Pages

Jumat, 20 September 2013

Mamberamo (8): Ibu Kota Di Tengah Hutan

Burmeso. Kota inilah ibukota Mamberamo Raya yang lain, selain Kasonaweja. Berjarak sekitar 10 menit naik speedboat dari Kasonaweja. Karena berada di dua tempat, ibukota Mamberamo Raya sering disebut Kasomeso (Kasonaweja-Burmeso). 

Hari ini, setelah serah terima para peserta SM-3T kepada Bupati, dilanjutkan dengan pendatanganan MoU, serta sosialisasi kurikulum 2013 di mana saya sebagai pembicaranya; kami bergerak dengan speedboat menuju Burmeso. Tujuannya adalah mengantarkan dua peserta SM-3T yang ditugaskan ke SMP I Burmeso. Kedua peserta itu adalah Brian dan Fariz. Brian dari prodi pendidikan geografi, dan Fariz dari pendidikan matematika.

Cerita tentang bupati dulu. Orang kelahiran Kabupaten Sarmi itu, tinggi besar. Tentu saja, kulitnya hitam, rambut ikal, khas Papua. Namanya Demianus Kyeuw Kyeuw. Beliau adalah kakaknya bapak Julius, orang yang mengundang kami makan malam dengan menu papeda waktu transit di Sarmi tempo hari.

Hari ini, rasa penasaran saya terjawab. Saya jadi faham, kenapa para pejabat di Mamberamo Raya ini begitu takzim pada beliau. Orang itu tidak hanya ukuran bodi dan penampilannya saja yang membuatnya punya kharisma. Ketika beliau bicara tentang kondisi dan potensi Mamberamo Raya, tentang visinya terkait pendidikan nasional khususnya untuk Papua, dan kesan serta harapannya atas program SM-3T, meski berbicara dalam waktu yang cukup lama, kalimatnya sangat runtut, dan isinya sangat bermutu. Pantas saja beliau sangat disegani oleh para pejabat pemda. Intelek, berwawasan. 

Acara serah terima itu, selain dihadiri oleh bupati, juga dihadiri oleh ketua dewan adat, wakapolres, sekda 1 dan 2, pimpinan SKPD, sekretaris DPRD, dan tentu saja para kepala sekolah dan para guru. Mereka mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian dan  keceriaan. Acara sesekali dipenuhi dengan applaus dan tepuk tangan, mencerminkan suka cita mereka.  

Ketua Dewan Adat, laki-laki tua itu, begitu emosional saat menyampaikan sambutannya. Sambil mengepal-ngepalkan tangannya, beliau berteriak, namun dengan air mata berlinang: "Mamberamo Raya harus maju pendidikannya, sama dengan wilayah lain di Tanah Air. Guru-guru yang datang akan membatu torang punya sekolah-sekolah. Terima kasih karena Tuhan boleh mengirimkan guru-guru untuk membantu torang"  

Di Tanah di mana keberadaan hukum adat seringkali lebih dominan daripada hukum negara dan pemerintahan ini, maka kedudukan ketua dewan adat begitu disegani. Apa lagi para tetua adat pada umumnya adalah mereka yang turut berjuang demi berdirinya Mamberamo Raya sebagai kabupaten.
    
Mamberamo Raya menjadi kabupaten yang berdiri sendiri sejak 13 September 2007. Enam tahun yang lalu.  Merupakan pemekaran dari Kabupaten Sarmi dan Waropen. Infrastrukturnya masih jauh dari layak. Belum ada jalan beraspal. Bangunan-bangunan perkantoran masih sangat sederhana dan banyak yang masih pada tahap pembangunan. Lapangan terbang berlandas pacu jalan tanah yang dikeraskan dan bertabur kerikil. Rumah sakit, namanya Rumah Sakit Bergerak, nampak kalau masih baru. Mushola berukuran kecil yang ada di dekat lapter, sangat sederhana. Begitu juga bangunan-bangunan gereja. Satu-satunya BTS hanya telkomsel, itu pun tidak sepanjang hari lancar sinyal. Sinyal hanya ada di Kasonaweja dan Burmeso, di pusat kota. Sedikit saja keluar dari pusat kota, sinyal hilang lenyap tak berjejak. Listrik juga hanya ada di malam hari, sejak pukul 17.00 sampai pukul 05.30. Lumayan, dua belas jam bertabur terang. Tapi jangan tanya di luar kedua kota itu. Gelap gulita.  

Untuk menempuh perjalanan ke Burmeso, kami menggunakan dua speedboat. Speedboat yang satu tertutup, yang satu terbuka. Speedboat itu milik pemda sendiri. Saya, pak kadis, mas Rukin, pak Julianto, beberapa pejabat, dan dua peserta SM-3T yang akan ditugaskan di Burmeso, naik di speedboat tertutup. Kru JTV dan yang lain, di speedboat terbuka, supaya kru JTV leluasa mengambil gambar. Entah mengapa, ada dua polisi juga di speedboat kami, satu di belakang, satu di depan. Lengkap dengan senjata laras panjangnya.  

Di Mamberamo Raya ini, semua kepala dinas memiliki kendaraan dinas berupa speedboat, kecuali kepala dinas pendidikan. Padahal untuk menunjang kinerjanya, speedboat itu sangat sangat penting. Selama ini, pak kadis dikpora memanfaatkan speedboat kepala dinas yang lain atau naik ojek (speedboat juga) untuk aktivitasnya. Transportasi air memang menjadi andalan di Mamberamo Raya. Hanya sungai satu-satunya sarana jalan untuk mencapai satu titik ke titik yang lain.

Titik terdekat dari Kasonaweja adalah Burmeso. Kompleks kabupaten dan perkantoran lain ada di tempat ini. Juga rumah dinas para pejabat eselon. Hanya dinas dikpora dan dinas kesehatan saja yang tetap tinggal di Kasonaweja. 

Burmeso. Tempat yang penuh dengan hutan belantara dan bukit-bukit. Jalan-jalan yang baru dirintis memanjang mengikuti kontur tanah. Meski ini adalah ibukota Mamberamo Raya, sebagaimana Kasonaweja, tidak ada jalan beraspal. Semua jalan walaupun cukup lebar, masih berupa tanah dan batu yang dikeraskan. 

Setelah upacara penyerahan Brian dan Faris di SMP 1 Burmeso yang sekolahnya belum jadi, kami diajak berkeliling melihat Burmeso. Mengendarai dua mobil double gardan, kami melanggar dua sungai besar, jalan yang menanjak menaiki perbukitan, menurun ke lereng-lerengnya. Hanya mobil jenis ini yang layak untuk medan seperti ini. Selain kami berlima dan pak Kadis, asisten 1, asisten 2, dan beberapa pejabat ikut dalam rombongan tersebut.

Semua bangunan, mulai dari kompleks rumah dinas pejabat eselon, kantor DPR, kantor bupati, adalah bangunan baru yang semuanya beratap biru. Ya, biru memang warna khas Mamberamo Raya. Semua genteng bangunan perkantoran, masjid, rumah sakit, dan rumah-rumah penduduk, hampir semua bergenteng biru. Seragam batik pegawai kantor juga biru.

Kantor bupati masih belum selesai dibangun. Saya diajak pak kadis memasuki bangunan berlantai tiga itu. Meski belum jadi, bangunan ini sudah nampak kemegahannya, dan pasti akan menjadi gedung yang megah. 

Dalam pandangan saya, gedung ini terlalu megah untuk Mamberamo Raya yang baru memulai segala sesuatunya. Pembangunan SDM melalui pendidikan, infrastruktur transportasi dan komunikasi, nampaknya akan jauh lebih bermakna dibanding dengan pembangunan fisik gedung untuk para petinggi kabupaten. Entahlah. Mungkin gedung-gedung ini akan menjadi simbol kemakmuran Mamberamo Raya. Semoga tidak sekadar menjadi simbol, namun benar-benar mencerminkan kemakmuran di segala lapisan masyarakatnya yang sebagian besar masih sangat primitif dan tradisional.

Satu hal lagi yang agak mengganggu saya, kemegahan gedung di tengan hutan belantara ini mengkhawatirkan saya atas keberadaan hutan-hutan itu sendiri. Berapa ratus bahkan ribu pohon yang harus ditebang demi membangun infrastruktur dan gedung-gedung itu. Berapa hektar tanah ulayat yang musti dikorbankan. Ya, kota memang harus berbenah, harus berkembang, harus punya kantor, harus memiliki jalan, fasilitas umum dan pusat-pusat perekonomian. Namun demi itu semua....begitu mahal harga yang harus dibayar. Saya hanya bisa berharap, semoga hutan tetap dipertahankan sebisa mungkin, sehingga Burmeso akan menjadi ibukota yang berada di tengah hutan belantara. Betapa indahnya. Apa lagi kalau bangunan-bangunannya, dibuat dengan konsep yang menyatu dengan alam sekitar. Bukan gedung-gedung tinggi yang pongah menyaingi menjulangnya hutan belantara di sekitarnya. 

Burmeso, Mamra, Papua, 18 September 2013

Wassalam,
LN

2 komentar

Anonim

Hi, salam kenal..sy seorang dokter umum yg akan bertugas di rs memberamo, sangat ingin tahu kondisi disana, apakah kebutuhan sehari hari bisa dibeli dgn mudah? Bgmn dgn air bersih??

merdiana monto

Syalom sngat trksan membca artikel ini smki pnsaran dngan mamberamo..
sy sdng mangajukan lmaran pkerjaan sbgai prawat..apakah rumah sakit atau sarana kesehatan lain masih membutuhkan tenaga perawat.?thanks

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...