Pages

Selasa, 17 September 2013

Mamberamo (5): Hari Ini, Laut Tidak Memberi Kita Peluang

Sarmi menjadi sangat membosankan hari ini. Pagi yang cerah terasa sangat panas dan gerah. Ketidakpastian kedatangan speedboat memunculkan resah. Kami menghitung hari. Kalau hari ini speedboat yang akan membawa kami ke Kasonaweja tidak juga datang, kami sudah menyusun plan B. Tapi plan B itu membuat saya tidak nyaman juga. Karena harus membiarkan pak Julianto dan kru JTV untuk mencapai Mamberamo Raya bersama anak-anak, dan kami bersama mas Rukin bertolak ke Jayapura, kembali ke Surabaya. Tidak. Hati saya tidak sampai hati untuk membiarkan itu terjadi. Bukan karena tidak percaya pak Julianto akan bisa mengatasi semuanya. Tapi lebih karena rasa tanggung jawab dan kesetiakawanan.

Kegalauan seperti berlarut-larut. Saya, mungkin juga yang lain, juga sudah mulai bosan makan dengan menu masakan Padang. Sejak kedatangan kami ke Sarmi kemarin malam, kami tidak lepas dari makanan Padang. Meski di Sarmi banyak pendatang dan sebagian besar dari para pendatang itu muslim, tidak terlalu banyak ditemukan jenis makanan yang cocok dengan lidah. Makanan Padang menjadi pilihan yang favorit. Bukan lagi karena rasanya, tapi karena tidak ada pilihan.

Anak-anak sudah berkali-kali bertanya, jam berapa kami akan berangkat. Saya sibuk menenangkan mereka, saya katakan, kita masih menunggu boat. Boat masih menunggu bahan bakar juga. Faktor kesulitan di sini memang di luar dugaan kita. Tidak mudah mendapatkan bahan bakar, dan harus pandai-pandai membaca perilaku alam.

Kerisauan saya memuncak setelah sampai pukul 10.00, kepastian itu tak juga kami dapatkan. Pak Kadis kelihatan resah, dan kami sudah tidak ingin menambah keresahan beliau dengan pertanyaan-pertanyaan kami. Kami tim pendamping telah melihat bagaimana beliau telah berusaha. Pria baik itu sangat memahami situasi kami, namun beliau juga harus memosisikan diri sebagai birokrat yang musti taat pada arahan atasan, sekaligus memahamkan pada kami tentang situasi alam. Sejak pagi beliau terus berusaha berkoordinasi. Namun kabar yang beliau dapatkan nihil. Entah mengapa, kabag umum sepertinya tidak bisa dihubungi juga. Jadilah kami semua dalam kondisi serba tidak jelas. 

Akhirnya saya bersms ke Sekda, bapak Obed Barenz. "Selamat pagi, bapak. Sampai detik ini belum ada kepastian keberangkatan kami ke Mamra. Kami harap2 cemas. Waktu kami terbatas juga untuk bisa mendampingi para peserta, hanya sampai tgl 18. Pak Kadis kami lihat sdh sangat berusaha." Beliau membalas: "iya ibu tingkat kesulitan memang tinggi ibu, nanti saya komunikasi lg dng staf krn saya lg berobat bu". 

Saya segera meminta maaf telah mengganggu pak sekda, meski saya merasa harus berkirim sms pada beliau. Pak Kadis sedang tidak ada di sekitar kami, sedang keluar hotel, memastikan keberadaan speedboat. 

Kembali pada kejenuhan. Saya kirim sms ke pak Kadis. "Bapak, sekiranya ada yang bisa kami bantu?" Beliau membalas. "Sy sdng siap menunggu speedboad yg ditunggu kita, dan utk sementara belum ada yg perlu dibantu, dmkn info."

Saya bengong lagi. Tiba-tiba mas Rukin mengajak ke pelabuhan. Saya menggeleng. Tak bersemangat. Tapi mas Rukin tetap bergerak. "Mau apa ke pelabuhan?" Tanya saya. Dia menjawab. "Ya, siapa tahu ada yang bisa dilakukan, setidaknya untuk melihat apakah sudah ada speedboat atau belum".

Maka, di bawah terik matahari yang panas menyengat, kami bertiga, dengan mas Joko, bergerak menuju pelabuhan yang jaraknya hanya sekitar dua ratus meter. Meski berangkat bertiga, kami tersebar begitu sampai di lokasi. Mas Joko bergerak ke ujung dermaga, mas Rukin mematung di pantai menghadap tempat speedboat dan perahu-perahu ditambatkan, dan saya lebih memilih melarikan kegundahan saya di teras bangunan rumah yang entah berfungsi sebagai apa. 

Di teras itu, dengan hati galau, saya kirim sms ke pak Kadis. "Bapak, kalau boleh tahu, sebenarnya ada masalah apa dengan speedboat kita?" Tak perlu menunggu lama, pak Kadis menelepon. Suaranya lembut, menenangkan. Beliau tahu kami semua sedang resah. Beliau katakan, speedboat sudah datang satu. Tinggal menunggu yang dua lagi, mungkin tiga puluh menit lagi sudah tiba. Setelah itu, awak speedboat akan mencari bahan bakar, dan sekitar satu atau satu setengah jam lagi, kita bisa berangkat.

Pak Kadis tiba-tiba muncul di hadapan kami setelah tahu kami sedang ada di pelabuhan.  Bersama drivernya, beliau menghampiri kami dengan senyum menghiburnya. Beliau hadir seperti seorang bapak yang sedang berusaha menenangkan anak-anaknya.

Jujur saja, sepanjang pengalaman saya berkunjung di daerah 3T dan bergaul dengan para pejabatnya, pak Kadis Mamberamo Raya ini begitu berbeda. Beliau benar-benar all out mendampingi kami sejak di Jayapura. Lulusan S2 UPI ini tidak seperti para pejabat yang lebih senang menugaskan stafnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti ini. Meski, sebagaimana layaknya para kepala dinas di mana pun, beliau sangat takzim dengan apa kata bupati dan sekda, namun kerelaannya untuk mendampingi kami dalam segala situasi benar-benar mengagumkan. Padahal kalau mau, beliau bisa saja terbang dengan pesawat kecil dari Jayapura langsung Kasonaweja, dan menunggu kehadiran kami di sana.

Isak Torobi, kadis itu, selain sangat humble, juga berwawasan luas. Ketika bicara tentang bagaimana seharusnya pendidikan guru dirancang, bagaimana seharusnya BSM dan berbagai kebijakan bantuan pendidikan diuncurkan, jelas sekali kalau beliau adalah kepala dinas yang berkelas. Tesisnya yang mengangkat tema pendidikan guru berasrama, yang mengantarkan beliau memperoleh gelar S2-nya, masih sangat up to date untuk era saat ini. 

Kami akhirnya kembali ke hotel dengan harapan baru. Sebentar lagi speedboat akan datang. Saatnya memberitahu para peserta untuk bersiap. Juga mempersiapkan logistik selama perjalanan. Pak Kadis bilang, tidak ada warung menjual makanan selama perjalanan, bahkan di tempat singgah. Maka kami musti membeli enam puluh nasi bungkus untuk makan siang dan makan malam. Untuk semua peserta SM-3T, pendamping, dan awak speedboat.

Akhirnya, waktu menginjak pukul 14.00, kami semua sudah ada di pantai. Tempat speedboat dipersiapkan. Bahan bakar dalam puluhan jurigen besar diturunkan dari mobil, disiapkan di bibir pantai. Semua bagasi dikumpulkan, siap dinaikkan ke speedboat. Bahkan semua sudah mengenakan pelampung, siap menempuh perjalanan panjang menuju Mamberamo Raya.

Namun, tiba-tiba, pak Kadis memanggil saya. Beliau sedang berbicara serius dengan koordinator awak speedboat. Saya menghampiri beliau dengan mengajak pak Julianto, supaya tidak hanya saya yang mendengar penjelasan yang nampaknya sangat penting.

Dan saya serasa lemas seketika saat mendengar kalimat yang meluncur dari koordinator awak speedboat itu. Dia memutuskan untuk tidak memberangkatkan kami siang atau sore ini. Terlalu berbahaya, karena gelombang laut sudah tinggi. Nampaknya memang air mulai pasang. Sepertinya laut tenang, itu karena posisi kami sekarang sedang ada di balik teluk. Tetapi begitu lepas dari teluk, gelombang dipastikan sangat tinggi, dan angin sangat kencang, sangat berbahaya.

Pak Kadis menatap saya. Tak berdaya, tapi dengan tegas meyakinkan saya: "Hari ini, laut tidak memberi kita peluang...".


Baiklah. Saya sedang berbicara dengan seorang profesional. Saya harus menerima masukannya. Tanpa membantah, saya segera meminta pak Julianto memberitahu anak-anak yang semua sudah berpelampung. Saya sendiri bersama pak Kadis dan mas Rukin, meluncur kembali ke hotel yang baru beberapa saat kami tinggalkan tadi. Segera melakukan booking kamar sebelum kamar-kamar kami ditempati tamu lain.

Allahu Akbar. Betapa Maha Kuasanya Allah yang mengatur semuanya. Benar-benar kondisi yang tak pernah saya sangka. Rasanya saya ingin menangis. Baru saja harapan kami membubung tinggi, tiba-tiba harus dihempaskan. Semangat seperti luluh-lantak dalam seketika. Tapi saya harus menguatkan diri. Demi anak-anak. Demi teman-teman semua. Saya akan menjadi sangat aneh bila sampai menangis hanya gara-gara masalah ini, sementara mereka semua bisa menerima keadaan dengan lapang dada, meski mungkin ada rasa kecewa. 

Alam telah mengajarkan pada kami semua untuk bersabar dan beradaptasi dengan perilakunya. Laut akan bersahabat esok pagi, dan keteduhannya akan mengantarkan kami menempuh perjalanan panjang menuju Mamberamo Raya.

Di sana, perjuangan yang sebenarnya baru dimulai. Perjuangan para pejuang pendidikan, para peserta SM-3T itu, untuk ikut serta mencerdaskan anak-anak negeri di Tanah Papua.

Ya Allah, Ya Rabbi, lindungi perjalanan kami, ridhoi perjuangan kami.

Amin YRA.

Sarmi, 16 September 2013


Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...