Pages

Kamis, 03 April 2014

Mamteng 3: Menyusuri Jayawijaya (2)

Tepat pukul 09.10 WIT, Trigana Air yang kami tumpangi mendarat mulus di Wamena. Meski cuaca buruk menemani hampir sepanjang perjalanan, udara sejuk Wamena menepis kecemasan. Wajah-wajah khas dengan aksesoris khas itu bertebaran di lapangan bandara, seperti menyambut kedatangan kami. Para lelaki dengan topi berhias bulu unggas yang memutari kepala, atau bertopi benang rajutan warna-warni. Para perempuan dengan noken-noken besar yang indah menggantung di kepala atau di leher menutupi tubuh bagian depannya. Sungguh artistik.

Bandara Wamena penuh oleh orang yang menjemput dan orang yang akan berangkat serta para pengantar. Mereka bergerombol di luar pagar dan di dalam bangunan yang sebagian masih semi permanen. Tidak terbayang di benak saya, Wamena yang merupakan salah satu tempat destinasi wisata favorit, baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara itu, memiliki bandara yang, maaf, seburuk itu. 

Ibu Perty, staf Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberamo Tengah, yang ada di antara kerumunan para penjemput, melambaikan tangannya, menyambut kami. Senyumnya merekah, ramah. Rambut ikalnya yang di-rebounding membuat penampilannya jauh berbeda dibanding saat beliau hadir ke Kodikmar Surabaya dalam rangka memberi materi pada kegiatan Prakondisi SM-3T angkatan ketiga, beberapa bulan yang lalu. Namun kehangatannya tak berubah, dengan sepenuh hati dia memeluk saya dan bu Lucia.

Bu Perty meminta Ibu Yapina, PJS Kepala Sekolah SMPN Ilugwa, yang turut menjemput kami, mengantarkan kami ke mobil. Sementara beliau dan mas Beni akan mengurus bagasi. 

Kami keluar dari bandara. Sederetan ibu penjual komoditi khas Papua menarik perhatian. Sebagai daerah pegunungan, Wamena kaya akan hasil bumi. Jeruk, markisa, terung Belanda, apokat, kelapa hutan, sarang semut, bunga plastik, dan tentu saja, buah pinang. Semua komoditi itu berjajar di luar pagar bandara. 

Kami membeli sedikit kelapa hutan, sekadar supaya tahu seperti apa rasanya. Buah yang mirip kayu kecil-kecil dan lonjong itu memiliki daging di bagian dalamnya yang rasanya perpaduan antara kelapa dan kenari. Gurih.

Bunga plastik, bukanlah bunga yang dibuat dari plastik. Itu jenis bunga, yang setahu saya sebangsa aster, dengan warna-warna cerahnya yang sangat beragam, dihimpun begitu saja dalam sebuah gulungan kertas. Dinamakan bunga plastik mungkin karena saking tahan lamanya bunga-bunga itu, tidak kunjung layu.  

Saya memilih membeli beberapa buah gelang khas Papua yang dibuat dari bahan kulit kayu. Biasa, memenuhi pesanan suami tercinta. Saya langsung mengenakannya di pergelangan tangan kanan. Jadilah kedua pergelangan tangan saya penuh dengan aksesoris. Sesampai di Surabaya nanti, gelang-gelang ini akan segera pindah ke tangan pemilik yang sebenarnya.

Ibu Yapina yang kecil mungil adalah tipikal orang Papua. Kulitnya hitam, rambutnya keriting, dan yang unik, meski perempuan, beliau memiliki cambang dengan rambut keriting halus di dagunya. Pembawaannya ramah, gerakannya cekatan, dan beliau akan menemani kami selama perjalanan menuju SMPN Ilugwa, tempatnya bertugas. Di sana ada lima guru SM-3T, anak-anak kami.

Mobil yang membawa kami adalah mobil Strada, double gardan. Supirnya, Lani, seorang laki-laki yang aslinya dari Distrik Bugi, Kabupaten Jayawijaya. Dia dari suku Walat, nama marganya Mongkar. Posturnya tinggi besar, kulitnya hitam legam, rambutnya yang panjang dijalin besar-besar menyerupai tambang. Lani mengenakan kaus dan sweater abu-abu, bercelana jeans yang sobek di kedua lututnya, berkaus tangan hitam. Meski penampilannya terkesan sangar, dia sangat ramah.

Rekan Lani, yang jadi kondekturnya, bernama Wakela. Rambutnya juga dijalin, tapi jalinannya kecil-kecil. Wajah hitamnya sangat manis. Tidak seperti Lani yang lebih terbuka, Wakela yang murah senyum itu terkesan pemalu. Usianya lebih muda dari Lani. Satu suku, tapi beda marga. Wakela dari marga Siyep. 

Saya menggoda Lani dan Wakela. "Bolehkah saya minta rambutnya satu-satu saja untuk saya bawa pulang ke Surabaya? Lani satu jalin, Wakela satu jalin? Mau saya pigura."
Mereka tertawa lebar. "Tuhan bisa marah nanti, ibu." Kata Lani.
"Mintalah izin pada Tuhan, boleh?"
Mereka tertawa saja dan saya yakin apa pun yang terjadi, mereka tidak akan memberikan satu jalin pun rambut mereka untuk saya.

Sebelum memulai perjalanan menuju Ilugwa, kami mampir ke rumah makan di dekat bandara, namanya rumah makan Banyumas. Seperti namanya, penjualnya adalah orang Banyumas. Menunya juga sangat Jawa. Sayur lodeh, oseng tahu tempe, mendoan, botok, ikan gurami, ikan kembung, oseng daun pepaya dan oseng bunga pepaya. Kedua makanan yang terakhir itu adalah menu khas di wilayah timur Indonesia seperti Papua dan Sumba.

Di mana-mana, penjual makanan dan barang-barang lain, hampir semua berasal dari luar Papua, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya. Tanah-tanah di kota juga dikuasai oleh para pendatang. Pemilik aslinya, yaitu orang-orang asli Papua, sudah menjualnya pada para pendatang itu. Mereka hanya berpikir pendek. Dapat uang banyak, lantas memilih hidup di dekat danau, pantai, gunung-gunung dan hutan. Tidak terpikirkan pada benak mereka, bahwa tanah yang mereka lepas, dalam waktu sekejap akan naik tiga empat-kali lipat harganya dibanding harga waktu mereka jual. Selanjutnya mereka lebih banyak sebagai penonton dan termarginalkan dari arus modernisasi. Mereka tetap menjadi komunitas yang bodoh, tidak berpendidikan, miskin, dan tak tersentuh oleh kemajuan zaman.

Perjalanan menuju Ilugwa adalah perjalanan yang sangat menakjubkan. Papua menyimpan keindahan yang luar biasa, tidak hanya dari alamnya, namun juga budaya masyarakatnya. Warna-warni etnik bertaburan: perempuan-perempuan bernoken, lelaki-lelaki bertopi khas, berkoteka, tubuh mereka penuh lukisan, anak-anak dan para remaja dengan rambut modisnya ala Papua. Berpadu dengan alam yang berlembah, berhutan, berbukit-bukit, bergunung-gunung. Juga rumah-rumah adat 'honai', yang menyerupai gundukan-gundukan jamur raksasa. Indah dan menawan. Saya berkali-kali mengucap tasbih dan takbir menyaksikan mahakarya Sang Khaliq yang begitu menakjubkan. Mata saya terasa berkabut diliputi keharuan. Betapa kecilnya kita, manusia, dan semua makhluk-Nya. Betapa tak berartinya kita di tengah alam yang maha luas ini.  

Distrik Ilugwa berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Wamena. Untuk mencapainya, kita harus menyusuri Jayawijaya sepanjang lebih dari dua setengah jam. Meski ada banyak jalan beraspal, tapi kondisi jalan menuju Ilugwa lebih banyak yang berbatu-batu, berlumpur, dengan kedalaman yang hanya mungkin ditembus oleh mobil double gardan, berkelok-kelok dan naik turun dengan sangat tajam. Di Sumba saja, mobil semacam Panther Touring masih bisa digunakan untuk menembus pelosoknya. Di sini, mobil-mobil semacam itu akan 'nyerah'. Tidak heran kalau di mana-mana terlihat mobil-mobil double gardan. Hanya mobil seperti itulah yang paling layak untuk mengakrabi alam Papua, khususnya untuk menyusuri Jayawijaya dan mencapai Mamberamo Tengah.

Di mobil, saya duduk di sebelah Lani yang memegang kemudi. Di belakang saya adalah Pak Prapto, Bu Lucia dan Pak Beni. Di belakang, di bak yang terbuka itu, duduk bu Perty dan bu Yapina. Kedua perempuan itu tidak mau duduk di jok tengah meski kami paksa. Nampaknya mereka sudah sangat terbiasa menempuh perjalanan jauh dengan menumpang mobil bak terbuka. Mereka justeru mengkhawatirkan keadaan kami semua dan memastikan kami duduk di dalam, terlindung dari panas dan hujan, agar tidak masuk angin.
  
Sepanjang perjalanan menyusuri Jayawijaya, selain pemandangan alam dan masyarakatnya yang kami nikmati, kami juga berkali-kali berpapasan dengan binatang yang khas, yang hampir selalu ada di wilayah timur Indonesia. Ya, babi dan anjing. Menurut Lani, bagi masyarakat Papua, babi hukumnya wajib. Persoalan apa pun diselesaikan dengan babi. Urusan apa pun dipastikan ada babi. Kata Lani,  "Kalau orang tidak punya babi, berarti dia bukan manusia." 

Alam Jayawijaya mirip sekali dengan Sumba Timur kalau dilihat dari bukit-bukit dan kondisi jalannya. Bedanya, Jayawijaya tidak memiliki padang sabana seluas Sumba Timur. Tidak ada kuda-kuda juga. Karena daerah pegunungan, Jayawijaya juga tidak memiliki pantai-pantai yang indah. Namun ada sungai yang cukup panjang dan cukup menawan, karena letaknya yang menghampar di bawah perbukitan dan pegunungan yang hijau dan biru. Bedanya lagi, kondisi jalannya jauh lebih ekstrim, namun naik-turun dan kelok-keloknya yang mengular menyerupai jalan-jalan di Sumba. 

Pohon buah merah, buah yang terkenal untuk mengobati segala macam penyakit itu, bertebaran di sepanjang jalan. Pohonnya mirip dengan pohon kelapa hutan, tapi lebih jangkung dan daunnya lebih panjang. Bunga-bunga di sepanjang jalan juga membuat suasana sejuk menjadi terasa hangat dan cerah.

Lani, supir kami, ternyata memiliki empat anak. Istrinya dua. Satu di kampung, satu di kota. Papa Lani adalah kepala suku, isterinya delapan belas. Mama Lani  merupakan istri kesebelas. Kata Lani, kepala suku istrinya tidak pernah sedikit. Di mana-mana ada istrinya. 
"Apa Kakak Lani juga akan punya banyak istri?" Tanya saya.
"Ya, kalau nanti mahkota papa  pindah ke saya, saya harus punya banyak istri. Seperti itu sudah...."

Saya mahfum. Inilah budaya. Babi menjadi binatang yang sangat berharga, bahkan seringkali lebih berharga dari nyawa manusia. Jumlah istri menjadi simbol kekuasaan bagi masyarakat khususnya para tetua adat dan kepala suku. Budaya seperti ini tentu saja tidak selalu berterima di tempat lain. Terutama pada masyarakat yang budayanya sudah lebih maju dan modern.

Kami terus melaju. Sebentar lagi kami akan mencapai perbatasan Jayawijaya-Mamteng. Di sana, kami bermaksud beristirahat sebentar, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Ilugwa. 

Jayawijaya, 2 April 2014. 13.30 WIT

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...