Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label SM-3T Angkatan Ke-3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SM-3T Angkatan Ke-3. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 September 2013

Mamberamo (5): Hari Ini, Laut Tidak Memberi Kita Peluang

Sarmi menjadi sangat membosankan hari ini. Pagi yang cerah terasa sangat panas dan gerah. Ketidakpastian kedatangan speedboat memunculkan resah. Kami menghitung hari. Kalau hari ini speedboat yang akan membawa kami ke Kasonaweja tidak juga datang, kami sudah menyusun plan B. Tapi plan B itu membuat saya tidak nyaman juga. Karena harus membiarkan pak Julianto dan kru JTV untuk mencapai Mamberamo Raya bersama anak-anak, dan kami bersama mas Rukin bertolak ke Jayapura, kembali ke Surabaya. Tidak. Hati saya tidak sampai hati untuk membiarkan itu terjadi. Bukan karena tidak percaya pak Julianto akan bisa mengatasi semuanya. Tapi lebih karena rasa tanggung jawab dan kesetiakawanan.

Kegalauan seperti berlarut-larut. Saya, mungkin juga yang lain, juga sudah mulai bosan makan dengan menu masakan Padang. Sejak kedatangan kami ke Sarmi kemarin malam, kami tidak lepas dari makanan Padang. Meski di Sarmi banyak pendatang dan sebagian besar dari para pendatang itu muslim, tidak terlalu banyak ditemukan jenis makanan yang cocok dengan lidah. Makanan Padang menjadi pilihan yang favorit. Bukan lagi karena rasanya, tapi karena tidak ada pilihan.

Anak-anak sudah berkali-kali bertanya, jam berapa kami akan berangkat. Saya sibuk menenangkan mereka, saya katakan, kita masih menunggu boat. Boat masih menunggu bahan bakar juga. Faktor kesulitan di sini memang di luar dugaan kita. Tidak mudah mendapatkan bahan bakar, dan harus pandai-pandai membaca perilaku alam.

Kerisauan saya memuncak setelah sampai pukul 10.00, kepastian itu tak juga kami dapatkan. Pak Kadis kelihatan resah, dan kami sudah tidak ingin menambah keresahan beliau dengan pertanyaan-pertanyaan kami. Kami tim pendamping telah melihat bagaimana beliau telah berusaha. Pria baik itu sangat memahami situasi kami, namun beliau juga harus memosisikan diri sebagai birokrat yang musti taat pada arahan atasan, sekaligus memahamkan pada kami tentang situasi alam. Sejak pagi beliau terus berusaha berkoordinasi. Namun kabar yang beliau dapatkan nihil. Entah mengapa, kabag umum sepertinya tidak bisa dihubungi juga. Jadilah kami semua dalam kondisi serba tidak jelas. 

Akhirnya saya bersms ke Sekda, bapak Obed Barenz. "Selamat pagi, bapak. Sampai detik ini belum ada kepastian keberangkatan kami ke Mamra. Kami harap2 cemas. Waktu kami terbatas juga untuk bisa mendampingi para peserta, hanya sampai tgl 18. Pak Kadis kami lihat sdh sangat berusaha." Beliau membalas: "iya ibu tingkat kesulitan memang tinggi ibu, nanti saya komunikasi lg dng staf krn saya lg berobat bu". 

Saya segera meminta maaf telah mengganggu pak sekda, meski saya merasa harus berkirim sms pada beliau. Pak Kadis sedang tidak ada di sekitar kami, sedang keluar hotel, memastikan keberadaan speedboat. 

Kembali pada kejenuhan. Saya kirim sms ke pak Kadis. "Bapak, sekiranya ada yang bisa kami bantu?" Beliau membalas. "Sy sdng siap menunggu speedboad yg ditunggu kita, dan utk sementara belum ada yg perlu dibantu, dmkn info."

Saya bengong lagi. Tiba-tiba mas Rukin mengajak ke pelabuhan. Saya menggeleng. Tak bersemangat. Tapi mas Rukin tetap bergerak. "Mau apa ke pelabuhan?" Tanya saya. Dia menjawab. "Ya, siapa tahu ada yang bisa dilakukan, setidaknya untuk melihat apakah sudah ada speedboat atau belum".

Maka, di bawah terik matahari yang panas menyengat, kami bertiga, dengan mas Joko, bergerak menuju pelabuhan yang jaraknya hanya sekitar dua ratus meter. Meski berangkat bertiga, kami tersebar begitu sampai di lokasi. Mas Joko bergerak ke ujung dermaga, mas Rukin mematung di pantai menghadap tempat speedboat dan perahu-perahu ditambatkan, dan saya lebih memilih melarikan kegundahan saya di teras bangunan rumah yang entah berfungsi sebagai apa. 

Di teras itu, dengan hati galau, saya kirim sms ke pak Kadis. "Bapak, kalau boleh tahu, sebenarnya ada masalah apa dengan speedboat kita?" Tak perlu menunggu lama, pak Kadis menelepon. Suaranya lembut, menenangkan. Beliau tahu kami semua sedang resah. Beliau katakan, speedboat sudah datang satu. Tinggal menunggu yang dua lagi, mungkin tiga puluh menit lagi sudah tiba. Setelah itu, awak speedboat akan mencari bahan bakar, dan sekitar satu atau satu setengah jam lagi, kita bisa berangkat.

Pak Kadis tiba-tiba muncul di hadapan kami setelah tahu kami sedang ada di pelabuhan.  Bersama drivernya, beliau menghampiri kami dengan senyum menghiburnya. Beliau hadir seperti seorang bapak yang sedang berusaha menenangkan anak-anaknya.

Jujur saja, sepanjang pengalaman saya berkunjung di daerah 3T dan bergaul dengan para pejabatnya, pak Kadis Mamberamo Raya ini begitu berbeda. Beliau benar-benar all out mendampingi kami sejak di Jayapura. Lulusan S2 UPI ini tidak seperti para pejabat yang lebih senang menugaskan stafnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti ini. Meski, sebagaimana layaknya para kepala dinas di mana pun, beliau sangat takzim dengan apa kata bupati dan sekda, namun kerelaannya untuk mendampingi kami dalam segala situasi benar-benar mengagumkan. Padahal kalau mau, beliau bisa saja terbang dengan pesawat kecil dari Jayapura langsung Kasonaweja, dan menunggu kehadiran kami di sana.

Isak Torobi, kadis itu, selain sangat humble, juga berwawasan luas. Ketika bicara tentang bagaimana seharusnya pendidikan guru dirancang, bagaimana seharusnya BSM dan berbagai kebijakan bantuan pendidikan diuncurkan, jelas sekali kalau beliau adalah kepala dinas yang berkelas. Tesisnya yang mengangkat tema pendidikan guru berasrama, yang mengantarkan beliau memperoleh gelar S2-nya, masih sangat up to date untuk era saat ini. 

Kami akhirnya kembali ke hotel dengan harapan baru. Sebentar lagi speedboat akan datang. Saatnya memberitahu para peserta untuk bersiap. Juga mempersiapkan logistik selama perjalanan. Pak Kadis bilang, tidak ada warung menjual makanan selama perjalanan, bahkan di tempat singgah. Maka kami musti membeli enam puluh nasi bungkus untuk makan siang dan makan malam. Untuk semua peserta SM-3T, pendamping, dan awak speedboat.

Akhirnya, waktu menginjak pukul 14.00, kami semua sudah ada di pantai. Tempat speedboat dipersiapkan. Bahan bakar dalam puluhan jurigen besar diturunkan dari mobil, disiapkan di bibir pantai. Semua bagasi dikumpulkan, siap dinaikkan ke speedboat. Bahkan semua sudah mengenakan pelampung, siap menempuh perjalanan panjang menuju Mamberamo Raya.

Namun, tiba-tiba, pak Kadis memanggil saya. Beliau sedang berbicara serius dengan koordinator awak speedboat. Saya menghampiri beliau dengan mengajak pak Julianto, supaya tidak hanya saya yang mendengar penjelasan yang nampaknya sangat penting.

Dan saya serasa lemas seketika saat mendengar kalimat yang meluncur dari koordinator awak speedboat itu. Dia memutuskan untuk tidak memberangkatkan kami siang atau sore ini. Terlalu berbahaya, karena gelombang laut sudah tinggi. Nampaknya memang air mulai pasang. Sepertinya laut tenang, itu karena posisi kami sekarang sedang ada di balik teluk. Tetapi begitu lepas dari teluk, gelombang dipastikan sangat tinggi, dan angin sangat kencang, sangat berbahaya.

Pak Kadis menatap saya. Tak berdaya, tapi dengan tegas meyakinkan saya: "Hari ini, laut tidak memberi kita peluang...".


Baiklah. Saya sedang berbicara dengan seorang profesional. Saya harus menerima masukannya. Tanpa membantah, saya segera meminta pak Julianto memberitahu anak-anak yang semua sudah berpelampung. Saya sendiri bersama pak Kadis dan mas Rukin, meluncur kembali ke hotel yang baru beberapa saat kami tinggalkan tadi. Segera melakukan booking kamar sebelum kamar-kamar kami ditempati tamu lain.

Allahu Akbar. Betapa Maha Kuasanya Allah yang mengatur semuanya. Benar-benar kondisi yang tak pernah saya sangka. Rasanya saya ingin menangis. Baru saja harapan kami membubung tinggi, tiba-tiba harus dihempaskan. Semangat seperti luluh-lantak dalam seketika. Tapi saya harus menguatkan diri. Demi anak-anak. Demi teman-teman semua. Saya akan menjadi sangat aneh bila sampai menangis hanya gara-gara masalah ini, sementara mereka semua bisa menerima keadaan dengan lapang dada, meski mungkin ada rasa kecewa. 

Alam telah mengajarkan pada kami semua untuk bersabar dan beradaptasi dengan perilakunya. Laut akan bersahabat esok pagi, dan keteduhannya akan mengantarkan kami menempuh perjalanan panjang menuju Mamberamo Raya.

Di sana, perjuangan yang sebenarnya baru dimulai. Perjuangan para pejuang pendidikan, para peserta SM-3T itu, untuk ikut serta mencerdaskan anak-anak negeri di Tanah Papua.

Ya Allah, Ya Rabbi, lindungi perjalanan kami, ridhoi perjuangan kami.

Amin YRA.

Sarmi, 16 September 2013


Wassalam,
LN

Mamberamo (4): Menikmati Sarmi

Sarmi. Nama sebuah kabupaten yang jaraknya sekitar 280 km dari Jayapura. Sarmi merupakan singkatan dari nama suku-suku besar, yaitu Sobey, Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa. Namun sebenarnya, Sarmi konon ditempati oleh lebih dari 80 suku. Yang memberi nama Sarmi itu sendiri adalah antropolog Belanda, Van Kouhen Houven.

Pukul 05.30. Sarmi gerimis kecil. Tapi saya nekad keluar kamar. Bermaksud jalan-jalan, melihat situasi pagi. Saat menjelang keluar halaman hotel, pak Kadis yang sedang duduk-duduk di teras, menyapa saya. Begitu tahu saya akan berjalan-jalan, beliau menemani saya.

Jadilah pagi itu saya dan pak Kadis berjalan menyusuri pagi menuju arah pantai, di bawah gerimis tipis, ke pelabuhan. Melihat speedboat yang mungkin akan membawa kami ke Mamberamo besok pagi. Ya, besok pagi. Pagi ini kami sudah dipastikan tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Mamberamo Raya. Semua sedang dikondisikan. Speedboat, bahan bakar, driver. Ya, harus menerima keadaan. Ini hari Minggu. Tidak ada orang bekerja di Papua. Dan kita harus menghormati adat dan kebiasaan ini.

Di pelabuhan, kami menikmati matahari yang sudah meninggi, orang-orang memancing, dan garis cakrawala yang tegas tanpa kabut. Mas Rukin, yang beberapa saat tadi sudah bergabung bersama kami, mengabadikan keindahan itu dengan kameranya. Kami bertiga mengobrol tentang hasil perburuan pak Kadis semalam. Berusaha menemui kapolres dan wakapolres untuk urusan speedboat. Bertelepon dengan kabag umum kabupaten untuk dibantu menyediakan speedboat. Menurut pak Kadis, meski rute ke Mamberamo Raya nampaknya tenang, namun kami harus mengantisipasi segala kemungkinan, tidak hanya tantangan alam, namun juga kondisi keamanan.

Di tengah perjalanan pulang, tak disangka, kami bertemu dengan kabag umum yang baru datang dari Jayapura, dan pagi ini sengaja datang ke Sarmi untuk mengkondisikan speedboat. Maka pagi itu, di lobi hotel, kami berunding tentang speedboat dengan bapak kabag. Menghitung harga bahan bakar dan oli yang diperlukan untuk 3 buah speedboat. Satu speedboat besar, dan dua speedboat kecil. Lumayan, totalnya tidak kurang dari 23 juta. Plus uang lelah untur driver dan mungkin ongkos sewa.

Hotel hanya menyediakan sarapan berupa setangkep roti bakar dan teh atau kopi. Cukup untuk saya, tapi tidak untuk anak-anak. Maka pagi itu, pak Julianto, dengan meminjam sepeda motor petugas hotel, berburu nasi bungkus. Minggu seperti ini, nyaris tidak ada warung makan buka. Tapi petugas hotel menunjukkan satu tempat yang penjualnya muslim, berjualan, meski warung tidak dibuka. Berhasillah pak Julianto mendapatkan sejumlah nasi padang bungkus untuk makan pagi anak-anak.

Pak Julianto, dosen PGSD itu, masih muda. Tiga puluh dua tahun. Ini percobaan pertama bagi dia untuk terlibat di program SM-3T, dan langsung kami tugaskan ke Mamberamo Raya. Pegang uang, urus akomodasi, urus konsumsi, urus transportasi. Saya hanya membantu untuk koordinasi dengan Sekda dan Kadis, dia yang menindaklanjuti. Nampaknya dia lulus di percobaan pertama ini. Sangat bertanggung jawab dan mrantasi. Bisa dipakai terus.

Kami memang sedang mengader beberapa tenaga muda. Pak Beni Setiawan, dosen Pendidikan Sains, seusia dengan pak Julianto, telah kami rekrut sejak tahun pertama. Saat itu dia langsung kami tugaskan untuk mengurus tes seleksi yang dilaksanakan di Sumba Timur. Sukses. Setelah itu kami tugasi untuk menjadi koordinator tim monev di tahun kedua. Sukses juga. Sekarang ini dialah koordinator pemberangkatan untuk Mamberamo Tengah. Kemampuan komunikasi dan ketangkasannya untuk memecahkan masalah, sangat bisa diandalkan. Juga sikapnya yang tidak pilih-pilih pekerjaan. Mulai urusan angkut-angkut sampai koordinasi dengan kepala dinas dan bupati.

Dua orang yang lain, pak Ganes dan pak Ulhaq, dosen PGSD, seusia juga dengan pak Julianto dan pak Beni. Dua orang itu kami tugaskan untuk mengurus Jatim Mengajar. Pak Ganes mengurus Madiun, dan pak Ulhaq mengurus Ponorogo. Saya belum ketemu keduanya sejak mereka berdua mengantarkan peserta Jatim Mengajar ke kedua kabupaten tersebut, karena tanggal 13 September kemarin kami semua berangkat ke berbagai tempat tujuan, dengan tujuan yang sama, yaitu mengantarkan peserta SM-3T dan Jatim Mengajar. Namun laporan via telepon dan sms yang saya terima dari tim Jatim Mengajar, nampaknya semua lancar-lancar saja dan beres.

Saya, pak Sulaiman, bu Yanti, usia kami hampir sama. Sepantaran. Pak Yoyok, dua tahun di atas saya, pak Heru, lebih-lebih pak Rahman, jauh lebih senior. Maka sudah saatnya kami berpikir tentang kaderisasi. Kaderisasi yang sebenarnya sudah kami mulai sejak tahun pertama. Tapi ternyata tidak semua cocok untuk pekerjaan yang memerlukan kemampuan ekstra ini. Suatu saat harus jadi manajer, saat yang lain harus jadi pimpinan, atau menjadi kedua-duanya, sekaligus jadi pembantu umum dan porter. Tidak hanya ketahanan fisik, namun terutama mental. Tanggung jawab dan kejujuran. 
Tanggung jawab dan kejujuran itu menjadi hal yang sangat penting. Mulai dari urusan pengadaan atribut, asuransi, prakondisi, pemberangkatan peserta, monev, penarikan peserta, semuanya berurusan dengan uang, dan setiap orang harus bisa pegang uang untuk dikelola. Kalau mau mark up, sangat terbuka peluang. Atau mau main mata dengan para rekanan, bisa. Tapi sejauh ini, teman-teman sangat pegang komitmen. Meski ada iming-iming dari jasa asuransi dan mungkin para rekanan, standar tetap diutamakan. 

Siang ini kami dijemput driver pak Kadis untuk berkunjung ke rumah Kadis Dikpora Kabupaten Sarmi. Pasalnya, sejak pagi kami mencoba nge-print MoU antara Unesa dan Mamberamo Raya di warnet tidak juga berhasil. Petugas warnet tidak paham juga bagaimana mengoperasikan printer. Printer tidak connect dengan PC. Diutak-utek sama mas Rukin, hasilnya negatif. 

Kadis Dikpora Sarmi, orangnya gemuk dan nampak agak susah untuk bergerak karena berat badan. Beliau adalah adik kelas pak Kadis Mamberamo Raya saat di SPG, di Kabupaten Yapen. Rumahnya, jangan bayangkan seperti rumah kepala dinas di kabupaten di Jawa. Jauh sekali bedanya. Terlalu sederhana untuk rumah seorang kepala dinas. Berada di belakang sekolah, beliau tinggal bersama istri dan anak-anaknya yang sudah dewasa. Dalam rumah yang sangat sederhana, jauh dari kesan mewah. Tidak ada mobil pribadi maupun mobil dinas. Meski rumahnya di pinggir pantai yang bila siang hari sangat panas, rumah tidak ada AC. Perabotnya pun sederhana.

Tapi beliau punya laptop yang connect dengan printernya. Juga sesisir pisang nona (di Surabaya disebut pisang emas) yang manis rasanya. Serta sekaleng minuman kaleng dingin yang menyejukkan di siang yang sangat gerah ini. Dan keramahan khas orang Papua, yang membuat siapa pun betah berlama-lama mengobrol di teras rumahnya ditemani semilir angin pantai.

Sepulang dari rumah pak Kadis Sarmi, setelah kru JTV mewawancarainya dan mengambil gambar rumah dan keluarganya, kami dengan menumpang mobil pak Kadis, menuju pantai. Matahari masih terik. Tidak terlalu menarik menikmati pantai. Namun, di dekat pantai itu ada pasar. Di sepanjang jalan. Semua hasil bumi dan hasil laut digelar. Terong, sawi, kangkung, rica (cabe), kacang panjang, bayam, kobis, ikan segar, ikan goreng, udang, singkong, keladi, bete (bentul), dan tentu saja buah sirih dan pinang, juga serbuk kapur putihnya. 

Sirih dan pinang, menjadi makanan wajib bagi masyarakat Papua. Laki perempuan tua muda, semua mengunyahnya. Membuat mulut mereka merah, dan ludah pinang berhamburan ke mana-mana, menghiasi hampir semua fasilitas umum. Tanaman pinang juga bisa dilihat di banyak tempat. Penjual sirih pinang juga ada di semua tempat. Pinang menjadi komoditas yang sangat menjajikan di Papua. Saya amati, baru beberapa saat saja, seorang gadis remaja yang berjualan pinang sudah melepaskan beberapa gundukan pinangnya pada para pembeli. Penjual yang lain juga begitu. 

Semakin sore, pasar semakin ramai. Para penjual dan pembeli memadati sepanjang jalan di pinggir pantai itu. Komoditinya juga semakin beragam. Pak Kadis membeli dua potong besar daging kanguru yang sudah diasap. Beliau bilang, jarang sekali bisa menemukan makanan hasil buruan itu.    

Sore yang jatuh menyajikan pemandangan yang luar biasa indahnya. Matahari yang hampir tenggelam di balik bukit, sinarnya membuat langit yang dipenuhi awan berwarna merah kuning berkilauan, dan bayangannya tumpah di permukaan laut. Pemandangan itu menjadi latar belakang kerumunan pasar yang sibuk. Dilengkapi dengan anak-anak pantai yang bermain berlompatan menceburkan diri di laut yang dangkal. Kami mengagumi sepuas-puasnya suasana itu. 

Namun ada yang sangat mengganggu kenyamanan saya. Sangat! Di antara komoditas itu, mereka juga menjual ulat. Ya, ulat sagu yang besarnya sejempol-jempol itu kruntelan di waskom-waskom. Saya teriak-teriak histeris karena kaget setengah mati. Saya takut sama ulat. Gilo poll. Teriakan saya menarik perhatian orang-orang di pasar itu. Dan mulut mereka yang merah menyeringai kegirangan melihat ketakutan saya. Bahkan seorang mama mendekat ke arah saya tanpa saya sadari, dan dengan senyum termanisnya dia menyapa saya. "Ibu, ini juga ulat, ibu...' Dia membuka genggamannya. Tentu saja saya spontan teriak lagi. Kebahagiaan orang-orang itu sepertinya lengkap saat melihat muka pucat pasi saya....

Sore yang indah kami tuntaskan senja ini. Bersama peserta SM-3T. Bersama orang-orang Papua yang cakep-cakep dan ramah-ramah. Bersama langit, laut, pantai, dan bukit yang memukau. Bersama anak-anak pantai yang ramai bekerjaran. 

Malam nanti, kami akan menikmati makan malam dengan menu papeda dan ikan kuah di rumah Bapak Yulius. Beliau adalah adik Bupati Mamberamo Raya, Bapak Demianus Kyeuw Kyeuw. Beliau mengundang kami semua sebagai penghormatan, dan dalam rangka mengenalkan salah satu makanan pokok mereka pada guru-guru SM-3T ini. Supaya mereka terbiasa mengonsumsi papeda dan bahan makanan dari sagu lainnya. 

Membayangkan makanan kenyal dan liat yang disruput dengan kuah ikan yang asam pedas itu, hm....pasti nikmat. Tapi sekarang saatnya mandi dan salat maghrib dulu. Tunggu sampai nanti malam. Hmmmm......

Sarmi, 15 September 2013

Wassalam,
LN  

Sabtu, 14 September 2013

Mamberamo (3): Sepuluh jam perjalanan, melewati ratusan jembatan

Setelah berjalan sekitar tiga jam, kami singgah di sebuah tempat makan. Yang punya orang Boyolali. Menunya ramai, mulai dari tempe goreng, ikan goreng dan bakar, ayam goreng dan bakar, bebek goreng, sampai kare ayam dan kare bebek. Ada juga lodeh nangka muda dan sayur bening. 

Pagi tadi sebagian dari kami tidak makan, karena tidak terlalu terbiasa sarapan terlalu pagi. Maka saya, mas Rukin, pak Kadis, Ferry dan mas Joko, pesan makanan. Saya mengambil sayur lodeh dan kare ayam. Rasanya cocok sekali dengan lidah saya. Persis masakan Tuban. Pedas, sedap, segar. 

Anak-anak tidak mau makan, mereka minta dibungkuskan saja. Ya, mereka tentu masih kenyang. Lagi pula, jam masih menunjukkan pukul 11.00. Belum waktunya makan siang. Maka sebanyak 27 bungkus nasi ayam segera disiapkan oleh penjualnya yang ramah. Sementara menunggu nasi bungkus, anak-anak minum dan makan kletikan seperti kerupuk dan rempeyek.

Kami juga membeli jeruk manis untuk bekal di perjalanan. Jeruk manis itu, per lima buahnya seharga sepuluh ribu. Apel, tiga buah, empat puluh ribu. Jeruk itu ditanam oleh para transmigran. Kalau apel, jelas, apel import. Pasti dibawa dari kota, mungkin dari Jayapura atau bahkan langsung dari Jawa.

Melanjutkan perjalanan lagi.  
Melewati ratusan jembatan yang kondisinya membuat hati deg-deg-an. Jembatan yang sebagian besar belum jadi, dengan kayu-kayu yang diatur rapat, dan terlihat tidak terlalu aman. Seperti itu harus kami lalui sebanyak ratusan kali. Ya, ratusan. Jayapura-Sarmi jaraknya sekitar 280 km, dan hampir setiap kilometernya melintasi jembatan. Ada juga yang musti melewati jembatan hanya dengan jarak beberapa ratus meter saja. Tidak heran kalau bus tidak bisa berjalan kencang. Kencang sebentar, lantas pelan, menceburkan diri di jembatan yang bergelombang. Kalau ada gelombang laut, di Papua inilah terjadi gelombang darat.

Lima jam yang dijanjikan pak Kadis saat presentasi di kegiatan prakondisi di Kodikmar tempo hari, ternyata hanya isapan jempol. Lima jam lebih, saat waktu sudah menunjukkan pukul 14.30, kami baru tiba di distrik Bonggo. Jarak ke Sarmi masih kurang seratus kilometer lebih, terbaca di pal kuning sepanjang jalan. Saat saya protes pada pak Kadis, pria hitam yang ramah itu hanya tertawa, menampakkan gigi-gigi putihnya (pak Kadis tidak makan sirih pinang, tidak merokok, dan tidak minum alkohol. Tidak ada bekas kemerahan di gigi dan mulutnya, tidak seperti kebanyakan orang Papua).
Kata beliau, kalau tempo hari beliau katakan bahwa jarak Papua-Sarmi sepuluh jam, maka dia khawatir nanti akan banyak peserta SM-3T yang mengundurkan diri. Dan beliau tidak mau itu. Maka dikatakan saja kalau jarak Jayapura-Sarmi lima jam. Saya menuduh pak Kadis telah melakukan kebohongan publik. Beliau malah tertawa berderai.

Di Bonggo, kami singgah di warung makan. Anak-anak membuka nasi bungkusnya. Sebagian ragu-ragu untuk makan. Perjalanan dengan gelombang darat yang hebat masih harus dilalui lima jam ke depan. Sementara tadi saja, satu dua di antara mereka sudah mengalami mabuk kepayang. Kalau makan, perut penuh, hal itu akan membuat mabuk kepayang mereka semakin parah.

Warung makan itu, yang punya, orang Kebumen. Transmigran sejak 1996. Memiliki empat anak, satu di antaranya adalah angkatan darat, dan satunya lagi arsitek yang kerja di Sorong. Dilihat dari kondisi rumah dan keluarganya, keluarga itu bisa dibilang transmigran yang cukup berhasil. Keberhasilan yang dirintis puluhan tahun. Berjuang, berusaha bertahan hidup, menghadapi berbagai kendala, baik ekonomi, sosial, budaya, bahkan juga keamanan. 

Kami numpang sholat di tempat itu. Air berlimpah dan cukup bersih. Hanya, karena ternyata warung itu baru buka dua hari, maka belum ada tempat khusus untuk sholat. Kami disediakan satu kamar, di bagian belakang rumah, untuk menunaikan sholat dhuhur-ashar jama' takdim.

Melanjutkan perjalanan lagi. Laut ada di sebelah kanan. Rawa-rawa hampir di sepanjang jalan. Ada yang warna airnya hijau rata, pekat sekali. Di atasnya adalah pepohonan dari segala jenis, tumbuh sangat rapat. Diseling-seling pohon kelapa. Sungai, rawa, genangan-genangan air yang menghiasi sepanjang jalan, membuat saya paham, kenapa sebagian besar wilayah Papua adalah endemik malaria.  

Sampai di kampung Arare, distrik Pantai Timur Barat. Rumah-rumah panggung. Anak-anak kecil dan orang dewasa, duduk-duduk di teras, ada juga yang bermain di halaman. Sebagian bertelanjang dada, menampakkan tubuh mereka yang hitam legam. 

Lepas dari kampung, kembali ke rimba, rawa, masuk perkampungan lagi, rimba dan rawa-rawa lagi. Air rawa, seperti tadi, berwarna hijau, meski tidak terlalu pekat.

Singgah di jembatan dengan sungai-sungai lebar, panjang, dan indah. Ada juga sungai yang langsung bertemu dengan laut (muara). Sore yang jatuh membuat langit yang dihiasi awan menggantung hanya menyisakan sedikit kilau di beberapa bagian. Kilau itu berpendar menghiasi permukaan sungai. Indahnya...

Kami juga mengamati orang-orang yang sedang mencari biak (semacam kerang besar). Mereka, ibu, anak, dan mungkin cucu, berada di tepian sungai, naik ke jalan menaiki jalan setapak yang menanjak, membawa karung-karung berisi biak. Biak, bisa dijual di kota Sarmi, dengan harga 150 ribu per karung. Para perempuan itu bahu-membahu mengangkati karung-karung ke atas, dan seorang lagi memanggulnya di atas kepala, dijadikan satu dengan tumpukan lainnya. Meski tubuh mereka kotor, kulit hitam dan rambut keriting mereka tetap memancarkan kecantikan. Mereka cantik sekaligus kekar dan kuat.

Pukul 18.15. Kami tiba di Sarmi. Ya, sepuluh jam perjalanan. Tidak apa, tidak ada pilihan. Yang penting, malam ini bisa segera masuk hotel, mandi, makan, tidur. Sambil menunggu apa yang akan terjadi besok. Saya agak mendesak kepada pak Kadis supaya kami besok pagi bisa melanjutkab perjalanan menuju Kasonaweja. Speedboat supaya disiapkan malam ini. Siapa tahu, tiba-tiba para pemilik speedboat bersedia mengantar kami, meski besok adalah hari Minggu. Ya, siapa tahu...  

Sarmi, 14 Sept 2013

Wassalam,
LN

Mamberamo (2): Digojlok karena noken

06.00 WITA. Bangun pagi dengan tubuh segar. Ferry, kru JTV, masih pulas. Saya masuk ke kamar mandi. Terdengar ketukan di pintu kamar  berkali-kali. Pasti ulah iseng teman-teman tim pendamping. 
Semalam, saya dan teman-teman tim pendamping sempat pergi ke Jayapura, sekitar 30 km dari Sentani. Semua peserta kami sewakan mobil juga, untuk berbelaja kebutuhan mereka ke plaza Sentani. Beras, sabun, hanger, dan sebagainya. 

Saya sendiri, jauh-jauh ke Jayapura, hanya untuk mencari noken. Pesanan suami tercinta. Teman-teman nggojloki saya, noken itu password bagi saya, untuk bisa dibukakan pintu oleh suami kalau pulang nanti. Maka mereka bertiga, mas Beni, mas Julianto, dan mas Theo, setia mengawal saya, dengan driver mobil charteran, mas Rahmad. Mas Rukin memilih tidur, katanya dua malam melekan, dan perlu istirahat sebelum melanjutkan perjalanan esok hari.

08.15 WITA. Kami semua sudah makan pagi di resto hotel, dengan menu nasi putih, ca sawi, telur berbumbu (mirip bumbu bali), dan tempe goreng. Ada juga roti tawar dengan pilihan isi selai dan coklat. Tentu saja, juga the dan kopi.

Kadis Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Mamberamo Raya, Isak Torobi, S.Pd, sudah hadir, dengan dua bus Damri yang disewanya untuk kami. Satu bus khusus untuk barang dan lima peserta, satu bus lagi khusus untuk kami. Kadis yang tinggi besar dan berkulit legam itu sangat ramah. Beliau bahkan menyediakan diri untuk menemani kami sepanjang perjalanan. Saya pikir beliau akan menemui kami di Kasonaweja, ibukota Kabupaten Mamberamo Raya, dengan menumpang pesawat kecil. Ternyata, beliau memilih bersama-sama naik bus, dan berspeedboat menuju Kasonaweja. Senasib sepenanggungan, katanya.

Perjalanan menuju Sarmi dimulai. Berteman mentari yang sinarnya telah cukup terik meski masih pagi. Danau Sentani yang lar biasa indah ada di sebelah kiri kami. Benar-benar indah. Dilengkapi dengan lagu-lagu khas Papua, jalan yang berkelok-kelok dan rimba, bukit, danau, menciptakan rasa takjub berbalut puji syukur. Maha Besar Allah yang telah menciptakan keindahan ini, dan Maha Pemurah Allah yang telah memberi kami kesempatan untuk menikmati ciptaan-Nya serta mengagungkan-Nya.

09.00 WITA. Danau Sentani tak nampak lagi. Berganti dengan rimba raya. Bukit-bukit tinggi menjulang yang tertutup dengan rerimbunan yang juga tinggi menjulang. Jalan tetap berkelok-kelok, naik-turun, sepi. Hanya beberapa kali bertemu dengan kendaraan pribadi dan sepeda motor. Jurang dalam ada di sebelah kiri. Pohon-pohon yang sudah kering berserak di jurang-jurang itu.

Ada yang sedikit membuat saya gulana. Sore ini kami akan tiba di Sarmi. Perhitungan kami, besok pagi kami sudah bisa meneruskan perjalanan menuju Kasonaweja dengan speedboat. Ternyata perhitungan kami mungkin akan meleset. Hari Minggu adalah hari beribadah dan hari keluarga untuk masyarakat Papua. Tidak ada orang bekerja. Maka speedboat pun harus disandarkan. Artinya kami harus menginap semalam lagi di Sarmi. Oh God...

Ya sudah, mari nikmati saja perjalanan ini.

Sabtu, 14 September 2013.

Wassalam,
LN

Jumat, 13 September 2013

Mamberamo (1)

Panorama Membramo Tengah dari atas udara.
06.00. Bandara Juanda. Boarding. Menuju Jayapura dengan menumpang Lion. Sebagian besar dari kami, sebelum boarding tadi,  telah menyelesaikan sarapan pagi nasi kotak, yang dibawa dari Kodikmar. Juga sudah minum dua butir chloroquin, obat anti malaria.

Ada 39 peserta SM-3T yang bersama kami. Sebanyak 20 orang akan bertugas ke Mamberamo Tengah, pendampingnya adalah Beni Setiawan, S. Pd., M. Si dan Drs. Theodorus Wiyanto, M. Pd. Sedang 19 orang akan bertugas ke Mamberamo Raya, pendampingnya adalah Julianto, S. Pd., M. Pd, Drs. Rukin Firda, M. Ikom, dan saya sendiri. Ada juga Ferry Maulina dan Joko Agus, dua orang kru JTV. Secara kebetulan, saya, mas Rukin, dan Ferry, sama-sama anggota Himapala saat mahasiswa. Saat ini disatukan lagi untuk melakukan sebuah perjalanan menuju Mamberamo Raya.  

09.00 WIT. Mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Ujungpandang. Transit sekitar satu jam, lantas melanjutkan perjalanan lagi menuju Jayapura. 

Pukul 14.00. Mendarat di Bandara Sentani, Jayapura. Langsung mencari-cari toilet. Toilet wanita, membuat saya keheranan. Semua pintunya tak bisa dikunci. Bahkan pada tempat kunci di setiap pintu itu, bolong. Ketika saya tanya pada seorang petugas perempuan berambut keriting berkulit legam, beranting monte warna-warni, kenapa pintu pada tidak bisa dikunci,  katanya karena sering orang pakai toilet terkunci di dalam, jadinya kuncinya rusak.

Di teras dan halaman bandara, air ludah sirih pinang di mana-mana, sehingga di mana-mana merah. Meski di beberapa tempat disediakan kantung-kantung plastik untuk buang ludah sirih pinang, kantung plastik itu lebih sebagai pajangan.  

Oleh karena bagasi kami banyak sekali, kami menggunakan bantuan porter. Porter berkulit hitam. Ada belasan porter, dan hanya dua atau tiga orang berwajah bukan wajah Papua. Salah satunya dari Bojonegoro. Bayangkan. Jauh-jauh dari Bojonegoro, hanya jadi porter di bandara. Tapi tunggu dulu. Ternyata dia juga punya warung di area bandara Sentani. 

Masuk sebuah hotel di Sentani, tidak terlalu jauh dari bandara. Hotel yang nampaknya bagus. Tapi, mungkin kebetulan di kamar saya saja, kamar mandi tidak terlalu terawat. Wastafel tanpa saluran, sehingga airnya 'terjun bebas' ke bawah. Dinding keramik yang kusam dan kotor di sana-sini, dan pintu kamar mandi yang bagian bawahnya sudah mulai aus.

Sore ini istirahat dulu. Besok masih melanjutkan perjalanan panjang. Yang ke Mamberamo Tengah, akan menumpang pesawat Trigana menuju Wamena, lanjut ke Kobakma, dengan menumpang pesawat-pesawat kecil. Yang ke Mamberamo Raya, akan menempuh perjalanan darat selama sekitar 7 jam menuju Kabupaten Sarmi, lanjut sekitar 7 jam lagi mengarungi sungai Mamberamo dengan speedboat menuju Kasonaweja.

Bismillah. Semoga semua lancar.

Jayapura, 13 September 2013.

Wassalam,
LN