Sarmi menjadi sangat
membosankan hari ini. Pagi yang cerah terasa sangat panas dan gerah.
Ketidakpastian kedatangan speedboat memunculkan resah. Kami menghitung hari.
Kalau hari ini speedboat yang akan membawa kami ke Kasonaweja tidak juga
datang, kami sudah menyusun plan B. Tapi plan B itu membuat saya tidak nyaman
juga. Karena harus membiarkan pak Julianto dan kru JTV untuk mencapai Mamberamo
Raya bersama anak-anak, dan kami bersama mas Rukin bertolak ke Jayapura,
kembali ke Surabaya. Tidak. Hati saya tidak sampai hati untuk membiarkan itu
terjadi. Bukan karena tidak percaya pak Julianto akan bisa mengatasi semuanya.
Tapi lebih karena rasa tanggung jawab dan kesetiakawanan.
Kegalauan seperti
berlarut-larut. Saya, mungkin juga yang lain, juga sudah mulai bosan makan
dengan menu masakan Padang. Sejak kedatangan kami ke Sarmi kemarin malam, kami
tidak lepas dari makanan Padang. Meski di Sarmi banyak pendatang dan sebagian
besar dari para pendatang itu muslim, tidak terlalu banyak ditemukan jenis
makanan yang cocok dengan lidah. Makanan Padang menjadi pilihan yang favorit.
Bukan lagi karena rasanya, tapi karena tidak ada pilihan.
Anak-anak sudah
berkali-kali bertanya, jam berapa kami akan berangkat. Saya sibuk menenangkan
mereka, saya katakan, kita masih menunggu boat. Boat masih menunggu bahan bakar
juga. Faktor kesulitan di sini memang di luar dugaan kita. Tidak mudah
mendapatkan bahan bakar, dan harus pandai-pandai membaca perilaku alam.
Kerisauan saya memuncak
setelah sampai pukul 10.00, kepastian itu tak juga kami dapatkan. Pak Kadis
kelihatan resah, dan kami sudah tidak ingin menambah keresahan beliau dengan
pertanyaan-pertanyaan kami. Kami tim pendamping telah melihat bagaimana beliau
telah berusaha. Pria baik itu sangat memahami situasi kami, namun beliau juga
harus memosisikan diri sebagai birokrat yang musti taat pada arahan atasan,
sekaligus memahamkan pada kami tentang situasi alam. Sejak pagi beliau terus
berusaha berkoordinasi. Namun kabar yang beliau dapatkan nihil. Entah mengapa,
kabag umum sepertinya tidak bisa dihubungi juga. Jadilah kami semua dalam
kondisi serba tidak jelas.
Akhirnya saya bersms ke
Sekda, bapak Obed Barenz. "Selamat pagi, bapak. Sampai detik ini belum ada
kepastian keberangkatan kami ke Mamra. Kami harap2 cemas. Waktu kami terbatas
juga untuk bisa mendampingi para peserta, hanya sampai tgl 18. Pak Kadis kami
lihat sdh sangat berusaha." Beliau membalas: "iya ibu tingkat
kesulitan memang tinggi ibu, nanti saya komunikasi lg dng staf krn saya lg
berobat bu".
Saya segera meminta maaf
telah mengganggu pak sekda, meski saya merasa harus berkirim sms pada beliau.
Pak Kadis sedang tidak ada di sekitar kami, sedang keluar hotel, memastikan
keberadaan speedboat.
Kembali pada kejenuhan.
Saya kirim sms ke pak Kadis. "Bapak, sekiranya ada yang bisa kami
bantu?" Beliau membalas. "Sy sdng siap menunggu speedboad yg ditunggu
kita, dan utk sementara belum ada yg perlu dibantu, dmkn info."
Saya bengong lagi. Tiba-tiba
mas Rukin mengajak ke pelabuhan. Saya menggeleng. Tak bersemangat. Tapi mas
Rukin tetap bergerak. "Mau apa ke pelabuhan?" Tanya saya. Dia
menjawab. "Ya, siapa tahu ada yang bisa dilakukan, setidaknya untuk
melihat apakah sudah ada speedboat atau belum".
Maka, di bawah terik
matahari yang panas menyengat, kami bertiga, dengan mas Joko, bergerak menuju
pelabuhan yang jaraknya hanya sekitar dua ratus meter. Meski berangkat bertiga,
kami tersebar begitu sampai di lokasi. Mas Joko bergerak ke ujung dermaga, mas
Rukin mematung di pantai menghadap tempat speedboat dan perahu-perahu
ditambatkan, dan saya lebih memilih melarikan kegundahan saya di teras bangunan
rumah yang entah berfungsi sebagai apa.
Di teras itu, dengan hati
galau, saya kirim sms ke pak Kadis. "Bapak, kalau boleh tahu, sebenarnya
ada masalah apa dengan speedboat kita?" Tak perlu menunggu lama, pak Kadis
menelepon. Suaranya lembut, menenangkan. Beliau tahu kami semua sedang resah.
Beliau katakan, speedboat sudah datang satu. Tinggal menunggu yang dua lagi,
mungkin tiga puluh menit lagi sudah tiba. Setelah itu, awak speedboat akan
mencari bahan bakar, dan sekitar satu atau satu setengah jam lagi, kita bisa
berangkat.
Pak Kadis tiba-tiba muncul
di hadapan kami setelah tahu kami sedang ada di pelabuhan. Bersama
drivernya, beliau menghampiri kami dengan senyum menghiburnya. Beliau hadir
seperti seorang bapak yang sedang berusaha menenangkan anak-anaknya.
Jujur saja, sepanjang
pengalaman saya berkunjung di daerah 3T dan bergaul dengan para pejabatnya, pak
Kadis Mamberamo Raya ini begitu berbeda. Beliau benar-benar all out mendampingi
kami sejak di Jayapura. Lulusan S2 UPI ini tidak seperti para pejabat yang
lebih senang menugaskan stafnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat
seperti ini. Meski, sebagaimana layaknya para kepala dinas di mana pun, beliau
sangat takzim dengan apa kata bupati dan sekda, namun kerelaannya untuk
mendampingi kami dalam segala situasi benar-benar mengagumkan. Padahal kalau
mau, beliau bisa saja terbang dengan pesawat kecil dari Jayapura langsung
Kasonaweja, dan menunggu kehadiran kami di sana.
Isak Torobi, kadis itu,
selain sangat humble, juga berwawasan luas. Ketika bicara tentang bagaimana
seharusnya pendidikan guru dirancang, bagaimana seharusnya BSM dan berbagai
kebijakan bantuan pendidikan diuncurkan, jelas sekali kalau beliau adalah
kepala dinas yang berkelas. Tesisnya yang mengangkat tema pendidikan guru
berasrama, yang mengantarkan beliau memperoleh gelar S2-nya, masih sangat up to
date untuk era saat ini.
Kami akhirnya kembali ke
hotel dengan harapan baru. Sebentar lagi speedboat akan datang. Saatnya
memberitahu para peserta untuk bersiap. Juga mempersiapkan logistik selama
perjalanan. Pak Kadis bilang, tidak ada warung menjual makanan selama
perjalanan, bahkan di tempat singgah. Maka kami musti membeli enam puluh nasi
bungkus untuk makan siang dan makan malam. Untuk semua peserta SM-3T,
pendamping, dan awak speedboat.
Akhirnya, waktu menginjak
pukul 14.00, kami semua sudah ada di pantai. Tempat speedboat dipersiapkan.
Bahan bakar dalam puluhan jurigen besar diturunkan dari mobil, disiapkan di
bibir pantai. Semua bagasi dikumpulkan, siap dinaikkan ke speedboat. Bahkan
semua sudah mengenakan pelampung, siap menempuh perjalanan panjang menuju
Mamberamo Raya.
Namun, tiba-tiba, pak
Kadis memanggil saya. Beliau sedang berbicara serius dengan koordinator awak
speedboat. Saya menghampiri beliau dengan mengajak pak Julianto, supaya tidak
hanya saya yang mendengar penjelasan yang nampaknya sangat penting.
Dan saya serasa lemas
seketika saat mendengar kalimat yang meluncur dari koordinator awak speedboat
itu. Dia memutuskan untuk tidak memberangkatkan kami siang atau sore ini.
Terlalu berbahaya, karena gelombang laut sudah tinggi. Nampaknya memang air
mulai pasang. Sepertinya laut tenang, itu karena posisi kami sekarang sedang
ada di balik teluk. Tetapi begitu lepas dari teluk, gelombang dipastikan sangat
tinggi, dan angin sangat kencang, sangat berbahaya.
Pak Kadis menatap saya.
Tak berdaya, tapi dengan tegas meyakinkan saya: "Hari ini, laut tidak
memberi kita peluang...".
Baiklah. Saya sedang berbicara dengan seorang profesional. Saya harus menerima masukannya. Tanpa membantah, saya segera meminta pak Julianto memberitahu anak-anak yang semua sudah berpelampung. Saya sendiri bersama pak Kadis dan mas Rukin, meluncur kembali ke hotel yang baru beberapa saat kami tinggalkan tadi. Segera melakukan booking kamar sebelum kamar-kamar kami ditempati tamu lain.
Allahu Akbar. Betapa Maha
Kuasanya Allah yang mengatur semuanya. Benar-benar kondisi yang tak pernah saya
sangka. Rasanya saya ingin menangis. Baru saja harapan kami membubung tinggi,
tiba-tiba harus dihempaskan. Semangat seperti luluh-lantak dalam seketika. Tapi
saya harus menguatkan diri. Demi anak-anak. Demi teman-teman semua. Saya akan
menjadi sangat aneh bila sampai menangis hanya gara-gara masalah ini, sementara
mereka semua bisa menerima keadaan dengan lapang dada, meski mungkin ada rasa
kecewa.
Alam telah mengajarkan
pada kami semua untuk bersabar dan beradaptasi dengan perilakunya. Laut akan
bersahabat esok pagi, dan keteduhannya akan mengantarkan kami menempuh
perjalanan panjang menuju Mamberamo Raya.
Di sana, perjuangan yang
sebenarnya baru dimulai. Perjuangan para pejuang pendidikan, para peserta SM-3T
itu, untuk ikut serta mencerdaskan anak-anak negeri di Tanah Papua.
Ya Allah, Ya Rabbi,
lindungi perjalanan kami, ridhoi perjuangan kami.
Amin YRA.
Sarmi, 16 September 2013
Wassalam,
LN
LN
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...