Pages

Kamis, 05 September 2013

Pernikahan Intan Soekisman Dan Harini: Sebuah Buku Tanda Bakti

Saya menerima buku ini saat halal bi halal Unesa pada 14 Agustus yang lalu. Prof. Dr. Kisyani, Pembantu Rektor I Unesa, yang memberi. Sebuah buku yang ditulisnya sendiri, untuk menandai pernikahan intan bapak dan ibunya. 

Ya, pernikahan intan. Enam puluh tahun. Subhanallah. Siapa sih yang tidak ingin mencapai usia pernikahan selanggeng itu, dalam keadaan yang relatif sehat dan sejahtera?

Bisa dipastikan semua pasangan suami istri menginginkannya. Tapi tentu saja tidak semua bisa meraihnya, entah karena pernikahan yang tidak langgeng, atau karena panggilan Illahi. Begitulah tulis Kisyani. Maka tidaklah berlebihan kalau peristiwa itu sangat layak untuk disyukuri, baik bagi pasangan yang bersangkutan, maupun bagi keluarganya.

Tentang pernikahan intan, Kisyani memaknainya dari sifat-sifat intan atau berlian, sebagai benda yang sangat bernilai. Sebagaimana emas, berlian dapat merujuk pada prestise seseorang. Usia 60 tahun pernikahan identik dengan intan yang sifatnya keras, sebagai simbol pernikahan yang telah ditempa dengan pengalaman hidup yang kerasnya luar biasa sehingga berhasil lulus dengan bentuk yang cemerlang, bercahaya, bermutu, berharga, dan berprestise.

Ada yang sangat menarik dan inspiratif dalam kehidupan Harini, ibunda Kisyani. Wanita kelahiran 8 Agustus 1935 di Boyolali itu, selalu mencatat setiap kejadian dalam hidupnya dalam sebuah buku harian. Setiap hari, dia selalu meluangkan waktu sekitar 10-15 menit untuk mencatat. Sampai sekarang buku hariannya sudah bertumpuk. Ada atau tidak ada peristiwa khusus, dia selalu mencatatnya setiap hari. Ya, setiap hari. Kisyani melampirkan sebagian catatan harian ibundanya pada buku ini, perjalanan hidup beliau saat menunaikan ibadah umrah. Harini, di mata Kisyani, begitu luar biasa dengan semangat menulisnya itu, bahkan sampai saat ini. Sayangnya tidak semua anak cucunya mewarisi ketelatenan menulis tersebut.

Yang unik, kehidupan Harini selalu diwarnai dengan angka 8. Meski beliau tidak mengkultuskan angka itu, namun itulah angka terindah bagi Harini. "Saya lahir pada tanggal 8 bulan 8 tahun 1935, menikah pada bulan 8, tahun pernikahan 53 jika dijumlah menjadi angka 8, anak saya 8, menantu saya 8, cucu saya 8 belas, tinggal di rumah nomor 88". Begitulah pernyataan Harini di tahun 2003, saat melaksanakan syukuran untuk pernikahan emas.

(Mengingatkan saya pada angka 7. Saya dikukuhkan menjadi guru besar pada tanggal 7 Januari 2010, pada usia saya ke 43, dan sebagai guru besar Unesa yang ke-43. Mudah untuk mengingatnya, karena 4 ditambah 3 sama dengan 7).

Soekisman (ayahanda Kisyani) bertemu dengan Harini di rumahnya karena Harini berstatus sebagai siswa SGB di Solo. Rajutan benang cinta mereka terjalin erat dan membawa mereka melangkah ke pelaminan. Pernikahan dilangsungkan di Boyolali pada tanggal 9 Agustus 1953.

Soekisman sendiri sebenarnya terlahir dengan nama Soenarto. Lahir di Solo, 9 Oktober 1927, dia memiliki masa kecil yang penuh dengan keceriaan, serta tergolong anak yang pemberani dan keras hati. Saking pemberaninya, saat usianya 11 tahun, dia terjatuh dari pohon jambu dan koma berhari-hari. Semua anggota keluarga sudah galau. Maka begitu dia sembuh, namanya diubah menjadi Soekisman.

Bagi Soekisman dan Harini, pendidikan adalah nomor satu. Pendidikan anak, cucu dan cicit, harus diutamakan karena pendidikan akan menjadi bekal kehidupan, baik di dunia maupun dalam pertanggungjawaban orang tua di akhirat kelak. Dengan pandangan hidupnya seperti itu, tidaklah heran kalau kedelapan putra-putri berkesempatan menikmati pendidikan tinggi dan berhasil dalam kehidupan mereka.

Anak pertama, Kisrini, dosen di FK-UNS. Anak kedua, Kismami, bekerja di BKKBN Jambi, juga mengajar di beberapa sekolah kebidanan dan perawat di Jambi. Anak ketiga, Kiswanto, bekerja sebagai kepala BPN Pontianak. Anak keempat, Kiswanti, ibu rumah tangga tapi sebelumnya bekerja du KLI Jakarta. Anak kelima, Kisyani, dosen di FBS Unesa, pernah menjabat sebagai Kepala UPBJJ-UT Surabaya dan sekarang menjabat PR 1 Unesa. Anak keenam, Kisyana, adalah guru SMA di Bekasi. Anak ketujuh, Kistini, bekerja di BKKBN Solo. Anak bungsu, Kistina, bekerja sebagai guru BK di MTs Negeri di Tenggarong, Kaltim. 

Masih ada banyak hal unik dan inspiratif di buku yang ditulis dengan runtut dan indah ini. Terasa betul kalau buku ini ditulis dengan penuh rasa cinta, dengan penuh rasa kasih. Cinta kasih seorang anak pada bapak ibunya. Berpadu dengan ungkapan syukur karena telah diberi kesempatan panjang bagi bapak ibu untuk mengarungi bahtera rumah tangga, serta berbahagia bersama anak, cucu dan cicit.

Kisyani, profesor cantik yang dikenal sangat suka berpantun itu, adalah sahabat, teman, ibu, kolega, kakak, yang baik dan sangat menyenangkan. Dia ramah pada siapa saja. Senyum dan sapanya membawa keceriaan. Ketegasan sekaligus kelembutannya menebarkan kesejukan. Seorang wanita yang cerdas, tangguh, sekaligus berhati kapas penuh persahabatan.

Tidak heran, karena dia lahir dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi pendidikan, menyandarkan diri pada ajaran agama sebagai pedoman, dan selalu mengajarkan arti saling menghargai dan mengasihi demi kebersamaan dan kerukunan. 

Hotel Millenium Jakarta, 5 September 2013.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...