timur Nusantara ini.

Saya mengobrol dengan para mama. Nama mereka saya catat. Antoneta Samber, Hulda Indamare, Antomina Iriori, dan Alerce Ramandai. Nama belakang itu adalah nama marga. Mereka juga menanyakan nama saya. Saat saya sebut, mereka langsung bisa mengucapkannya, dengan lafal yang nyaris sempurna.

Kami juga masuk ke SD Inpres Warembori. SD yang siswanya sekitar 100 orang itu, merupakan sekolah dengan kelas rangkap. Kelas 1, 2, 3, jadi satu kelas. Selebihnya, juga jadi satu kelas. Mereka belajar dengan bangku dan kursi kayu yang sudah tua tapi masih cukup layak, di ruang kelas berdinding kayu dan berlantai semen. Tidak ada media apa pun kecuali papan tulis kusam. 

Seorang guru, Ibu Rosa Konyanan, tengah mengajari mereka membaca. Jangan tanya seperti apa kemampuan baca mereka. Di kelas rendah, saya mencari satu orang saja yang bisa membaca, tidak ada. Ketika ada satu siswa yang memberanikan diri mengangkat tangan karena saya menjanjikan akan memberi hadiah bagi siapa yang berani membaca, Levina namanya, siswa kelas tiga, kemampuan membacanya.....nyaris tidak bunyi. Ternyata kondisi ini bahkan juga ditemui di kelas atas. Wow. Tantangan pertama untuk para guru SM-3T. Mengajari membaca.

Saya sendiri sebenarnya tidak heran dengan kemampuan membaca anak-anak itu. Pengalaman berkali-kali mengunjungi daerah 3T, membukakan mata kita semua betapa memprihatinkannya kondisi para siswa, guru, sekolah, dan daya dukung orang tua, masyarakat, dan pemda. Jadi jangan bicara tentang Standar Nasional Pendidikan. Jangan bicara tentang inovasi pendidikan, tentang ICT, tentang sekolah unggulan. Jangan bicara tentang keterampilan abad 21. Tak terfikir oleh mereka. Jauh, sejauh langit dari bumi. 

Di lapangan, orang-orang, para laki-laki dewasa, sedang duduk dipimpin oleh bupati, yang diwakili asisten 2. Ada kapolres juga di sana. Juga para anggota dewan adat. Mereka akan rapat penting tentang batas kampung, antara kampung Warembori dan Yoke. Kedua kampung tersebut sebenarnya bersaudara. Namun dengan adanya dermaga, batas kampung menjadi sengketa.

Para-para adat. Itulah tempat untuk menyelesaikan sengketa batas desa, atau sengketa apa pun. Tidak seperti di sebagian pedalaman Papua yang lain, menurut beberapa sumber,  dua kampung ini tak pernah angkat senjata untuk menyelesailkan setiap persoalan. Mereka selalu membawanya ke para-para adat. Membicarakannya dengan penuh kekeluargaan. Bila diperlukan, dengan mediasi para pejabat distrik bahkan kabupaten. 

Kami beruntung singgah di kampung ini. Meski hanya sekitar satu setengah jam, kami sempat berinteraksi dengan masyarakatnya yang ramah-ramah, dengan siswa dan guru-guru di sekolah, dan menyaksikan para-para adat meski dari kejauhan. Kalimat-kalimat yang mengalir dalam pertemuan itu betapa santun dan penuh kearifan. Meskipun ini di Papua, jangan harap bisa mendengar orang-orang yang saling teriak atau berbicara keras di sini. Kampung kecil itu sepertinya terlalu tenang dan damai untuk sebuah teriakan kemarahan sekecil apa pun. Kecuali teriakan-teriakan anak sekolah dan anak-anak yang sedang bermain dengan keceriaannya.

"Ada kesalahpahaman,
Sehingga kita semua datang, duduk, untuk menyelesaikan persoalan ini. Dari cerita-cerita leluhur kita, pasti ada yg sesuai dan tidak sesuai. Tapi Tuhan yang mengetahui, dan akan membimbing kita dalam pertemuan ini, agar menghasilkan kesepakatan yang baik. Demi mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang damai di tanah tercinta kita". Begitulah sebagian kata-kata pembuka dalam pertemuan itu. 

Di sepanjang jalan, setiap berpapasan, orang-orang itu menyapa. Mengucap selamat pagi sambil tersenyum. Kalau pun tidak ada sapaan, mereka menatap, menganggukkan kepala, dan tersenyum. Sapaan seperti 'hormat, bapak ibu', atau 'mari, adik tuan', sering sekali saya dengar dari pak Kadis untuk orang-orang, termasuk kepada para awak speedboat. 

Sebelum pulang, kami singgah di rumah singgah lagi, karena dari rumah itulah satu-satunya jalan menuju ke tempat speedboat ditambatkan. Tak disangka, bagai pucuk dicinta ulam tiba, kami ditawari makan. Seperti tadi yang saya lihat, menunya adalah nasi putih dan mi instan rebus. Oh, ternyata ada ikan asapnya juga. Dua ekor, besar-besar. Orang Papua menyebutnya ikan kering.

Karena memang dari pagi kami belum makan, maka menu sederhana itu menjadi begitu nikmat. Apa lagi dengan keramahan nyonya rumah, ibu Johan Samber, istri kepala sekolah yang tadi sekolahnya kami datangi. Terasa sekali ketulusannya menjamu kami semua. Ketulusan yang sama seperti ini kami rasakan juga saat dijamu makan papeda di rumah bapak Julius, di Sarmi, tempo hari. 

Setelah makan, kami bergerak menuju speedboat. Kasonaweja masih empat sampai lima jam lagi. Saatnya menyusuri Sungai Mamberamo yang arusnya cukup deras itu. Ya, masih perlu sejumlah energi fisik dan mental lagi untuk bisa berhasil mencapai ibu kota kabupaten Mamberamo Raya itu....

Waromberi, Mamberamo Raya, 17 Sept 2013

Wassalam,
LN

Selasa, 17 September 2013

Mamberamo (6): Mengarungi Samudra Pasifik

Sungai Memberamo dari pantauan udara.
Pukul 04.00. Hotel sudah menggeliat. Semua pintu yang penghuninya peserta SM-3T diketuk-ketuk, lebih tepatnya, digedor-gedor. Pasti salah satu dari pendamping, pak Julianto atau mas Rukin. Sepagi ini, semuanya harus sudah bangun, berkemas, dan bergerak ke arah pantai. Ke tempat tiga speedboat telah menunggu. 

Pukul 04.15 WITA. Kami sudah di pantai, bahu-membahu memasukkan semua barang ke speedboat. Barang-barang itu, bagasi kami, semalam disimpan di rumah singgah. Rumah singgah, hanya berupa bangunan yang sangat sederhana, berukuran sekitar 4-10 meter, persegi panjang. Tanpa sekat. Kamar mandi ada di bagian samping depan, terpisah dengan bangunan itu. Juga sangat sederhana.

Pukul 06.00 WITA. Kami berdoa bersama. Memohon perlindungan dan keselamatan dari Allah SWT. Jaelani, sarjana pendidikan Matematika, alumi UNP Kediri, memimpin doa. 

Semua barang dan orang sudah masuk ke tiga speedboat. Speedboat paling kecil, berisi lima peserta dan dua awak. Sebagian bahan bakar cadangan ada di situ. Speedboat kedua, sedikit lebih besar, memuat hampir semua bagasi kami, ditambah delapan peserta dan dua awak. Speedboat terbesar, yang memiliki atap dan tempat duduk, berisi tiga belas orang plus dua awak. Saya, mas Rukin, pak Kadis, dan dua orang kru JTV, ada di speedboat ini.

Cuaca pagi cukup cerah. Matahari bersinar hangat. Menemani speedboat-speedboat kami membelah Samudra Pasifik. Terayun-ayun di atas hamparan laut yang luas tak berbatas. Air membuncah-buncah di kiri-kanan speedboat. Membekaskan jejak panjang buih-buih putih di belakangnya. Langit yang putih dengan sedikit mega menaungi perjalanan.

Seiring dengan merangkaknya matahari yang semakin meninggi, dentuman speedboat semakin keras dan sering. Seorang peserta, Agung Subekti, telah overload, istilah mas Rukin untuk menyebut mabuk laut. Anak muda yang sejak beberapa jam yang lalu sudah nampak tidak sehat dan mukanya terus berkeringat itu, muntah-muntah. Bongkar muatan. Ya, kondisi speedboat yang menghentak-hentak, ditambah dengan kondisi fisik yang lelah dan mungkin juga stres, menyebabkan siapa pun yang tidak terbiasa melakukan perjalanan berat seperti ini bisa mabuk kepayang.

Dalam speedboat yang terus melaju, anak-anak tertidur. Tubuh dan kepala mereka, bergoyang-goyang, terantuk-antuk. Ada yang diam tak bergerak, pulas, nyenyak sekali. Padahal hempasan speedboat yang menghentak-hentak laut terasa cukup keras. Hentakan itu, berpadu dengan suara mesin, dan deburan air laut di kanan kiri speedboat, serta semilir angin, seperti alunan musik syahdu yang meninabobokan mereka.

Saya memandangi wajah-wajah pulas mereka satu per satu. Wajah-wajah itu begitu lelah. Setelah selama dua belas hari mereka mengikuti prakondisi di Kodikmar, tanpa jeda hari, mereka langsung diberangkatkan. Perjalanan panjang dari Surabaya ke Jayapura, lanjut Jayapura-Sarmi, dan ketidakpastian keberangkatan ke Mamberamo Raya selama dua hari, telah membuat tubuh mereka kelelahan. Bayangkan, sejak berangkat pada dini hari empat hari yang lalu, kami belum juga sampai di tempat tujuan. Namun begitu, semangat mereka tidak surut. 

Perjalanan membelah Samudra Pasifik ini akan memakan waktu dua hingga tiga jam untuk mencapai muara Sungai Mamberamo. Sementara menunggu sampai mencapai muara, yang bisa kami lakukan adalah tidur, makan cemilan, dan merenung. 

Saya sendiri sedang berfikir, sebenarnya demi apa saya melakukan perjalanan sejauh ini. Dengan kondisi medan berat yang penuh risiko. Saya masih ingat, ketika berunding dengan tim SM-3T di Kodikmar, membagi tugas pendampingan untuk para peserta, saya tidak memasang nama saya di mana-mana. Tidak di Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, atau Mamberamo Tengah dan Mamberamo Raya.

Mamberamo Raya, awalnya merupakan kabupaten yang paling sulit bagi saya untuk mendapatkan kontaknya. Sampai pada batas akhir kami harus mendapatkan kepastian tentang kabupaten tempat penugasan, saya tidak berhasil menghubungi contact person. Saat itu juga, waktu rapat koordinasi di Jakarta, Mamberamo Raya saya coret dari daftar tempat penugasan karena kepala dinas tidak hadir dan tidak bisa dihubungi. 

Saya bahkan sudah memindahkan peserta yang awalnya akan kami tugaskan ke Mamberamo Raya, ke Kabupaten Nduga. Saya langsung berkoordinasi dengan staf dinas dikpora Nduga yang waktu itu hadir pada rapat koordinasi. Rute perjalanan sudah saya dapatkan. Bahkan jadwal untuk kehadiran pejabat kabupaten dalam kegiatan prakondisi sudah kami sepakati.

Sampai tiba-tiba hari itu, sehari sebelum prakondisi, saya menerima sms dari Dikti bahwa plotting peserta SM-3T tiap LPTK harus dikembalikan sesuai rencana. Artinya, Nduga harus saya lepaskan dan kembali ke Mamberamo Raya. Saya juga dikirimi nomor HP orang UP4B supaya saya bisa mendapatkan contact person Mamberamo Raya.

Prakondisi sudah dua hari berjalan, dan saya baru berhasil kontak dengan bapak Obed Barenz, yang belakangan saya tahu, beliau adalah sekretaris daerah Kabupaten Mamberamo Raya. Beliaulah yang mengupayakan supaya saya bisa kontak dengan kepala dinas dikpora, bapak Isak Torobi. Begitu berhasil kontak, saya lega. Dari pembicaraan di telepon, nampak jelas, pak Isak, kadis itu, sangat berharap program ini bisa menyentuh Mamberamo Raya. Tinggal menyepakati hal-hal lain yang bersifat teknis.

Namun bahkan sampai kehadiran pak kadis di kegiatan prakondisi di kodikmar, plotting penempatan peserta SM-3T belum saya dapatkan. Anak-anak belum bisa dipastikan di mana mereka nanti akan ditugaskan, apakah di PAUD, SD, SMP atau SMA. Ini menyangkut kesiapan mereka akan buku-buku yang harus mereka bawa. Saya menenangkan mereka, supaya bawa saja buku-buku sekedarnya, dan di sana nanti bisa saling tukar sesuai dengan tempat tugasnya.

Pak Kadis menyatakan, plotting tugas baru bisa dibuat setelah beliau sampai di Mamberamo Raya. Setelah lapor bupati. Setelah bertemu sekretaris dinas dan staf. Ya, hanya untuk urusan plotting, kami harus menunggu selama itu. Artinya, plotting itu baru bisa kami dapatkan saat para peserta sudah tiba di Mamberamo Raya. Ya, karena sejak hadir di prakondisi peserta tempo hari, pak Kadis bahkan belum pulang kembali ke Mamberamo Raya. 

Akhirnya saya putuskan, saya berangkat ke Mamberamo Raya. Ada perasaan waswas, memang, setelah mendengar penuturan kepala dinas dan melihat rekaman di youtube tentang rute ke Mamberamo Raya. Tapi saya meyakinkan diri, saya harus berangkat. Saya ingin berbagai hal yang belum jelas tentang Mamberamo Raya bisa lebih jelas. 

Perjalanan saya ke berbagai daerah 3T, dengan menempuh medan berat penuh risiko, jauh dari rasa keinginan untuk menaklukkan alam. Jauh. Pada dasarnya saya sedang menaklukkan rasa takut yang ada dalam diri saya sendiri. Allah memberi kesempatan pada saya untuk melihat dunia yang luas ini, mempelajari keragamannya, mencintai keindahannya, mengagumi budayanya, dan menebarkan hal-hal baik bernama persaudaraan dan semangat berbagi. Anak-anak kami, para guru SM-3T itu, adalah anak-anak muda yang tengah belajar untuk peduli dan membangun ke-Indonesiaannya. Saya hanya ingin mereka yakin, tidak perlu ada keraguan untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat, tidak perlu ada ketakutan untuk berbagi dan menebarkan kemuliaan di tanah mana pun di negeri ini, meskipun demi itu semua, perjalanan panjang dan medan berat penuh risiko harus ditempuh.

****


Pukul 08.30 WITA, saat speedboat kami berhenti di tengah laut. Ya, ini sudah yang ketiga kali speedboat sengaja diberhentikan, untuk menunggu dua speedboat yang lain. Speedboat kami lajunya jauh lebih cepat dibanding dua speedboat kecil yang lain, sehingga beberapa kali kami harus berhenti untuk menunggu mereka, lantas bersama-sama melanjutkan perjalanan lagi.

Saat ini, muara sungai Mamberamo sudah dekat. Air laut sudah berubah warna, dan agak keruh. Rumah-rumah penduduk sudah nampak dari kejauhan. Muara itu, meski nampak tenang, namun arus di bawah sangat kuat. Jadi speedboat musti ekstra hati-hati untuk melewatinya.

Akhirnya, Samudra Pasifik kami tinggalkan. Rasa lega luar biasa memenuhi hati saya. Ya, meski perjalanan menyusuri Sungai Mamberamo justeru lebih lama, namun setidaknya, satu etape yang bagi saya cukup mendebarkan sekaligus mengasyikkan itu telah terlewati.

Saatnya mengendorkan otot-otot dan urat syaraf di rumah Singgah yang sudah menunggu....

Waremboi, Mamberamo Hilir, 17 September 2013

Wassalam,
LN