Pages

Kamis, 29 Agustus 2013

Di Bandara Juanda Pagi Ini

Saya mencium tangan mas Ayik, mengucap salam, keluar dari mobil, dan mengambil tas koper oranye saya di jok tengah. Melambai, dan melangkah menjauh ke arah pintu masuk.

Pagi ini, pukul 07.40, saya akan bertolak ke Jakarta menumpang Garuda. Sore nanti, pukul 16.00, ada rapat koordinasi dengan para kepala dinas pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk persiapan penyelenggaraan SM-3T. Sebenarnya, jam segini, masih terlalu pagi untuk menghadiri rapat sore nanti. Tapi inilah jadwal penerbangan satu-satunya yang saya bisa dapatkan. Penerbangan setelahnya, full-booked sampai sore. Saya memang baru kemarin sore minta mas Nardi, petugas tiket kami, untuk membelikan tiket ke Jakarta. Sampai tadi malam mas Nardi masih berusahan untuk mendapatkan tiket yang lebih siang, tapi tidak berhasil.

Menjelang masuk ke bandara, mata saya tertumbuk pada pemandangan yang cukup menyentuh. Seorang suami, mencium istrinya dengan penuh perasaan. Perempuan itu lantas melambai menjauh dari suaminya menuju pintu masuk, menangis, mengusap air matanya. Tentu saja saya hanya melihatnya sambil lalu, dan tidak bermaksud untuk ikut larut dalam keharuan mereka.  

Namun, lagi-lagi, persis di depan pintu masuk, saya melihat pemandangan serupa. Seorang suami sedang memeluk dan mencium pipi istrinya. Yang membuat saya seperti ikut larut, adalah betapa jelas wajah penuh kekhawatiran sang suami. 

Saya berjalan di belakang perempuan itu saat masuk di ruang pemeriksaan. Rambutnya sudah dihiasi helaian-helaian putih. Suaminya, berdiri di pagar pembatas, terus mengikuti langkahnya. Saya menikmati pemandangan itu. Di usia mereka yang sudah tidak lagi muda, mereka terlihat begitu romantis. Begitu saling mengkhawatirkan, begitu berat untuk berpisah. Saya berbahagia untuk mereka, sehingga tanpa saya sadari, saya tersenyum sendiri.

Begitu mencapai ruang dalam, saya langsung menuju ke arah tangga/lift, ke arah ruang tunggu. Tidak perlu check in. Mas Nardi sudah melakukannya. 

Namun, lagi-lagi, mata saya tertumbuk pada pemandangan menarik. Seorang bocah perempuan, usianya saya perkirakan dua tahunan, berdiri persis di depan lift. Sepertinya dia siap naik ke atas. Bocah itu bergitu lucu, wajahnya bulat, baju merah membungkus tubuh mungilnya yang gempal. Sontak saya berjongkok di depannya. Tersenyum semanis mungkin, menyentuh pipi gembulnya.

"Mama mana?"
Dia menatap saya. Nggak ada takut-takutnya. Tapi bibir dia terkunci rapat. Lantas matanya beralih ke lift itu lagi. Rupanya senyum saya tidak lebih menarik dari lift itu.

"Mana mama, sayang? Atau papa?" Tanya saya lagi. "Atau...adik di sini sama siapa ya....?" Saya melihat-lihat ke sekeliling. Celingukan. Kebetulan bandara memang tidak terlalu ramai. Saya mencoba memancing bocah itu untuk juga melihat-lihat sekeliling, barangkali dia kemudian melihat mamanya, atau papanya, atau siapa pun  yang bersama dia.

Tapi, lagi-lagi, lift itu lebih menarik. Kakinya tidak beranjak secenti meter pun dari tempatnya berdiri. Bahkan senyum paling manis yang kulempar ke arahnya pun, tak dipedulikan.

Lantas datang seorang petugas. Rupanya dia melihat gerak-gerik saya. Saya masih menanyai anak itu tentang siapa mamanya, ketika petugas itu tiba di depan kami.

"Ibu bukan mamanya?" Tanyanya. Saya menggeleng. "Bukan".

"O ya?" Diraihnya anak kecil itu. "Ayo, dik. Sini, dik...." Anak itu terpaksa menurut. "Terima kasih, bu." Kata petugas itu.

Saya mengangguk, menaiki lift, dan melihatnya pergi dengan menggandeng gadis kecil lucu itu, mendekati kerumunan barisan orang-orang yang lagi check in. Saya tersenyum sendiri. Coba menculik itu tidak berdosa, anak kecil itu pasti sudah kubawa serta dari tadi....


Bandara Juanda, 29 Agustus 2013

LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...