Pages

Senin, 26 Agustus 2013

Banda Aceh (2): Luka Duka Tsunami

Sore yang cerah. Ya, meski sudah pukul 17.30, Banda Aceh masih terang benderang. Matahari nampaknya bahkan masih memerlukan lebih dari satu jam untuk benar-benar tenggelam di peraduannya. 

Kami mengakhiri workshop sore ini. Setelah kelompok tata busana tampil dengan hasil diskusi perangkat pembelajarannya, presentasi akan dilanjutkan besok, mulai pukul 08.00, oleh kelompok tata boga. Selain karena waktu sudah sore, listrik juga tiba-tiba mati, pet. Menurut ibu Asmah, listrik tiba-tiba mati seperti itu sudah biasa terjadi di Banda Aceh. Tapi bukan hanya karena listrik mati, sore ini, saya akan dibawa jalan-jalan menikmati Banda Aceh oleh ibu-ibu cantik ini. Memanfaatkan sedikit waktu sebelum malam jatuh.

Kami berkendara dengan dua mobil. Saya sempat terkejut. Ibu Asmah menyetirnya sendiri. Juga bu Yuli, di mobil yang satunya. Bukan apa-apa. Ibu Asmah sudah cukup senior, dan ini beliau yang akan membawa saya dan teman-teman jalan-jalan. 

Di Surabaya, saya pun biasa membawa mobil sendiri. Tapi kalau untuk membawa tamu jalan-jalan, saya suka meminta driver atau teman untuk menyetirnya. Sekedar untuk menghemat energi. Dengan kondisi Surabaya dan sekitarnya yang rawan macet, dan adanya kemungkinan salah jalan karena saya seringkali tidak hafal jalan, maka membawa driver akan memastikan perjalanan jauh lebih nyaman. Bahkan belakangan ini, saya nyaris tidak pernah membawa mobil sendiri. Aktivitas yang begitu padat, bertarung dengan kemacetan di jalan bisa memicu stres. Maka ke mana-mana saya lebih senang meminta Anang, driver PPPG, untuk mengantar saya.

Kami keluar dari halaman SMK 3 Banda Aceh. Mungkin kami tidak akan singgah di banyak tempat, karena waktu kami memang tidak terlalu leluasa. Saya duduk di sebelah ibu Asmah, yang begitu anggun memegang setir (perempuan Aceh, bahkan saat menyetir mobil pun, terihat begitu anggun). Ibu Kartini dan ibu...(Aduh, saya lupa namanya), duduk di jok tengah. Bu Yuli, bu Zahara, dan ibu....(siapa ya, lupa lagi namanya), ada di mobil yang lain.

Obyek wisata yang pertama kali kami lihat adalah Museum Tsunani. Sebuah bangunan yang bentuknya mirip kapal besar sekali. Di dalam bangunan itulah tersimpan dan terekam berbagai hal terkait dengan musibah tsunami yang telah memporakporandakan Aceh pada akhir tahun 2004. Meluluhlantakkan segalanya menjadi puing-puing dalam waktu sekejap. Tak kurang 250 ribu orang menjadi korban. 

Duka itu begitu saja menggelayut di wajah ibu Asmah. "Ibu, kita tidak usah mampir ke museum ya...." Bu Asmah menghela nafas. Panjang dan berat. Lantas bibirnya mengucap Nama Allah. Suaranya bergetar. Saya langsung saja menjawab, "Baik, ibu, tidak masalah. Monggo, saya ikut saja apa kata driver..." Saya tertawa menggoda beliau.

"Ibu Asmah kehilangan banyak keluarga saat tsunami itu, bu Luthfi...." Jelas ibu Kartini. "Ada berapa, bu Asmah?" 

Bu Asmah menghela nafas berat lagi. Saya yang di sebelahnya, tiba-tiba merasakan dada saya sesak. "Ya...kalau diurut dari keluarga nenek, ada sekitar dua ratusan...". Jawab beliau, dengan suara sedih. "Sampai saat ini pun....saya tidak ingin memasuki museum itu...".

Tenggorokan saya terasa sakit. Tsunami telah menyisakan duka berkepanjangan bagi orang-orang yang telah menyaksikan dan kehilangan keluarganya. Betapa pun mereka menyadari semua kita adalah milik Allah dan betapa kita akan kembali kepada-Nya, namun bayangan kengerian itu ternyata masih lekat dalam ingatan mereka. Saya akhirnya harus memahami, mengapa justeru orang-orang Banda Aceh, seperti bu Asmah dan kawan-kawan yang lain, tidak ingin melihat seperti apa bagian dalam Musium Tsunami itu. Melihatnya, hanya akan membangkitkan luka duka dan kesedihan yang bertahun-tahun telah berusaha ditimbunnya dalam-dalam.

Ibu Kartini, meski beliau sekeluarga selamat, rumahnya terbakar, karena ada kapal terbakar yang menabrak rumahnya. Tapi ada sejumlah kerabatnya yang menjadi korban. Begitu juga ibu Suryati. Ibunya, ya, ibu kandungnya, dan beberapa saudaranya menjadi korban, meski beliau baru beberapa menit bertelepon setelah terjadi gempa. Ya, begitu cepat semuanya terjadi. Hanya dalam waktu sekitar lima menit, ketika air itu tiba-tiba datang dari bibir pantai, menyapu semuanya, termasuk membawa sanak keluarga mereka yang telah menjadi mayat.

Kami meneruskan perjalanan dengan keheningan yang tiba-tiba menyelimuti. Saya sendiri berdoa dalam hati, semoga semua korban tsunami diberikan tempat yang layak di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan tambahan kekuatan lahir dan batin. 

Kami akhirnya sampai di Kapal Apung. Meski sebenarnya obyek wisata itu sudah tutup, tapi petugasnya berbaik hati untuk menyilakan kami, begitu tahu kami (maksudnya saya) dari Surabaya. Bahkan dia mengantar kami ke banyak sudut kapal besi yang besar itu, menceritakan peristiwa yang mengikutinya. Juga menyediakan diri untuk menjadi fotografer supaya kami bisa narsis. Hehe....

Kapal itu, sesuai nama yang tertera di badannya, adalah PLTD Apung I. Tulisan di tugu yang ada di bagian depan halaman obyek wisata itu, berbunyi: 'PLTD Apung I adalah pembangkit listrik tenaga diesel lepas pantai dengan bobot 2600 ton yang didorong sejauh 5 km ke daratan oleh kedasyatan tsunami. Sekarang berlokasi di Gampong Punge Blang Cut, Kota Banda Aceh'. Di bagian sisi yang lain, tulisan bermakna yang sama, namun dalam Bahasa Inggris. 

Kemudian di tugu prasasti, di dekatnya, tercatat nama-nama korban. Ditulis memenuhi kelima sisi prasati. Tulisan itu meliputi: Dusun Krueng Doy 68 jiwa; Dusun Lampoh Lubhok 276 jiwa; Dusun Tuan Dikandang 350 jiwa; Dusun Tuan Dipakeh 212 jiwa; Dusun Tuan Balik Ayei 171 jiwa. Di bawah masing-masing tulisan itu, dicantumkan nama para korban dan usianya. 

Kapal besi yang besar itu adalah kapal pembangkit listrik yang awalnya berada di tengah laut. Tsunami telah menyeretnya sampai sejauh sekitar lima kilometer, menggerus rumah, manusia, dan apa saja uang dilaluinya. Dan dia baru berhenti, di tempat ini, ketika air mulai surut. Allahu Akbar. Saya bergidik membayangkannya. Tidak mungkin kapal itu akan berada di tempat ini tanpa ada campur tangan kekuatan dari Yang Maha Perkasa. Kapal sebesar itu... Dibuat dari besi lagi... Terapung-apung dari laut. Betapa dahsyatnya tsunami itu...

Bu Asmah juga membawa kami melewati makam Sultan Iskandar Muda, tempat mandi istri Sultan Iskandar Muda, juga tempat bermainnya. Lapangan Blang Padang yang di situ bertengger pesawat Seulawah, kapal bantuan rakyat Aceh kepada RI. Beliau dan teman-teman yang lain adalah pemandu yang andal. Hampir semua detil diceritakannya terkait dengan situs-situs itu.

Kami akhirnya sampai di sini. Di Pantai Olee Leu. Pantai yang berada di ujung barat Pulau Sumatra. Di ujung sana, adalah Masjid Baiturrahim, masjid yang tetap berdiri kokoh meski semua yang ada di sekitarnya porak-poranda saat tsunami dulu. Di seberang sana, adalah Pulau Sabang. Sebenarnya hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit dengan kapal cepat untuk mencapainya. Di sana banyak obyek yang menarik. Namun saat ini tidaklah memungkinkan. Disimpan untuk kunjungan yang akan datang. Insyaallah....

Senja telah benar-benar jatuh. Kami duduk di pinggir pantai, menikmati matahari jingga, yang sinarnya memantul di permukaan laut. Membiaskan warna-warna merah dan kelabu yang berpadu. Menyajikan pantai Olee Leu ibarat lukisan yang luar biasa indah. Ditemani sebuah jagung bakar dan sebutir kelapa muda, kami mengagumi semua yang tersaji di depan mata. Menunggu adzan maghrib. Untuk menuju ke tempat sujud, di mana kami bisa melabuhkan seluruh hati dan jiwa kami. Melantunkan rasa syukur dan permohonan atas kekuatan lahir dan batin dari-Nya untuk menemani setiap langkah kami......

Banda Aceh, 26 Agustus 2013

LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...