Pages

Selasa, 06 Agustus 2013

Saat si Iyah Mudik

Lebaran tinggal dua hari lagi. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, saat ini kami masih tenang-tenang saja. Tidak larut dalam hiruk-pikuknya mudik. Ya, karena lebaran ini, kami cukup mudik ke Tanggulangin saja, di rumah bapak ibu. Baru pada lebaran hari kedua nanti, kami mudik ke Tuban. 

Biasanya, setiap lebaran tiba, kami mudik ke Ponorogo dan Tuban. Seringkali, hampir tiap tahun, kami melakukan safari. Kalau lebaran pertama di Tuban, maka safarinya ke Pamotan, Rembang, Solo, Boyolali, Sragen, baru Ponorogo. Kalau lebaran pertama di Ponorogo, maka rutenya meliputi Sragen, Solo, Boyolali, Rembang, Pamotan, baru Tuban. Ya, sowan pakde paklik dan saudara-saudara, selain ke bapak ibu. Namun sejak bapak ibu Ponorogo kami boyong ke Tanggulangin, urusan mudik juga kami sederhanakan.

Dini hari tadi, sekitar pukul 02.00, Iyah sekeluarga mudik. Bersepeda motor. Bersama saudara-saudaranya yang lain. Ya, konvoi. Padahal tujuan mudik mereka lumayan jauh, Magetan. Itu pun bukan di kotanya, tapi masih jauuuhh dari kota. 

Meski pun ada cukup banyak tawaran mudik gratis, Iyah sekeluarga dan saudara-saudaranya tetap memilih bersepeda motor. Alasannya, karena tidak tahan naik bus, selalu mabuk. Kalau sudah mabuk, pasti 'ngglele', nggak kuat mengangkat kepala dan membuka mata, dan kondisi 'mabuk kepayang' itu nggak kunjung hilang meski sudah sampai rumah. Bahkan kadang perlu pemulihan sehari dua hari untuk mengembalikan stamina.

Beda kalau naik sepeda motor. Meski 'kanginan' sepanjang perjalanan, tapi tidak pernah mengalami mabuk. Mau istirahat kapan pun dan di mana pun bebas. Kalau pun badan pegal-pegal dan kaku-kaku sesampai di rumah, itu akan segera hilang hanya dengan istirahat sebentar atau tidur beberapa jam. Setelah itu sudah segar lagi. Berbahagia bersama keluarga.

Iyah (nama lengkapnya Warsiyah), adalah pembantu rumah tangga (PRT) kami yang sudah belasan tahun bersama kami. Sejak dia lulus SMP.  Aslinya Ponorogo. Saat itu, Arga, anak semata wayang kami, baru masuk TK nol kecil. Iyah yang masih imut bertugas menjaga Arga saat kami bekerja. Dia rajin dan dapat dipercaya. 

Sambil momong, dia kami sekolahkan di Madrasah Aliyah. Meski nyaris tidak pernah mengikuti pelajaran secara reguler, dia lulus dengan baik. Dia bersekolah di Madrasah Aliyah Alhidayah, di Tuban. Sebenarnya ini sekolah 'keluarga' kami. Kepala sekolahnya adik ragil saya. Kepala yayasannya ibu saya. Nah, mungkin karena sekolah keluarga, maka aroma nepotisme sangat kental dalam menyekolahkan Iyah. Adik saya mengirimkan buku-buku yang harus Iyah pelajari. Soal ujian juga dikirimkannya. Ketika mendekati Unas, Iyah melakukan tryout jarak jauh. Begitu waktu Unas, baru Iyah ke Tuban, berangkat ke sekolah bersama teman-temannya, layaknya siswa-siswa reguler yang lain, menempuh Unas, dan lulus. Lulus murni. Tidak pakai contekan lho. Dasarnya memang dia anak cerdas, dan nasib baik sedang berpihak padanya.

Iyah juga kami kursuskan menjahit. Supaya dia punya bekal untuk menjalani hidupnya di masa depan. Saya tekankan pada dia, perempuan harus bekerja, punya pegangan, meski tidak harus meninggalkan rumah. Menjadi penjahit membuat dia nanti bisa memiliki usaha sendiri, tidak selalu menggantungkan pada suami, dan bahkan bisa membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak selamanya Iyah harus menjadi pembantu rumah tangga, namun kelak, dia harus mandiri dan bahkan punya usaha sendiri.

Setelah sembilan tahun bersama kami, Iyah menemukan tambatan hati. Seorang jejaka, kakak temannya sesama PRT. Anaknya sopan, bertanggung jawab, dan kami  melepasnya setelah melihat kesungguhan Slamet, nama jejaka itu. 

Maka Iyah pun menikah. Saya meminta dia untuk tidak bekerja pada kami lagi. Saya katakan ke dia, "mosok awakmu arep melu bapak ibu terus...". Dia harus belajar mandiri, dengan bekal keterampilan menjahitnya. Slamet sendiri bekerja sebagai pembantu tukang, yang penghasilannya tidak menentu. 
Mereka berdua tinggal di kamar kontrakan, tidak terlalu jauh dari rumah kami. Sementara saya sudah memiliki PRT lagi, lulusan Madrasah Aliyah Alhidayah juga. Ya, mantan muridnya adik saya. Nepotisme lagi.

Namun begitu, kami tidak lantas melepaskan Iyah begitu saja. Ketika Iyah hamil, kami membelikannya susu khusus untuk ibu hamil dan makanan-makanan untuk menjaga kondisinya. Bagaimana pun dia sudah seperti anggota keluarga kami sendiri. Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah kebersamaan. Apa lagi sejauh itu, Iyah seperti 'tiang penyangga' kami. Memastikan anak kami aman dalam asuhannya, masih sempat dia mencuci, menyeterika, bahkan memasak. 

Iyah pada awalnya sama sekali tidak bisa memasak, mencuci dan menyeterika. Semua kami ajarkan dari nol. Namun anak manis itu 'gathekan'. Cepat pintar dan mau belajar. Seringkali malah dia yang berinisiatif untuk memasak dengan menu yang dia pelajari dari buku-buku masakan saya. Benar-benar meringankan urusan dalam negeri kami.

Setelah anaknya berusia sekitar empat tahun, Iyah minta bekerja lagi ke saya. Menjahit tidak terlalu bisa diandalkan, mengingat saat ini baju jadi tersedia di mana-mana dengan mudah, dan murah.

Begitulah. Kebetulan saya juga sedang tidak punya pembantu, maka kehadiran Iyah pun kami terima dengan suka cita. Dia datang ke rumah setiap pagi, setelah mengantarkan anaknya sekolah. Mencuci dan menyeterika, serta bersih-bersih rumah. Kalau memungkinkan, sekalian memasak. Di antara waktu-waktu itu, dia akan menjemput Nia, anak perempuannya. Lantas pulang ke tempat kontrakannya, setelah makan siang, dan seringkali, sekalian membawa lauk-pauk untuk suaminya, supaya dia tidak perlu memasak lagi di rumah.

Sekitar dua tahun ini, sejak kami pindah ke rumah baru kami yang letaknya hanya di seberang jalan saja dengan rumah lama, Iyah sekeluarga kami minta untuk tinggal di rumah lama kami. Tidak perlu bayar, dan bahkan kami bayar. Tugas dia seperti biasanya, hanya tambah menjaga rumah. 

Rumah itu, nyaris tidak ada yang kami pindahkan isinya, kecuali meja kursi kayu besar. Selebihnya, kulkas, TV, dispenser, bahkan ricebox dan lain-lain, kami biarkan, dan Iyah sekeluarga bisa memanfaatkannya. Untuk Iyah, kami siapkan dua kamar di atas, satu kamar cukup luas, satu kamar lagi adalah kamar yang hanya pas untuk satu single bed kecil dan satu lemari pakaian. Kamar tamu dan kamar utama, serta kamar kerja kami, cukup dia bersihkan setiap hari. Namun begitu ada keluarga dia datang, paklik pakde simbok adik dan lain-lain, semua kamar boleh dipakai, bahkan juga kamar utama. Ya, bagaimana pun saudara-saudara Iyah adalah tamu-tamu kami. Dan memberi kenyamana pada tamu adalah wajib hukumnya.

Begitu juga bila saudara-saudara kami yang datang. Maka semua kamar akan penuh, dan Iyah sekeluarga akan melayani mereka dengan baik dan menyenangkan. Di mata sauadar-saudara kami, Iyah sekeluarga juga sudah bukan orang lain. Sudah menjadi kerabat kami juga.

Sejak menempati rumah kami, Slamet, suami Iyah, bekerja di PT. Jacobs, perusahaan tempat mas Ayik bekerja. Sekali lagi, aroma nepotisme juga sangat kuat. Dengan posisi mas Ayik yang mantan kabag personalia dan saat ini memegang 'general affair', memasukkan Slamet tidaklah sulit. Mulus saja. Apa lagi Slamet tipe pekerja yang rajin dan tekun. Dengan begitu Slamet memiliki gaji yang pasti tiap bulan, tidak seperti saat dia bekerja di bangunan.

Saat ini, Iyah sekeluarga sudah punya sepeda motor sendiri, sudah bisa bikin sumur di rumahnya di Ponorogo, sudah bisa sedikit 'dandan-dandan' rumah yang ditempati simbok dan adiknya di Ponorogo. Nia, anak perempuannya, sudah kelas 1 SD, kebetulan seperti ibunya, rajin dan cerdas. Anak itu punya baju-baju yang layak, tas dan sepatu yang tidak hanya satu-satunya, sepeda mungil, dan juga bisa sesekali 'jajan' bakso dan nasi bebek. Kehidupan mereka sedikit demi sedikit membaik.

Iyah memulai paginya dengan mengantarkan Nia ke sekolah. Setelah itu baru mengurus rumah kami. Setiap pagi, saya sendiri yang menyiapkan makan pagi untuk keluarga, membersihkan rumah, membersihkan dapur, dan menyiapkan bekal suami. Kecuali kalau saya sangat 'kepepet', saya baru memanggil Iyah. 

Setelah mengantar anaknya ke sekolah, Iyah memulai aktivitasnya mencuci, menyeterika, memasak, dan bersih-bersih di rumah kami. Saya memiliki standar yang cukup tinggi dalam urusan bersih-bersih, dan Iyah tahu itu. Meninggalkan rumah dalam keadaan kotor akan membuat saat-saat saya di tempat kerja dipenuhi dengan keruwetan. Pulang kerja bila disuguhi rumah tidak rapi, akan membuat kelelahan saya menjadi bertumpuk-tumpuk. Iyah tahu, sejak dulu, saya nyaris tidak pernah membiarkan satu sendok kotor pun menjelang tidur. Dengan begitu ketika bangun pagi, hati dan pikiran cerah, dan siap melakukan aktivitas dengan penuh semangat; bukannya memberesi perkakas kotor sisa makan malam.

Sore hari, ketika kami pulang kerja, Iyah sudah menyiapkan teh manis dan makan malam. Tapi dia jarang sekali ke rumah setelah sore itu, kecuali kami perlukan. Saya sendiri yang akan membereskan semuanya, meja makan dan dapur. Sudah saatnya Iyah berkumpul bersama keluarganya, mendampingi anaknya belajar, dan menemani suaminya. Dia sendiri punya 'negara', dan urusan dalam negerinya juga musti beres.

Saya sangat menikmati, kalau tidak boleh dikatakan hobi, bersih-bersih rumah. Mencuci piring dan gelas-gelas, membersihkan meja makan, dapur, dan seluruh rumah, merupakan ritual setiap malam yang nyaris tak pernah saya tinggalkan (tentu saja kalau saya sedang di rumah). Ada kepuasan yang tak ternilai ketika melihat setiap sudut bersih dan rapi. 

Dalam kondisi rumah belum beres, saya sering tidak bisa mulai bekerja, misalnya koreksi atau membaca tesis mahasiswa. Maka tidur sampai larut malam akhirnya menjadi kebiasaan saya. Saya merasa bisa bekerja lebih optimal ketika semua sudah tidur. Saya akan memutar lagu-lagu atau mendengarkan ayat-ayat suci Al Quran untuk menemani saya bekerja. 

Selama Ramadhan ini pun, kebiasaan saya nyaris tidak berubah, aktivitas Iyah juga nyaris tidak berubah. Bedanya, saya selalu meminta dia untuk tidak usah memasak. Apa yang saya atau dia masak untuk menu berbuka, itu jugalah yang menjadi menu dia. Dengan begitu dia tidak perlu bekerja dua kali. Dan, yang lebih penting, dia tidak perlu belanja. Cukup masak saja, dan menu buka puasa serta sahurnya beres.

Maka ketika Iyah pulang mudik, sebenarnya kami tidak terlalu terganggu dengan ketidak hadirannya. Saya lumayan hobi memasak, hobi bersih-bersih, dan hobi mencuci baju. Yang saya sangat tidak hobi adalah....seterika. Ya, dari dulu, pekerjaan satu ini begitu tidak menarik bagi saya. Menjemukan bin membosankan. Bikin ngantuk, bikin bete.

Tapi karena Iyah tidak ada, ya, apa boleh buat. Maka pagi tadi, adalah saat saya kembali memegang seterika. Seprei-seprei, baju-baju, serbet-serbet, semua saya gosok dengan seterika, sementara mesin cuci sedang memutar pakaian kotor. Karena saya tidak suka kalau melihat 'umbrukan', maka saya paling tidak suka menumpuk 'seterikaan' (maksudnya baju-baju yang belum diseterika). Ya begitulah, konsekuensi dari sebuah pilihan....

Urusan masak pun, tanpa Iyah, juga tidak terlalu bermasalah. Di kulkas kami selalu tersedia logistik yang alhamdulilah lebih dari cukup. Bahkan untuk seminggu ke depan pun, insyaallah aman sentausa. Kalau malas masak pun, Arga dengan senang hati akan melesat keluar rumah, membeli ini itu untuk berbuka.

Seperti sore ini tadi. Arga yang pingin makan nasi padang, pergi menjelang senja, dan pulang dengan tiga bungkus nasi padang, lengkap dengan lauk-pauk kesukaan kami masing-masing. Sementara saya tetap menyiapkan nasi putih, pepes udang, dan kue-kue untuk kudapan. Tentu saja, tiga gelas teh manis dan kurma. Dan berbukalah kami dengan sukses, bahagia lahir dan batin.

Namun tanpa Iyah sekeluarga, seperti ada yang kurang. Jamaah tarawih tidak lagi berdampingan dengan Nia yang centil yang selalu 'ngelendot' di pangkuan ibunya bila kecapekan. Sore hari, tidak ada yang menyapa saya, 'sayah, bu?' Atau ' pijet, bu?'. Dan, ini yang terpenting dan paling membuat betapa penting kehadiran Iyah.... Seterikaan itu......hiks...

Surabaya, 6 Agustus 2013. 24.10 WIB.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...